Share

Permintaan

Nazeela meremas tali selempangnya kuat. Langkah gadis itu berhenti tepat di pintu masuk restoran. Dia menggigit bibir bawahnya seraya menimbang perlu tidaknya menemui seseorang yang sedang menunggu di dalam restoran. Menghela napas perlahan dan menutup kelopak mata, dia melafalkan basmalah dalam hati. Menguatkan diri agar nanti kuat mendengarkan apa yang ingin dibicarakan sosok di dalam sana.

Nazeela memanjangkan lehernya. Mata gadis itu celingukkan melihat ke sekeliling restoran. Pada satu titik, matanya menangkap lambaian tangan seorang pria padanya. Gadis itu berjalan perlahan mendekati pria tersebut. Senyum mengembang terukir di wajah tampan yang selalu mengingatkannya pada seseorang.

"Aku senang akhirnya kamu datang," sapa pria itu sumeringah, seraya bangkit dari kursi dan mengulurkan tangan.

Nazeela tersenyum canggung sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada, membuat sang pria menarik tangannya kembali.

"Maaf, Bang. Apa yang mau dibicarakan?"

Pria itu tersenyum. "Duduklah. Lebih baik kita makan dulu, aku tau kamu pasti lapar 'kan?"

"Aku tidak lapar. Sebaiknya Bang Fairuz langsung saja," pinta Nazeela sambil menghenyakkan bokongnya ke kursi restoran, hingga keduanya berhadapan.

Pria bernama Fairuz tersebut menganjur napas pelan. "Apa Farah sudah bicara padamu?" tanyanya pelan, terkesan hati-hati.

Dahi Nazeela berkerut mendengar pertanyaan Fairuz. Hatinya mulai menerka, jika apa yang akan dibicarakan pria itu tentang permintaan Farah.

"Tentang apa?" Nazeela mencoba berkelit. Sungguh hatinya mulai merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan Fairuz.

"Farah memintaku menikah denganmu, Dek ..."

Begitu ringan Fairuz mengucapkan kata-kata tersebut, seolah apa yang dia ucapkan adalah hal yang biasa, membuat Nazeela hanya menatap tak berkedip pada pria berkulit putih tersebut.

"A-aku ngga ngerti apa maksud, Abang" lirih Nazeela setelah sadar dari keterkejutannya.

Fairuz pun mengangguk. "Aku juga ngga ngerti apa yang dipikirkan Farah. Dia berkata mungkin dengan menikah lagi, aku bisa memberikan cucu pada Ibu. Dia bilang kamu orang yang cocok untuk menjadi madunya."

Nazeela semakin tidak mampu berkata apa-apa. Pria itu menuturkan semua dengan gamblang. Gadis itu masih sangat muda untuk mengerti hal tersebut. Dia berusia dua puluh ahun dan baru saja meneruskan studi di sebuah universitas di kotanya. Gadis itu memiliki cita-cita untuk membahagiaan sang ibu, membuat wanita pemilik surganya itu bangga dengan keberhasilannya menjadi seorang sarjana.

"Maaf, Bang, Zee ngga bisa?" tolak gadis itu lirih.

Dahi Fairuz berkerut. "Aku juga tidak menyetujuinya. Itu adalah ide tergila yang pernah kudengar. Apalagi aku tak pernah mempermasalahkan soal anak. Selama ini kami sudah sangat bahagia," tutur Fairuz blak-blakan.

"Lalu, apa maksud Abang ingin bertemu denganku?" tanya nazeela tak mengerti.

"Begini." Fairuz menegakkan punggungnya, "aku ingin kamu menolak ide gila itu. Aku tidak peduli seberapa keras Farah meminta, yang jelas aku tidak akan pernah menduakan dia."

"Harusnya Abang yang mengatakan itu pada, Kak Farah."

Fairuz mengusap kasar wajahnya. "Kamu tau gimana sifat Farah. Kalau dia ingin sesuatu pasti akan dia lakukan. Jadi, sekarang kuncinya sama kamu. Kamu harus tolak ide gila itu."

Nazeela mengangguk. "Aku sudah menolaknya, Bang. Tapi, Kak Farah terus mendesak."

Fairuz terdiam dengan dahi berkerut. "Apa Farah mengatakan alasan lain  padamu?"

Nazeela diam sejenak. "Kak Farah hanya mengatakan tak ingin melihat Abang terus-terusan bersedih karena harus berada di antara dia dan Ibu."

"Apa itu benar?" Fairuz mencoba meyakinkan dirinya dengan bertanya kembali. Pria itu menghela napas perlahan melihat anggukan sang gadis. Dia mencoba menerka maksud Farah memintanya menikah lagi. Mungkin istrinya itu merasa tertekan dengan tuntutan sang ibu. Sebuah ide gila melintas di benak Fairuz.

"Kalau memang seperti itu, sebaiknya kamu turuti saja keinginan Farah," putus Fairuz setelah berpikir cukup lama.

"Apa abang sadar sama ucapan Abang?" Suara Nazeela sedikit bergetar mendengar kalimat yang meluncur dari bibir sang pria.

Fairuz menjawab dengan cepat. "Aku sangat sadar."

"Tapi, bukankah tadi Abang sendiri yang menolak, lalu bagaimana dengan Kak Farah? Abang tega menduakannya?" Kali ini suara Nazeela terdengar sedikit meninggi. Untung saja Fairuz memilih tempat duduk di pojok restoran dekat dengan jendela. Jarak yang sedikit jauh dari meja-meja yang lain, membuat mereka tidak menjadi perhatian publik kerena suara keras si gadis.

"Farah yang mengusulkan agar aku menikah denganmu. Dia bilang, kamu adalah calon yang pas untuk jadi madunya." Fairuz berdalih. "Lagipula, ini bukan pernikahan yang seperti kamu pikirkan. Hanya agar Ibu tidak terus-terusan mendesak Farah. Aku tidak suka setiap kali beliau menyudutkannya hanya karena masalah anak."

"Dan Abang memilih mengorbankanku?!" sengit Nazeela. Sungguh gadis itu tidak mengerti apa yang dipikirkan si pria.

"Aku harus bagaimana? Aku melihat sendiri bagaimana Ibu terus memojokkan Farah di setiap pertemuan kelaurga, meski terlihat sabar menghadapi cercaan keluarga besarku, tapi aku tau dia sangat menderita. Jika dengan menikah lagi akan membuat desakan itu berhenti, maka aku akan melakukan untuknya. Kumohon kamu mau berkorban sedikit untuk kebahagiaan Farah."

Tatapan Fairuz melembut pada Nazeela. Gadis itu bisa melihat keputusasaan di sana. Ada rasa iba menyusup perlahan ke dalam hati melihat wajah frustasi pria tersebut. Tanpa bisa dicegah, matanya menikmati wajah sang pria. Fairuz sangat tampan dengan fitur wajah Arab-Jawa, mewarisi garis wajah kedua orang tuanya. Pun Farah, wanita itu sangat ayu dengan wajah oval dan lesung pipit di kedua pipinya, serta memiliki tinggi semampai dengan tubuh proporsional. Tentu saja, sebelum menikah dia berprofesi sebagai model. Perusahaan Fairuz yang bergerak di bidang periklan memakai Farah sebagai brand ambassodor. Di sanalah kedua insan tersebut jatuh cinta dan memutuskan menikah tanpa proses pacaran.

Keluarga Fairuz yang religius memberi pengaruh besar pada Farah. Perlahan wanita itu meninggalkan gaya pakaiannya yang terbuka. Menggunakan gamis dan hijab panjang yang menutupi tubuhnya. Dengan busana tertutup seperti itu, tidak mengurangi kecantikannya sama sekali. Seperti bintang yang menggantung di langit malam, Farah semakin bersinar dan benderang.

"Maaf, Bang ... aku benar-benar ngga bisa." Nazeela menundukkan pandangannya saat mengucapkan penolakan itu. Dia tak sanggup melihat kekecewaan untuk kedua kali, setelah kemarin melihat di mata Farah.

Terdengar embusan napas berat di depannya. "Pikirkan lagi, Zee, ini demi Farah. Dia hanya mempercayai kamu sebagai partner. Kamu yang tidak akan memonopoli jika menjadi madunya."

Mendengar kata-kata Fairuz, membuat gadis itu mengangkat pandangannya. "Kenapa Abang bisa seyakin itu?"

"Karena aku tau kamu tidak mencintaiku. Lagipula, aku tidak bisa mencintai wanita lain selain Farah," balas Fairuz cepat.

"Lalu bagaimana selanjutnya setelah aku setuju dengan ide ini? Apa aku akan benar-benar mendapatkan hakku sesebagai seorang istri?" tanya Nazeela lugas sekaligus penasaran. "Meski Kak Farah mengijinkan Abang menikah lagi, tapi aku tau, tak satu pun wanita di dunia ini yang rela berbagi, apalagi suami."

Fairuz menatap cangkir kopi yang sudah mendingin. Hening sejenak mengambil tempat di antara keduanya sesaat. Lalu, pandangannya naik ke arah Nazeela, lekat dan lama.

"Aku akan melakukan apa pun yang membuat Farah bahagia, karena aku ngga mau kehilangan dia. Farah mengancam akan menggugat cerai jika aku menolak ide tersebut," ujar Fairuz akhirnya dengan nada lemah.

Nazeela tertegun mendengar penjelasan Fairuz. Ada  denyut nyeri yang kala mengingat seseorang di tempat lain. Andai, sosok itu juga mencintai dirinya sebesar Fairuz mencintai Farah, tentu dia akan menjadi gadis paling bahagia di dunia.

"Aku ngga mau jadi tameng, Bang. Mungkin Abang dan Kak Farah perlu bicara dari hati ke hati sama Ibu Bang Fairuz, bukan ikut menyeretku dalam pusaran masalah kalian berdua," tolak Nazela tegas. Dia tak ingin mengorbankan dirinya hanya untuk sebuah pernikahan sandiwara. Lagipula dia juga takut terkena dampak di masa depan karena mempermainkan hubungan sakral tersebut.

"Aku akan membayar untuk itu."

Kalimat pendek yang diucapkan Fairuz seperti anak panah yang membidik dan meluncur tepat di jantung Nazeela. Gadis itu berdiri dengan cepat, hingga kursi bergeser ke belakang dan menimbulkan suara gesekan yang cukup keras.

"Aku memang miskin, Bang. Hidup dengan bekerja menjadi pembantu di rumahmu, tetapi bukan berarti Abang bebas merendahkanku. Sebaiknya cari saja wanita lain yang mau menuruti ide gila itu!"

Setelah memuntahkan ketersinggungannya, Nazeela gegas meninggalkan restoran itu diiringi tatapan penuh tanya dari pemgunjung restoran. Gadis itu tidak mengira, Fairuz yang dia pikir adalah pria bijak, mampu berpikir sepicik itu. Ternyata, tak cukup menilai orang lain dari luarnya saja.

"Nazeela, Tunggu!"

Gadis itu menoleh, dia tidak mengira Fairuz mengekori langkahnya keluar restoran. Pria itu menarik lengan yang kemudian ditepis kasar oleh si gadis.

"Maaf, aku ngga bermaksud seperti itu. Aku hanya bingung demgan permintaan Farah yang tiba-tiba. Delapan tahun menikah, tetapi baru kali ini dia memperlihatkan kelemahannya. Artinya, Farah sudah lelah dan aku ngga tega melihatnya seperti itu. Hampir setiap malam aku melihat dia menangis. Jika dengan menikah lagi adalah jalan terbaik yang bisa membuat Farah bahagia, maka aku akan mewujudkannya."

"Maaf, Bang. Kalau masalah keturunan, Abang bisa mengusahakan dengan cara medis. Bayi tabung misalnya. Sulit hamil, bukan berarti ngga bisa bukan?"  debat Nazeela memelankan nada suaranya.

"Tapi, kurasa Farah sudah kehilangan harapan, -karena itulah dia mengijinkan aku menikah lagi. Kurasa itu jalan terbaik untuk menyelamatkan rumah tangga kami dari rongrongan Ibu. Aku tak sanggup melihat dia terus-terusan bersedih. Percayalah, aku tidak akan menyentuhmu. Setidaknya, hati Farah akan lega dan mau kembali berusaha mengikuti program kehamilan. Setelah dia hamil aku akan menceraikanmu."

Nazeela tertegun mendengar ucapan Fairuz. Entah mengapa ada sedikit iri bercokol di gadis itu.

"Apa Kak Farah tau ide gila ini?"

Fairuz menggeleng lemah. "Dia pasti akan membenciku. Baginya pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Aku tak pernah berniat menduakannya, tetapi jika dengan menikah denganmu bisa mengembalikan semangat Farah, maka akan kulakukan, meski dengan cara seperti itu. Tenang saja, aku akan membayarmu sangat tinggi dan menjamin masa depan keluargamu," tutur Fairuz tanpa ada keraguan di nada suaranya.

Nazeela diam sejenak. Gadis itu mengalihkan menatap jalanan. Gerimis telah turun perlahan, orang-orang yang berlalu lalang mulai mempercepat langkah untuk memghindari rinai yang semakin deras. Ada yang menancap di relung hatinya, sesuatu yang membuat dadanya perih. Fairuz begitu mencintai Farah, hingga menyetujui pernikahan yang diajukan sang istri, lalu tanpa basa-basi mengutarakan ide gila tadi dan mengiminginya dengan lembaran rupiah. Nazeela tersenyum miris menyadari besarnya cinta pria itu pada Farah, membuat setan mengembuskan dengki ke hatinya. Setelah lama terdiam dan bergelut dengan egonya, dia kembali menatap si pria.

"Aku wanita biasa. Memiliki cemburu dan iri di dalam hati. Jika, Abang ingin  menikahiku, maka aku ingin menjadi satu-satunya. Ceraikan Kak Farah."

Fairuz hanya mampu menatap Nazeela dengan sorot terkejut. Dia tidak mengira gadis itu mengajukan syarat yang tidak dia duga sebelumnya. Sepi segera menyelimuti bersama dingin yang membelai tubuh keduanya, seiring rinai yang semakin deras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status