Share

4

Setelah mengatur degup jantungku agar normal kembali, aku melangkahkan kaki menuju ruang keluarga dimana semua tengah berkumpul. Melihat keluargaku bercanda ria, rasanya tak tega jika harus mengungkapkan kebenaran menyakitkan ini. Ya Allah bantu hambamu agar tetap kuat menjalani takdir yang telah engkau rancang untukku.

***

"Sayang, kok melamun," teguran dari mama mertua membuatku tersadar. Aku hanya bisa tersenyum, memaksakan senyum lebih tepatnya. Sedari dulu aku memang tak pandai menyembunyikan perasaanku. Kalau kata kak Nando aku ini bagaikan buku cerita yang terbuka, mudah sekali untuk dibaca.

"Mana suamimu Nak?" tanya Papa yang mungkin saja heran karena biasanya aku dan Bang Tama memang tak bisa berjauhan.

"Abang ke kamar sebentar Pa, ada urusan pekerjaan yang harus dia selesaikan," sahutku asal.

"Anak itu gimana sih, kerjaan terus yang diurus. Ini kan hari spesial buat dia sama Zahwa kok bisa-bisanya malah kerja. Lagian apa masih kurang waktu kunjungan keluar kotanya itu," omel Mama membuatku meringis. "Biar Mama yang panggil, anak itu harus diberi pelajaran," lanjutnya membuatku kalang kabut.

"Mbak, sudahlah. Mungkin memang pekerjaan itu tidak bisa ditunda. Sembari menunggu lebih baik mbak dan adek siapkan saja makan malam spesial kita," ujar ayah membuatku mengela nafas lega. Dan saat itulah baru kusadari jika aku diperhatikan oleh kedua kakak lelakiku. Duh, pasti mereka curiga padaku.

"Biar kami yang membantu adek Tante. Tante, om dan Ayah tunggu saja di sini," usul kak Randi membuatku ketar ketir. Nah kan ... Aku yakin dibalik usulnya itu ia akan bertanya banyak hal padaku.

"Ayo dek, biar kak Nando dan Randi bantu siapkan makanannya," ajak Kak Nando sembari menarikku ke ruang makan. Tak bisa mengelak apalagi kabur, akhirnya aku mengikuti langkah keduanya.

Tiba di ruang makan, aku segera menyiapkan makanan yang tadi di bawa oleh Mama. Mencoba untuk terlihat sibuk agar kedua lelaki tampan itu tak bertanya macam-macam padaku. Mondar-mandir menata makanan, mengelap gelas dan piring yang sebenarnya sudah kering agar terhindar dari sesi introgasi keduanya.

"Adek duduk diam. Kakak tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan," perintah mutlak dari Kak Nando mengehentikan kegiatanku. Tak bisa menolak, akhirnya dengan berat hati ku turuti perintahnya itu. Duduk tepat dihadapan lelaki yang berwajah sangat mirip dengan ayah, membuatku semakin tak bisa mengendalikan degup jantungku.

"Katakan ada apa sebenarnya!" Lanjutnya tanpa melembutkan nada suaranya, membuatku yakin jika saat ini ia tak bisa lagi kubohongi.

Mau jujur, tapi aku belum siap. Berbohong lagi, jelas bukan pilihan yang tepat. Ya Allah rasanya aku ingin menghilang sebentar saja agar terbebas dari masalah ini.

"Kak, jangan paksa adek! Baiklah jika saat ini adek sedang tidak ingin berbagi pada kami. Ingat apapun masalahmu, kami akan menjadi orang pertama yang siap membantumu," ujar Kak Randi membuatku lega. Maafkan adikmu ini kakak, saat ini diam adalah pilihanku.

"Tapi Ran," sangkal Kak Nando yang langsung dipotong oleh kak Randi.

"Beri adek waktu, tidak semua masalahnya kita harus segera tau. Kita beri kepercayaan padanya kak, kalau adek belum meminta bantuan, itu artinya dia masih sanggup menyelesaikan. Bukan begitu dek?" ujar kak Randi menerbitkan senyum di bibirku.

" Terima kasih karena sudah mengerti. Insyaallah adek akan ceritakan semuanya. Tapi bukan sekarang," sahutku lega, lalu tanpa malu kupeluk tubuh kekar kakak keduaku ini.

"Ya sudah jika itu maumu. Tapi ingat satu hal, jika ini karena suamimu itu maka dia harus menerima akibatnya!" sahut kak Nando tegas.

"Kakak," tegur kak Randi, membuat kakak sulungku itu mendengus tidak suka.

"Baiklah, sini peluk kakak juga. Tidak hanya Randi saja yang ingin adek peluk," lanjutnya membuatku tertawa, lalu aku menghambur kedalam pelukan Kakak sulungku ini. Rasanya sangat nyaman, pelukan yang selalu kurindukan setelah pelukan ayah dan Bang Tama tentunya.

Kedua Kakak lelakiku memiliki sikap dan sifat yang berbanding terbalik. Jika kak Nando itu super dingin, maka kak Randi adalah orang yang sangat ramah. Emosi kak Nando mudah sekali tersulut, dan jika sudah begitu maka Kak Randilah yang akan menenangkan. Tapi keduanya sama posesifnya jika sudah menyangkut diriku. Ketenangan dalam diri kak Randi akan hilang jika ia tahu aku disakiti oleh orang lain. Begitupun dengan kak Nando, ia tak akan segan-segan membalas orang yang telah menyakitiku. Bagiku mereka adalah kakak, teman, sahabat dan juga penjaga. Pahlawanku setelah ayah dan bunda. Cintaku setelah kedua orang tuaku. Bahkan Bang Tama tidak bisa menggeser posisi kedua pria itu. Bagiku, tempat untuk pulang adalah ayah dan kedua kakak lelakiku. Walaupun aku tahu pasti jika surgaku kini adalah suamiku.

"Adek, gimana sama usahamu?" tanya kak Randi setelah kami terdiam beberapa saat.

"Alhamdulillah ramai," sahutku disertai senyuman.

"Suamimu masih belum tahu?"

Aku menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan kak Randi barusan. Aku memang memiliki toko baju tanpa sepengetahuan Bang Tama. Entahlah, aku tak berniat memberi tahunya. Toko itu sudah aku miliki sejak kami belum menikah. Aku merasa jika tak masalah suamiku tak mengetahuinya. Lagipula, seluruh keuntungan toko aku berikan pada salah satu pantai asuhan. Toko itu aku bangun karena hobiku pada desain baju. Ya, aku sendirilah yang merancang bajunya sehingga koleksi toko tak pernah sama dengan toko lain.

Kenapa keuntungan seluruhnya aku berikan pada panti asuhan? Karena dulu sahabatku tinggal di panti itu. Sebelum meninggal, ia menitipkan anak-anak panti asuhan padaku. Hingga kini, aku merasa jika memenuhi kebutuhan panti adalah tanggung jawabku. Dibantu oleh kedua kakak dan ayah, akhirnya panti itu semakin besar dan tidak kekurangan dana.

"Kenapa kamu sembunyikan dari dia?"

"Aku tak bermaksud menyembunyikan sebenarnya. Tapi agaknya tidak penting juga Bang Tama tahu," sahutku sedikit bergurau.

"Penting gak penting sih dek. Takutnya nanti dia salah paham kalau kamu harus lembur di toko," ujar Kak Randi membuatku mendengus.

"Mau lembur gimana? Ke toko aja cuma satu jam. Itu gara-gara siapa coba? Kalian berdua wahai pria tampan," sahutku ketus membuat keduanya terkekeh.

"Waduh waduh, ini malah asik bercanda. Sampai lupa kalau sudah waktunya makan malam," pecah suara ayah membuat kami bertiga menoleh secara serentak.

"Lama tidak bertemu, rindu jadi menumpuk," sahut Kak Randi disambut oleh gelak tawa.

"Benar kamu Nak. Papa saja rindu sekali pada menantu cantik Papa ini." timpal papa membuatku tersipu malu.

"Sudah siap semua kan sayang? Kuenya mana?" tanya Mama.

"Ada di kulkas Ma, nanti setelah makan malam baru aku keluarkan," sahutku.

"Baiklah, cepat panggilkan suamimu Nak. Kita mulai makan malamnya," titah papa yang segera ku turuti.

Belum sempat aku melangkah, ternyata Bang Tama lebih dulu masuk ke ruang makan. Ku teliti raut wajahnya, terlihat jelas jika ia tengah menahan amarah. Ada apa? Apa yang terjadi di dalam sana? Apa dia berhasil membujuk mbak Raya atau malah,

"Hey adek, itu suaminya sudah duduk. Kok malah melamun. Malam ini Ayah perhatikan kamu banyak melamun, ada apa? Katakan sayang. Apa adek lagi sakit?" tanya ayah yang jelas sekali merasa khawatir padaku.

"Ah, eh tidak ayah. Adek sehat kok, hanya saja ..."

"Assalamualaikum ... selamat malam,"

Oh Allah ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status