Reza pulang ke rumahnya, di jam delapan malam. Setelah mandi dan sholat Isya, Reza duduk di meja makan bersama ibunya. “Hmm, enak nih,” katanya saat melihat pepes ikan yang sudah tersedia di meja. Dengan segera dia mengambil piring, dan seekor ikan pepes beserta lalapannya. Ibunya juga melakukan hal yang sama. “Bu, Reza udaah bicara sama calon mantu Ibu. Besok malam, kita ke rumahnya, melamar dia secara resmi,” kata Reza. “Aduh, kok dadakan sekali. Kita belum ada persiapan,” kata ibunya dengan ekspresi terkejut. “Ibu tenang aja. Reza udah hubungi teman Reza yang biasa ngurus hantaran buat lamaran. Katanya nggam ribet kok, yang dibawa. Kan masih lamaran. Paling bawah kue-kue, buah, sama cincin. Cincinnya udah Reza beli, urusan kue sama buah, Reza serahkan sama dia. Yang penting, yang terbaik,” kata Reza dengan santai. “Terus, keluarga kita? Masak cuma kita berdua aja,” kata ibunya kembali melanjutkan makannya. “Ya Ibu hubungi Pakde Tono sama Pakde Salim aja. Nanti Reza kirim on
Seketika suasana menjadi lebih tegang. Bastian tak perlu bertanya lebih jauh, dia tau kalau yang Laras yang dimaksud adalah wanita yang selama ini selalu Ada di hatinya. Tubuh Alya seketika menjadi lemas, begitu juga dengan Ratna. Alya memandang Reza dengan mata berkaca-kaca. Ternyata, Reza adalah abangnya yang sangat ingin dia temui.Air mata Alya jatuh. Ia membekap mulutnya, mencoba menahan isak. Ratna menunduk, menahan perasaan yang berkecamuk, karena menyadari, dia lah yang memulai semuanya. Sementara Bastian berdiri dan melangkah ke jendela, membelakangi mereka semua.“Alya?” Reza bangkit dari duduknya, bingung melihat tangis calon istrinya dan suasana yang mendadak kaku. “Ada apa sebenarnya? Apa kamu kenal sama Ibu Abang?”Alya mendongak perlahan, menatap Reza dengan mata yang mulai memerah. Suaranya bergetar ketika bicara. Bibirnya bergetar, sambil mengangguk pasrah. “Ibu Laras ... adalah–” Alya tercekat, matanya beradu dengan netra Reza. “Dia … ibuku juga, Bang.”Reza terpa
Laras sangat cemas, karena sampai tengah malam Reza tak pulang ke rumah. “Ya Allah, kemana kamu, Nak?” gumamnya. Berulangkali matanya tertuju pada jam yang ada di dinding rumah. Hapenya tetap berada di genggaman. Sejak tadi, dia sudah berusaha menghubungi Reza, tetapi hapenya tidak aktif. Akhirnya, Laras mencoba menghubungi Alya. Alya yang tak bisa tidur, juga gelisah di kamarnya. Matanya bengkak, karena menangis sejak tadi. Dia merasa marah atas semua yang terjadi. Dia marah pada Ratna, Wijaya juga Laras. Hapenya yang diletak di atas bantal berdering. Dia cepat melihat nama orang yang memanggil. Melihat nama Bu Laras, Alya menolak panggilan itu. Malah langsung menonaktifkan hapenya. Laras langsung melihat hapenya, karena Alya menolak panggilannya. Dia tertegun, dan terduduk lemas di sofa. ~~~~~~Mendengar pintu diketuk, Laras yang tertidur di sofa langsung bangkit dan tegas jalan menuju jendela rumah untuk melihat siapa yang datang. Melihat Reza yang berdiri di depan pintu ru
Sudah beberapa hari berlalu, tak ada kabar dari Alya. Ratna dan Bastian sampai melaporkan kehilangan Alya ke kantor polisi, tetapi belum juga berhasil ditemukan. Apalagi polisi kali ini menganggap, kalau Alya mungkin pergi dan bersembunyi di suatu tempat atas keinginannya sendiri. Reza dan Laras juga turut mencari. Namun, mereka juga tak mengenal kawan-kawan Alya, dan kemana biasanya dia pergi. “Ini semua salah Ibu,” kata Laras menyesali diri. Sejak Alya tidak pulang ke rumahnya, Laras terus menyalahkan dirinya. Menganggap kepergian Alya, karena rasa kecewa pada dirinya. “Ya sudah lah, Bu. Buat apa lagi menyalahkan diri. Dari kemarin, Ibu terus menyalahkan diri Ibu. Nanti lama-lama Ibu jatuh sakit,” kata Reza yang pasrah. Dia juga sudah berusaha mencari, bahkan lewat sosial media. Tetapi, Alya seperti raib ditelan bumi. Bahkan jejaknya tak diketahui arah kemana. “Seandainya, sejak awal Ibu mengenalkan kalian, pasti ini tak akan terjadi,” sesal Laras. Reza terdiam. Dia juga menye
POV ALYA"Al, itu Papa kamu kan?" tanya Audi ketika kami baru saja akan naik motor setelah nongkrong di cafe langganan sejak masa kuliah.Aku spontan menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Audi. Seorang pria yang sangat familier baru saja keluar dari sebuah toko kue ternama. Dia membawa kotak kue dan berjalan menuju mobilnya. Benar saja, itu cinta pertamaku. "Iya, itu Papa," ujarku senang. Aku langsung berseru memanggilnya, "Pa! Papa!"Namun, Papa sudah masuk ke dalam mobil dan mobilnya mulai bergerak. Papa sepertinya tidak mendengar panggilanku. Aku menghela napas kecewa, padahal aku sudah berteriak memanggilnya, sampai urat leherku terasa tegang."Yaah .…"Audi menatapku sekilas sebelum menyerahkan helm padaku. "Ya udahlah, sama aku aja. Kan kita satu tujuan," katanya.Aku ragu sejenak sebelum akhirnya menerima helm dan naik ke boncengan. "Rumah kamu kan lebih dekat. Kalau aku sama Papa, kamu nggak perlu nganter aku dulu," ujarku. Harusnya tadi aku bawa mobil aja, atau motif sendiri.
POV ALYAPapa menarik tanganku dengan kasar sampai ke mobil, terpaksa aku ikut karena Papa menarikku sangat kuat. Sempat aku melihat Audi yang kebingungan, lalu gegas menuju motornya.Papa membuka pintu, dan mendorongku dengan kasar masuk ke dalam mobil. “Diam di dalam!” bentak Papa. Sebenarnya aku masih marah. Saking marahnya, dadaku rasa bergemuruh. Mungkin lebih baik aku ikut Papa pulang sekarang. Aku tandai wajah wanita itu, awas aja kalau dia berani lagi ganggu Papa. Aku nggak akan tinggal diam. Aku pasti akan buat perhitungan sama dia. Sebelum masuk ke mobil, aku masih sempat melihat Papa melihat wanita itu. Wanita itu mengusap pipinya yang basah, tetapi tatapannya fokus padaku. Aku tahu, meski kaca jendela mobil memakai kaca film. Dia malah abai dengan tatapan Papa. “Maafkan Alya,” kata Papa padanya, perempuan itu balik badan, dan langsung jalan masuk ke rumahnya, mengabaikan tatapan sinis para tetangga.Audi memberi kode padaku, kalau dia jalan lebih dulu. Papa masuk dan
POV ALYA“Nanti Papa cerita. Papa ada rapat jam sepuluh nanti,” kata Papa langsung bangkit. Sekarang, aku yang bengong. Papa kok bisa sesantai itu? Kayak nggak ada kejadian apa-apa. Kok aku jadi semakin curiga sama Papa. Mama juga kelihatan tidak terlalu menaruh curiga sama Papa. Mama terlihat biasa aja.“Kamu ngapain duduk aja?” tanya Mama karena aku masih terpaku di tempatku duduk. Akhirnya, aku bangkit juga. Setelah mencium Mama, aku berpamitan. Masih kesal dengan Papa, aku memilih naik mobilku sendiri. ~~~~~~~“Mbak Dona, Papa mana?” tanyaku pada sekretaris Papa. Aku mengenal hampir semua karyawan Papa yang lama, sebab dari kecil sudah sering datang ke kantor Papa. Sekarang jam makan siang, Papa pasti sudah selesai meeting. Aku mau makan siang sama Papa, karena kami sepertinya harus bicara secara dewasa. “Tapi Bapak selesai meeting, keluar. Nggak ada bilang mau kemana, malah meeting sore nanti disuruh batalkan,” jawab Mbak Dona. Dahiku mengernyit. Kenapa Papa nggak bilang ya
Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku sendiri. Ada terlalu banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Siapa sebenarnya perempuan itu? Apa yang Papa lakukan di masa lalu? Dan siapa "dia" yang dimaksud perempuan itu?Jantungku berdegup kencang saat aku mendengar suara kursi bergeser. Sepertinya pertemuan mereka akan segera berakhir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Belum lagi aku mengambil keputusan, pintu depan terbuka.Refleks, aku mundur ke samping, bersembunyi di balik tembok teras. Dari celah kecil, aku melihat Papa keluar lebih dulu, diikuti Mama yang wajahnya tegang. Perempuan bernama Laras itu berdiri di ambang pintu, melihat ke arah Mama dan Papa dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak pernah berniat kembali ke dalam kehidupan kalian," katanya pelan. “Susah payah saya mengubur masa lalu itu. Butuh waktu bertahun-tahun, tak mungkin saya menggalinya lagi.”Mama menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke Papa. "Saya pegang
Sudah beberapa hari berlalu, tak ada kabar dari Alya. Ratna dan Bastian sampai melaporkan kehilangan Alya ke kantor polisi, tetapi belum juga berhasil ditemukan. Apalagi polisi kali ini menganggap, kalau Alya mungkin pergi dan bersembunyi di suatu tempat atas keinginannya sendiri. Reza dan Laras juga turut mencari. Namun, mereka juga tak mengenal kawan-kawan Alya, dan kemana biasanya dia pergi. “Ini semua salah Ibu,” kata Laras menyesali diri. Sejak Alya tidak pulang ke rumahnya, Laras terus menyalahkan dirinya. Menganggap kepergian Alya, karena rasa kecewa pada dirinya. “Ya sudah lah, Bu. Buat apa lagi menyalahkan diri. Dari kemarin, Ibu terus menyalahkan diri Ibu. Nanti lama-lama Ibu jatuh sakit,” kata Reza yang pasrah. Dia juga sudah berusaha mencari, bahkan lewat sosial media. Tetapi, Alya seperti raib ditelan bumi. Bahkan jejaknya tak diketahui arah kemana. “Seandainya, sejak awal Ibu mengenalkan kalian, pasti ini tak akan terjadi,” sesal Laras. Reza terdiam. Dia juga menye
Laras sangat cemas, karena sampai tengah malam Reza tak pulang ke rumah. “Ya Allah, kemana kamu, Nak?” gumamnya. Berulangkali matanya tertuju pada jam yang ada di dinding rumah. Hapenya tetap berada di genggaman. Sejak tadi, dia sudah berusaha menghubungi Reza, tetapi hapenya tidak aktif. Akhirnya, Laras mencoba menghubungi Alya. Alya yang tak bisa tidur, juga gelisah di kamarnya. Matanya bengkak, karena menangis sejak tadi. Dia merasa marah atas semua yang terjadi. Dia marah pada Ratna, Wijaya juga Laras. Hapenya yang diletak di atas bantal berdering. Dia cepat melihat nama orang yang memanggil. Melihat nama Bu Laras, Alya menolak panggilan itu. Malah langsung menonaktifkan hapenya. Laras langsung melihat hapenya, karena Alya menolak panggilannya. Dia tertegun, dan terduduk lemas di sofa. ~~~~~~Mendengar pintu diketuk, Laras yang tertidur di sofa langsung bangkit dan tegas jalan menuju jendela rumah untuk melihat siapa yang datang. Melihat Reza yang berdiri di depan pintu ru
Seketika suasana menjadi lebih tegang. Bastian tak perlu bertanya lebih jauh, dia tau kalau yang Laras yang dimaksud adalah wanita yang selama ini selalu Ada di hatinya. Tubuh Alya seketika menjadi lemas, begitu juga dengan Ratna. Alya memandang Reza dengan mata berkaca-kaca. Ternyata, Reza adalah abangnya yang sangat ingin dia temui.Air mata Alya jatuh. Ia membekap mulutnya, mencoba menahan isak. Ratna menunduk, menahan perasaan yang berkecamuk, karena menyadari, dia lah yang memulai semuanya. Sementara Bastian berdiri dan melangkah ke jendela, membelakangi mereka semua.“Alya?” Reza bangkit dari duduknya, bingung melihat tangis calon istrinya dan suasana yang mendadak kaku. “Ada apa sebenarnya? Apa kamu kenal sama Ibu Abang?”Alya mendongak perlahan, menatap Reza dengan mata yang mulai memerah. Suaranya bergetar ketika bicara. Bibirnya bergetar, sambil mengangguk pasrah. “Ibu Laras ... adalah–” Alya tercekat, matanya beradu dengan netra Reza. “Dia … ibuku juga, Bang.”Reza terpa
Reza pulang ke rumahnya, di jam delapan malam. Setelah mandi dan sholat Isya, Reza duduk di meja makan bersama ibunya. “Hmm, enak nih,” katanya saat melihat pepes ikan yang sudah tersedia di meja. Dengan segera dia mengambil piring, dan seekor ikan pepes beserta lalapannya. Ibunya juga melakukan hal yang sama. “Bu, Reza udaah bicara sama calon mantu Ibu. Besok malam, kita ke rumahnya, melamar dia secara resmi,” kata Reza. “Aduh, kok dadakan sekali. Kita belum ada persiapan,” kata ibunya dengan ekspresi terkejut. “Ibu tenang aja. Reza udah hubungi teman Reza yang biasa ngurus hantaran buat lamaran. Katanya nggam ribet kok, yang dibawa. Kan masih lamaran. Paling bawah kue-kue, buah, sama cincin. Cincinnya udah Reza beli, urusan kue sama buah, Reza serahkan sama dia. Yang penting, yang terbaik,” kata Reza dengan santai. “Terus, keluarga kita? Masak cuma kita berdua aja,” kata ibunya kembali melanjutkan makannya. “Ya Ibu hubungi Pakde Tono sama Pakde Salim aja. Nanti Reza kirim on
“Mantan majikan Ibu dulu,” jawab Laras. “Loh, kok dia bisa kesini? Kok tau, Ibu ke kota ini lagi?” tanya pemuda itu dengan mimik wajah penasaran.“Kebetulan aja ketemu. Udah ah, jangan banyak tanya. Tumben kamu pulang cepat?” tanya Laras. “Ada kabar gembira buat Ibu. Kita ke dalam yuk.” Pemuda itu menggamit bahu Laras dan membimbingnya ke dalam rumah.~~~~~~Sepanjang jalan, Bastian terus memikirkan Laras. Dia melihat sebuah Mesjid, dan mengarahkan mobilnya ke sana. Sebentar lagi akan masuk waktu Ashar. “Ya Allah, apa aku berdosa? Aku tetap bersama istriku, tetapi hatiku tak mau berpaling dari wanita lain,” gumamnya setelah mobilnya berada di halaman Mesjid. ~~~~~~Keesokan harinya.Pulang dari kantor, Alya sengaja datang ke rumah Laras. Dia ingin mengenal abangnya. Abang kandungnya. Mungkin dia tak akan mengenalkan diri sebagai Adik, tetapi anak dari mantan majikan ibunya.Laras yang tengah menyapu halaman, cukup kaget melihat mobil Alya yang berhenti di halaman rumahnya. Jantun
“Bang, hapenya geter tuh,” kata Dika staff bagian kasir di bengkel Reza. Staff perempuan yang biasa di bagian kasir, sedang libur.Reza yang sedang memeriksa mesin salah satu customer, memang menitipkan hapenya di meja kasir. Di hari libur, tidak semua karyawan masuk, makanya Reza turun tangan dalam membenahi mesin mobil customer. Reza segera mengelap tangannya dengan handuk kecil yang ada di lehernya sambil jalan ke meja kasir. Sampai di meja kasir, dia langsung melihat hapeny, ternyata Alya yang memanggil.“Assalamualaikum, Sayang,” sapanya. Wajah Alya seketika bersemu merah dipanggil Sayang. “Tumben manggil, Sayang?” tanyanya.Biasanya Reza hanya memanggil namanya saja. “Harus dibiasakan mulai sekarang. Jadi nggak canggung kalai sudah jadi istri,” balas Reza tambah membuat Alya tersipu. Beruntung Reza tak melihat wajahnya saat ini. “Ada apa? Apa kangen? Kan baru semalam ketemu.”“Ih, geer,” tangkis Alya. “Aku cuma mau bilang. Aku terima.” “Apanya?” tanya Reza karena Alya tidak
Akhirnya, dengan semangat pantang menyerah, Reza berhasil juga mendapatkan hati Alya. Setelah cukup lama melakukan pendekatan, terutama kepada orang tua Alya. Mereka resmi berpacaran setelah tiga bulan Reza intens mendekati Alya. Hari itu, mereka duduk berdua di sebuah kafe kecil yang cukup tenang di sudut kota, tempat yang sering mereka datangi sejak mulai dekat. Suasana sore yang teduh menambah keintiman perbincangan mereka.“Abang nggak mau pacaran lama-lama,” kata Reza.Alya menyeduh teh hangatnya sebelum menjawab, matanya menatap ke jalanan di depan cafe. “Tapi aku juga nggak mau nikah cepat-cepat. Aku masih mau berkarir,” tukas Alya.Reza tak langsung menangkis ucapan Alya, karena hanya akan memicu pertengkaran di usia hubungan mereka yang bahkan belum seumur jagung. Ia tahu betul, Alya tipe wanita yang punya prinsip, dan debat hanya akan membuat jarak.“Ya sudah. Abang kasih kamu waktu. Kalaupun nanti kita menikah, Abang janji, nggak akan menghalangi karir kamu. Usia Abang sud
Reza mengangkat bungkusan di tangannya. “Aku bawa kue dari toko favorit kamu. Katanya kamu suka banget cheese tart.”Alya menyipitkan mata. “Kamu tau dari mana aku suka itu?”“Aku suka sama kamu, tentunya aku mencari tahu segala hal tentang kamu, termasuk makanan kesukaan,” balas Reza dengan senyumnya yang menawan. “Kelihatan kamu cowok suka ngegombal.” “Ya terserahlah kamu bilang apa. Ini kuenya, wajib diterima. Nanti mubadzir.” Reza memaksa memberikan kotak kue itu ke tangan Alya. Gadis itu terpaksa menerimanya. “Makasih,” ucapnya singkat. “Mama Papa kamu, ada?” tanya Reza. “Mau ngapain nyari Mama Papa aku?” tanya Alya dengan dahi mengernyit. “Ya mau pendekatan lah, sama calon mertua,” ujar Reza santai, tangannya dimasukkan ke saku celana sambil menyunggingkan senyum percaya diri.Alya menyipitkan mata, menatap lelaki di hadapannya dengan ekspresi menyelidik. “Kayaknya, kamu selalu begini ya, sama customer kamu. Makanya, bengkel kamu rame.”Reza tertawa kecil, terlihat sangat
Yolanda, Mama dari Naura jalan mendekati Alya. Dia melihat Reza sekilas. Reza agak membungkuk, pertanda hormat karena memang sudah mengenal Yolanda. “Kamu yang bernama Alya?” tanya Yolanda. Caranya bertanya, menyiratkan kesombongan. “Iya, Bu,” jawab Alya dengan sopan. “Saya Mama Naura,” balas Yolanda. “Saya harap, kamu bisa berdamai dengan kasus ini. Saya akan kasih berapa aja yang kamu mau, asal kasus ini jangan sampai ke pengadilan.” Alya melihat wanita itu. Mungkin, kalau cara wanita itu bicara sedikit sopan, dia akan mempertimbangkan permintaan tersebut. Tetapi wanita di hadapannya ini, tampak sangat angkuh. Merasa kalau semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Dia tak tahu, kalau perempuan muda dihadapannya, bukan orang yang kekurangan. “Maaf, Bu. Ikuti saja alurnya. Yang anak Ibu lakukan itu sangat mengerikan. Seandainya saya waktu itu tidak bertemu dengan polisi, bisa jadi, saya tak akan lagi bisa bertemu dengan orang tua saya,” kata Alya tanpa takut. Wajah Yolanda memerah