"Mas, jangan sampai Mbak Zia tau kalau kamu telah memalsukan data-data agar bisa menikahiku secara negara. Ingat, bapak akan membunuhku hidup-hidup jika tau aku menikah dengan suami orang." Aira menyikut lenganku yang tengah menyeruput minuman di meja seberang Mas Naufal dan Kirani.
Aku tertegun mendengarnya, berarti memang tak salah lagi kalau Mas Naufal dengan sengaja menduakanku dengan wanita itu.
Aku dan Aira sengaja menunggu lumayan lama setelah bertanya-tanya pada Ibu Mar. Berharap kami akan mendapat satu petunjuk lagi setelah itu. Dengan tetap pada penyamaran seperti sebelumnya, kami mengikuti Mas Naufal dan Kirani yang masuk ke dalam restoran cepat saji. Lalu duduk pada sebuah bangku yang tak jauh dari mereka.
Syukurlah aku memiliki sahabat yang sangat baik seperti Aira. Ia tak segan menemaniku meluruskan masalah pelik ini. Bahkan ia juga bersedia menyamar untuk mencari bukti yang kuat agar aku bisa membalas perbuatan Mas Naufal.
"Besok kita berangkat jam berapa, Mas?" tanya Kirani tiba-tiba. Membuatku saling berpandangan dengan Aira.
"Jam sepuluh, tapi aku berangkat dari rumah Zia. Aku bilang padanya kalau mau dinas luar kota lagi, semoga saja dia tidak curiga."
"Baiklah, semoga aku cepat hamil, ya, Mas," ucap Kirani sontak membuatku tersedak.
Mereka berdua terlihat melihat ke arahku, Aira lantas menarikku dan mengajakku untuk pergi meninggalkan mereka agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Maaf, aku tidak sengaja. Kata-kata Kirani sangat mengejutkanku, Ra," kataku saat kami sudah sampai di dalam mobil.
Aku melepas atribut penyamaran dengan tertawa keras hingga Aira menutup telinganya.
"Kamu gila, ya?"
Sebodoh itu dirimu, Kirani. Semoga saja harapanmu itu segera terwujud. Karena aku tak yakin Mas Naufal akan memberimu seorang anak.
Dadaku berdesir, ada rasa nyeri yang sangat mendalam pada dasar hatiku. Bagaimanapun juga, Mas Naufal adalah lelaki pilihanku sendiri. Kami menikah setelah dua tahun pacaran. Namun mengapa kini ia dengan teganya menduakanku yang telah berkorban banyak untuknya.
Aira mengantarkanku pulang setelah kami melakukan pencarian bukti hari ini. Sudah ada beberapa bukti bahwa Mas Naufal dan Atha adalah orang yang sama.
***
"Mas, semua baju sudah aku siapkan di koper, ya?" Teriakku dari dalam kamar saat ia tengah asik bermain ponsel di ruang tengah.
Bisa kupastikan bahwa ia sedang asik berbalas pesan dengan wanita itu, terlihat dari sorot mata dan bibirnya yang selalu tersenyum ketika membaca pesan yang masuk ke dalam ponselnya.
"Iya, terimakasih, Dek." Tanpa sedetikpun ia menoleh padaku yang telah berbaik hati menyiapkan barang-barang untuk acara honeymoonnya besok.
Aku lantas merangkak naik ke atas pembaringan. Menunggunya hingga ia selesai bertukar pesan dengan istri barunya itu. Dia mengira bahwa aku tidak tahu tentang akal busuknya itu. Nyatanya aku tahu semuanya, bahkan rahasia terbesar Kirani dari kedua orang tuanya.
Tugasku sekarang adalah menunggu waktu yang tepat untuk membongkar seluruh kejahatan mereka. Tak ingatkah Mas Naufal bahwa saham terbesar di perusahaan tempatnya bekerja adalah milik ayahku? Beliau bisa menendanya kapan saja jika aku memintanya.
Setengah jam berlalu, terdengar derit ranjang ketika Mas Naufal merangkak naik ke atas dan tidur menghadap ke arahku yang sedang berpura-pura memejamkan mata. Aku memilih untuk telentang ketika jarak wajahnya tak sampai sepeluh sentimeter dari hadapanku. Membuatku semakin muak karena kini seluruh tubuhnya telah terbagi dengan wanita lain.
"Dek,"
"Hmm ...." Jawabku tanpa membuka mataku.
Ia semakin mendekatkan tubuhnya ke arahku. Mengelus pipiku dan menciuminya dengan beringas. Membuatku semakin jijik dengannya.
"Besok aku kan dinas luar? Masa jam segini sudah mau tidur, sih,"
Lantas? Enak saja minta jatah malam sedangkan besok kamu mau honeymoon dengan gundikmu.
"Aku sedang haid. Baru mulai tadi pagi," jawabku ketus dengan berbalik dan memunggunginya yang aku yakin bahwa kini ia tengah kecewa.
"Sialnya nasibku, mau dinas seminggu tapi tak dapat jatah,"
Aku mencebik, ingin muntah mendengar kata-katanya.
Tak berselang lama aku mendengar dengkuran halus dari bibirnya, sedang aku masih terjaga dengan beribu cara di otak agar besok bisa menggagalkan rencanya untuk pergi bersama wanita itu.
Tepat saat adzan subuh terdengar dari mushola depan, aku beranjak dan melaksanakan sholat dua rakaat. Lalu segera masuk ke dalam dapur dan membuat sarapan pagi untuk Mas Naufal. Memang sudah menjadi kebiasaanku sebelum berangkat bekerja, aku selalu menyiapkan sarapan dan susu hangat untuknya.
"Selamat pagi, istriku," ucapnya semringah ketika duduk di depan meja makan untuk menyantap masakan yang telah kubuat.
Aku memicingkan mata, ketika melihatnya memakai sebuah kaos dengan celana pendek selutut. Serta jam tangan mewah yang selalu bertengger di lengan kirinya. Tak kupungkiri, ia yang kini telah berusia tiga puluh tiga tahun itu masih terlihat mempesona ketika sedang tak memakai baju kantor.
"Lho, mau dinas kok pakaiannya seperti itu, Mas?" tanyaku dengan menyendokkan nasi goreng ke atas piringnya. Juga meletakkan telur mata sapi di atasnya.
"Emm ... Iya, Dek. Biar enak saja perjalanannya. Nanti sampai di sana ganti pakaian kantor,"
Yes ... Akhirnya ia menenggak satu gelas penuh susu hangat yang telah aku siapkan, lantas memasukkan satu sendok penuh nasi goreng ke dalam mulutnya. Tak lupa ia menggigit telur mata sapi kesukaannya itu.
Tak lama berselang, ia meminta ijin padaku untuk ke kamar mandi karena tiba-tiba saja perutnya terasa mulas. Aku memilih melanjutkan acara makanku yang tertunda karena aksinya. Serta sebuah senyuman licik tersungging di bibirku.
Aku yang dengan sengaja mencampur susu hangat itu dengan obat pencahar. Membuatnya bolak balik kamar mandi sebelum ia menyelesaikan sarapannya. Maafkan aku, Mas. Harus menggunakan cara curang agar kamu tidak pergi bersama wanita itu.
"Masih sakit?" tanyaku ketika ia tengah berbaring di sofa ruang tengah.
Wajahnya terlihat sangat pucat karena lebih dari tujuh kali keluar masuk kamar mandi. Aku memutuskan untuk cuti kerja lagi karena Mas Naufal tengah sakit. Meskipun ini semua karena ulahku, tapi setidaknya aku harus tetap merawatnya.
Tringg
Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Kiran
Sebuah nama yang tertera di layar ponselnya. Kini jam dinding telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Seharusnya mereka sudah harus sampai di bandara untuk penerbangannya.
"Siapa, Mas?"
"Oh ... Ini temanku kantor. Kiran, dia yang akan menemaniku dinas luar hari ini."
Aku tersenyum miring. Kiran atau Kirani, Mas?
Sinar mentari terlihat mulai meninggi, Mas Nufal telah tertidur pulas di atas ranjang. Sepertinya ia sudah merasa sedikit baikan, terakhir ia pergi ke kamar mandi satu jam yang lalu. Saat ini jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas siang, itu artinya jadwal penerbangan sudah lewat dua jam.Aku tersenyum miring, usahaku menggagalkan rencananya berhasil meski harus membuatnya sakit terlebih dahulu. Nada dering pendek terdengar dari ponsel Mas Naufal yang tergeletak di atas meja. Aku mengendap dan mengambil ponselnya secara perlahan. Biasanya ponselnya tak pernah diberi sandi penguncian.Dan benar saja, ponselnya bisa ku buka hanya dengan satu usapan jari. Tertera ada limabelas panggilan masuk dan dua puluh tiga pesan singkat yang masuk ke dalam aplikasi hijaunya. Aku menggelengkan kepala, sungguh rekan kerja Mas Naufal yang bernama Kiran ini sungguh protectif. Padahal sebelumnya Mas Naufal telah memberitahu kalau tidak bisa pergi karena sedang sakit. Aku terkekeh mengingat kekonyo
Semalaman ini Mas Naufal memilih tidur di depan televisi. Hingga adzan subuh terdengar ia tak masuk ke dalam kamar dan menyusulku yang tengah tidur sendirian. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Selepas kerja kemarin sore, ia tak banyak bicara dan memilih langsung istirahat di depan televisi dari pada di kamar.Nada dering pendek pada ponselku tiba-tiba berbunyi ketika aku selesai menunaikan kewajiban dua rakaat. Sepagi ini dan Aira sudah mengirimkan pesan padaku.[Rencanamu berhasil. Kemarin siang mereka berdua telah di usir dari perumahan itu, dan sekarang madumu tengah menginap di hotel melati]Aku tersenyum puas. Akhirnya aku menang satu langkah dari mereka. Mas Naufal pikir aku sebodoh itu? Hingga tak dapat mencium kebohongannya.Jadi karena hal ini, Mas Naufal terlihat sangat tidak bersemangat selepas pulang kerja. Bahkan ia juga tak menyusulku untuk tidur di kamar. Mungkin ia memikirkan nasib gundiknya itu. Aku terkekeh pelan lalu berjalan untuk membangunkan Mas Naufal yang masi
Aku tersenyum licik. Membayangkan apa yang akan Mas Naufal lakukan tanpa dompet dan seluruh kartu kreditnya ini.Sepertinya malam ini aku bisa tidur nyenyak, karena telah menang telak dari Mas Naufal. Ia tak akan bisa berkutik tanpa dompet dan seluruh isinya. Kecuali jika gundiknya itu yang membayar semua tagihan hotel. Aku menyeringai.Baru saja aku ingin memejamkan mataku, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu depan pelan. Aku menajamkan pendengaranku, jika itu Mas Naufal ia akan langsung masuk ke dalam rumah karena satu kunci rumah telah di bawanya. Lalu, itu siapa?Aku turun dari atas ranjang dan berjalan mengendap untuk melihat siapa yang telah mengetuk pintu rumahku selarut ini. Kulirik jam yang tertempel di dinding. Pukul sepuluh malam.Jantungku hampir saja keluar dari tempatnya, ketika aku melihat sosok suami idamanku tengah berdiri dengan gundiknya. Kuacungi jempol pada kedua manusia itu. Berani sekali Mas Naufal membawa wanita jalang itu ke rumah kami.Aku meng
"Mas, kita makan malam di luar yuk. Udah lama banget kita nggak dinner romantis," ucapku saat kami bertiga duduk santai di ruang tamu.Terlihat lewat ekor mataku Kirani membolak-balikkan majalah yang sedang ia pegang. Sedang Mas Naufal terlihat gugup tak menatapku. Aku memang sengaja melakukan hal ini, karena ingin melihat reaksi Kirani saat aku bermesraan dengan Mas Naufal.Biar saja, dia harus tahu jika rumah tanggaku dengan Mas Naufal memang sangat indah dan romantis. Tak seharusnya dia datang dan merusak segalanya. Jika dia benar-benar wanita yang baik, seharusnya dia tidak akan bersama lelaki yang telah beristri.Lagipula apa dia tidak bisa berfikir, kita sama-sama seorang wania. Seandainya saja dia ada di posisiku, apakah mentalnya akan tetap aman?"Kemana, Dek?""Terserah, restorannya kamu yang pilih. Tapi yang romantis ya," ucapku lagi dengan melirik sekilas pada Kirani yang mulai gusar."Lalu Kirani?""Lho ... Memang kenapa? Dia kan bisa di rumah sendiri, lagian perumahan kit
"Mas, ini bukannya dompetmu?" Teriakku dari depan rumah ketika akan berangkat ke kantor.Sepagi ini dan aku sudah sangat bersemangat memainkan sandiwara dengannya. Biarkan saja, siapa suruh dia juga bersandiwara seburuk ini denganku. Seharusnya dia memikirkan hal ini sampai berulang kali, tidak justru semakin memperkeruh keadaan dengan membawa wanita itu masuk ke dalam rumah.Dengan tergopoh-gopoh Mas Naufal berlari menghampiriku yang sedang berdiri tepat di depan pagar rumah. Ia terkejut ketika melihat dompet hitamnya tergeletak di atas ubin, lalu secepat kilat ia langas mengambilnya dan berteriak dengan gembira."Alhamdulillah, Ya Allah. Akhirnya barang yang aku cari ketemu juga," teriak Mas Naufal terdengar sangat girang.Sejujurnya saja aku ingin sekali tertawa saat ini juga. Hanya saja aku tidak ingin membuatnya curiga.Kebahagiaannya luntur ketika melihat semua isinya telah hilang. Tak hilang seluruhnya, melainkan hanya tinggal satu kartu ATM dan kartu identitasnya. Aku tersenyu
Darahku seakan mendidih begitu mengetahui akal busuk yang akan mereka jalankan nanti malam. Tak hanya itu, aku juga sangat marah karena Mas Naufal menjadi bak kerbau yang dicucuk hidungnya. Dia sangat patuh dan selalu menuruti apa yang dikatakan oleh Kirani. Apa dia sama sekali tidak memikirkan perasaanku? Atau setidaknya menganggapku ada?Mungkin memang benar apa kata orang. Cinta itu buta. Namun apapun itu aku sangat bersyukur karena rasa cintaku pada Mas Naufal tak sedalam itu. Bukan aku tak cinta, hanya saja aku selalu memiliki batasan ketika mencintai seseorang. Aku memang mencintainya, tapi aku tidak pernah melibatkan hidupku untuk kebodohanku.Malam ini aku telah mempersiapkan semuanya, aku sengaja meletakkan dompetku di atas nakas samping tempat tidurku, lalu berpura-pura tidur lebih awal agar Mas Naufal bisa menjalankan rencananya dengan baik. Biarlah aku mengikuti permainan ini, asal pada akhirnya akulah pemenangnya.Meskipun sampai saat ini aku masih sedikit tak percaya den
Kedua mata Mas Naufal membeliak, mungkin ia tak menyangka bahwa aku telah mengetahui keburukannya selama ini. Dia pikir aku ini bodoh? Diam dan membiarkannya terus bersandiwara di depanku seperti ini.Kebohongan dan kejahatannya kepadaku tak akan kubiarkan begitu saja. Mungkin kemarin aku sempat lengah hingga dia bisa mengelabuiku seperti ini. Namun kali ini aku tidak akan membiarkan diriku terus diinjak olehnya."Kenapa? Kamu kaget kalau aku sudah tahu tentang semua keburukanmu? Hebat, ya. Kalian bisa bersandiwara sebagus ini," ujarku dengan tersenyum miring.Kali ini aku sedikit bangga dengan diriku sendiri karena berhasil membuat suamiku itu tak berkutik. Mungkin dia sudah berhasil membohongiku, tapi aku juga bisa lebih pandai darinya."Jangan macam-macam, aku juga istri sah Mas Naufal," bela wanita itu membuatku spontan tertawa.Dengan percaya dirinya dia membanggakan bahwa statusnya pun juga istri sah. Padahal aku tahu jika mereka bisa menikah secara sah karena memalsukan data. B
"Tinggalkan rumah ini, atau aku akan menyeretmu keluar dengan tidak terhormat!" Teriakku kasar pada gundik suamiku ini.Wajah Mas Naufal memerah, ia terlihat sangat marah dengan sikapku. Mungkin karena ia sangat mencintai wanita yang tengah berseteru denganku ini. Namun aku sungguh tak perduli, jika ia memang memilih wanita ini. Aku akan mundur. Untuk apa aku mempertahankan sebuah hubungan yang pada akhirnya hanya akan menyakitiku? Bukankah lebih baik aku melepaskannya saja? Toh mungkin ini sudah menjadi garis takdir Tuhan, bahwasannya aku harus berpisah dengan Mas Naufal dengan cara seperti ini.Mungkin sikap dan caraku selama ini menjadi istrinya tak menjadikannya puas memiliku, sehingga dia masih bersikeras untuk mendua dariku. Padahal selama ini aku sudah berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik dan penurut baginya. Namun entah kenapa dia masih saja bersikap seperti itu."Zia! Tidak seharusnya kamu bersikap sekeras ini." Teriak Mas Naufal.Aku menatapnya nanar setelah ia me