Share

Tidak Mau Di Madu

“Aku hanya perlu ijin dari Jihan untuk menyetujui pernikahan kami berdua. Aku harap Jihan tidak egois dengan membuatku menderita karena jauh dengan orang yang kucintai.”

“Aku tidak mau dimadu, Mas.” Akhirnya Jihan mengeluarkan suara keberatannya.

“Seperti kataku tadi, kamu harus mau atau kita akan berpisah. Aku lelah menghadapi sifat kekanak-kanakanmu. Kamu yang manja, kamu yang banyak menuntut ini itu. Dan kamu yang selalu saja membuatku pusing. Selama ini, aku sudah berusaha menuruti semua maumu. Bukankah sejak menjadi istriku, aku sudah memenuhi semua tugasku dengan baik? Sekarang, aku mohon padamu. Tolong jangan egois dan biarkan aku juga bahagia. Satu-satunya yang bisa membuatku bahagia hanya Cristal, tolong pahami itu.”

Suara bariton Elvan tegas memperingati Jihan. Elvan tidak ingin kehilangan wanita yang begitu dia cintai, cukup selama ini dia berkorban menjadi suami pengganti dari sang Kakak yang telah berpulang dengan menikahi Jihan. Sejak awal, Elvan memang tidak mencintai Jihan. Dirinya mau melakukan pernikahan hanya demi martabat dan harga diri keluarga besarnya saja.

Selama menikah, Elvan memang memperlakukan Jihan dengan sangat baik juga melaksanakan tugasnya sebagai suami bertanggung jawab baik memberi nafkah lahir maupun batin. Meski begitu, Elvan memang lebih terkesan datar dan tidak banyak bicara. Semua sikap Elvan, Jihan anggap biasa, karena sejak kenal Elvan sifatnya sudah seperti itu.

“Apa kamu tidak pernah mencintaiku, Mas?” Wajah Elvan yang tadi nampak garang berubah sedikit lemah. Perlahan Elvan menggelengkan kepala guna menjawab pertanyaan Jihan.

Tangis Jihan semakin pecah mendapati jawaban jujur dari suaminya. Ingatannya pun menelisik selama keduanya berumah tangga, Elvan memang tidak pernah mengekang atau pun melarang semua yang dia mau. Apa pun yang Jihan inginkan selalu bisa di dapatkan dengan mudah, berkumpul teman pun dibebaskan oleh Elvan. Tidak ada satu larangan pun sebagai syarat kepedulian suami terhadap istri.

Kini Jihan tahu, semua itu bukan karena Elvan peduli dan ingin dia bahagia, akan tetapi karena Elvan yang tidak peduli atau khawatir sedikit pun terhadap dirinya. Tak sekali pun Elvan berkata keras dan panjang seperti barusan. Setiap harinya hanya kata tidak, iya, boleh dan kata singkat lain yang dijadikan sebagai andalan membalas ucapan Jihan.

Sesak hati Jihan mengingat betapa bodohnya dia ketika mengartikan bahwa Elvan mulai mencintainya. “Mas, katakan, apa yang harus aku lakukan agar kamu tetap setia hanya padaku? Seperti aku yang setia juga hanya padamu. Aku sudah melabuhkan seluruh hati dan jiwaku untukmu, tubuhku pun tak luput semua ku pasrahkan padamu.”

“Tidak ada. Aku hanya ingin kamu menyetujui pernikahanku jika tidak kita bercerai, atau kamu bisa memilih untuk bertahan dan aku akan berlaku adil pada kalian berdua. Kamu tetap pada kehidupan nyamanmu tanpa kekurangan suatu apa pun dan aku juga pada kehidupanku sendiri bersama orang yang aku cintai. Tidak akan aku lupakan bahwa kamu pun istriku, aku akan mencoba membuka hati untuk mencintaimu.”

Kejam, itulah satu kata yang bisa Jihan jabarkan untuk sikap Elvan kali ini. “Aku tetap tidak mau dimadu, kamu harus meninggalkan wanita itu dan kembali padaku,” tegas Jihan menolak permintaan Elvan.

“Itulah yang aku benci darimu. Kamu itu egois dan hanya mementingkan dirimu sendiri tanpa mau memandang orang sekitarmu yang sangat menderita akibat keras kepalamu itu. Dengan atau tanpa ijin darimu, aku akan tetap menikah,” putus Elvan mutlak.

“Pernyataan macam apa itu, Elvan? Mama tidak mau memiliki menantu selain, Jihan. Jihan sudah Mama anggap sebagai anak Mama sendiri, jadi meskipun kamu ngotot tetap menikahi wanita itu maka Mama tidak akan segan-segan mencoret nama kamu dari daftar ahli waris.” Milea pun tak kalah tegas dari Elvan.

“Mama kenapa jadi egois seperti ini pada, Elvan? Selama ini Elvan sudah berkorban untuk menggantikan Kak Devano sebagai suami Jihan. Apa Elvan tidak berhak bahagia dengan hidup Elvan sendiri? Apa Mama mau Elvan tersiksa terus menerus berada dalam satu atap dengan wanita itu?” Kali ini, Elvan terang-terangan menunjukkan ketidak sukaannya terhadap Jihan.

Perih hati Jihan bagai disayat sembilu, cinta yang utuh kini dihancurkan berkeping-keping oleh Elvan begitu saja. Sekarang dia benar-benar protes kepada Tuhan, kenapa dia tidak dibiarkan mendapatkan seseorang yang dia cintai dan juga mencintainya?

Kenapa Tuhan harus memanggil calon pengantinnya dulu sehingga penderitaan ini menimpanya? Tidak cukupkah Allah menguji hambanya dengan beberapa kali saja kehilangan orang yang dia cintai? Jihan kerap merasakan bagaimana ditinggal pergi oleh mereka yang mencintainya juga Ia cintai. Dari kehilangan sosok Ayah, lalu di susul oleh sang Ibu dan kemudian calon suaminya. Untuk hari ini saja, bisakah Allah mengabulkan permintaannya agar tidak membuatnya kehilangan Elvan?

“Mas! Tolong katakan sesuatu jika kamu sedang bercanda, semua ini bukanlah kebenaran.” Jihan masih berharap bahwa semua ini tidak nyata, tapi sayang sekali, pada dasarnya memang cinta tidak bisa dipaksakan.

Elvan sekali lagi berkata dengan yakin bahwa semua ini adalah kebenaran, harapan bahagia berubah menjadi mimpi buruk, bayangan betapa Elvan akan langsung mencium dan mengucapkan kata selamat lalu memeluknya pun sirna. Jihan sudah tidak kuat lagi berada di ruangan luas ini tapi sangat menyesakkan dada.

“Ma, Pa. Jihan pamit pulang, ya…, Assalamuallaikum.” Jihan berdiri masuk ke dalam kamarnya bersama Elvan ketika menginap. Mengambil di atas nakas, Jihan keluar dengan tergesa-gesa.

Wanita itu mencoba tegar dan berjalan menuju depan melewati beberapa orang yang menatapnya sendu. Milea teringat kalau niat Jihan datang berkunjung juga karena ingin memberitahukan sesuatu pada mereka semua. Bayangan bagaimana bahagianya Jihan tadi saat baru datang membuat Milea ikut merasakan sesak akibat ulah putranya sendiri.

“Jihan tunggu, Nak,” tahan Milea kepada menantunya ketika sudah diambang pintu.

“Bukankah kamu tadi bilang ada sesuatu yang ingin kamu beritahukan kepada kami semua?”

Jihan menghapus air mata dengan kasar. Tubuhnya berbalik menghadap Mama mertua, menghela nafas dalam, Jihan mengambil benda pipih bergaris merah dua itu dari dalam tasnya.

“Mungkin ini bukan kabar gembira buat Mas Elvan. Tapi semoga ini menjadi kabar baik buat Mama dan Papa. Aku pikir nanti Mas Elvan akan senang dengan kabar ini tapi, lagi-lagi anganku hancur hari ini juga.” Jihan menyerahkan tespeck tersebut kepada Milea kemudian berlalu pergi begitu saja.

Dirinya sudah tidak kuat lagi bila harus berada dalam satu ruangan dengan pengkhianat itu. Lelaki dan perempuan itu tak berkata apa-apa, sejak tadi Cristal hanya diam menunduk tanpa berani mengangkat kepalanya karena dirinya sadar, di sini dialah sumber masalahnya.

“Ya Allah, Jihan….” Tubuh Milea ambruk bersamaan dengan suara Milea yang meraung memanggil nama menantunya.

“Pa, Jihan, Pa.”

“Jihan kenapa, Ma?” Tanya Tino panik melihat sang istri dalam keadaan tidak baik-baik saja.

“Jihan….” Belum sempat Milea berbicara, benda yang sejak tadi dipegang pun jatuh.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status