Fairuz masih bertahan di dalam mobil, meski dia telah berada di pekarangan rumah. Pikiran pria itu masih berkelana, mengingat permintaan Nazeela. Dia pikir akan sangat mudah meminta gadis dua puluh tahun itu menjadi istrinya.
Melihat dari keadaan ekonomi Nazeela yang senin-kamis, apalagi sejak sang ibu tak bisa lagi bekerja. Jika, tidak dibantu oleh Farah, mungkin keluarga si gadis akan selalu kesusahan setiap hari. Keadaan si ibu yang sakit-sakitan, membuat Nazeela harus menggantikan pekerjaan beliau sebagai asisten rumah tangga di rumah mereka.Fairuz ingat saat pertama Farah membawa gadis tersebut dua tahun yang lalu. Kala itu, Nazeela baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Wajahnya cantik, dengan tulang hidung tinggi, serta alis tebal menaungi mata indahnya yang menyorot teduh.Tanpa bisa dicegah hatinya menyayangi Nazeela. Hanya sebatas itu. Gadis tersebut dia anggap seperti adiknya sendiri. Seperti apa Farah memperlakukan Nazeela, seperti itu pula dirinya. Fairuz selalu menjaga jarak dari si gadis. Bukan apa-apa, dia seperti sebuah godaan empuk bagi kesetiaannya. Apalagi bagi pria seusia dirinya yang menginjak kepala empat. Nazeela seperti bunga yang baru saja mekar, dia menguarkan wangi semerbak yang bisa melemahkan iman pria.Pernah Fairuz tergoda untuk memperhatikan Nazeela lebih intens. Akan tetapi, akal sehatnya selalu mengingatkan jika hal tersebut adalah rayuan setan yang akan membutakan hatinya. Lagipula dia tak mau mengkhianati pernikahannya dengan farah, wanita yang sangat dia cintai. Fairuz tak mau tergelincir pada kemaksiatan yang merupakan napsu sesaat. Begitu banyak contoh para sahabatnya yang berselingkuh atau menikahi wanita lain secara siri, meski ada yang memilih untuk berpoligami dengan ijin istri sah, tetapi dia tak ingin menjadi salah satu dari mereka.Fairuz masih memiliki nurani dan pertahanan diri yang cukup kuat. Pria itu tak ingin menyakiti Farah, yang sudah lima tahun menemaninya mengarungi bahtera rumah tangga. Dia adalah wanita yang sangat baik. Demi menikah dengannya, dia rela meninggalkan karir modelingnya yang sedang melesat. Dia juga tak pernah melakukan kesalahan selama berumah tangga. Farah, istri yang sangat patuh dan sholeha. Dia selalu menuruti apa yang dipinta oleh sang suami. Farah yang awalnya seorang mualaf, begitu giat mempelajari islam, hingga dalam beberapa tahun terakhir, setiap ramadhan datang, wanita tersebut selalu khatam membaca Al-Quran.Fairuz tak sanggup melihat air mata di pipi istri sebaik Farah. Karena itu dia selalu menjaga diri dari hal-hal yang akan menyebabkan hatinya goyah. Tak lupa pria itu melangitkan doa agar Dia melindungi rumah tangganya dari segala bala bencana.Sepertinya doa-doa yang selalu Fairuz rapalkan tak sesuai dengan keinginan sang istri. Satu minggu yang lalu, setelah dia dan Farah selesai mengerjakan sholat malam, sang istri menyerahkan sebuah surat keterangan dari dokter, yang menyatakan jika Farah akan sangat sulit mengandung. Vonis itu menghancurkan harapan Fairuz. Dengan air mata yang meluncur jatuh ke pipi, sang istri mengijinkan pria itu menikah lagi. Agar keturunan keluarganya tidak terputus.Semula Fairuz menentang keras keinginan sang Istri, tetapi begitu Farah menyebut nama Nazeela, pria itu seketika diam. Dia tidak tahu bagaimana menanggapi permintaan wanita tersebut. Jauh di lubuk hati dia sangat bahagia, sebab menemukan sebuah jalan keluar dari permasalahannya, tetapi di sisi lain, ada rasa iba melihat keadaan sang istri, yang dia tahu, meski Farah berkata ikhlas, tetapi sorot matanya jelas menyiratkan luka mendalam. Yang bisa dilakukan Fairuz hanya membawa sang istri ke dalam pelukkan dan menenangkannya.*Ketukan di kaca mobil membuyarkan ingatan Fairuz yang terlempar ke beberapa hari yang lalu. Pria tersebut menoleh dan melihat Farah sedang tersenyum ke arahnya di bawah curah hujan yang cukup deras. Rupanya wanita itu berinisiatif menjemputnya yang bertahan di dalam mobil."Kenapa susulin aku, Sayang?" tanya Fairuz, seraya mengambil alih payung yang dipegang Farah, dia merengkuh bahu sang istri lebih rapat padanya agar tak terkena tetesan hujan.Farah tersenyum, sambil memeluk pinggang sang suami dan menyandarkan kepalanya ke dada bidang Fairuz."Aku lihat mobil Abang udah di pekarangan, tapi Abang belum keluar juga. Kupikir markir mobilnya kejauhan, jadi aku jemput aja. Kasihan kalau kehujanan. 'Kan Abang paling ngga bisa kena hujan, ntar asmanya kambuh."Fairuz semakin mempererat dekapannya pada Farah. Ada rasa bersalah karena tadi bertemu dengan Nazeela tanpa seijin sang istri dan parahnya memaksakan sebuah rencana pada si gadis. Pria itu menuntun sang istri menembus hujan dengan pikiran yang terbagi antara Farah dan Nazeela*Nazeela berkali-kali beristigfar, memohon ampun atas permintaannya beberapa waktu yang lalu. Gadis itu tidak tahu apa yang merasuki dirinya, hingga meminta hal seberat itu pada Fairuz. Dia akui, sangat mengagumi sosok Fairuz yang terlihat begitu bijak. Pria itu mampu memberikan rasa aman layaknya seorang kakak. Pembawaannya yang sopan dan lemah lembut kepada sang istri, membuat Nazeela mengangankan memiliki suami seperti pria itu.Namun, permintaan Fairuz tadi siang, mematikan rasa kagum itu. Pria itu tanpa perasaan menawarkan sebuah pernikahan semu demi kepentingan dirinya sendiri dan semua dia lakukan semata-mata karena cintanya pada sang istri. Sempat iri serta dengki menebar benih di hati gadis tersebut, tetapi cepat dia menyadari jika semua itu adalah hasutan setan yang hendak menyesatkannya.Akal sehat memukul keras logika Nazeela. Gadis itu tak ingin menghancurkan hati Farah dengan menjadi madu wanita baik itu, meski dia sendiri yang meminta. Umurnya baru dua puluh tahun. Masih banyak yang ingin dicapainya. Lagipula Nazeela sangat tahu bagaimana sakitnya hidup dan tumbuh di keluarga yang menganut poligami. Ibunya adalah contoh gagal dari syariat tersebut. Pengetahuan agama almarhum sang ayah yang tidak mengerti bagaimana seharusnya poligami dilakukan, membuat sang ibu tidak diperlakukan adil. Si ayah yang lebih condong kepada istri kedua, yang lebih muda dan kaya, membuat hak sang ibu dan dirinya terabaikan.Bertahun-tahun Ibu Nazeela menahan penderitaan tersebut. Sang ayah hanya mengunjungi mereka sebulan sekali, itupun hanya setahun saja, karena di tahun-tahun berikutnya, hanya sambungan telepon yang menjadi pengingat, jika si gadis masih memiliki seorang ayah.Tujuh tahun kemudian, tepat diulang tahun Nazeela yang ke sebelas tahun, sang ayah pulang ke rumah dengan keadaan yang menyedihkan. Dia membawa seorang anak laki-laki bernama, Hasan. Ayahnya bercerita jika Hasan adalah adiknya dari wanita lain. Kedatangan sang ayah untuk memohon maaf pada sang ibu dan berniat untuk hidup bersama kembali. Nazeela menolak kehadiran sang ayah. Dia merasa tidak pernah diperhatikan selama bertahun-tahun, diabaikan haknya, dan tak dianggap sebagai anak. Dia tidak pernah membutuhkan sosok ayah, karena tanpa dia, Nazeela merasa baik-baik saja.Namun, Ibu Nazeela adalah wanita dengan hati yang lapang. Maafnya seluas samudera untuk sang suami, meski harus mengurus pria yang kembali dalam keadaan sakit parah, dan membawa tanggungan seorang putra, dia ikhlas menerima. Dua tahun kemudian, pria itu meninggal di dalam pangkuan sang ibu, setelah berjuang melawan kanker paru-paru yang menggerogoti tubuhnya.Azan magrib mengejutkan Nazeela. Dia mengusap wajahnya dan beristigfar, memutus serabut ingatan tentang masa lalu yang pahit dan kelam yang tadi telah terhubung sempurna. Dia memohon ampun karena terus mengingat kekhilapan sang ayah, tak ingin kesedihannya menjadi pemberat di dalam kubur pria tersebut.*"Makan dulu, Bu." Nazeela membawa semangkuk bubur nasi yang masih mengepulkan uap panas.Hampir dua tahun wanita paruh baya tersebut tak mampu lagi mengerjakan pekerjaan berat, hingga semua pekerjaannya digantikan oleh Nazeela. Gadis itu meletakkan mangkok yang dibawanya di atas meja kayu yang berada persisi di samping ranjang kayu sang ibu. Perlahan membantu wanita yang telah melahirkannya itu duduk, lalu menumpuk beberapa bantal di kepala ranjang, agar sang ibu bisa bersandar."Ada apa, Nak?" tanya sang ibu yang melihat Nazeela termenung sambil mengaduk-aduk bubur di atas meja.Nazeela tergagap. Dia mencoba menutupi dengan mengutus senyum, tetapi gagal. Karena yang terlihat adalah ringisan."Cerita sama ibu, apa yang terjadi," desak ibunya, lagi.Nazeela meraih bubur dan meletakkan di pangkuannya. Mengambil satu sendok, lalu meniupnya perlahan."Menurut Ibu, poligami itu bagaimana?" tanyanya pelan seraya menyuapi sang ibu.Wanita itu diam sejenak. Dia menghidu bubur yang disodorkan sang putri. Tercium aroma kaldu yang kuat, hingga menggugah selera. Dia membuka mulut dan menelan perlahan bubur yang masuk, sambil memikirkan jawaban untuk pertanyaan sang putri. Sang ibu sudah memiliki firasat jika Nazeela pasti akan bertanya hal seperti itu, karena tanpa sengaja dia mendengar pembicaraan gadis tersebut dengan Farah, mantan majikannya.Sang ibu membelai lembut pipi anak gadisnya, sambil tersenyum. "Nak, poligami itu syariat. Siapa pun pria boleh melakukannya, asal dia punya kemampuan. Entah itu harta, ilmu, dan yang paling penting, mampu berbuat adil. Akan tetapi, jika masalah hati, siapa pun orangnya tidak ada yang akan bisa adil, apalagi jika salah seorang istri mampu membuat dia nyaman. Tentu istri yang lain akan merasa cemburu, dan itu wajar.""Jadi, apakah poligami itu buruk, Bu?"Sang ibu menggeleng pelan. "Tidak, hanya orang-orang tertentu yang mampu melakukannya, yang paham dengan syariat agama, sabar, dan percaya jika Tuhan akan memberikan balasan atas keikhlasannya."Nazeela terdiam mendengar penjelasan sang ibu. Tentu saja hati gadis membenarkan. Begitu banyak pria di luar sana yang menjadikan poligami sebagai pembenaran agar mereka bisa menikah lagi, tetapi bukan karena mengikuti syariat. Namun, lebih sering didasari napsu. Lagipula dia terlalu muda dan berharga menjadi istri kedua, bukan?Suasana masih sepi di sekitar tempat tinggal Nazeela. Bahkan ayam jantan pun belum berkokok. Akan tetapi, tidak menjadi halangan bagi gadis tersebut untuk bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju kamar mandi. Meski di luar terdengar curah hujan yang cukup deras, tak membuat langkah Nazeela surut. Dia sudah terbiasa bangun pukul tiga dini hari. Mengambil peralatan mandi yang tergantung di pintu dapur, dia bermaksud membersihkan diri dan berwudhuk, lalu mengerjakan sholat sunnah tahajud. Kebiasaan sholat malam sudah dia lakukan sejak kecil. Dulu, saat sang ibu belum bekerja pada Farah dan Suaminya, Ibu Nazeela mencari nafkah dengan berjualan kue-kue basah yang dititipkan ke warung dan sebagian lagi dijual sendiri ke pasar. Sejak dini hari Nazeela kecil sudah terbiasa membantu sang ibu mengolah bahan-bahan mentah menjadi aneka kue. Sebelum membantu, dia selalu menyempatkan sholat sunnah tahajud dua rakaat. Menurut ibunya, di saat itulah waktu yang mustajab meminta rahmat dari Yan
Mega kembali mencurahkan rinai, langit pun masih mendung dinaungi awan kelabu, meski waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Di depan sebuah rumah berlantai dua, dipasang bendera hitam tanda sang pemilik tengah berduka. Para wanita sibuk menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah yang terbujur kaki di atas dipan kayu di ruang tamu, sedangkan para lelaki memasang tenda dan menyusun kursi untuk para pelayat.Nazeela terlihat bersandar di dinding rumah seraya menatap nanar ke arah jenazah sang ibu yang tertutup kain panjang. Mata gadis tersebut sembab karena tak berhenti mengeluarkan air mata sejak pagi. Kebakaran yang melahap habis rumahnya menewaskan sang ibu yang berusaha keluar dari kepungan api. Beberapa tetangga sempat menyelamatkan Ibu Nazeela, tetapi malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Wanita tersebut mengembuskan napas di rumah sakit setelah terlalu banyak menghirup asap dan terkena serangan jantung tiba-tiba."Zee, waktunya memandikan Ibu." Farah menyentuh lemb
Malam semakin menua. Semesta terdengar amat sunyi. Sepertinya air yang tercurah dari mega tadi sore menciptakan udara dingin yang lelapkan semua makhluk. Terkecuali Nazeela. Dari tadi mata gadis itu tak mau terpejam. Pikirannya menerawang memikirkan keadaan Hasan. Ingin ke rumah sakit, tetapi ditahan oleh Farah. Wanita itu mengatakan, telah mengutus salah satu pegawainya untuk melihat keadaan sang adik. Namun, sampai dini hari belum ada kabar terdengar. Nazeela bergerak membuka ransel berwarna coklat yang sudah terlihat lusuh. Gadis itu mengeluarkan beberapa lembaran #kertas dan foto hitam putih. Bergetar jemarinya meraih kertas yang sudah menguning. Membaca kata per kata yang tertulis di sana. Haru menyulut panas di matanya, mendorong bulir bening jatuh di pipinya. Pikirannya melayang pada kebiasaan almarhum sang ibu. Setiap gadis itu berulang tahun, beliau menuliskan harapan dan doa di secarik kertas, kemudian meletakkan di bawah bantal Nazeela, agar saat pagi menjelang sang putri
Satu minggu telah berlalu. Keadaan Hasan perlahan membaik. Remaja itu telah melewati masa kritisnya, meski belum sadar sepenuhnya. Hampir setiap hari Farah menemani Nazeela di rumah sakit, lalu pulang di sore hari setelah dijemput Fairuz. Wanita itu terlihat semakin kurus dan pucat. Namun, selalu menutupi bibirnya dengan lipstik berwarna terang. Akan tetapi, Farah tak bisa mengelabui mata Nazeela, meski tak sedarah, tetapi dia tahu ada yang tidak beres pada wanita tersebut."Kak, sebaiknya kakak istirahat. Ngga usah paksain ke sini, aku ngga papa."Farah tersenyum dan menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja, kamu ngga usah khawatir gitu."Nazeela menganjur napas perlahan. "Kakak mungkin bisa bohongin orang lain, tapi aku ngga. Kapan terakhir Kakak kemo dan minum obat?"Farah diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Wanita itu melarikan pandangannya ke arah Hasan yang terbaring diam di atas brankar rumah sakit."Kapan dia akan bangun?" tanya Farah mencoba menghindari pertanyaan Nazeela.
Nazeela setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit. Dia baru saja mendapat kabar dari Fairuz jika Farah kolaps. Akhirnya, apa yang ditakutkan gadis itu terjadi juga. Akan tetapi, dia tidak mengerti mengapa harus secepat itu. Siang, Farah masih baik-baik saja, meski tadi sore ponsel wanita itu tidak aktif saat dia mengabarkan keadaan Hasan."Bang ..."Gadis itu memanggil lirih Fairuz yang menatap kosong ke arah pintu ICU, di mana Farah dirawat. Wajah pria itu terlihat kusut dan kacau. Dia bahkan tak menyadari keberadaan Nazeela di sampingnya, seolah larut dengan kesedihannya.Nazeela tak tahu harus bagaimana membesarkan hati pria tersebut. Jauh di relung, dia juga terpukul mendengar keadaan Farah. Terbayang hari-hari bersama wanita itu. Betapa Farah tak pernah memperlihatkan sakitnya. Bibirnya selalu mengembangkan senyum tulus, yang mampu menularkan bahagia kepada orang-orang di sekitar. Juga semua celotehnya yang memancing tawa. Dada gadis itu dibekap rasa penyesalan, mengapa dia
Fairuz menutup pintu mobil pelan. Langkah pria tersebut gontai masuk ke rumahnya. Semalaman dia menenangkan diri ke tepi pantai, menatap kerlap-kerlip lampu dari perahu para nelayan. Cahaya di tengah laut itu seperti barisan kunang-kunang yang menari di kanvas langit malam. Begitu larut dengan pikirannya, hingga dia tertidur semalaman di sana, sepoi angin laut semakin melenakan Fairuz ke alam mimpi. Melupakan sejenak kenyataan yang terpampang di depan mata dan berharap esok pagi bangun di atas tempat tidur sambil memeluk istri tercinta.Namun, pria itu harus kembali merasakan denyut ngilu di dada, ketika harapan itu hanyalah pepesan kosong. Nyatanya, dia terbangun karena teriknya sinar mentari yang menebus kaca mobil yang dilapisi filter."Dari mana kamu?"Fairus menghentikan langkahnya ketika mendengar teguran dari seorang wanita, yang sangat dia hafal suaranya. Pria itu berhenti, sejenak guna menganjur napas perlahan sebelum berbalik. Dia yakin akan terjadi perdebatan seperti biasa
Fairuz mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sesekali membunyikan klakson untuk meminta jalan pada kendaraan yang ada di depan. Jika memungkinkan dia menyalip kendaraan tersebut, membuat Kinaya harus berpegangan erat pada jok mobil. Wanita itu memutuskan ikut dengan Fairuz. Dia penasaran kabar apa yang tadi disampaikan oleh Nazeela.Tadi, Fairuz memutuskan sambungan telepon begitu saja tanpa mendengar penjelasan dari Nazeela. Kinaya yang merupakan sahabat pria tersebut berinisiatif mendampinginya. Bukan apa-apa, dia takut Fairuz kehilangan kendali dan melakukan sesuatu yang merugikan, tidak hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain."Ke mana lagi?" tanya Ratmi yang melihat Fairuz berlari menuruni tangga menuju pintu keluar, membuat pria itu menghentikan langkahnya dan menatap wanita yang rambutnya telah ditumbuhi #uban."Aku ke rumah sakit dulu. Terjadi sesuatu, Ibu ikut?" Alih-alih menjawab. Ratmi malah meneruskan bacaannya sebagai isyarat menolak ajakan Fairuz."Fai, jang
Nazeela menatap sepasang ibu dan anak di hadapan. Kedua orang itu terlihat saling menyayangi. Anak perempuan--yang sepantaran dengannya--begitu telaten menyuapi sang ibu yang duduk di atas kursi roda. Sesekali dia membersihkan sudut bibir ibunya dengan saputangan. Senyum merekah di bibir keduanya. Sorot teduh sang ibu mengingatkan Nazeela pada sosok ibunya.Makam sang ibu masih merah, tetapi cobaan tak jemu bertandang mempermainkan takdirnya. Sejak kepergian wanita itu, air mata seolah betah jatuh di pipinya. Andai saja gadis itu tidak memiliki iman yang kuat, mungkin saja saat ini dia sudah masuk dalam deretan gadis frustasi. Namun, dia selalu menegarkan diri, berpegang teguh pada keyakinan jika Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya."Jangan ngelamun, ngga baik." Suara Dru membuyarkan lamunan Nazeela tentang sang ibu. Gadis itu memalingkan wajah hendak menyembunyikan air yang tergenang di kelopak matanya."Aku boleh duduk di sini?" Nazeela meng