Share

Berduka

Mega kembali mencurahkan rinai, langit pun masih mendung dinaungi awan kelabu, meski waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Di depan sebuah rumah berlantai dua, dipasang bendera hitam tanda sang pemilik tengah berduka. Para wanita sibuk menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah yang terbujur kaki di atas dipan kayu di ruang tamu, sedangkan para lelaki memasang tenda dan menyusun kursi untuk para pelayat.

Nazeela terlihat bersandar di dinding rumah seraya menatap nanar ke arah jenazah sang ibu yang tertutup kain panjang. Mata  gadis tersebut sembab karena tak berhenti mengeluarkan air mata sejak pagi. Kebakaran yang melahap habis rumahnya menewaskan sang ibu yang berusaha keluar dari kepungan api. Beberapa tetangga sempat menyelamatkan Ibu Nazeela, tetapi malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Wanita tersebut mengembuskan napas di rumah sakit setelah terlalu banyak menghirup asap dan terkena serangan jantung tiba-tiba.

"Zee, waktunya memandikan Ibu." Farah menyentuh lembut bahu Nazeela, sambil mengutus senyum prihatin, berharap gadis itu tegar menghadapi musibah.

Nazeela hanya mengangguk lemah. Dia seolah tak punya daya lagi, meski untuk tersenyum. Kehilangan sang ibu, turut merobohkan kekuatannya. Wanita itulah pelecut semangatnya untuk terus berjuang, melihat senyum di bibirnya sudah cukup membuat gadis itu bahagia. Sekarang, rasanya dia tidak punya motivasi lagi untuk hidup. Dunia gadis itu seolah gelap karena sang cahaya telah hilang kembali pada Sang Pemilik.

💕

Para pelayat meninggalkan areal pemakaman satu per satu, setelah mengucapkan bela sungkawa kepada Nazeela yang kini menatap gundukan tanah yang ditaburi bunga. Wajah gadis itu terlihat kuyu dan tidak bersinar, seolah tiada semangat lagi.

"Kita pulang, Zee ...," ajak Farah yang berdiri di sampingnya.

"Pulang ke mana, Kak. Aku ngga punya keluarga lagi."

Farah memeluk gadis itu dan mengelus punggungnya lembut. "Aku dan Bang Fairuz adalah keluargamu. Jangan lupakan itu."

Tangis Nazeela kembali pecah, membuat pelukan Farah mengetat, seolah dengan pelukan itu dia ingin menguatkan gadis yang baru saja kehilangan orang terkasih. Perlahan wanita itu melerai pelukannya dan menuntun Nazeela meninggalkan areal pemakaman, seiring rinai yang kembali turun.

💕

"Bagaimana keadaan Hasan?"

Nazeela mengangkat pandangannya dan melihat Farah mengulurkan cangkir berisi teh hangat yang masih mengeluarkan uap.

"Tadi masih di ICU, Kak. Menurut keterangan polisi, Hasan menabrak pohon besar di pinggir jalan hingga tubuhnya terpelanting jauh dan kepalaya membentur trotoar."

Farah memperhatikan tangan Nazeela yang bergetar saat meneguk teh buatannya.

"Semoga dia baik-baik saja."

Nazeela mengangguk lemah. Gadis itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan, apalagi mengingat keadaan sang adik yang harus dioperasi. Tadi pagi, saat mendengar musibah yang menimpa rumah dan ibunya, Nazeela meninggalkan Hasan begitu saja. Entah bagaimana kabar adiknya itu sekarang.

"Kak Farah, terima atas kesediaan Kakak mengurus jenazah Ibu. Aku ngga tau bagaimana membalas kebaikan Kakak dan Bang Fairuz," lirih Nazeela menatap cangkir di tangannya.

Farah menggigit bibir bawahnya. Sesekali mencuri pandangan ke arah Nazeela. Bibirnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu. Benak wanita itu masih menimbang patut atau tidakkah membahas tentang permintaannya waktu itu. Sebagian hatinya berkata, untuk menunda sampai gadis itu tenang. Akan tetapi, sisi hati yang lain menghasut untuk mendesak Nazeela. Bukankah gadis itu sedang labil? Apalagi melihat keadaan sang adik yang terluka parah. Tadi siangFarah mengangkat ponsel si gadis yang terus berdering. Penelpon berasal dari rumah sakit yang mengabarkan jika Hasan harus segera dioperasi karena pendarahan di kepala yang menbuat pemuda itu koma. Tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengusahakan pengobatan bagi Hasan.

"Kalau kamu ingin membalas semua kebaikanku, maka penuhi permintaanku."

Akhirnya kalimat itu meluncur juga dari bibir Farah. Hatinya mencelos melihat sorot tak berdaya Nazeela. Rasanya, dia menjadi wanita jahat yang memanfaatkan situasi. Namun, wanita itu tak punya pilihan lain untuk menyelamatkan pernikahannya dari rongrongan keluarga sang suami.

"Kak, sampai kapan pun aku ngga mau menikah dengan Bang Fairuz. Dia sudah seperti Abangku sendiri. Lagipula, aku tau pasti Kakak sangat mencintai dia, apa nanti tidak cemburu seandainya aku menjadi istri kedua beliau?" tanya Nazeela dengan suara bergetar. Gadis itu seolah tak punya daya untuk berdebat.

Farah terdiam. Jika ingin jujur, jauh di relungnya, dia tak ingin berbagi suami. Apalagi jika sampai Fairuz benar-benar jatuh cinta pada Nazeela. Gadis itu masih muda, cantik, dan sholeh. Siapa saja pasti akan jatuh cinta padanya. Akan tetapi, dia tak punya pilihan lain. Dia merasa waktunya tak akan lama lagi. Sesuatu di dalam tubuhnya semakin lama makin mengganas. Dia takut tak mampu terus-terusan menyembunyikan dari sang suami. Farah takut, jika saatnya tiba, Fairuz didampingi sosok yang tidak tepat. Dia tak ingin sang suami menderita dan terpuruk setelah kepergiannya, lalu memilih wanita yang salah. Farah amat sangat mencintai pria tersebut, hingga tak rela melihat kekasih halalnya bersedih, meski dari dunia lain.

"Aku pasti cemburu, Zee, karena aku sangat mencintai Abang. Namun, aku akan lebih sedih jika nanti tidak ada yang mengurusnya," tutur Farah dengan tatapan menerawang.

Dahi Nazeela berkerut. "Maksud Kakak apa?"

Farah menganjur napas perlahan, lalu menatap Nazeela lama. "Aku akan menceritakan sebuah rahasia padamu, tapi aku minta kamu berjanji ngga akan cerita pada siapa pun, termasuk Bang Fairuz."

Nazeela semakin bingung mencerna kalimat Farah. Hatinya membisikkan ada sesuatu yang tidak beres, entah apa.

"Apa Kakak menyembunyikan sesuatu dari kami?" Pertanyaan itu meluncur juga dari bibir Nazeela.

"Aku, aku divonis kanker rahim stadium empat," aku Farah setelah hening menjeda sejenak.

Mata Nazeela melebar mendengar pengakuan yang tidak dia kira. "Kakak bercanda 'kan?" Dia bertanya lagi, mencoba meyakinkan telinganya tak salah mendengar. Dia berharap Farah hanya bercanda, tetapi harapan gadis itu gugur melihat gelengan lemah dari wanita tersebut.

"Kenapa Kakak ngga jujur sama Bang Fairuz? Aku yakin beliau akan mengusahakan pengobatan untuk Kakak." Serak suara Nazeela berucap. Sekarang dia mengerti mengapa Farah begitu getol meminta Fairuz menikah lagi.

Farah tersenyum getir. "Aku tak mau menanam harapan palsu. Sel kanker sudah menjangkiti rahim dan organ penting lainnya dan aku tau belum ada obat yang bisa menyembuhkannya. Kematian sewaktu-waktu bisa menjemputku. Aku ngga mau saat aku pergi, Bang Fairuz sendirian."

Nazeela menggeser duduknya lebih rapat pada Farah, meletakkan cangkirnya ke atas meja kaca berbentuk elips yang ada di hadapan.

"Kak, jangan mendahului takdir Tuhan. Dia yang menentukan hidup dan mati kita. Bukankah sebagai manusia kita wajib berikhtiar? Jadi, jangan patah semangat, ya ..." pinta Nazeela sembari mengutus senyum  di bibirnya.

Mata Farah mengembun mendengar ucapan gadis tersebut. Dia menggenggam tangan tangan Nazeela erat. "Kenapa, Zee, saat banyak wanita berlomba ingin menjadi istri Abang, kamu justru menolak?"

Nazeela diam sejenak, dia memikirkan jawaban yang tepat. "Karena aku sudah menganggap Kak Farah sebagai kakak kandungku dan aku tak ingin menyakiti kakakku sendiri dengan menikahi orang yang dia cintai."

"Katakan padaku, tak pernahkah hatimu tertarik pada Bang Fairuz, meski secuil?"

Nazeela menggeleng. "Aku mengagumi Bang Fairuz. Cara dia memperlakukan Kakak membuatku bercita-cita punya suami seperti itu."

Farah terkekeh pelan. "Maka wujudkan cita-cita itu sekarang," godanya sambil mengerlingkan sebelah mata.

Nazeela menunduk sesaat menyembunyikan tawanya. "Aku ngga pernah bercita-cita menjadi istri kedua, Kak. Lagipula aku ..."

Dahi Farah berkerut, dia menatap si gadis dengan mata memicing. "Apa? Jangan bikin aku penasaran," desaknya ingin tahu.

"Aku menyukai orang lain, Kak."

Farah terdiam mendengar jawaban singkat Nazeela. Tak dipungkiri ada lega yang berembus di dada. Tadinya dia sempat mengira gadis tersebut menaruh hati pada sang suami, meski memang berniat menjodohkan dengan Fairuz, tetapi dia tak ingin ada benih-benih cinta itu tumbuh di belakangnya.

Farah menatap lekat jauh ke dalam manik mata Nazeela, seraya menumpukkan tangannya di atas gengaman tangan keduanya.

"Boleh aku tau siapa?" Farah bertanya dengan tatapan menyelidik.

Nazeela menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Bukan siapa-siapa, Kak. Hanya seorang pemuda sederhana, yang bahkan aku tak tahu namanya. Aku tak berani terlalu jauh. Tak elok rasanya jika seorang gadis terlalu agresif pada lawan jenis," jawabnya dengan tatapan menerawang jauh.

Mendengar itu  Farah semakin mengeeratkan tautan tangan mereka. Dia semakin yakin menitipkan sang suami pada gadis tersebut.

"Zee, berjanjilah padaku. Jika, suatu hari sesuatu terjadi padaku, menikahlah dengan Bang Fairuz." Farah menahan dagu Nazeela yang hendak bergerak menolak permintaannya dengan telapak tangan. "Aku tidak menerima penolakan. Kumohon ... hanya kamu yang aku percaya untuk menjaga orang yang aku cintai."

Nazeela mengembuskan napas perlahan. "Aku berjanji, tapi aku juga akan memastikan itu tak akan terjadi. Kakak pasti sembuh."

Tanpa keduanya sadari seseorang mendengar pembicaraan mereka dari balik daun pintu kamar yang terbuka. Senyum sinis terukir di wajahnya. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok itu beranjak dari kamar tamu yang ditempati Nazeela

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status