Share

Ke Mana Uangku Pergi?

Author: Nania Orchid
last update Last Updated: 2025-04-28 14:46:28

"Kurang aj*r sekali kamu mengusir anakku!" teriak orang itu lagi sambil terus mempercepat langkahnya agar cepat sampai di dekatku. "Mentang-mentang sekarang udah kaya, udah bisa beli ini itu. Sombongnya selangit!"

Hati ini bertambah sakit mendengar ucapan ibu mertuaku. Bisa-bisanya marah-marah padahal belum tahu masalah sebenar. Seharusnya cari tahu dulu karena apa aku mengusir anak tercintanya itu.

"Bunda ...," teriak Chika sembari menghambur ke pelukanku. "Bunda udah pulang? Chika kangen Bunda." Chika berkata sambil terus memelukku. Ya, Allah, putriku ternyata sudah besar. Ada rasa bersalah dalam dada karena tidak bisa hadir dalam tiap pertumbuhannya.

Kuciumi Chika dengan air mata berlinangan. Sesak sekali dada ini mengingat kebahagiaan kami sudah tak bisa seperti dulu lagi setelah ini. Chika pasti yang akan menjadi korban atas apa yang terjadi.

"Bunda kenapa nangis?"

"Bunda bahagia, Nak. Bunda senang akhirnya bisa meluk kamu. Maaf, ya bunda baru pulang sekarang," jawabku dengan air mata yang susah untuk dihentikan. Sebak sekali dada ini dengan berbagai rasa. Yang pasti aku sangat hancur sekarang. Namun, harus dipaksa tegar demi Chika. Dia tak boleh tahu bundanya ini tengah terluka.

"Makanya kalau merantau jangan jauh-jauh. Ini anak aku yang urus. Pertumbuhan anak kamu nggak tau. Susahnya ngurus anak kamu nggak tau." Ibu mertuaku bersungut-sungut. Sumpah, hatiku bertambah terluka berlipat ganda.

Aku merantau juga atas saran dari ibu mertua. Setiap bulan juga aku selalu mengirim uang untuknya sebagai bentuk terima kasihku karena membantu Mas Rendy mengurus Chika. Allah ... kenapa aku selalu disalahkan? Kenapa pengorbanan ini seperti sia-sia? Nyatanya, semesta selalu mengajakku bercanda dan aku terpaksa mengikuti permainannya.

Aku masih mendekap Chika. Hal seperti ini mengingatkan kembali saat aku meninggalkannya dulu. Bocah itu sampai meronta-ronta ingin ikut. Katanya, dia janji tidak akan nakal asalkan diijinkan tetap bersamaku.

Alhamdulillah, meski permintaannya waktu itu tak bisa aku penuhi. Chika tidak membenciku sekarang. Nyatanya dia masih sangat menyayangi bundanya ini dengan ketulusan.

"Chika ke kamar dulu, ya, Nak. Nanti bunda nyusul," kataku pada Chika setelah memeluk dan menciumnya. Chika mengangguk dan langsung menurut masuk ke dalam kamarnya. Dia sempat melihat ke arah Mas Rendy dan Mbak Mira yang kini berdiri mematung.

Setelah Chika masuk kamar, aku menatap ibunya Mas Rendy dengan tajam. Terserah jika aku dicap sebagai menantu kurang aj*r. "Kebetulan Ibu datang, jadi bisa lihat dan saksikan sendiri kelakuan Mas Rendy. Bukan tanpa alasan aku mengusirnya. Ibu pikir, rumahku ini pantas digunakan untuk berzina?!" Nyeri sekali hati ini kala lidahku harus berkata demikian. Dan ... aku masih berharap yang terjadi sekarang adalah mimpi buruk.

"Berzina? Maksudmu apa Anjani?" Tatapan ibu mertuaku kini berpindah ke arah Mas Rendy dan Mbak Mira yang kini menunduk. Tatapannya penuh selidik. Aku sangat berharap, beliau berpihak padaku. Tidak membela seperti biasanya meski Mas Rendy bersalah.

"Jangan percaya ucapan Anjani, Bu. Aku dan Rendy nggak ngapa-ngapain, kok. Anjani aja yang nuduh kami enggak-enggak. Mana mungkin kami berani berzina. Di rumah lagi." Tak kusangka, Mbak Mira berani berkata seperti itu. Tutur kata dan sikapnya yang baik selama ini, ternyata berbanding terbalik dengan hati nuraninya. Dia ternyata manusia munafik. Aku sudah tertipu.

"Dasar munafik! Sudah berzina di rumahku dan dengan suamiku, masih saja berani menjelekkan aku. Cuma orang bodoh yang mau percaya sama ucapanmu, Mira! Kamu pikir, dengan penampilan seperti ini dan berduaan dengan Mas Rendy di kamar, itu tidak cukup membuktikan perbuatan kotor yang baru saja kalian lakukan?"

"Cukup, Anjani! Jangan sok benar kamu! Mbak Mira benar. Aku dan dia nggak berbuat seperti yang kamu tuduhkan. Tadi dia cuma minta tolong karena pas dia mau mandi, ada tikus di rumahnya."

Astaghfirullah! Mas Rendy benar-benar keterlaluan. Ternyata dia dan Mbak Mira kompak memojokkan aku di depan Ibu. Awas kalian!

"Oh, gitu, ya? Ada tikus larinya ke kamar suami orang? Bersembunyi di lemari lagi. Hmm ... terus ini apa?" Aku menarik jaket milik Mas Rendy yang kini menutupi sebagian badan Mbak Mira. Ada jejak merah di leher wanita ja*ang itu. Biar Ibu bisa melihatnya.

"Anjani! Yang sopan kamu!" Mas Rendy sigap menepis tangan ini. Dia benar-benar menabuh genderang perang denganku. 

"Kamu ini kenapa, sih? Harus gimana lagi aku jelasin? Aku dan Rendy nggak ngapa-ngapain. Ini, tuh bekas gigitan nyamuk. Aku garuk-garuk makanya merah-merah." Mbak Mira ternyata sangat pintar main drama. Dia sangat pintar berkilah.

Sialnya, aku tak punya bukti yang cukup kuat. Ibu mertua pasti tak akan percaya padaku meski diri ini bersikeras menjelaskan apa yang aku lihat dan dengar tadi.

"Kamu ini, sudah nggak tau menahu ngurus anak. Pulang-pulang malah nuduh suami yang enggak-enggak."

Seperti dugaan, Ibu tak percaya pada ucapanku. Namun, hal itu tidak serta merta membuatku lemah. Aku akan tetap mengusir Mas Rendy dan secepatnya akan mengajukan perceraian.

"Kamu kalo mau anakku sayang ke kamu, jangan suka berprasangka buruk ke dia. Mana mungkin Rendy berbuat seperti itu," timpal mertuaku lagi.

"Berarti aku bukan menantu yang baik, kan, Bu? Jadi sekarang silahkan kalian pergi dari rumahku! Dan kamu Mas, tunggu surat gugatan cerai dariku."

Mas Rendy dan Ibu terperangah mendengar ucapanku. Mereka saling pandang seperti sedang berkomunikasi lewat tatapan. Sementara Mbak Mira tampak biasa-biasa saja. Mungkin dia senang mendengar aku dan Mas Rendy akan ber ce rai. Dasar janda kega talan.

"Enak aja main usir. Kamu lupa beli rumah dan tanah ini juga pake ua ng ibu?"

Aku menghela napas. Mengatur emo si yang meledak-ledak di dada. Ibu mertuaku ini sepertinya harus dikasi paham. Ya, paham jika ua ngnya yang dulu kami pakai untuk menambah membeli tanah dan rumah sudah menantunya ini kembalikan. Bahkan lebih dari jumlah yang semestinya.

"Ua ng itu sudah aku kembalikan. Bahkan aku lebihkan lima juta. Ibu jangan pura-pura lupa!"

"Dasar tukang bual! Mana ada kamu kembalikan! Yang ada di ot ak kamu, kan diri kamu sendiri. Sampai-sampai kebutuhan Chika nggak kamu penuhi. Kasihan Rendy, sering pinjam ua ng sama temennya buat beli keperluan sekolah Chika. Padahal ibunya kerja di luar negeri. Yang orang lain kira, Rendy dan Chika berkecukupan hidupnya."

Aku melongo mendengar ucapan ibu mertuaku. Apa lagi ini? Kenapa aku dituduh tidak memenuhi kebutuhan sekolah Chika? Dan ... jujur aku baru tahu jika Mas Rendy sering pinjam uang pada temannya. 

Ke mana perginya ua ng yang setiap bulan aku kirim ke rekening Mas Rendy? Apa ini ada hubungannya dengan Mbak Mira dan tubuh Chika yang kurus?

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Lain di Ranjang Suamiku    Ternyata Buaya

    Wanita Lain di Ranjang Suamiku (9)Ungkapan hati Pak Harris membuat darahku berdesir. Ternyata dia adalah pria buaya sama seperti Mas Rendy. Dia itu sudah menikah, eh bisa-bisanya bicara seperti itu padaku."Saya harus pergi. Terima kasih atas bantuan Anda pada putri saya." Aku berdiri. Sudah tak tahan lagi berlama-lama di tempat ini."Anjani." Pak Harris meraih pergelangan tanganku. "Saya belum selesai bicara," sambungnya tanpa ada rasa bersalah. Matanya menatapku lekat seolah-olah mencegahku jangan pergi.Aku mengibaskan tangannya. "Jangan sentuh saya!""Ma-maaf," kata Pak Harris. Kini dia menunduk. Mungkin merasa segan karena refleks memegang tangan ini tadi.Aku tak lagi menoleh ke Pak Harris. Aku segera masuk ke dalam kafe untuk mengajak Chika pergi. Niat hati mau mencari rumah, eh malah bertemu buaya cap sampah."Anjani! Tolong dengarkan saya. Saya nggak maksud untuk mempermainkan kamu. Saya—""Saya sibuk banyak urusan!" Dengan terpaksa aku melihat ke arah Pak Harris yang ternya

  • Wanita Lain di Ranjang Suamiku    Bertemu Mantan Bos

    Wanita Lain di Ranjang Suamiku (8)Mendapat pertanyaan seperti itu dari pria berjas hitam tadi, seketika membuatku menunduk malu. Dasar ceroboh! Bisa-bisanya aku melihat orang tanpa berkedip."Kamu belum menjawab pertanyaan saya, lho. Kenapa tadi ngelihatin saya begitu?"Aku mendongakkan kepala, kembali melihat orang berwajah tampan di hadapan. Dan ... akhirnya ingatan ini bekerja dengan sempurna. Sekarang, aku sudah ingat siapa dia."Maaf, saya cuma refleks karena kaget. Maaf kalau Anda tidak nyaman."Pria itu mengangguk, kemudian tanpa aku duga dia menarik kursi kosong dan duduk di sampingku. "Masa iya cuma refleks? Saya, nggak percaya."Entah kenapa, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Rasanya canggung sekali berada satu meja dengan Pak Harris. Ya, nama pria itu adalah Harris. Bos tempatku bekerja sebelum menjadi TKW sekaligus pemilik sanggraloka terbesar di kota ini.Aku tidak tahu kenapa kami bisa bertemu di sini. Namun, aku yakin tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua ya

  • Wanita Lain di Ranjang Suamiku    Siapa Dia?

    Wanita Lain di Ranjang Suamiku (7)"Pak Wahyu? Ada apa, ya sepertinya ada yang penting?" tanyaku pada Pak Wahyu. Beliau adalah pemilik toko bangunan di desa kami."Begini Anjani, saya ke sini mau nagih hutang sama kamu. Kata Bu Ida, mertuamu, kamu mau bayar hutangmu hari ini."Penuturan Pak Wahyu sontak membuatku kaget. Kenapa lagi-lagi aku dihadapkan dengan utang tidak jelas? Pasti ini ulah Mas Rendy dan ibunya lagi. Dasar keluarga sampah cuma bisa membuatku susah."Hutang apa, ya, Pak? Saya merasa nggak pernah punya utang ke Bapak?""Memang bukan kamu yang berhutang ke toko saya, Anjani. Tapi nama kamu yang dipakai Rendy dalam catatan bon saya."Astaghfirullah! Mas Rendy benar-benar jahat! Tega sekali dia menjadikan diri ini tumbal demi bisa berhutang. Aku jadi penasaran, bahan bangunan apa yang diambil dari toko Pak Wahyu? Sementara tak satu pun dari bagian rumah berubah. Termasuk beranda yang katanya waktu itu direnovasi."Begini, Pak Wahyu. Saya benar-benar tidak tahu perihal ini

  • Wanita Lain di Ranjang Suamiku    Bukan Wanita Lemah

    "Anjani! Tunggu Anjani!" pekik ibunya Mas Rendy sambil berlari ke arahku. "Makin ngelunjak, ya, kamu! Maksudnya apa kamu menjual rumah ini?!""Ini rumahku. Suka-suka aku mau menjualnya atau tidak," jawabku dengan wajah ketus.Ya, aku memutuskan menjual rumah yang sekarang aku tempati. Selain ingin jauh dari Mas Rendy, aku sudah tak nyaman tinggal di sini karena pernah dipergunakan untuk berzina. Mana mau aku terkena sialnya."Enak aja kamu jual! Kembalikan dulu uangku!"Aku menatap ibunya Mas Rendy tajam. "Nggak mau! Uangku udah habis buat bayar hutang-hutang Mas Rendy.""Itu namanya enak di kamu susah di ibu. Hutang itu kan untuk makan dan keperluan Chika. Wajarlah kamu yang membayarnya. Apa gunanya kamu kerja jauh-jauh sampe luar negeri kalo bukan untuk Chika."Hari masih terlalu pagi. Namun, emosi ini sudah naik gara-gara ibunya Mas Rendy. Entah kapan ucapannya tidak membuatku sakit hati."Bu, Mas Rendy itu ayahnya Chika. Seharusnya dia yang menafkahi Chika. Jadi anggap saja uang I

  • Wanita Lain di Ranjang Suamiku    Satu Persatu Terungkap

    Aku menatap geram wajah Mas Rendy. Aku sangat yakin dialah biang semua masalah. Dia harus tanggung jawab karena sudah membuat kacau balau hidupku."Ke mana semua uang yang aku kirim ke kamu, Mas? Apa benar yang Ibu bilang?"Mas Rendy gelagapan. Dia seperti tengah berpikir keras untuk memberikan jawaban yang terbaik."Jawab!" seruku lantang. Aku benar-benar kehilangan kesabaran dan akal sehat sekarang. Siapa yang tak marah jika dibohongi, dibodohi dan diselingkuhi oleh suami sendiri?"Jangan teriak-teriak, Anjani! Nggak malu kamu sama tetangga?""Ibu diam! Jangan ikut campur!"Aku bahkan kehilangan rasa hormat dan sopan santun pada orang tua. Toh, dia juga tidak pernah memperlakukan diri ini layaknya menantu. Selama ini, ibunya Mas Rendy hanya melihat kekurangan dan kesalahanku saja."Istrimu memang keterlaluan, Ren. Ibu yang ngurus Chika, tapi dia sama sekali tidak menghormati ibu." Ibu menangis. Dia pikir aku peduli?Drama! Aku muak dengan semua ini. Ya Allah ... ampuni hamba, tapi h

  • Wanita Lain di Ranjang Suamiku    Ke Mana Uangku Pergi?

    "Kurang aj*r sekali kamu mengusir anakku!" teriak orang itu lagi sambil terus mempercepat langkahnya agar cepat sampai di dekatku. "Mentang-mentang sekarang udah kaya, udah bisa beli ini itu. Sombongnya selangit!"Hati ini bertambah sakit mendengar ucapan ibu mertuaku. Bisa-bisanya marah-marah padahal belum tahu masalah sebenar. Seharusnya cari tahu dulu karena apa aku mengusir anak tercintanya itu."Bunda ...," teriak Chika sembari menghambur ke pelukanku. "Bunda udah pulang? Chika kangen Bunda." Chika berkata sambil terus memelukku. Ya, Allah, putriku ternyata sudah besar. Ada rasa bersalah dalam dada karena tidak bisa hadir dalam tiap pertumbuhannya.Kuciumi Chika dengan air mata berlinangan. Sesak sekali dada ini mengingat kebahagiaan kami sudah tak bisa seperti dulu lagi setelah ini. Chika pasti yang akan menjadi korban atas apa yang terjadi."Bunda kenapa nangis?""Bunda bahagia, Nak. Bunda senang akhirnya bisa meluk kamu. Maaf, ya bunda baru pulang sekarang," jawabku dengan air

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status