Share

2

"Benar begitu Bang?" ulangku pada Bang Tama yang diam saja.

"Hanya sementara dek," sahutnya pelan.

"Kok sementara sih Mas, aku juga istrimu jadi aku berhak untuk tinggal di rumahmu. Dan kamu Zahwa, sebagai istri kedua kamu seharusnya mau berbagi. Aku ini juga istrinya Mas Satria kan, bukan hanya kamu saja. Ingat aku juga punya hak atas rumah ini," ujar istri pertama suamiku dengan ketus.

Apa katanya? Dia punya hak? Tentu saja tidak. Rumah ini atas namaku, sebab ini adalah hadiah pernikahan dari kakak tertuaku. Bahkan jika aku mengusir Bang Tama dari rumah ini, aku yakin jika ia tak akan menolak.

"Sementara Raya, sebab jangankan kamu, akupun tak memiliki hak atas rumah ini," ujar Bang Tama kemudian.

"Apa maksudmu Mas? Ini rumahmu kan?"

"Ini rumah milik istriku Raya, bukan milikku. Hartaku tidak sebanyak itu untuk bisa membangun rumah semewah ini," lanjutnya membuatku tersenyum, jenis senyuman hampa.

Memang benar kata Bang Tama. Keluargaku jauh diatas keluarganya. Bahkan, kafe dan restoran milik Bang Tama berada dibawah naungan perusahaan kakak keduaku. Tapi selama ini, aku tak pernah menganggap semua itu penting. Apa yang aku miliki, itu artinya dia juga memiliki hak.

"Kamu bohong Mas. Aku tahu berapa jumlah kafe dan restoran milikmu, jadi tidak mungkin jika ini bukan rumahmu," selanya tak tahu malu.

"Kamu tahu dari mana?"

"Mas, siapa yang tidak mengenali dirimu? Pengusaha muda sukses pemilik kafe dan restoran yang cabang tidak sedikit. Tentu saja aku tahu,"

"Dan karena itulah kamu memaksa suamiku untuk menikahimu," ujarku ketus.

"Hey jangan asal bicara kamu," hardiknya yang hanya aku tanggapi dengan senyuman remeh.

"Lalu ... Selain memanfaatkan suamiku untuk status anakmu dengan lelaki lain, apa lagi motifmu memaksanya hah?" sarkasku membuatnya terbungkam.

"Dek, istri Abang ini lembut hatinya. Tolong jangan berubah menjadi jahat hanya karena kesalahan pria brengsek ini," ujar Bang Tama yang hanya aku anggap sebagai angin lalu saja. Wanita lembut ini bisa jadi kasar jika diperlakukan seperti ini.

"Abang boleh diam sebentar tidak? Istrimu yang lembut ini ingin menunjukan bagaimana kuasanya," sahutku ketus.

"Baiklah my queen," ujar Bang Tama lalu tak lama kemudian ia terkekeh.

"Abang jangan ketawa," hardikku.

"Siap!" sahutnya tegas.

Kulihat wanita bernama Naraya itu memutar bola matanya. Mungkin merasa kesal karena aku abaikan. Lalu pandanganku terarah pada Bang Tama yang ternyata tengah memandangiku.

"Kenapa lihat adek begitu?"

"Istri imut Abang ini makin cantik saat marah," sahutnya tanpa beban.

"Jangan ngegembel, istrimu ini sedang marah!" ketusku. "Baiklah kakak madu, jadi kamu ingin tinggal di sini bukan? Kamu ingin dianggap sebagai istri bukan? Oke aku ijinkan." putusku kemudian.

"Hanya sementara sayang, nanti Abang akan carikan Raya rumah lain yang dekat dengan kampus tempat dia mengajar,"

"Tidak. Aku hanya ingin tinggal disini!"

Hey keras kepala sekali wanita ini. Tapi baiklah, kita lihat seberapa lama dia akan bertahan di sini. Aku ini terbiasa mendapatkan apa yang aku mau. Tidak sulit membuatnya merasa tidak betah. Akan aku tunjukan jika Azzahwa Salsabila Ramadhan adalah wanita tangguh.

Kalian pasti berpikir aku ini bodoh, munafik dan terlampau bucin. Nyatanya aku percaya pada suamiku. Mendengar penjelasannya tadi, aku menyimpulkan jika ini bukan kesalahannya. Meski dengan hati yang hancur, aku akan menerima apa yang sudah terjadi.

"Jangan keras kepala Raya. Suka tidak suka, aku akan tetap mencarikanmu rumah lain," putus Bang Tama mutlak.

Kedengar wanita itu mendengus kasar tanda tidak setuju dengan keputusan Bang Tama. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa bukan?

"Mbak Ina," panggilku pada salah satu ART di rumah ini.

"Iya mbak, ada apa?"

"Tolong siapkan kamar tamu untuk tamunya Bang Tama"

"Baik mbak, akan saya siapkan,"

"Terima kasih." ujarku yang dibalas anggukan dan senyuman darinya.

"Dek, untuk jadwal berbagi suami kita ..."

"Tidak ada jadwal berbagi," potong Bang Tama sebelum kalimat mbak Raya selesai.

"Maksudnya Mas?"

"Raya, kamu tahu pasti aku tidak bisa memperlakukanmu layaknya istri. Aku tidak mungkin bermalam di kamar lain selain kamar milik Zahwa. Aku tidak ingin menyakitinya,"

"Lantas kamu tega menyakiti hatiku?"

"Sedari awal, bukankah sudah aku katakan jika aku hanya akan berperan sebagai penanggung jawab atas hidupmu? Hanya cukup dengan materi saja, dan kamu sudah setuju bukan?"

"Bang, untuk saat ini Abang harus adil," selaku saat mbak Raya hendak membuka mulutnya. "Bagilah jadwal diantara kami agar adil," lanjutku kemudian.

"Tidak. Sudah cukup Abang menyakitimu dengan pernikahan ini sayang, tidak lagi dengan membagi malam kita."

"Aku hanya tidak ingin Abang mendapat dosa," sahutku. "Aku permisi ke kamar. Mbak Raya, maaf atas kelancanganku tadi. Tidak seharusnya aku berkata kasar begitu. Walau bagaimanapun mbak Raya lebih tua dari aku, sudah seharusnya aku menghormatimu. Apa lagi kamu adalah istri pertama suamiku. Assalamualaikum," pamitku laku aku beranjak meninggalkan ruang tamu.

Jika kalian pikir aku ini berhati malaikat dengan mengijinkan maduku tinggal di sini. Kalian salah besar, aku tidak sebaik itu. Tapi aku juga ingin mempertahankan apa yang aku miliki. Bang Tama adalah milikku, sedari awal ia adalah milikku. Jika aku membiarkan mbak Raya memiliki rumah lain, itu artinya aku harus siap untuk membagi jadwal bermalam suamiku.

Tidak, aku tidak ingin Bang Tama bermesraan dengan wanita lain. Permintaanku untuk membagi jadwalpun hanyalah caraku untuk membuat Bang Tama semakin merasa menyesal. Jangan dikira aku ini tidak merasakan jika hati suamiku itu telah terbagi. Aku bukan wanita bodoh yang akan tetap merasa menjadi satu-satunya wanita yang dicintai suaminya. Sedangkan pada kenyataannya ada istri lain selain diriku.

Sesampainya di kamar, tak ada lagi hasratku untuk memberikan hadiah yang sudah aku siapkan untuknya. Kue dengan tulisan selamat itu pun akan aku bawa turun. Kado yang sudah ku beli akan aku simpan kembali.

Tepat ketika aku hendak turun untuk menyimpan kue ini di kulkas, pintu kamar terbuka. Terlihat Bang Tama tengah berdiri canggung dihadapanku.

"Dek, ini ..."

"Tadinya adek sudah siapkan kue ini spesial untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita Bang, tapi nampaknya kejutan milik adek tidak sebanding dengan kejutan dari Abang. Selamat hari ulang tahun pernikahan dan selamat atas pernikahan Abang dengan mbak Naraya. Maaf seharusnya dulu Abang jujur saja, sehingga hal seperti ini tidak terjadi. Abang telah menyakiti dua hati." ujarku membuatnya terdiam. Tanpa menunggu responnya, aku beranjak kedapur untuk meletakkan kue ini.

Sesampainya dapur, terlihat mbak Naraya tengah membuat sesuatu. Tanpa memperdulikannya, aku lantas meletakkan kue itu dan aku berniat kembali ke kamar.

"Dek tunggu," cegahnya membuat langkahku terhenti. Dengan malas aku membalikan badanku menghadapnya. Ternyata ia tengah memegang kue yang baru saja aku simpan. "Hari ini, hari ulang tahun pernikahan kalian?" tanyanya.

"Ya, dan seharusnya kami merayakannya dengan suka cita," sahutku ketus.

"Maaf ... Sekali lagi maafkan aku,"

"Maafmu tidak akan mengembalikan kebahagiaanku Mbak! Jadi stop minta maaf padaku. Jangan membuatku terlihat jahat karena tidak bisa memaafkan perbuatanmu padaku,"

"Tapi dek, mbak tulus ingin minta maaf. Apalagi tadi mbak sudah berbicara kasar padamu," ujarnya yang membuatku muak.

"Oke aku maafkan," sahutku kemudian.

"Dek tolong bujuk Mas Satria untuk membagi jadwal bermalamnya di kamar kita," lanjutnya.

"Itu urusan kalian mbak! Aku tidak ingin ikut campur. Mbak tadi dengar kan jika aku sudah memintanya untuk membagi jadwal? Hasil akhirnya ada ditangan Bang Tama,"

"Tolong jangan egois," ujarnya kembali membuatku semakin muak.

"Baiklah," sahutku tak ingin memperpanjang masalah. Sungguh, rasanya ingin sekali menampar atau setidaknya menjambak rambutnya itu. Tapi jika aku lakukan, maka akulah yang akan dipermalukan. Jadi sebisa mungkin aku tahan keinginanku itu.

"Satu lagi dek, aku ingin diperkenalkan dengan keluarga besar kita. Aku ingin mereka tahu jika Mas Satria memiliki istri lain,"

Deg

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status