MasukPukul lima pagi Aryana bangun dari tidurnya. Aryana langsung mengompres matanya yang sembap akibat menangis semalaman. Setelah sembapnya berkurang, Aryana keluar kamar menuju dapur. Walaupun Albert menyakiti hatinya, sebagai seorang istri, Aryana tetap berbakti kepada suaminya dengan melakukan kewajibannya membuatkan makanan sang suami.
Bel apartemen berbunyi bertepatan dengan Aryana memasuki dapur. Aryana pun berbalik dan dengan langkah cepat menuju pintu dan membukanya.
“Kakek!” seru Aryana terkejut saat mendapati sosok Alvonso berdiri di depan pintu apartemen.
‘Apa yang Kakek lakukan di sini?’ pikir Aryana takut dengan dada berdebar cepat, dia takut Albert akan marah padanya, apalagi saat ini ada Narana di apartemen mereka. Jika Alvonso tahu, maka sudah dipastikan akan ada keributan di rumah mereka.
Alvonso tersenyum lebar. “Pagi, Aryana. Maaf aku datang ke sini pagi-pagi dan tidak memberitahumu,” ucapnya penuh kelembutan.
Aryana memaksakan senyum lebarnya, sebisa mungkin dia berusaha terlihat senang dengan kedatangan pria tua itu.
“Tidak apa-apa, Kek. Silakan masuk, Kek.” Aryana membuka pintu lebih lebar lagi.
Alvonso pun melangkah masuk.
Pandangan Alvonso menjelajah ke seluruh ruang tamu sambil berjalan menuju sofa dan duduk.
“Mana Albert?” tanya Alvonso.
“Mas Albert masih tidur, Kek. Sebentar ya, Kek, aku buatkan kakek minum,” ucap Aryana yang langsung pergi meninggalkan Alvonso setelah mendapatkan jawaban pria itu.
Akan tetapi, Aryana tidak pergi ke dapur untuk membuat minuman seperti yang dia katakan, melainkan pergi ke kamar Albert. Aryana mengetuk pelan pintu kamar Albert, takut suara ketukannya akan terdengar oleh Alvonso kalau dia mengetuknya dengan keras.
Aryana terus mengetuk pintu kamar Albert karena pria itu tidak kunjung membuka pintu. Sesekali Aryana menoleh ke belakang, takut Alvonso akan menyusulnya. Setelah cukup lama, akhirnya pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok Albert dengan wajah marah.
Aryana sudah bisa menebaknya, tapi kali ini dia tidak ingin berdebat. Sebelum Albert membuka mulut untuk memarahinya, Aryana lebih dulu mendorong pintu lebih lebar dan masuk ke kamar Albert, lalu menutup pintu rapat-rapat agar Alvonso tidak mendengar pertengkaran mereka.
“Apa yang kamu lakukan, hah?” teriak Albert murka dengan kelancangan Aryana yang tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa izin.
Aryana mengabaikan kemarahan Albert. Dibandingkan kemarahan Albert, saat ini lebih penting bagi mereka untuk membuat kesan yang baik di hadapan Alvonso.
Saat Aryana membuka mulut untuk memberi tahu kedatangan Alvonso, pandangannya tidak sengaja jatuh pada sosok Narana yang tidur di atas tempat tidur Albert. Selimut menutupi tubuh Narana hingga sebatas dada dengan bagian punggung tersingkap hingga sebatas pinggul, menunjukkan bahwa wanita itu tidak mengenakan pakaian di balik selimut.
Tanpa bertanya, Aryana tahu apa yang sudah dilakukan Albert dan Narana. Hatinya sakit, tapi dia tidak bisa meratapi kemalangannya karena Albert yang kembali membentak. Kali ini bentakan Albert diikuti dengan mencengkeram erat tangan Aryana.
“Keluar kamu dari kamarku! Bukankah sudah kukatakan jangan pernah masuk ke kamarku?”
Albert menyeret Aryana dan membuka pintu untuk mengusir Aryana dari kamarnya.
“Kakek datang,” jawab Aryana cepat sambil menahan sakit di tangannya akibat cengkeraman Albert yang begitu kuat.
Seketika gerakan Albert yang hendak membuka pintu terhenti. Dia menatap tajam Aryana, mencari kejujuran dari ucapan wanita itu.
“Kakek datang berkunjung,” ulang Aryana yang tahu arti dari tatapan Albert.
“Kamu jangan bohong padaku. Untuk apa Kakek datang ke sini pagi-pagi?” tanya Albert yang tentu tidak percaya pada ucapan Aryana. Dia tahu Alvonso menyayangi Aryana, dan Albert berpikir mungkin Aryana mengatakan nama Alvonso agar dirinya takut pada wanita itu.
Aryana menatap Albert dengan tatapan terluka. Bukan karena Albert tidak mempercayai ucapannya, tapi terluka karena Albert sudah berani berhubungan badan dengan wanita lain, meski itu pacar Albert sendiri.
“Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa melihatnya sendiri. Saat ini Kakek ada di ruang tamu,” ucap Aryana, nadanya penuh luka.
Setelah mengatakan itu, Aryana meningggalkan kamar Albert dan menuju dapur. Dengan menahan sesak di dada serta air mata yang menggenang, Aryana dengan cepat membuatkan minuman untuk Alvonso.
Aryana ke ruang tamu dengan nampan di tangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Maaf lama, Kek,” ucap Aryana seraya meletakkan minuman di hadapan Alvonso. “Dan maaf karena tidak bisa memberikan suguhan untuk kakek, soalnya kami belum belanja, Kek.”
“Tidak apa-apa.” Alvonso mengambil cangkir dan meminumnya perlahan.
Alvonso dapat memakluminya. Bagaimanapun mereka baru pindah kemarin.
Sementara itu, setelah kepergian Aryana, Albert membangunkan Narana yang masih tertidur pulas karena aktivitas mereka malam tadi, di mana mereka menghabiskan waktu hingga larut malam.
“Nara, bangun. Cepat bangun, Nara!” panggil Albert sedikit berteriak, panik dengan kedatangan Alvonso di pagi buta.
Narana yang merasa tidurnya terganggu pun bangun dengan wajah kesal. “Ada apa, Al? Kenapa membangunkan aku? Aku masih ngantuk.”
“Cepat bangun dan sembunyi. Kakekku ada di sini sekarang,” ucap Albert cepat seraya memunguti pakaian mereka yang berserakan di lantai.
“Apa?!” pekik Narana yang seketika terduduk, selimut yang menutupi dadanya merosot, menampilkan buah dada yang besar dan kencang. “Bagaimana bisa pagi-pagi kakekmu ke sini? apa Aryana yang memanggilnya?”
“Aku tidak tahu. Yang jelas sekarang kamu sembunyi dulu, berjaga-jaga kalau kakekku mungkin akan curiga dan datang ke sini.”
“Tapi aku harus sembunyi di mana, Al?”
Albert seketika terdiam. Benar. Di mana dia harus menyembunyikan Narana?
Argandara mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang meninggalkan kediaman Handaryana menuju Kala Rasa. Bayangan wajah pucat Aryana dan ucapan Alvonso terus terngiang di kepalanya. Beberapa kali Argandara menghela napas kasar untuk melonggarkan dadanya yang sesak.“Arga!” Nehan melambai kepada Argandara yang baru saja memasuki kafe.Argandara mengedarkan pandangan sebelum akhirnya dia menemukan sosok sang sahabat. Dengan langkah lebar Argandara menghampiri Nehan.“Sudah lama?” Argandara menarik dan menduduki kursi di hadapan Nehan.“Ya, lumayan. Lyla bilang katanya kamu baru berangkat ke kediaman Handaryana waktu aku datang.” Nehan mengernyit saat memperhatikan wajah Argandara. “Kenapa sama mukamu? Kok kusut begitu?”“Tidak ada apa-apa.”Nehan tentu saja tidak percaya. “Apa Pak Tua itu membuat masalah lagi padamu? Atau, Albert yang membuatmu seperti ini?”Argand
Aryana tersenyum kecil menatap pantulan wajahnya di kaca wastafel. Sembap di matanya sudah berkurang. Dan Aryana bisa menutupinya dengan riasan sedikt tebal agar tidak terlihat, seperti yang dia lakukan tadi siang.Aryana terkejut saat membuka pintu kamar mandi dan mendapati sosok Albert di depan pintu. Tangan pria itu terangkat untuk mengetuk pintu.Albert menatap marah Aryana. “Apa yang kamu lakukan di kamar mandi sampai begitu lama, hah? Kamu tidak lihat sekarang sudah jam berapa?”“Maaf, Mas. Aku tadi mengompres mataku supaya tidak bengkak, makanya lama di kamar mandi.” Aryana menjawab pelan dengan kepala tertunduk.Albert berdecak keras. “Cepat ganti baju. Jangan sampai Kakek berpikir aku menyiksamu karena terlambat ke meja makan.”Setelah mengatakan itu, Albert menuju sofa dan melanjutkan panggilan videonya bersama Narana.Aryana menatap Albert. Cemburu dan sakit hati bercampur menjadi satu. Meskipun
Argandara mengalihkan pandangannya kepada Albert yang berdiri di belakang Aryana hanya dengan mengenakan jubah mandi. Kedua tangannya terkepal erat. Kemarahan menguasai dirinya, tapi Argandara berusaha menahan sekuat tenaga agar tidak lepas kendali.“Tidak. Tapi kenapa kakak harus menyakitinya?” Argandara berusaha menekan suaranya agar tidak terdengar marah.“Bukan urusanmu! Dia istriku, jadi aku berak melakukan apa saja padanya.” Albert mengalihkan tatapannya kepada Aryana, sorot matanya masih sama. “Untuk apa masih di sini? Pergi!”Aryana tidak membantah dan langsung pergi tanpa melihat Argandara. Karena hari semakin sore, Aryana pun memutuskan untuk mandi sambil mengompres matanya yang sembap.Argandara yang mendengar bentakan Albert kepada Aryana pun semakin geram dengan sikap sang kakak memperlakukan Aryana.Albert kembali menatap Argandara. “Untuk apa kamu ke kamarku? Mau merayu istriku, ya? Apa di kafe tadi kamu masih belum puas merayunya, s
“Kamu tidak perlu berpura-pura di hadapanku lagi, Albert! Bagas sudah mengatakan semuanya padaku. Apa kamu pikir bisa membodohiku? Apa kamu pikir kata-kataku di meja makan tadi hanya bercanda?”Badan Albert menegang mendengar Bagas sudah memberi tahu Alvonso. Seketika pikirannya tertuju kepada Narana yang berada di apartemennya.‘Apa Bagas mengetahui keberadan Narana di apartemenku?’ pikir Albert panik dan gelisah. Keringat dingin mula membasahi tubuh Albert.“Kalau memang itu maumu, baik!” lanjut Alvonso. “Aku akan segera meminta Linggar mengurus semuanya.”Albert berlutut dan memeluk kedua kaki Alvonso. Dengan wajah dan suara yang memelas, Albert berkata, “Kakek, aku mohon. Tolong beri aku kesempatan lagi. Aku janji tidak akan menemui Narana lagi, Kek. Aku mohon, Kek.”Albert terus berusaha memohon agar Alvonso memberikannya kesempatan kedua.Di dalam kamar mandi, Aryana yang mend
Albert hanya bisa memaki dalam hati atas tindakan Alvonso. Dia berharap Narana bisa bersembunyi atau berhasil meninggalkan apartemennya sebelum bertemu dengan Bagas. Jika Narana sampai tepergok oleh Bagas, maka tamatlah riwayatnya.Alvonso dapat merasakan kegelisahan Albert. Hal itu membuat Alvonso curiga. “Kenapa kamu begitu panik? Apa kamu membawa wanita itu ke apartemenmu?”Tubuh Albert menegang. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. “Tidak! Tidak, Kek. Cuma kenapa harus mengosongkan apartemenku segala, Kek?”“Agar kamu tidak kembali ke sana dan bertemu dengan wanita itu sesuka hatimu. Jadi, mulai hari ini dan selamanya, kamu dan Aryana akan tinggal di sini.”Alvonso tahu Albert berbohong. Dia yakin Albert pasti telah menyembunyikan sesuatu darinya. Dan Alvonso akan tahu apa yang sudah Albert coba sembunyikan darinya saat Bagas kembali nanti.Albert terkejut dengan keputusan sepihak Alvons
Alvonso menatap tajam Albert. Tidak dihiraukannya rasa tidak suka Albert atas keputusannya."Aku memang mengizinkanmu dan Aryana untuk tinggal sendiri. Tapi itu jika kamu bisa memperlakukan Aryana dengan baik. Faktanya, kamu memperlakukan Aryana dengan tidak baik. Baru tiga hari kalian tinggal sendiri, dan kamu sudah membuat masalah.""Apa maksud kakek? Masalah apa yang sudah aku lakukan?" Albert berkata cepat. "Apa hanya karena aku meninggalkan Aryana sendirian di apartemen, lalu kakek menuduhku sudah memperlakukan Aryana dengan tidak baik?"Albert menatap Aryana sengit. “Apa yang sudah kamu katakan pada kakekku?”"Jangan menyalahkan Aryana, Albert!" bentak Alvonso. “Jangan menyalahkan orang lain dengan apa yang kamu perbuat sendiri.”Albert berdecak kesal karena Alvonso selalu membela Aryana. Hal itu membuat Albert semakin membenci Aryana. Dia sudah tidak peduli kalau dirinya harus bersandiwara sebagai suami yang baik dan







