Share

Musibah

Suasana masih sepi di sekitar tempat tinggal Nazeela. Bahkan ayam jantan pun belum berkokok. Akan tetapi, tidak menjadi halangan bagi gadis tersebut untuk bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju kamar mandi. Meski di luar terdengar curah hujan yang cukup deras, tak membuat langkah Nazeela surut. Dia sudah terbiasa bangun pukul tiga dini hari. Mengambil peralatan mandi yang tergantung di pintu dapur, dia bermaksud membersihkan diri dan berwudhuk, lalu mengerjakan sholat sunnah tahajud.

Kebiasaan sholat malam sudah dia lakukan sejak kecil. Dulu, saat sang ibu belum bekerja pada Farah dan Suaminya, Ibu Nazeela mencari nafkah dengan berjualan kue-kue basah yang dititipkan ke warung dan sebagian lagi dijual sendiri ke pasar. Sejak dini hari Nazeela kecil sudah terbiasa membantu sang ibu mengolah bahan-bahan mentah menjadi aneka kue. Sebelum membantu, dia selalu menyempatkan sholat sunnah tahajud dua rakaat. Menurut ibunya, di saat itulah waktu yang mustajab meminta rahmat dari Yang Maha Kuasa. Kebiasaan itu masih berlanjut hingga dia dewasa.

Setelah menunaikan sholat dua rakaat dan melirihkan doa, agar Rabb-nya memberikan ketenangan pada hati yang sedang gelisah--mau tidak mau, permintaan Farah dan ucapan Fairuz mengusik hatinya, membuat tidur si gadis tak lena--Nazeela bergerak ke dapur untuk membuat sarapan bagi ibu dan adiknya Hasan. Nasi goreng pedas dan telur dadar menjadi pilihannya, selain itu dia juga membuat bubur dari dua sendok kacang hijau yang sudah digiling halus menjadi bubuk. Menambahkan sedikit santan instan, gula merah, vanili, garam, dan daun pandan agar aroma bubur menjadi wangi.

Setelah semuanya siap, Nazeela bergerak ke kamar sang adik. Mengetuk pintu kamar pelan seraya memanggil nama Hasan, tetapi lima menit mengetuk tak ada jawaban dari dalam. Gadis itu mengira pemuda tersebut sedang mengerjakan sholat subuh, hingga dia bergerak ke kamar sang ibu.

"Ibu sudah bangun?" sapa Nazeela, lembut. Melihat wanita yang melahirkannya itu sudah bangun dan duduk di pinggir ranjang sambil menjuntaikan kaki.

"Sudah. Ibu mau sholat subuh dulu, bantu Ibu ke kamar mandi."

Nazeela segera membantu sang ibu. Menutunnya menuju kamar mandi dan membantu mengambilkan air agar wanita tersebut bisa berwudhuk. Sejak radang paru-parunya kambuh, sang ibu tak bisa bekerja seperti biasa. Bahkan untuk berjalan pun kesusahan. Praktis dia mengandalkan Nazeela untuk membantu.

Nazeela membentangkan sajadah menghadap kiblat, lalu menuntun sang ibu duduk di atasnya. Wanita dengan tubuh kurus itu sholat dengan cara duduk, tidak masalah karena Tuhan tahu niat hambanya untuk menyembah. Selama nyawa masih di kandung badan, bagaimanapun cara kita beribadah akan diterima. Tak sanggup berdiri, duduk, tak mampu duduk maka lakukan dengan tidur, tak sanggup tidur gunakan isyarat mata. Begitu banyak cara Tuhan mempermudah hamba dalam menyembah-Nya.

Nazeela membuka jendela kamar sang ibu. Percikan semburat mentari mulai terbit di ufuk timur, menampilkan cahaya merah jambu bergradasi dengan langit yang masih mendung, meski hujan telah teduh beberapa saat yang lalu. Sepertinya sang surya telah bangun dari lelapnya dan bersiap naik ke singgasana.

"Nak, adikmu kenapa ngga pulang semalam?"

Pertanyaan sang ibu membuat dahi Nazeela berkerut. "Masa, sih, Bu? Aku tadi ngetuk kamarnya mau bangunin subuh. Emang ngga ada jawaban. Kupikir dia lagi sholat."

"Coba kamu lihat. Biasanya, semalam apa pun dia pulang, pasti nyempatin buat tengok Ibu di kamar. Semalaman perasaan Ibu ngga enak, entah apa yang terjadi."

"Iya, aku lihat ke kamar, Hasan dulu," ujar Nazeela.segera beranjak ke luar kamar sang ibu.

Belum sampai di pintu kamar Hasan, ponsel Nazeela yang diletakkan di atas meja, berdering. Gadis itu mengernyit melihat nomor asing yang tertera di layar. Ingin dia mengacuhkan, tetapi jarinya malah menekan tombol hijau untuk menerima panggilan.

"Assalammualaikum?"

"Waalaikumsalam. Bisa bicara dengan keluarga Hasan Fhadila?"

Nazeela meraba dadanya yang mulai berdebar. Sebuah firasat buruk segera bertandang ke hatinya.

"Iya, saya kakak Hasan. Ada apa, ya?"

"Kami dari Kepolisian. Adik Anda mengalami kecelakaan tunggal di jalan raya tadi malam. Sekarang beliau ada di rumah sakit. Silahkan datang melihat keadaannya."

Satu tangan  Nazeela gemetar memegang ponsel, sementara tangan yang lain membekap mulutnya menahan tangis agar tidak pecah dan didengar sang ibu. Dia tak ingin menambah beban pikiran wanita itu dan memperparah sakitnya. Gadis itu mendengarkan dengan seksama alamat di mana Hasan dirawat.

*

Nazeela mencoba tetap tenang di hadapan sang ibu, meski pikirannya tengah melayang memikirkan keadaan sang adik. Setelah membantu membersihkan tubuh ibunya dan menyuapi sarapan, gadis itu mengganti baju dengan gamis dan kerudung instan berwarna hitam.

"Bu, aku keluar sebentar. Ada yang mau aku urus," pamitnya pada sang ibu.

"Ke mana? Lalu, Hasan udah pulang, belum?"

Nazeela meneguk ludahnya pelan. "Sudah, tapi dia pergi lagi. Ada janji sama temennya."

Bergetar Nazeela menjawab pertanyaan sang ibu. Ini adalah kali pertama dia berbohong pada wanita tersebut. Entah apa yang terjadi jika beliau tahu keadaan Hasan. Dia bergerak meraih tangan ibunya dan mencium dengan takzim. Saat hendak melepaskan, sang ibu menahan sebentar seraya menatap lekat mata putrinya itu.

"Nak, apa pun yang terjadi, ingatlah satu hal. Tetap berjalan di atas kebenaran. Jangan korbankan dirimu untuk sesuatu yang tidak akan membuatmu bahagia. Ibu akan selalu menyayangimu. Ibu ridho padamu, Nak."

Entah mengapa mendengar ucapan sang ibu, membuat air mata Nazeela jatuh begitu saja. Ada haru yang menyusup ke relung. Ucapan beliau bak embun pagi yang menyegarkan, hingga rasanya gundah yang semalam bertandang perlahan teredam. Tangan ringkih wanita itu memeluk putrinya erat, seolah tidak akan pernah bisa melakukan hal itu lagi.

"Pergilah, nanti kamu telat," suruh sang ibu sambil melerai pelukannya.

Nazeela mengangguk perlahan. Meraih dompetnya yang ada di atas meja, lalu mencium pipi sang ibu bergantian kiri dan kanan. Sebelum menghilang dari ambang pintu kamar ibunya, gadis itu masih sempat melihat ke belakang dan melihat senyum wanita itu melengkung sempurna.

*

Langkah Nazeela gegas menyusuri lorong rumah sakit mencari keberadaan sang adik. Setelah bertanya pada bagian informasi tentang korban kecelakaan semalam, gadis itu di arahkan ke ruang ICU, di mana Hasan sedang ditangani oleh dokter.

"Apa yang terjadi, Pak? Di mana adik saya?" Beruntun pertanyaan itu diajukan Nazeela pada dua orang yang berseragam polisi yang berdiri tepat di depan kamar ICU.

Salah seorang polisi yang sedikit berumur menatap Nazeela. "Anda Kakak Hasan Fadhila?

Nazeela mengangguk. "Bagaimana keadaan adik saya?"

"Adik Anda sepertinya ceroboh dalam berkendara. Dia mengemudikan motor dengan kecepatan tinggi, hingga menabrak pohon. Selain itu dia juga menyebabkan kecelakaan beruntun yang menewaskan seorang pengemis yang sedang tidur di emperan toko," jelas polisi tersebut.

Seketika tubuh Nazeela lemas, seolah kehilangan kekuatannya, hingga harus ditopang satu orang polisi yang lebih muda. Dia mendudukkan gadis itu di kursi yang ada di depan ruang ICU.

"Adik saya ... bagaimana?" lirihnya dengan suara bergetar.

Polisi yang lebih tua menghela napas perlahan. "Saat ini dia dalam keadaan sadarkan diri. Jika diperlukan dokter menyarankan untuk melakukan operasi secepatnya."

Nazeela membekap wajahnya kuat. Darimana  dia mendapatkan biaya operasi, sedangkan untuk membayar sewa rumah saja masih menunggak tiga bulan. Kepala gadis itu seolah ditusuk ribuan jarum, membuat tubuhnya semakin lemah tak bertulang. Belum sempat dia berpikir jernih, ponselnya kembali berdering, menampilkan nama tetangga persis di depan rumahnya. Jantung Nazeela berdetak lebih kencang, ingatannya langsung melayang pada sang ibu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Nazeela cepat pulang! Rumahmu kebakaran!"

Detik itu juga, gadis itu melihat dunia runtuh tepat di hadapan. Ponsel yang dia genggam jatuh begitu saja, mengabaikan suara di seberang sana yang terus memanggil namanya. Kelopak matanya perlahan terpejam, terbayang senyuman sang ibu di sana, seolah mengucapkan selamat tinggal

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status