Share

5

"Assalamualaikum ... selamat malam,"

Oh Allah ...

Suara itu milik istri pertama suamiku. Ya Allah kenapa sekarang? Kulihat wajah Bang Tama semakin merah. Aku yakin saat ini ia tengah emosi. Jadi permintaanku tidak dituruti oleh kakak maduku ini rupanya. Niat sekali ia menghancurkan hari istimewaku. Baiklah Zahwa, suka tidak suka kamu harus mengenalkannya malam ini.

"Waalaikumsalam, eh ada tamu rupanya. Tapi kok dari kamar?" sahut dan tanya Mama membuatku menelan ludah. Hey kemana keberanianku tadi. Ayolah Zahwa cukup kenalkan namanya dan statusnya di rumah ini. Untuk selanjutnya biarkan takdir yang berbicara.

"Emh ... Mama ... Papa ... Ayah ... dan kedua kakak tampanku. Perkenalkan dia ... " oh Allah lidahku kelu untuk menyebut nama dan statusnya. Hatiku perih untuk mengakuinya. Aku menunduk untuk menyembunyikan setetes air mata yang tiba-tiba saja luruh.

"Saya Naraya ... istri pertama Mas Satria," ucapnya lugas memotong perkataanku.

Takut-takut kuangkat kepala, dan kini terlihat ekspresi terkejut dari mereka semua termasuk Bang Tama. Aku sebenarnya cukup terkejut, tak menyangka jika mbak Raya akan seberani itu.

"Akh!" pekikan kesakitan dari Bang Tama membuyarkan lamunanku. Ya Allah, rupanya kak Nando telah memukulnya. Cukup keras aku rasa, sebab sudut bibir Bang Tama mengeluarkan darah.

Tak sampai di situ, Bang Tama kembali mendapat pukulan dari kak Nando. Kali ini perutnya yang menjadi sasaran. Bang Tama hanya diam tak membalas. Aku tahu bukan karena tak bisa, tapi aku rasa ia menerima semuanya sebagai hukuman.

"Hey, sudah cukup jangan kau pukuli lagi suamiku!" teriakan mbak Raya mencoba menghentikan kak Nando.

Percuma saja, disaat kakak sulungku tengah emosi, tak akan ada yang mampu menghentikannya kecuali suaraku. Ya, begitu besarnya pengaruhku pada kedua lelaki itu. Kali ini, aku tak akan menghentikan kak Nando. Biarlah rasa sakitku dibalaskan oleh pukulan-pukulan dari Kakak iparnya itu.

"Aku mohon, jangan pukuli lagi suamiku. Adek, tolong hentikan dia. Suamiku bisa celaka," hiba mbak Raya. Kali ini ia memandangku, namun aku pura-pura tak mengerti arti pandangannya itu. "Dek, aku pikir kamu mencintai Mas Satria," lanjutnya membuatku heran. Tentu saja aku mencintai suamiku itu. Lalu kenapa?

"Aku mencintainya," sahutku malas.

"Bohong! Kalau kamu mencintainya tidak akan kamu biarkan dia dipukuli begitu," ucapnya sinis.

"Ya aku mencintainya tapi aku juga membencinya," sahutku tak kalah sinis.

"Sayang hentikan kakakmu," perintah Ayah yang mungkin merasa khawatir terhadap kondisi menantunya itu. Baiklah, jika ayah sudah bertitah maka aku harus menurutinya.

"Kak Nando cukup, sisanya biar adek yang urus," ujarku sedikit keras agar kakakku itu berhenti memukuli Bang Tama. Tepat seperti biasanya, saat mendengar suaraku kak Nando langsung berhenti.

Masih dengan amarah yang menggebu, ia berbalik menatapku. Ah malam ini aku harus menjinakkan singa liar ini rupanya. Tapi setelah masalah kami selesai terlebih dahulu. Tanpa kata aku mendekati kedua lelaki itu, Bang Tama yang terkapar tak berdaya akibat pukulan yang tidak main-main, dan kak Nando yang berdiri dengan nafas terengah-engah.

"Sudah cukup kakak, adek akan jelaskan semuanya. Tapi adek mohon, mari kita rayakan dulu hari ulang tahun pernikahan adek dan Bang Tama. Anggap saja ini sebagai hari ulang tahun pernikahan kami yang terakhir. Kak Nando biasakan sebentar saja menahan emosi kakak? Biarkan adek merasa jika saat ini hanya adek nyonya di rumah ini. Biasakan kak?" pintaku lembut.

"Untuk apa merayakan hari pernikahan kalian? Suamimu telah berkhianat dek," sahut Kak Nando ketus.

"Adek mohon," lagi aku mencoba untuk meluluhkan hatinya dengan suara lembutku.

"Baiklah," sahutnya kemudian meninggalkan Bang Tama begitu saja. Kubantu Bang Tama untuk bangun. Karena aku yakin ia tak akan sanggup bangun sendiri. Perlahan aku tuntun ia menuju tempat duduknya kembali, melewati kedua mertuaku.

Kulihat Mama yang menangis dipelukan papa. Sedangkan ayah terduduk lesu di tempatnya. Kak Randi? Dia hanya diam saja, tapi aku tahu persis jika kakakku itu tengah menahan amarahnya.

Setelah Bang Tama duduk dengan nyaman, kulangkahkan kaki mendekati mertuaku itu. Kuambil tangan mama lalu kucium dengan takzim. Mama semakin terisak dan aku mencoba untuk tersenyum. Hal yang sama kulakukan pada papa. Senyum sendu papa berikan setelah tangannya kucium.

"Ma ... Pa ... Mari kita anggap jika hanya aku menantu Mama dan Papa. Hanya untuk malam ini saja," pintaku sembari tersenyum.

"Tidak Nak ... Sampai kapanpun menantu Mama hanya kamu. Tidak peduli berapa istri anak lelaki Mama itu, hanya kamulah menantu bagi mama. Tidak hanya malam ini, tapi selama kamu bergelar istri dari Tama, maka kamulah satu-satunya menantu Mama," ujarnya disela tangisan.

Lantas ku ajak mereka untuk kembali duduk dan menikmati makan malam ini. Kulihat mbak Raya hanya diam mematung. Mungkin merasa sungkan atau bersalah? Siapa peduli. Untuk kali ini saja aku ingin egois.

"Duduklah Raya," ujar Bang Tama mengagetkanku. Oh rupanya ia ingin istri pertamanya itu turut serta.

"Tidak bisa. Ini khusus keluarga kita saja," tolak Mama ketus.

"Ma dia juga istriku," bantah Bang Tama. Oh sesak sekali dada ini. Ternyata benar, aku tak lagi menjadi satu-satunya wanita di hati suamiku itu.

"Mama tidak peduli. Malam ini dia tidak boleh ikut makan malam," sahut Mama lagi.

"Tapi Ma ..."

"Mas, biar Raya makan malam di kamar saja," ucap Mbak Raya kemudian. "Mohon maaf telah mengacaukan acara ini," ujarnya lagi kemudian ia melangkah pergi.

"Ingat urusan kita belum selesai. Setelah makan malam aku ingin mendengar semuanya," ujar kak Randi.

"Baiklah," sahut Bang Tama. Masih dengan lebam yang belum diobati, ia turut serta duduk untuk makan malam bersama.

"Bismillahirrahmanirrahim ... Sebelum makan malam dimulai, Zahwa ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga Zahwa karena telah bersedia datang dan mendoakan kebaikan untuk pernikahan kami. Teruntuk Bang Tama suamiku, terima kasih banyak untuk semuanya. Adek sungguh mencintai Abang. Cinta yang sama, dan insyaallah bertambah setiap harinya. Maafkan adek karena belum bisa memberikan putra dan putri untuk Abang. Maafkan adek jika selama kita bersama banyak khilaf yang telah adek lakukan. Insyaallah adek akan terus menjadi istri Abang," ujarku panjang lebar. Lalu tanpa ragu kuambil tangan Bang Tama, kemudian aku cium dengan takzim sebagai tanda baktiku padanya. "Terima kasih telah memberikan nafkah halal untukku,"

"Sayang, maafkan Abang," ujarnya lirih kemudian ia mendaratkan kecupan manis di keningku. Kurentangkan tangan sebagai tanda jika ingin dipeluk. "Maaf sayang ... maaf," ucapnya dipelukanku.

"Insyaallah adek maafkan Abang," sahutku tenang.

"Sudah ayo kita mulai makan malamnya," ujar Ayah tak seramah tadi. Ya, mana mungkin ayahku itu akan tetap bersikap baik pada Bang Tama saat ia mengetahui jika putrinya ini telah dimadu.

Makan malam berjalan dengan sunyi. Biasanya, walaupun masih pada batas wajar, kami akan mengobrol disela-sela kegiatan makan. Bukan tidak sopan, hanya saja pada saat makan malam kami bisa berkumpul dan bercerita. Jadi, baik ayah ataupun papa akan mengajak kami mengobrol santai.

Hanya butuh waktu 30 menit saja untuk menyelesaikan makan malam kami. Setelahnya, ayah dan papa beranjak keruang keluarga. Tiba saatnya untuk menceritakan segalanya. Kulihat Bang Tama yang nampak tegang, berkali-kali ia menghela nafas kasar. Kebiasaannya ketika tengah gugup dan takut.

"Bang tenanglah, insyaallah semua akan baik-baik saja." Ujarku menenangkan dirinya.

"Tidak mungkin dek, Abang yakin semua tidak akan baik-baik saja. Abang tak masalah jika dipukuli kembali. Abang hanya takut jika ayah dan kak Nando membawamu pergi dari Abang," ujarnya lirih.

Bisa jadi sih, apa lagi kesalahan bang Tama kali ini sangat fatal. Jika benar ayah meminta untuk berpisah dari suamiku ini, apa yang harus aku lakukan?

"Sayang, berjanjilah jika benar itu yang terjadi tolong pilihlah Abang. Abang tak bisa jika adek pergi dari sisi Abang,"

"Adek lekas kemari," teriakan dari kak Nando mengurungkan niatku untuk menjawab permintaannya.

"Ayo bang, kita sudah ditunggu,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status