Aku tersenyum miring, usahaku menggagalkan rencananya berhasil meski harus membuatnya sakit terlebih dahulu. Nada dering pendek terdengar dari ponsel Mas Naufal yang tergeletak di atas meja. Aku mengendap dan mengambil ponselnya secara perlahan. Biasanya ponselnya tak pernah diberi sandi penguncian.
Dan benar saja, ponselnya bisa ku buka hanya dengan satu usapan jari. Tertera ada limabelas panggilan masuk dan dua puluh tiga pesan singkat yang masuk ke dalam aplikasi hijaunya. Aku menggelengkan kepala, sungguh rekan kerja Mas Naufal yang bernama Kiran ini sungguh protectif. Padahal sebelumnya Mas Naufal telah memberitahu kalau tidak bisa pergi karena sedang sakit. Aku terkekeh mengingat kekonyolan yang dibuatnya. Dia pikir aku bisa sebodoh itu dibohonginya, nyata-nyata bahwa suara dari seberang telepon sana adalah perempuan. Tapi Mas Naufal masih mengelak dan mengatakan bahwa itu adalah Kiran, rekan kerjanya.
Segera kuhapus panggilan dan pesan masuk itu agar Mas Naufal tidak memikirkan wanita itu lagi. Lagipula bukankah pernikahannya tidak akan sah karena Mas Naufal memalsukan data-data aslinya?
Aku lantas beranjak ke dapur untuk membuat bubur dan sop hangat untuk Mas Naufal yang aku yakin kini perutnya telah kosong tak terisi apapun setelah beberapa kali keluar masuk ke dalam kamar mandi. Kita lihat saja, Mas. Sampai kapan kamu bisa mengelabuhiku, berpura-pura setia dan hanya akulah wanita yang kamu cintai.
Ketika bubur dan sop hangat sudah kutata rapi di atas meja, aku lantas membangunkannya, mengusap lembut keningnya yang mulai menghangat. Sepertinya ia demam usai tragedi obat pencahar tadi padi.
Apa aku termasuk orang yang jahat? Memberi obat pencahar pada suamiku sendiri untuk mencegahnya bertemu dengan istri barunya?
Mas Naufal menggeliat, kedua matanya sayu. Sepertinya ia sangat lemas setelah menghabiskan seluruh cairan yang ada ditubuhnya. Dalam keadaan sakit pun ia terlihat sangat tampan, pantas saja dia berani berselingkuh. Mentang-mentang tampan lantas bisa sesuka hati mempermainkan hati perempuan. Cuih!
Biar saja dia bermain api di belakangku, asal wanita itu tak dapat sepeserpun uang Mas Naufal. Aku tidak akan membiarkan siapapun merebut mesin pencetak uangku ini dariku. Seluruh gajiku selama ini telah kupergunakan untuk kebutuhan sehari-hari kami, dan gajinya masuk ke dalam rekening pribadiku sebagai tabungan. Tak masalah jika dia ingin macam-macam denganku, seluruh uangnya akan jatuh ketanganku.
Bahkan rumah, mobil, dan barang-barang mewahnya semua atas namaku. Tak mungkin jika dia sampai berani meninggalkanku begitu saja. Sedang jika aku memilih cerai darinya, aku akan kehilangan pendapatan besar yang masuk ke dalam rekeningku.
Bukankah itu artinya kita saling menguntungkan? Aku tersenyum miring. Seakan dunia pun juga berpihak denganku. Mas Naufal tidak punya pilihan lain selain mempertahankan pernikahannya denganku. Dan aku, tidak akan membiarkan jalang itu menikmati jerih payah Mas Naufal selama ini.
"Dek, aku lapar." Senyumku memudar seketika, saat Mas Naufal mendudukkan tubuhnya dan menatapku sekilas.
"Perutnya sudah baikan, Mas?"
"Lumayan. Entah kenapa perutku bisa sesakit ini, padahal hari ini adalah hari yang sangat penting untukku." Ia menerawang jauh ke luar jendela. Mungkin kini ia membayangkan, seharusnya saat ini sudah sampai di Bali dan bersenang-senang dengan gundiknya.
"Kenapa bisa begitu?" tanyaku pura-pura bodoh.
"Em ... Karena, karena jika proyek kali ini lancar bonusku akan banyak, Dek."
"Oh, ya? Wah ... Sayang sekali, ya. Apa aku perlu menelepon Vina?" Sandiwara ini masih aku mainkan dengan baik.
Mas Naufal tergagap, ia terlihat sangat gugup dan takut.
"Tidak perlu, Dek. Nanti aku sendiri saja yang menghubunginya," jawabnya singkat.
Aku mengangkat kedua bahuku, lalu mengambilkan bubur san sayur sop di atas meja. Mas Naufal membuka mulutnya bak anak kecil. Aku mencebik. Semanja ini dan masih dengan teganya mendua? Dasar buaya!
***
"Pak, saya ingin membatalkan pembelian rumah ini. Saya istri Pak Naufal," kataku pada salah satu petugas saat aku membatalkan pembelian perumahan yang kini ditinggali oleh Mas Naufal dan Kirani.
"Tapi, Bu. Uang muka dan angsuran selama tiga bulan tidak bisa ditarik lagi jika pembelian ini dibatalkan,"
Aku tersenyum kecut. Mas, kamu memang bodoh. Menghambur-hamburkan uang untuk wanita sepertinya.
"Tidak masalah. Tolong batalkan pembelian ini, dan segera usir penghuni lamanya." Beliau pun mengangguk lantas mengurus semua berkas-berkas yang mungkin dibutuhkannya.
Setelah sebelumnya aku juga telah memberitahunya agar tidak mengatakan kepada siapapun kalau aku lah yang membatakan rumah itu.
Aku melenggang keluar dari kantor itu dan masuk ke dalam mobil lalu melesat menuju kantor yang aku tinggalkan satu jam yang lalu.
Satrio---teman kerjaku---menungguku di depan pintu ruanganku dengan kedua tangan menyilang di dada.
"Waktu istirahatmu lewat setengah jam lebih. Kemana?" tanyanya ketus.
"Sedang ada urusan, aku akan menggantinya dengan lembur satu jam," jawabku tak kalah ketus dengannya.
Ia merupakan seorang karyawan yang terkenal disiplin meskipun terkesan lebih galak. Tapi yasudahlah, yang penting dia selalu menjadi tempatku berkeluh kesah mengenai hari-hariku.
"Aku tunggu di ruang rapat lima menit lagi. Semua sudah menunggu."
Mimpi apa aku semalam hingga punya rekan kerja seperti dirinya. Sama sekali tak menguntungkan dalam hal apapun.
Hari ini Mas Naufal telah berangkat kerja setelah satu minggu libur karena sakit perut. Padahal aku tahu yang sebenarnya bahwa ia tengah cuti. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh jua.
"Kenapa pulangnya sore sekali, Mas?" tanyaku ketika ia baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dengan wajah yang acak-acakan.
Kuatur nafasku berulang kali, ketika aku telah sampai di pelataran kantor pengadilan agama. Sudah kuputuskan sejak pertengkaran hebatku dengan Mas Naufal beberapa waktu yang lalu, kalau aku akan mengajukan perceraian dengannya.Segala sabar dan baktiku selama ini sudah tak mampu lagi kutahan, bahkan kini aku sudah mengubur dalam-dalam anganku untuk bisa bersama-sama dengan Mas Naufal hingga akhir hayat.Aku tersenyum kecut, mengingat begitu banyak janji-janji dan harapan yang telah kami buat bersama-sama. Namun nyatanya, tak satupun yang bisa tercapai hingga hari ini.Dan hari ini, dengan langkah pasti aku memasuki ruangan sidang perceraianku dengan Mas Naufal. Dengan segala pertimbangan, akhirnya aku kini mantab untuk berpisah dari Mas Naufal.Di pojok sana, kulihat Mas Naufal tengah bercengkerama dengan gundiknya. Sedang aku berdiri disisi pintu dengan ditemani oleh Fahmi.Ya, Fahmi. Lelaki yang selalu siap siaga ketika aku membutuhkan bantuan. Entah apa anggapan orang, bagaimana me
Jantungku berdegub kencang, panas menjalar di sekujur tubuhku ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri Mas Naufal memanjakan istri mudanya. Dan juga ia telah berani mengkhianatiku untuk kedua kalinya dengan mencuri kartu yang selama ini kupegang.Rasanya sudah tidak ada lagi air mata yang menetes di kedua pipiku, karena dengan begitu banyaknya luka yang Mas Naufal torehkan di dalam hatiku. Mungkinkah ini harus menjadi akhir dari sebuah pengorbanan yang telah aku berikan selama ini."Hei ... Liatin apa?" ucap Fahmi mengagetkanku.Aku terperanjat, lantas menoleh kearahnya dengan tatapan sayu."Loh, kamu kenapa?" lanjutnya lagi, membuatku semakin terluka."Lihat," kataku sembari menunjuk Kirani yang tengah memeluk erat lengan Mas Naufal."Mas Naufal sudah mengkhianatiku berulang kali, bahkan kali ini dia berani mencuri tabungan kita untuk memanjakan istri mudanya itu," pungkasku.Entah harus bagaimana lagi menyikapinya, rasanya hatiku sudah mati rasa dengan semua perlakuan Mas Naufal
Entah kenapa aku bisa menikah dengan seorang lelaki serakah sepertinya. Seperti tak punya dosa ia menikah tanpa sepengetahuanku, namun ketika aku punya seorang sahabat laki-laki ia dengan tegas melarangku. Apa ini adil?Ketika aku berusaha ingin mempertahankan pernikahan kami, ia tak pernah sedikitpun berusaha untuk memperbaiki sikap. Hingga Fahmi datang dan seakan merubah seluruh isi hatiku yang sedang porak poranda ini.Hatiku begitu tenang ketika sedang bersama Fahmi, entah karena sebelum ini memang kami sudah kenal atau karena memang dia adalah orang yang pandai mengambil hati."Zi, kamu kenapa?" ucap Fahmi ketika di perjalanan.Aku tersentak, seketika itu juga sadar dari lamunanku."Oh ... Tidak, tidak ada apa-apa,""Suamimu marah, ya, gara-gara aku jemput kamu?"Aku tersenyum miring."Biarkan, dia sudah cukup menyakiti hatiku. Sekarang tak ada lagi alasannya untuk melarangku dalam setiap perbuatanku. Jika dia memang keberatan, aku tidak takut jika harus bercerai dengannya,"Fahm
Sudah tiga malam ini Mas Naufal tidak pulang, dan aku juga tidak berusaha menghubunginya. Pun dia juga tidak berusaha menghubungiku sendiri. Terserahlah dia mau berbuat apa, hatiku sudah terlanjur sakit.Aku memilih tidur lebih awal agar tak terlalu memikirkan Mas Naufal. Entah apa maunya, hingga tak mengabariku selama tiga malam ini. Kata teman kerjanya selama tiga hari ini dia juga tidak masuk kerja.'Tenang, Zi. Kamu masih muda, wajahmu juga tak terlalu jelek, masih banyak lelaki yang mau denganmu. Hapus air matamu itu, tidak berguna'Gumamku dalam hati yang membuat hatiku semakin teriris. Aku menengadahkan kepalaku, agar buliran bening ini tidak meluncur di pipiku.Aku menaikkan selimut hingga menutupi seluruh tubuhku, berusaha memejamkan mata agar bisa lupa dengan rasa sakit yang kian menelusup dalam dada. Mas Naufal yang dulu sangat perhatian dan sayang padaku kini telah berpaling dengan wanita lain. Seharusnya aku juga bisa bangkit dan lekas melupakannya.Jika memang pernikaha
Sudah dua hari ini Mas Naufal jadi lebih pendiam, tak banyak bicara jika bukan aku yang mengajaknya bicara. Entahlah, karena apa dia bisa bersikap demikian denganku. Mungkin karena kejadian Fahmi tempo hari. Aku tersenyum licik, biarlah dia merasakan apa yang sudah aku rasakan."Sarapan, Mas." Aku melongokkan kepalaku ke dalam kamar, karena sudah pukul setengah tujuh lewat tapi Mas Naufal tak juga keluar dari kamar.Kulihat ia masih terduduk diam di atas ranjang lengkap dengan baju kerjanya."Mas ...." Panggilku lagi.Ia menoleh dan tergagap, sepertinya ia baru saja melamun."Ayo sarapan," kataku mengulangi.Mas Naufal beranjak dan berjalan mengikutiku ke depan meja makan, ia duduk dengan gontai. Tatapannya kosong, sudah dua hari ini juga Kirani tak datang kemari. Mungkin dia malu karena kebohongannya telah kubongkar."Mau sarapan nasi goreng atau roti, Mas?"Dahiku mengkerut, Mas Naufal kembali terdiam melamun."Mas!" Bentakku geram."Oh, ah iya? Terserah kamu saja, Dek,"Aku mendeng
Wajah Kirani terlihat merah, mungkin ia geram dengan kepulanganku."Dengar, ya. Ada janin Mas Naufal di dalam perutku. Kamu tak berhak mengusirku!" kata Kirani yang membuatku tertawa terbahak-bahak."Baiklah, mari kita buktikan saja. Mas, siapkan mobil, kita ke dokter kandungan sekarang juga.""Apa?!" pekik Kirani keras."Kenapa? Kamu takut?" ledekku lagi.Sedang Mas Naufal hanya diam membisu tak berani menengahi pertengkaran kami."Tidak! Aku tidak takut, hanya saja ....""Hanya saja apa? Sudah tidak perlu banyak bicara. Ayo kita buktikan." Kuseret kasar tubuhnya keluar rumah, Mas Naufal terlihat mengacak rambut kasar. Mungkin keputusannya memasukkan gundik tak tahu diri ini ke dalam rumah saat aku tak ada adalah suatu kesalahan yang fatal untuknya.Kuseret tubuh kecil Kirani masuk ke dalam mobil, lalu menyuruh Mas Naufal untuk menyetir. Sedang aku ikut duduk di belakang bersama Kirani, agar ia tak berbuat macam-macam lagi.Aku sengaja mengarahkan Mas Naufal untuk mengunjungi Dokter