로그인"Sebelumnya aku ingin minta maaf, Savita," ucap Gita pelan. Suaranya bergetar, seperti menahan tangis. "Aku tidak bermaksud menghancurkan pernikahan kalian."
Gita melangkah mendekat membuat Savita otomatis menegang, matanya waspada. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Gita.
"Aku cuma butuh status menikah,” lanjut Gita lagi saat Savita hanya diam. “Aku nggak mau anakku lahir dicap anak haram."
Savita tetap diam. Tapi dadanya terasa sesak. Jari-jarinya mengepal, meremas kertas di belakang tubuhnya sampai kusut.
Gita melanjutkan dengan suara rendah. "Aku juga enggak masalah kalau cuma jadi istri kedua."
Ucapan itu membuat dunia Savita terasa berhenti berputar hingga membuatnya mundur satu langkah dan hampir menabrak lemari kecil di belakangnya.
Mahendra ikut maju selangkah. "Savita, bisakah kita nggak bercerai? Pikirkan Kaivan. Anak kita pasti sedih kalau kita berpisah tiba-tiba."
Savita terdiam lama memikirkan ucapan Mahendra. Selama enam tahun pernikahan mereka, hubungan keluarganya sangat harmonis. Jika bercerai tiba-tiba, itu akan membuat Kaivan kebingungan, sekaligus sedih.
"Mah, Pah, jangan berantem lagi."
Suara kecil dari ambang pintu memecah ketegangan. Kaivan berdiri di sana dengan mata merah. Savita bahkan hampir lupa kalau Kaivan masih berdiri di ambang pintu kamar itu.
Anak itu berlari ke arah Savita dan memeluknya erat. "Mama, ayo baikan sama Papa," pintanya polos.
Savita tertegun. Dia mengelus kepala Kaivan lembut, berusaha tersenyum walau bibirnya gemetar.
"Kami nggak berantem, Sayang," ucap Savita pelan, menenangkan walau suaranya pastilah terdengar sangat sedih dan merana.
"Tapi kenapa Mama nangis?" tanya Kaivan polos, menatap wajah mamanya dengan mata bening penuh kebingungan.
Savita menunduk, cepat-cepat menyeka air matanya. "Nggak , Mama nggak nangis kok."
"Savita, apa kamu masih berpikir mau cerai? Kamu nggak memikirkan, Kaivan?"
Pertanyaan Mahendra mengejutkan Savita. Savita menghela napas pelan.
“Aku butuh waktu,” ucap Savita lalu meraih tangan Kaivan. “Ayo, Nak. Kita ke kamarmu.”
Kaivan menurut. Dia menggenggam balik tangan Savita lalu berjalan keluar dari kamar itu menuju kamar Kaivan.
Saat tiba di kamarnya, Kaivan segera mengambil kertas dan pensil warna. Dia duduk di kursi kecilnya lalu mulai menggambar.
“Aku mau gambar.” Kaivan berbicara penuh semangat. Seolah lupa kejadian tadi.
Savita mengikuti Kaivan lalu duduk di sebelahnya.
"Kaivan, kalau Mama dan Papa pisah. Kamu mau, kan, ikut sama Mama?" tanya Savita.
Kaivan yang tadi sibuk menggambar sontak menoleh. Mata bulatnya perlahan mulai berkaca.
"Kenapa Mama dan Papa mau pisah?" tanyanya polos. Meski baru lima tahun, Kaivan sedikit mengerti arti kata 'pisah' diantara pasangan suami istri.
Savita tertegun. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirnya, dan kini dia sendiri tidak tahu harus menjawab apa.
'Apa yang harus kukatakan pada Kaivan, supaya dia bisa mengerti?' batinnya, menatap wajah Kaivan yang penuh tanya.
Melihat mamanya hanya diam, Kaivan kembali memanggil dengan suara kecil. "Mama?"
Savita tersentak. Dia berdehem, mencoba menenangkan diri, lalu mengelus lembut rambut Kaivan. "Mama sama Papa lagi ada masalah, makanya Mama berpikir untuk berpisah."
Kaivan tidak menjawab. Tapi tatapan matanya menancap kuat pada Savita. Hidungnya mulai memerah, bibirnya bergetar, dan tidak lama buliran bening jatuh dari sudut matanya hingga membentuk aliran air mata.
"Nggak! Mama dan Papa nggak boleh pisah!" suaranya pecah, tinggi di ujung kalimat. Lalu dia berbalik dan berlari keluar kamar.
Savita panik. Dia tak menyangka reaksi Kaivan akan seperti itu. Padahal dia sudah bicara selembut mungkin agar anaknya paham.
"Kaivan! Dengar Mama dulu!" serunya sambil berlari mengejar.
Namun langkah kecil Kaivan sudah lebih dulu sampai di depan ruang kerja Mahendra. Pintu terbuka keras membuat Mahendra yang tengah duduk langsung menatap kaget.
"Papa!" seru Kaivan sambil memeluk kaki Mahendra erat. "Papa, jangan pisah sama Mama, ya?"
Alis Mahendra berkerut. Pandangannya turun ke arah Kaivan yang matanya sembap dan hidungnya merah. Tidak lama kemudian, Savita muncul di ambang pintu dengan wajah pucat. Dan Mahendra langsung tahu apa yang baru saja terjadi.
Tatapan Mahendra beralih ke Savita, sorot matanya menjadi lebih serius.
"Baru dikasih tahu, Kaivan sudah begini. Bagaimana nanti kalau kita beneran pisah?" Mahendra menghela napas berat. "Savita, kumohon... jangan egois. Pikirkan perasaan anak kita."
Savita terdiam. Kata-kata Mahendra membuat tubuhnya seolah membeku di tempat.
'Kenapa sekarang malah aku yang terlihat egois di sini?' Pikir Savita lirih.
Savita memandangi Mahendra, wajahnya terlihat terluka. 'Bukankah disini dialah yang egois? Ingin menikahi wanita lain tanpa bercerai terlebih dulu.'
Namun, kata-kata itu hanya tersangkut di kepala. Entah mengapa saat ini bibirnya kelu untuk sekedar mengeluarkan kata-kata pembelaan.
Mahendra sadar dengan perubahan raut wajah Savita. Dia berdeham, lalu berjongkok, menatap Kaivan serius. "Jangan menangis, Mama dan Papa nggak akan berpisah."
Pandangan Mahendra lalu kembali ke arah Savita yang masih berdiri kaku di ambang pintu. "Meski Mama ingin, Papa akan menolak. Kita keluarga, dan apapun yang terjadi, kita akan tetap bersama."
Setelah mendengar itu, Kaivan mulai tenang, meski sesekali masih menyeka hidungnya dengan punggung tangan.
Mahendra menghela napas.
"Berhenti berpikir untuk cerai, Savita. Karena aku nggak akan pernah mengabulkan itu,” ucap Mahendra saat Savita hanya diam. “Aku akan menikahi Gita, sementara kamu akan tetap menjadi istriku."
Savita tertegun. Sungguh dia tidak menyangka Mahendra akan seegois itu.
"Mama, kumohon jangan pisah sama papa," ucap Kaivan, suaranya terdengar serak karena habis menangis. Suara kaivan membuatnya urung mengatakan penolakan.
Kaivan melangkah ke arah Savita lalu meraih tangan mamanya. Dia memandangi Savita dengan mata yang kembali berkaca. "Aku nggak mau seperti Mila, Ma."
Savita tertegun. Dia tahu siapa Mila, teman sekelas Kaivan di prasekolah yang orang tuanya baru saja berpisah.
"Teman-teman suka ngejek dia, katanya dia nggak punya ayah. Kaivan nggak mau kayak gitu, Mah," lanjutnya, kini air matanya kembali mengalir.
Dada Savita seolah dihantam balok kayu. Napasnya terasa berat. Dia baru sadar, luka akibat perpisahan orang tua bisa sedalam itu bagi anak sekecil Kaivan. Dan kini, ketakutan itu jelas terlihat di mata putranya sendiri.
Savita tidak ingin Kaivan terluka. Tapi kalau dirinya yang harus bertahan dalam pernikahan yang penuh luka, bukankah hatinya sendiri yang hancur? Dia harus rela membagi suaminya dengan wanita lain.
"Mama, jangan diam saja. Katakan sesuatu," desak Kaivan sambil menggoyang tangan Savita karena sedari tadi mamanya hanya diam. Kaivan butuh jawaban yang pasti.
Savita tersadar. Tatapannya kemudian bergantian ke arah Kaivan dan Mahendra. Kaivan masih terlalu kecil untuk menanggung beban dari perpisahan mereka.
Mungkin memang lebih baik dirinya yang terluka daripada putranya.
Savita menatap Mahendra, wajahnya mulai serius. Dia menarik napas panjang, seolah ingin menelan seluruh udara yang mampu mengurangi rasa sesak di dadanya.
"Aku mengalah. Kamu bisa menikahi Gita, dan kita nggak perlu bercerai." Begitu kalimat itu selesai, buliran kristal bening langsung jatuh dari matanya.
Mahendra yang mendengar keputusan Savita, segera berdiri dan menghampiri. Senyum lebar terbit di wajah tampannya.
"Sungguh? Terima kasih, Sayang!" serunya, lalu menarik Savita ke dalam pelukannya.
“Bi,” panggil Savita. “Buat saya saja smoothiesnya.”Bi Uti meletakkan smoothies di depan Savita. “Silakan, Nyonya.” Bi Uti berkata dengan gugup.Savita mengangguk seraya memasang senyumnya. Setidaknya dia mencoba untuk tersenyum pada Bi Uti.“Oiya!” Gita berseru kemudian. “Mbak maaf ya. Aku nggak buatin kamu sarapan. Aku nggak tau apa yang kamu suka.”Savita melihat Gita dengan mata sedikit menyipit.“Nggak apa-apa.” Savita menjawab kaku. “Saya nggak biasa sarapan berat kalau pagi. Biasanya makan roti saja.”“Oh,” balas Gita. “Rotinya habis, Mbak. Maaf ya.”Savita menahan mulutnya untuk berkata pedas pada Gita. Dia hanya memasang senyum kakunya lagi. Menurutnya, Gita memang sedang menguji emosinya.“Semal
“Sayang, sudah bangun?”Suara berat itu terdengar saat Savita sedang merapikan rambutnya. Savita tidak menjawab. Dia kembali memulas bedak di wajahnya secara tipis-tipis.“Aku tunggu di ruang makan ya. Kaivan sudah bangun juga.”Savita melihat dari balik pintu yang tertutup itu, Mahendra bergerak menjauh. Savita meletakkan bedaknya di atas meja rias lalu menghela napas. Dia teringat kejadian kemarin. Keputusan Mahendra untuk segera menikahi Gita. Pernikahan itu terjadi kemarin di kantor KUA.Savita melihat betapa orang tua Gita begitu senang ketika tahu putrinya akan menikahi Mahendra. Katanya mereka menerima segala keputusan anaknya.Savita menelan ludah. Ditutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menghela napas. Setelah menikah kemarin, Mahendra berkata padanya bahwa dia akan tidur di rumah Gita untuk semalam. Savita tidak bisa berbuat apa-apa.“Beruntung kemarin Kaivan nggak ikut.” Gumam Savita.Kaivan kemarin merengek ingin ke rumah nenek Citra. Savita tersenyum senang menanggap
“Ma, aku pulang, ya.” Savita menyandang tasnya lalu berdiri dari duduknya di ruang makan.“Kenapa buru-buru, Vita? Papamu paling sebentar lagi pulang.” Citra ikut berdiri lalu mengikuti Savita yang berjalan menuju ruang depan.Hari masih pagi. Savita memutuskan untuk menginap di rumah itu. Sepanjang malam, Savita tidak bisa tidur. Mahendra tidak meneleponnya sama sekali dan itu pertanda bahwa Kaivan tidak mencarinya. Savita mengirim pesan singkat semalam. menanyakan kabar Kaivan akan tetapi tidak ada balasan dari Mahendra sampai pagi tiba. Savita menatap sekilas jam tangannya. Pukul 05.30 pagi. “Kaivan kan besok sekolah, Ma.” Savita menjawab ringan. “Aku harus pastikan semua keperluannya lengkap. Kalau nggak begitu, nanti ada yang ketinggalan.” Imbuhnya lagi.“Oh yasudah.” Citra mengangguk paham. “Hati-hati di jalan.”Savita mengendarai mobilnya perlahan. Diperhatikannya Citra melambaikan tangan seraya tersenyum. Tangan Savita terulur menyalakan radio. Suara penyiar radio yang ceri
“Apa kabar, Sayang?” Citra memeluk singkat Savita. Kemudian diperhatikan putri semata wayangnya itu saksama. “Kamu kurusan.”Savita tersenyum tipis.“Dan agak pucat.” Citra kembali berbicara. “Mungkin aku kelelahan, Ma.” Savita berkata pelan tanpa melihat mata Citra. Dia khawatir saat melihat mata Mamanya, maka pertahanannya runtuh seketika. “Yuk masuk.” Citra mengajak putrinya masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang ukurannya tidak terlalu besar. Hanya diisi oleh kedua orang tua Savita dan seorang asisten rumah tangga yang mengurusi segalanya. “Mahendra sibuk kerja ya?” tanya Citra saat membawa Savita ke ruang tengah. Savita mengangguk pelan. “Begitulah, Ma. Sibuk.”“Kalau nggak sibuk, ajak kemari. Sudah lama Mama nggak ketemu Mahendra.” Citra tersenyum. “Oiya,” ucapnya kemudian.“Ada apa, Ma?” tanya Savita saat melihat Mamanya seolah teringat sesuatu.“Kamu tau, kan, artis Gita Yohani?” Alis Savita naik. “Kenapa, Ma?” mendadak jantungnya berdebar. Dia takut Mamanya sudah tahu dar
“Bagaimana kabarmu, Nak? Baik-baik saja, kan?” Suara Citra, Ibunya, membuat Savita menutup mata. Dihela napasnya pelan lalu tersenyum.“Baik, Ma,” balas Savita. “Aku lagi di sekolahan Kaivan.”“Loh, Kaivan bukannya ada mobil antar jemputnya dari sekolah kan, Vita?” terdengar suara heran dari Citra. Savita mengangguk masih tersenyum. Dia senang mendengar suara Ibunya walau dari sambungan telepon. Saat ini dia sedang menunggu di dalam mobil, di depan sekolah Kaivan. “Iya, Ma. Ada. Cuma aku lagi pengen aja jemput,” balasnya. Diperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktunya masih jauh dari jam jemput. Masih ada dua jam lagi. Savita butuh keluar dari rumah itu sebab di rumah tersebut ada Gita. Dia sedang tidak ingin bersama dengan Gita satu atap untuk sekarang.“Kamu belum jawab pertanyaan Mama. Kamu baik-baik aja?”Senyum Savita memudar. Ditahannya air mata agar tidak jatuh. Mendadak dadanya terasa sakit hingga dia bahkan hampir sulit bernapas. Perlahan, dia membuka
"Kabar bahagia sekaligus mengejutkan datang dari artis papan atas, Gita Yosani!" suara ceria host acara gosip selebriti terdengar dari layar televisi.Savita duduk memandangi layar dengan tatapan kosong. Ditampilkan potongan video Gita beserta unggahan pernyataan resmi di laman pribadinya."Ya, ini benar-benar mengejutkan. Gita Yosani, artis cantik yang dikenal sangat tertutup soal kehidupan asmaranya, tiba-tiba mengumumkan pernikahan!"Host wanita berpenampilan kasual itu tersenyum lebar, suaranya riang dan ringan."Dalam unggahan tersebut, Gita hanya menulis caption singkat sambil mengenakan gaun pengantin putih. Namun, dia tidak menandai siapa pun. Hal ini tentu saja membuat para penggemar penasaran dengan sosok pria yang berhasil mempersuntingnya."Dua hari lalu, setelah Savita mengizinkan Mahendra menikahi Gita, pria itu langsung mempersiapkan segalanya tanpa menunda. Dan kemarin, Gita resmi mengumumkan pernikahannya di media sosial.Suara host kembali terdengar, "Mari kita lihat







