''Hallo ... Ada apa menghubungiku di jam kerja?" tanya Andrina dengan berbisik ketika mengangkat telpon dari adiknya.Dia terpaksa menghentikan pekerjaan, matanya awas melongok kanan-kiri untuk memastikan tidak ada yang melihat aktivitasnya.''Halo, Kak. Bapak kambuh, obatnya juga habis. Bagaimana ini, Kak?''Suara panik adiknya menyapa indra pendengarannya untuk pertama kali.''Kamu tenang dulu. Buatkan air hangat untuk bapak! Nanti, sepulang kerja kakak akan beliin obatnya,'' kata Andrina berusaha menenangkan adiknya.Meskipun, dia tak tahu akan mendapat uang darimana. Dia akan mengusahakannya, dengan meminta gajinya bulan ini terlebih dahulu, misalnya.''Oke, nanti aku buatkan buat bapak.''''Kak,'' panggil Andhika lagi.''Ya, apa?''''Emmm ... gimana ya?'' Andhika meragu untuk menyampaikan.''Apa, Dhika?'' tanya Andrina dengan tidak sabar, ''cepetan kerjaan kakak belum selesai.''''Uang bulanan sekolahku nunggak tiga bulan. Sebentar lagi, aku juga ujian semester. Aku diberi waktu t
''Aku harus bagaimana, Tuhan. Aku sedang butuh uang banyak, kebutuhanku mendesak. Tapi bagaimana caraku mendapatkannya? Tolong beri aku petunjuk," gumamnya dengan frustasi Andrina memutuskan berhenti di sebuah taman untuk merenung sendirian, memikirkan barbagai macam masalah dan cara menyelesaikan secepat mungkin. Saat ini pikirannya benar-benar buntu. Dia tidak memegang uang sama sekali, di dalam dompetnya hanya tersisa uang berwarna hijau untuk uang saku adiknya besok.Dia juga tidak tahu harus meminjam uang kepada siapa karena kebanyakan teman-temannya juga seperti dirinya. Hanya sebagai pegawai biasa yang mempunyai segudang kebutuhan. Untuk kembali meminjam uang kepada rentenir bukanlah solusi yang tepat. Dia tidak ingin hutangnya semakin menumpuk.''Aku bisa membantumu, Wanita Muda."Andrina mengalihkan perhatian ketika mendengar suara wanita yang berasal dari arah sampingnya. ''Anda siapa?'' tanya andrina dengan memindai penampilan wanita itu dari atas sampai bawah.Semua yang
"Kak, Na ... Lihat! Ibu-ibu yang pernah datang kesini waktu itu mengirim banyak bahan makanan dan beberapa hadiah untukku kita." Suara riang adiknya menyapa indra pendengaran Andrina ketika memasuki rumah.Netranya melirik beberapa pepper bag yang berjajar di atas meja, sedangkan tak jauh darinya ada beberapa bahan makan lengkap yang tertata rapi di lantai."Lihat ini, bajunya bagus, 'kan, Kak Na? Ini salah satu kaos dan sepatu impianku. Teman-temanku banyak yang punya. Akhirnya, aku punya sepatu ini." Andhika menunjukkan pakaian dan sepatu yang tengah dia pakai.Binar kebahagiaan tergambar jelas di wajah pemuda itu saat mendapat kedua benda incarannya.Andrina masih tidak percaya dengan apa yang dia dilihat saat ini. Pasalnya, baru beberapa menit yang lalu dia bersitegang dengan wanita tua itu. Tapi, untuk apa sekarang dia mengirimkan semua ini. Apa ini semacam sogokan, batinnya menerka-nerka. Namun, dia bersyukur bisa melihat kebahagiaan yang tepancar dari wajah adiknya. Sudah lama,
"Bagus, Andrina. Ini yang aku suka darimu, sikap tegasmu." Mutia memuji tulus gadis yang ada di hadapannya."Sekarang, duduklah! Aku akan menjelaskan semuanya," sambung wanita baya itu.Andrina menurut saja, dia menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi yang ada di hadapan Mutia. Wanita itu tampak memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman untuk gadis yang ada di depannya."Apa yang harus saya lakukan?" tanya Andrina dengan wajah datar."Ooo, rupanya kau sudah tidak sabar." Mutia terkekeh kecil."Cepat katakan, Nyonya. Saya harus segera kembali ke rumah sakit," kata Andrina dengan menahan kesal."Baiklah, jadi...."Andrina mendengar dengan seksama penjelasan demi penjelasan dari Mutia, hingga beberapa menit kemudian, matanya terbelalak ketika mendengar ucapan terakhir dari wanita itu."Apa saya harus melakukan itu, Nyonya?" tanya Andrina untuk memastikan jika dia tidak salah dengar."Iya, kau harus melakukannya. Pastikan! Lakukan sampai berhasil. Karena aku sangat menginginkan ha
"Kamu disini?" tanya Andrina yang tidak bisa menutupi rasa terkejutnya saat melihat seorang pria bertelanjang dada di hadapannya."Jangan bilang kalian habis melakukan itu lagi?" tanyanya lagi dengan memicingkan mata.Si pria hanya memberi respon acuh malah menyilangkan tangan di depan gadis itu."Kalau iya, kenapa? Apa urusanmu?" tanya Erick dengan menaikkan kedua alisnya."Oh, tentu menjadi urusan saya. Karena saya sekretaris sekaligus bodyguard Tuan Gavin," ucap Andrina menatap berani pria bermata sipit itu."Anda menghalangi jalan saya, Tuan. Permisi." Gadis itu menyerobot masuk begitu saja dengan menyeret koper besarnya.Dia juga menyenggol kasar lengan pria itu."Hei, siapa yang menyuruhmu masuk?!" teriak Erick tidak terima."Tidak ada. Karena saya bodyguard Tuan Gavin tidak ada yang bisa melarang saya memasuki tempat ini, bahkan Tuan Gavin sekalipun." Andrina akan menunjukkan sisi angkuhnya ketika berhadapan dengan Erick.Pria itu hanya mendengus kesal, sejak kehadiran wanita si
"Ssss, kenapa tanganku pegal sekali." Gavin mendesis saat merasakan beban berat pada lengannya.Dia mengira jika yang berada dalam dekapannya adalah sebuah guling. Namun, semakin dirasa kenapa permukaan gulingnya terasa keras. Tangan kekarnya mulai meraba-raba, hingga sampai pada permukaan benda lembut yang membuatnya merasa nyaman saat menyentuhnya."Apa ini?" gumamnya.Perlahan, dia mulai membuka mata, sedikit mengernyit ketika sinar terang masuk pada celah gorden kamar. Netranya menangkap sosok pemilik rambut legam tengah terlelap berbantalkan lengannya."Hei, siapa kamu?" tanya Gavin dengan suara serak khas orang bangun tidur.Matanya membelalak sempurna saat mengetahui ada orang asing berada satu ranjang dengannya. Dan dia seorang perempuan."Andrina, sedang apa kamu di sini?" Teriakan Gavin berhasil menyadarkan seorang wanita dari alam mimpinya. Dengan malas, dia membalikkan tubuh membelakangi Gavin karena mata masih enggan untuk terbuka."Andrina!" teriak Gavin dengan nada lebi
"Stop! Anda dilarang masuk, Tuan Erick."Dengan sigap, Andrina pasang badan berdiri di hadapan seorang pria yang baru keluar dari lift. Dia merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi jalan pria itu."Bisa tidak? Sehari saja kau tidak mengusik hariku dengan Gavin," keluh Erick frustasi, berusaha menahan bongkahan kekesalan dalam hatinya."Tidak! Karena ini memang tugas saya untuk menjauhkan Anda dari Tuan Gavin," tegas Andrina, "perintah langsung dari Nyonya Mutia."Erick mendengus kesal setiap kali mendengar nama Mutia di sebut. Wanita tua itu selalu melakukan berbagai cara untuk menjauhkannya dari Gavin, termasuk mengirimkan wanita menyebalkan ini, contohnya."Sampai sini paham, Tuan?" tanya Andrian dengan nada penuh kelembutan diiringi senyum manisnya."Tidak!" Erick menggeser paksa tubuh berbalut pakaian ketat itu, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruangan Gavin.Melihat hal itu, Andrina tidak tinggal diam. Dia segera menyusul pria itu, kemudian menghadang kembali langkahnya
"Apa kau sedang mencari kambing hitam, Tuan?" Andrina mengulang pertanyaannya. "Tidak!""Lalu?" tanya wanita itu lagi dengan menaikkan sebelah alisnya."Ini semua gara-gara kau menunjukkan lekuk tubuhmu kepadaku," ujar Gavin dengan nada rendah.Baik Andrina maupun Erick sama-sama menganga tak percaya mendengar pernyataan Gavin. Kedua orang itu tampak sibuk dengan pikiran masing-masing."Apa Tuan Gavin mulai tergoda denganku? Itu artinya ...," batin Andrina menyeringai senang."Apa Gavin mulai sembuh? Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Gavin tidak boleh seperti itu, dia harus tetap seperti ini," pikir Erick gelisah."Apa yang telah kau lakukan, Andrina?" Erick bertanya penuh geram pada gadis di sampingnya. Matanya melotot tajam seolah ingin menguliti tubuh wanita itu hidup-hidup."Tidak ada. Aku hanya menjalankan tugas dari Nyonya Divia""Asal kau tau, Tuan Erick. Semalam, aku berhasil tidur satu ranjang dengan Tuan Gavin. Dia mendekap erat tubuhku," ucapnya dengan dibuat se-sensual mun