Share

Chapter 3. Menemui Mutia.

"Permisi, Pak.''

Andrina menyapa seorang security yang tengah berjaga disana.

Pagi-pagi sekali, gadis itu sudah berdiri di depan gerbang sebuah rumah mewah bergaya Mediterania.

Dia benar-benar menjalankan niat dan berusaha memantapkan hati, untuk mengakhiri misi ini. Berulang kali, dia terlihat menghela nafas untuk menetralisir rasa gugupnya, berharap Mutia bersedia menyetujui keinginannya.

''Ya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?'' tanya seorang pria bername-tage Suparman.

''Apa benar, ini kediaman Nyonya Mutia Wibisono?''

Security itu memperhatikan secara intens penampilan gadis muda di depannya.

''Iya, benar. Mbak siapa ya? Ada keperluan apa?'' tanya si security dengan tatapan menelisik.

''Saya Andrina, saya ingin bertemu Nyonya Mutia. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan beliau,'' kata Andrina.

''Maaf, Mbak. Jika mbak tidak menyampaikan tujuan secara jelas. Mbak Andrina dilarang masuk. Karena kami tidak bisa menerima tamu sembarangan.'' Pria itu menolak tegas kedatangan Andrina.

''Saya mohon, Pak. Ini sangat penting. Saya harus bertemu Nyonya Mutia,'' pinta Andrina dengan tatapan memohon.

''Mohon maaf, saya tidak bisa menerima orang asing seperti mbak.''

''Saya bukan orang asing. Saya punya bukti, kalau saya mengenal Nyonya Mutia,'' sahut Andrina cepat dengan menunjukkan kartu nama yang sempat diberi Mutia waktu itu.

Security itu tampak berfikir. Tak berapa lama kemudian, dia mengangguk menyetujui.

''Tunggu sebentar, saya lapor ke dalam dulu.''

''Baik, Pak.''

Beberapa menit kemudian, Security itu kembali dengan membuka pintu gerbangnya.

''Silahkan, Mbak.''

Andrina membalas dengan senyum manisnya.

Gadis muda itu, berjalan perlahan memasuki sebuah halaman luas, matanya memindai bangunan mewah di depannya, tampak sebuah taman kecil berada tepat di depan teras. Tak jauh di sampingnya tampak rerumputan hijau yang terpangkas rapi, karena ada yang merawat setiap hari. Beberapa tanaman dengan berbagai jenis tumbuh segar, menyejukkan mata memandang.

''Silahkan, masuk. Nyonya sudah menunggu.'' Suara seseorang mengalihkan perhatian Andrina.

''Iya,'' jawab Andrina.

Dia mengikuti langkah wanita paruh baya berpakaian pelayan itu.

Saat memasuki rumah, lagi-lagi gadis muda itu dibuat kagum dengan interior di dalamnya. Kemewahan begitu kental. Andrina mengagumi lantai bermotif mozaik yang dipijakinya. Baru kali ini, dia melihat motif lantai seindah itu.

''Dari lantainya saja terlihat, kalau ini marmer mahal. Bukan keramik murahan yang terpasang di rumah yang mudah retak, saat cuaca ekstrem. Belum lagi, perabotan lainnya. Dan semua terlihat mewah. Memang ya, kalau berduit bisa membeli apapun yang diinginkan.'' Andrina bergumam di sepanjang jalan menuju ruang pribadi Mutia.

Wanita baya yang ada di depannya, hanya bisa menggelengkan kepala, mendengar gumaman gadis itu.

''Sudah sampai. Silahkan masuk. Nyonya sudah menunggu,'' kata wanita itu ketika sampai di depan sebuah ruangan.

''Baik. Terimakasih, Bu,'' jawab Andrina dengan sopan.

Wanita itu, hanya mengangguk sebelum meninggalkan Andrina.

Tok-tok-tok....

''Masuk.''

Andrina membuka pintu setelah mendapat sahutan dari dalam.

''Selamat pagi, Nyonya,'' sapa Andrina.

''Pagi,'' jawab Mutia dengan datar.

''Ada apa? Sampai kau mendatangiku sepagi ini.'' Wanita itu masih menyibukkan diri dengan membolak-balikan majalah di tangannya.

''Dan kenapa kau berpakaian seperti itu? Dimana pakaian misimu?'' tanya Mutia dengan menurunkan sedikit kaca mata bacanya.

Memang, Andrina sengaja memakai pakaian sederhana yang biasa dia pakai, bukan pakaian kekurangan bahan pemberian Mutia.

''Saya ingin menyampaikan sesuatu, Nyonya,'' lirih Andrina.

''Apa?'' Mutia meletakkan majalahnya, karena merasa gadis muda itu akan menyampaikan sesuatu yang penting.

''Saya....''

Andrina meragu untuk mengutarakan maksudnya antara gugup dan takut menjadi satu.

''Apa, Andrina? Aku harap kau akan menyampaikan berita bagus untukku. Kau berhasil menggoda putraku,'' tebak Mutia.

''Kau berhasil dengan misimu, Andrina. Cepat katakan seperti itu,'' sambungnya dengan antusias.

''Bukan, Nyonya,'' sahut Andrina cepat.

Mutia memudarkan senyumnya.

''Lantas?'' Mutia menaikkan sebelah alisnya, menunggu jawaban gadis itu.

''Cepat katakan, Andrina,'' geram Mutia karena gadis itu tak kunjung membuka suara.

''Saya....''

''Saya ingin mundur.'' Andrina berkata dengan lirih.

''Keraskan suaramu! Aku tidak dengar.''

''Saya ingin mundur dari misi ini!''

''APA?!''

Andrina memejamkan matanya mendengar suara lantang Mutia.

''Saya ingin mundur dari misi ini, Nyonya. Saya sudah tidak sanggup,'' kata Andrina dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya

''Apa alasannya?'' Mutia menatap tajam wanita muda itu.

''Saya tidak sanggup,'' tegas Andrina.

''Aku tidak menerima, alasanmu tidak cukup,'' sergah Mutia.

Andrina memberanikan diri menatap Mutia.

''Selama dua bulan ini, saya sudah berusaha, Nyonya. Saya melakukan berbagai cara untuk menggoda Tuan Gavin. Bahkan, saya pernah menunjukkan tubuh tanpa pakaian di depannya. Saya sudah merendahkan harga diri saya. Tapi tidak pernah sekalipun, dia tertarik dengan saya. Jangankan tertarik, melirik pun tidak. Usaha saya sia-sia, Nyonya,'' tutur Andrina dengan mata berkaca-kaca.

''Tuan Gavin selalu menghina saya wanita murahan. Belum lagi, Tuan Erick yang selalu mengancam saya. Hati saya sakit, Nyonya. Saya sudah seperti wanita yang tidak punya harga diri. Saya tidak sanggup! Saya ingin mundur,'' kata Andrina diakhiri nada tegasnya.

Air mata sudah mengalir deras membasahi pipinya.

''Tapi itu sepadan dengan uang yang sudah kukeluarkan untukmu,'' balas Mutia dengan santainya.

Andrina menatap tak percaya wanita tua di depannya.

''Apa orang kaya selalu berlaku seperti ini terhadap orang miskin seperti saya?''

Bukannya menjawab, Mutia malah menyilangkan tangannya dengan angkuh di depan Andrina.

''Saya hanya memberimu penawaran, Andrina. Saya tidak pernah memaksamu. Kau dengan sukarela menyetujuinya.''

Andrina terbungkam, semua yang dikatakan Mutia benar.

''Setuju atau tidak, saya akan tetap mundur! Permisi,'' tegas Andrina.

Andrina berlalu meninggalkan ruangan itu. Dia tidak ingin terpengaruh lagi oleh tipu daya wanita tua angkuh itu.

''Baiklah, aku terima pengunduran dirimu. Tapi, jangan salahkan aku. Saat kau sampai di rumah. Kau akan menemukan ayah dan adikmu dalam keadaan tak bernyawa.''

Andrina menghentikan langkahnya. Dia berbalik menatap tajam Mutia.

''Saya tidak akan terpengaruh dengan bualanmu, Nyonya.''

Dia menyangkal ancaman Mutia, mungkin saja wanita tua itu hanya menggertak agar dia mau mengurungkan niat

''Membual, ya. Oke, akan kutunjukkan, bualanku'' ucap Mutia penuh kelembutan dengan tatapan tajam menusuk.

Mutia memanggil assisten setianya melalui sambungan telepon.

''Aku ada tugas untukmu, Freddy. Eksekusi ayah dan anak laki-lakinya, di perumahan yang kita datangi tempo hari,'' kata Mutia dengan menyeringai licik.

Andrina menegang di tempat. ''Dia benar-benar melakukannya,'' batinnya.

''Bagaimana, menurutmu?'' tanya Mutia.

''Urusan Anda dengan saya. Jangan libatkan ayah dan adik saya!" geram Andrina.

''Keselamatan mereka tergantung dirimu.''

''Ternyata, Anda orang yang licik, Nyonya. Rela menghalalkan segala cara untuk sebuah tujuan,'' kata Andrina tanpa rasa takut sedikitpun.

''Agar kau tahu, kau tidak bisa bermain-main denganku. Dari awal, sudah ku peringatkan. Kau tidak bisa mundur setelah kau terjun. Dan kau menyetujuinya. Lantas, kenapa sekarang kau ingin mundur hanya karena sebuah hinaan?''

''Semua tergantung keputusanmu, nyawa mereka ada di tanganmu.''

Andrina berada dalam sebuah dilema. Satu sisi dia tidak ingin kehilangan harga dirinya. Disisi lain, dia tidak ingin kehilangan dua orang yang dia sayangi.

''Beri saya waktu. Tapi tolong, jangan sakiti ayah dan adik saya,'' pintanya menghiba.

''Baiklah. Ku beri waktu dua hari untuk berfikir. Lebih dari itu, nyawa mereka melayang."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status