로그인"Dia hamil anakku," lanjut Mahendra pelan.
Jantung Savita seolah berhenti berdetak, lalu kembali berdebar tak karuan. ‘Semua jelas sekarang,’ pikirnya.
Walau begitu, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya bibirnya yang bergerak pelan. Dadanya terasa sesak sekali bagaikan terhimpit batu. Dicobanya menarik napas pelan, akan tetapi malah semakin sesak. Pandangannya mulai berkunang.
"Sejak kapan kalian berselingkuh?" Savita bertanya pelan. Mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.
Mahendra menggeleng pelan pada pertanyaan itu.
"Kami nggak selingkuh, Savita,” jawabnya. “Saat itu, acara minum-minum karyawan. Aku sama Gita sangat mabuk, dan nggak sengaja kami melakukannya."
Savita tersenyum miris. "Nggak sengaja katamu?" tanyanya tidak percaya.
Pandangan matanya beralih pada Gita, yang langsung menunduk menghindari tatapannya. Savita mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Ditahannya gejolak ingin menarik rambut Gita.
"Kalian berdua ... menjijikkan," lanjut Savita saat keduanya tidak menjawab pertanyaan tadi.
Saat Mahendra menjulurkan tangan ingin meraih tangan Savita, dia segera menepisnya.
"Jangan menyentuhku!" ucapnya setengah berteriak.
Mahendra tertegun. Dia tidak menyangka Savita akan semarah itu. Dia sebelumnya berpikir bahwa Savita akan menerima begitu saja sebab istrinya itu termasuk lemah lembut.
Mahendra menunduk saat tatapan Savita benar-benar sangat marah. "Aku tahu salah, tapi sayang ... aku minta maaf."
Savita mencoba menahan air mata yang mengenang. Bibirnya bergetar. "Jadi apa maumu, Mahendra?" bisiknya. Dadanya terasa semakin sesak membayangkan hal yang tidak diinginkan.
"Maaf, Savita. Aku mau nikahi Gita."
Suara Mahendra terdengar begitu tenang, tapi justru ketenangan itu membuat dada Savita semakin sesak.
Dipandanginya Mahendra lama, dan air mata yang sedari tadi coba dia tahan akhirnya luruh, meninggalkan jejak basah di pipinya.
Savita teringat hasil pemeriksaannya tadi. Di hari yang sama, dua kabar buruk datang berturut dan keduanya sama-sama mengguncang hidupnya. Tas yang berisi surat pemeriksaan itu mendadak begitu berat di tangannya.
Rasanya Savita ingin berteriak, ingin marah, tapi tubuhnya terlalu lemah. Bahkan untuk berdiri tegak pun dia harus menguatkan kakinya agar tidak roboh di depan orang yang baru saja menghancurkan impiannya.
Savita menarik napas panjang berusaha menenangkan dirinya.
"Itu keputusanmu?” tanya Savita dengan suara nyaris patah. “Oke, aku hargai. Kalau begitu … mari kita cerai, Mahendra."
Wajah Mahendra menegang. Sedangkan Gita masih menunduk. Savita tidak dapat melihat jelas reaksi yang diberikan oleh Gita. Yang Savita dengar hanya tangisan Gita yang memenuhi ruangan itu.
Entah tangisan penyesalan atau tangisan kemenangan. Memikirkan hal itu membuat Savita kembali mengepalkan kedua tangannya demi menahan keinginannya untuk menarik rambut Gita hingga rontok.
Tiba-tiba tangan Mahendra meraih tangan Savita dan mencengkeramnya kuat.
"Apa maksudmu cerai? Jangan gila! Aku nggak mau menceraikanmu, Savita."
Rasa sakit menjalar di pergelangan tangan yang dicengkeram Mahendra dan itu membuat Savita meringis. "Sakit, Mahendra. Lepas."
Mahendra tersentak dan buru-buru mengendurkan cengkeramannya. Raut wajahnya berubah lembut, penuh penyesalan.
"M-maaf ... aku kaget karena kamu tiba-tiba ngomong cerai.” Mahendra gelagapan. Ditatapnya Savita menyesal. “Aku nggak bermaksud nyakitin kamu."
Savita memandangi bekas merah yang tertinggal di tangannya. Lalu mengusapnya pelan. Selama enam tahun bersama, baru kali ini Mahendra kasar padanya bahkan sampai meninggalkan bekas kemerahan di pergelangan tangannya.
Air mata menggenang di pelupuk matanya. Begitu terluka batinnya mendengar kabar buruk itu.
"Terus apa maumu, Mahendra?” tanya Savita menahan gemetar suaranya agar tidak menangis meraung. “Bukannya sebelum kamu putuskan bawa Gita kemari, kamu udah siapkan perceraiannya?"
Mahendra menggeleng cepat, wajahnya berubah sendu. "Aku nggak pernah punya niat buat cerai sama kamu. Kamu tahukan aku cinta kamu. Bagaimana bisa aku rela pisah dari kamu?"
Savita tersenyum miris. Mendengar kata cinta meluncur begitu alami dari mulut Mahendra justru membuat hatinya semakin tercekik.
Tatapan Savita beralih pada Gita yang masih berdiri di samping Mahendra. Wanita itu menunduk, tampak seperti anak kecil yang sedang menerima hukuman. Dilihatnya Gita menyusutkan air mata dengan jarinya.
Savita menghela napas. Dia sebenarnya merasa iba. Bagaimanapun, Gita sedang mengandung. Namun di sisi lain, hatinya seperti diremas mengingat bayi yang dikandung wanita itu adalah milik suaminya.
"Jadi maksudnya kamu mau menikahi Gita tanpa menceraikanku?" tanya Savita dengan mata tidak lepas memandang Gita. Entah dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
Mahendra diam. Namun, diamnya cukup menjadi jawaban dari pertanyaan Savita.
Savita menarik napas panjang. Udara yang dihirup terasa berat, seolah paru-parunya menolak bekerja. Air mata kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Perlahan, dia menggenggam tangan Kaivan yang sedari tadi berdiri di sisinya tanpa bersuara. Anak itu menatap orang tuanya dengan bingung. Tidak mengerti yang terjadi.
Savita kembali menatap Mahendra dengan wajah penuh luka.
"Jangan egois, Mahendra,” bisiknya. “Kamu harus memilih antara kami berdua."
Setelah mengucapkan itu, Savita melangkah menuju lantai dua. Langkahnya pelan, bahunya bergetar menahan tangis. Setiap anak tangga terasa lebih tinggi dari sebelumnya. Dunia yang dikiranya baik-baik saja sekarang mendadak terbalik.
Dia tidak dapat membayangkan semua akan seperti ini. Suami yang dibanggakannya tiba-tiba berbalik menyerangnya diam-diam. Menjalin hubungan dengan wanita lain walau katanya secara tidak sengaja.
Begitu sampai di atas, rasa mual mendadak menyerang. Savita buru-buru melepaskan tangan Kaivan dan berlari menuju kamar. Bocah kecil itu hanya bisa menatap punggung mamanya dengan heran. Bingung ingin bertanya atau diam saja.
Di dalam kamar, Savita bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya di wastafel. Asam di tenggorokannya membuat matanya perih. Dia menatap pantulan dirinya di kaca. Wajahnya pucat, mata sembab, bibir bergetar.
"Ya Tuhan," suaranya nyaris tak terdengar, "kumohon, bangunkan aku dari mimpi buruk ini."
Sungguh, Savita berdoa agar ini hanya sebuah mimpi buruk. Namun, dinginnya lantai dan perih di dadanya, seolah menyadarkan dirinya kalau ini adalah kenyataan.
Savita keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Dia mengambil tas yang tadi dibawanya dari rumah sakit, mengeluarkan sebuah amplop putih, dan menatapnya lama. Tangannya bergetar saat membuka lipatan kertas di dalamnya.
Tiba-tiba suara pintu terbuka. Savita buru-buru menyembunyikan kertas itu di dalam tasnya lagi.
"Ada apa?" tanyanya cepat, begitu melihat Mahendra dan Gita masuk.
“Bi,” panggil Savita. “Buat saya saja smoothiesnya.”Bi Uti meletakkan smoothies di depan Savita. “Silakan, Nyonya.” Bi Uti berkata dengan gugup.Savita mengangguk seraya memasang senyumnya. Setidaknya dia mencoba untuk tersenyum pada Bi Uti.“Oiya!” Gita berseru kemudian. “Mbak maaf ya. Aku nggak buatin kamu sarapan. Aku nggak tau apa yang kamu suka.”Savita melihat Gita dengan mata sedikit menyipit.“Nggak apa-apa.” Savita menjawab kaku. “Saya nggak biasa sarapan berat kalau pagi. Biasanya makan roti saja.”“Oh,” balas Gita. “Rotinya habis, Mbak. Maaf ya.”Savita menahan mulutnya untuk berkata pedas pada Gita. Dia hanya memasang senyum kakunya lagi. Menurutnya, Gita memang sedang menguji emosinya.“Semal
“Sayang, sudah bangun?”Suara berat itu terdengar saat Savita sedang merapikan rambutnya. Savita tidak menjawab. Dia kembali memulas bedak di wajahnya secara tipis-tipis.“Aku tunggu di ruang makan ya. Kaivan sudah bangun juga.”Savita melihat dari balik pintu yang tertutup itu, Mahendra bergerak menjauh. Savita meletakkan bedaknya di atas meja rias lalu menghela napas. Dia teringat kejadian kemarin. Keputusan Mahendra untuk segera menikahi Gita. Pernikahan itu terjadi kemarin di kantor KUA.Savita melihat betapa orang tua Gita begitu senang ketika tahu putrinya akan menikahi Mahendra. Katanya mereka menerima segala keputusan anaknya.Savita menelan ludah. Ditutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menghela napas. Setelah menikah kemarin, Mahendra berkata padanya bahwa dia akan tidur di rumah Gita untuk semalam. Savita tidak bisa berbuat apa-apa.“Beruntung kemarin Kaivan nggak ikut.” Gumam Savita.Kaivan kemarin merengek ingin ke rumah nenek Citra. Savita tersenyum senang menanggap
“Ma, aku pulang, ya.” Savita menyandang tasnya lalu berdiri dari duduknya di ruang makan.“Kenapa buru-buru, Vita? Papamu paling sebentar lagi pulang.” Citra ikut berdiri lalu mengikuti Savita yang berjalan menuju ruang depan.Hari masih pagi. Savita memutuskan untuk menginap di rumah itu. Sepanjang malam, Savita tidak bisa tidur. Mahendra tidak meneleponnya sama sekali dan itu pertanda bahwa Kaivan tidak mencarinya. Savita mengirim pesan singkat semalam. menanyakan kabar Kaivan akan tetapi tidak ada balasan dari Mahendra sampai pagi tiba. Savita menatap sekilas jam tangannya. Pukul 05.30 pagi. “Kaivan kan besok sekolah, Ma.” Savita menjawab ringan. “Aku harus pastikan semua keperluannya lengkap. Kalau nggak begitu, nanti ada yang ketinggalan.” Imbuhnya lagi.“Oh yasudah.” Citra mengangguk paham. “Hati-hati di jalan.”Savita mengendarai mobilnya perlahan. Diperhatikannya Citra melambaikan tangan seraya tersenyum. Tangan Savita terulur menyalakan radio. Suara penyiar radio yang ceri
“Apa kabar, Sayang?” Citra memeluk singkat Savita. Kemudian diperhatikan putri semata wayangnya itu saksama. “Kamu kurusan.”Savita tersenyum tipis.“Dan agak pucat.” Citra kembali berbicara. “Mungkin aku kelelahan, Ma.” Savita berkata pelan tanpa melihat mata Citra. Dia khawatir saat melihat mata Mamanya, maka pertahanannya runtuh seketika. “Yuk masuk.” Citra mengajak putrinya masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang ukurannya tidak terlalu besar. Hanya diisi oleh kedua orang tua Savita dan seorang asisten rumah tangga yang mengurusi segalanya. “Mahendra sibuk kerja ya?” tanya Citra saat membawa Savita ke ruang tengah. Savita mengangguk pelan. “Begitulah, Ma. Sibuk.”“Kalau nggak sibuk, ajak kemari. Sudah lama Mama nggak ketemu Mahendra.” Citra tersenyum. “Oiya,” ucapnya kemudian.“Ada apa, Ma?” tanya Savita saat melihat Mamanya seolah teringat sesuatu.“Kamu tau, kan, artis Gita Yohani?” Alis Savita naik. “Kenapa, Ma?” mendadak jantungnya berdebar. Dia takut Mamanya sudah tahu dar
“Bagaimana kabarmu, Nak? Baik-baik saja, kan?” Suara Citra, Ibunya, membuat Savita menutup mata. Dihela napasnya pelan lalu tersenyum.“Baik, Ma,” balas Savita. “Aku lagi di sekolahan Kaivan.”“Loh, Kaivan bukannya ada mobil antar jemputnya dari sekolah kan, Vita?” terdengar suara heran dari Citra. Savita mengangguk masih tersenyum. Dia senang mendengar suara Ibunya walau dari sambungan telepon. Saat ini dia sedang menunggu di dalam mobil, di depan sekolah Kaivan. “Iya, Ma. Ada. Cuma aku lagi pengen aja jemput,” balasnya. Diperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktunya masih jauh dari jam jemput. Masih ada dua jam lagi. Savita butuh keluar dari rumah itu sebab di rumah tersebut ada Gita. Dia sedang tidak ingin bersama dengan Gita satu atap untuk sekarang.“Kamu belum jawab pertanyaan Mama. Kamu baik-baik aja?”Senyum Savita memudar. Ditahannya air mata agar tidak jatuh. Mendadak dadanya terasa sakit hingga dia bahkan hampir sulit bernapas. Perlahan, dia membuka
"Kabar bahagia sekaligus mengejutkan datang dari artis papan atas, Gita Yosani!" suara ceria host acara gosip selebriti terdengar dari layar televisi.Savita duduk memandangi layar dengan tatapan kosong. Ditampilkan potongan video Gita beserta unggahan pernyataan resmi di laman pribadinya."Ya, ini benar-benar mengejutkan. Gita Yosani, artis cantik yang dikenal sangat tertutup soal kehidupan asmaranya, tiba-tiba mengumumkan pernikahan!"Host wanita berpenampilan kasual itu tersenyum lebar, suaranya riang dan ringan."Dalam unggahan tersebut, Gita hanya menulis caption singkat sambil mengenakan gaun pengantin putih. Namun, dia tidak menandai siapa pun. Hal ini tentu saja membuat para penggemar penasaran dengan sosok pria yang berhasil mempersuntingnya."Dua hari lalu, setelah Savita mengizinkan Mahendra menikahi Gita, pria itu langsung mempersiapkan segalanya tanpa menunda. Dan kemarin, Gita resmi mengumumkan pernikahannya di media sosial.Suara host kembali terdengar, "Mari kita lihat







