Share

Akibat Obat Pencahar

Sinar mentari terlihat mulai meninggi, Mas Nufal telah tertidur pulas di atas ranjang. Sepertinya ia sudah merasa sedikit baikan, terakhir ia pergi ke kamar mandi satu jam yang lalu. Saat ini jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas siang, itu artinya jadwal penerbangan sudah lewat dua jam.

Aku tersenyum miring, usahaku menggagalkan rencananya berhasil meski harus membuatnya sakit terlebih dahulu. Nada dering pendek terdengar dari ponsel Mas Naufal yang tergeletak di atas meja. Aku mengendap dan mengambil ponselnya secara perlahan. Biasanya ponselnya tak pernah diberi sandi penguncian.

Dan benar saja, ponselnya bisa ku buka hanya dengan satu usapan jari. Tertera ada limabelas panggilan masuk dan dua puluh tiga pesan singkat yang masuk ke dalam aplikasi hijaunya. Aku menggelengkan kepala, sungguh rekan kerja Mas Naufal yang bernama Kiran ini sungguh protectif. Padahal sebelumnya Mas Naufal telah memberitahu kalau tidak bisa pergi karena sedang sakit. Aku terkekeh mengingat kekonyolan yang dibuatnya. Dia pikir aku bisa sebodoh itu dibohonginya, nyata-nyata bahwa suara dari seberang telepon sana adalah perempuan. Tapi Mas Naufal masih mengelak dan mengatakan bahwa itu adalah Kiran, rekan kerjanya.

Segera kuhapus panggilan dan pesan masuk itu agar Mas Naufal tidak memikirkan wanita itu lagi. Lagipula bukankah pernikahannya tidak akan sah karena Mas Naufal memalsukan data-data aslinya?

Aku lantas beranjak ke dapur untuk membuat bubur dan sop hangat untuk Mas Naufal yang aku yakin kini perutnya telah kosong tak terisi apapun setelah beberapa kali keluar masuk ke dalam kamar mandi. Kita lihat saja, Mas. Sampai kapan kamu bisa mengelabuhiku, berpura-pura setia dan hanya akulah wanita yang kamu cintai.

Ketika bubur dan sop hangat sudah kutata rapi di atas meja, aku lantas membangunkannya, mengusap lembut keningnya yang mulai menghangat. Sepertinya ia demam usai tragedi obat pencahar tadi padi.

Apa aku termasuk orang yang jahat? Memberi obat pencahar pada suamiku sendiri untuk mencegahnya bertemu dengan istri barunya?

Mas Naufal menggeliat, kedua matanya sayu. Sepertinya ia sangat lemas setelah menghabiskan seluruh cairan yang ada ditubuhnya. Dalam keadaan sakit pun ia terlihat sangat tampan, pantas saja dia berani berselingkuh. Mentang-mentang tampan lantas bisa sesuka hati mempermainkan hati perempuan. Cuih!

Biar saja dia bermain api di belakangku, asal wanita itu tak dapat sepeserpun uang Mas Naufal. Aku tidak akan membiarkan siapapun merebut mesin pencetak uangku ini dariku. Seluruh gajiku selama ini telah kupergunakan untuk kebutuhan sehari-hari kami, dan gajinya masuk ke dalam rekening pribadiku sebagai tabungan. Tak masalah jika dia ingin macam-macam denganku, seluruh uangnya akan jatuh ketanganku.

Bahkan rumah, mobil, dan barang-barang mewahnya semua atas namaku. Tak mungkin jika dia sampai berani meninggalkanku begitu saja. Sedang jika aku memilih cerai darinya, aku akan kehilangan pendapatan besar yang masuk ke dalam rekeningku.

Bukankah itu artinya kita saling menguntungkan? Aku tersenyum miring. Seakan dunia pun juga berpihak denganku. Mas Naufal tidak punya pilihan lain selain mempertahankan pernikahannya denganku. Dan aku, tidak akan membiarkan jalang itu menikmati jerih payah Mas Naufal selama ini.

"Dek, aku lapar." Senyumku memudar seketika, saat Mas Naufal mendudukkan tubuhnya dan menatapku sekilas.

"Perutnya sudah baikan, Mas?"

"Lumayan. Entah kenapa perutku bisa sesakit ini, padahal hari ini adalah hari yang sangat penting untukku." Ia menerawang jauh ke luar jendela. Mungkin kini ia membayangkan, seharusnya saat ini sudah sampai di Bali dan bersenang-senang dengan gundiknya.

"Kenapa bisa begitu?" tanyaku pura-pura bodoh.

"Em ... Karena, karena jika proyek kali ini lancar bonusku akan banyak, Dek."

"Oh, ya? Wah ... Sayang sekali, ya. Apa aku perlu menelepon Vina?" Sandiwara ini masih aku mainkan dengan baik.

Mas Naufal tergagap, ia terlihat sangat gugup dan takut.

"Tidak perlu, Dek. Nanti aku sendiri saja yang menghubunginya," jawabnya singkat.

Aku mengangkat kedua bahuku, lalu mengambilkan bubur san sayur sop di atas meja. Mas Naufal membuka mulutnya bak anak kecil. Aku mencebik. Semanja ini dan masih dengan teganya mendua? Dasar buaya!

***

"Pak, saya ingin membatalkan pembelian rumah ini. Saya istri Pak Naufal," kataku pada salah satu petugas saat aku membatalkan pembelian perumahan yang kini ditinggali oleh Mas Naufal dan Kirani.

"Tapi, Bu. Uang muka dan angsuran selama tiga bulan tidak bisa ditarik lagi jika pembelian ini dibatalkan,"

Aku tersenyum kecut. Mas, kamu memang bodoh. Menghambur-hamburkan uang untuk wanita sepertinya.

"Tidak masalah. Tolong batalkan pembelian ini, dan segera usir penghuni lamanya." Beliau pun mengangguk lantas mengurus semua berkas-berkas yang mungkin dibutuhkannya.

Setelah sebelumnya aku juga telah memberitahunya agar tidak mengatakan kepada siapapun kalau aku lah yang membatakan rumah itu.

Aku melenggang keluar dari kantor itu dan masuk ke dalam mobil lalu melesat menuju kantor yang aku tinggalkan satu jam yang lalu.

Satrio---teman kerjaku---menungguku di depan pintu ruanganku dengan kedua tangan menyilang di dada.

"Waktu istirahatmu lewat setengah jam lebih. Kemana?" tanyanya ketus.

"Sedang ada urusan, aku akan menggantinya dengan lembur satu jam," jawabku tak kalah ketus dengannya.

Ia merupakan seorang karyawan yang terkenal disiplin meskipun terkesan lebih galak. Tapi yasudahlah, yang penting dia selalu menjadi tempatku berkeluh kesah mengenai hari-hariku.

"Aku tunggu di ruang rapat lima menit lagi. Semua sudah menunggu."

Mimpi apa aku semalam hingga punya rekan kerja seperti dirinya. Sama sekali tak menguntungkan dalam hal apapun.

Hari ini Mas Naufal telah berangkat kerja setelah satu minggu libur karena sakit perut. Padahal aku tahu yang sebenarnya bahwa ia tengah cuti. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh jua.

"Kenapa pulangnya sore sekali, Mas?" tanyaku ketika ia baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah dengan wajah yang acak-acakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status