Entah sudah berapa kali lelaki itu melakukan malam panasnya bersama Salwa. Seolah tidak ada kata puas dan lelah, Sean tak mengizinkan Salwa beristirahat sedikit pun. Perempuan itu terlalu letih, hingga akhirnya tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga pagi, dia sudah tidak tahan lagi. "Salwa, Salwa." Sean mengguncang bahu perempuan itu, berniat membangunkan Salwa yang telah tertidur karena terlalu lelah. "Ehhmm." Salwa hanya menjawab dengan gumaman, matanya sangat sulit terbuka karena lelaki itu menyiksanya semalam suntuk. "Bangun! Hei, ayo bangun!" Kembali guncangan dilakukan oleh Sean Arhur, tetapi Salwa mengempaskan tangan yang menyentuh bahunya yang tak berpenghalang itu. Sean mengeram. Berani sekali perempuan itu mengibaskan tangannya? Dengan gemas, lelaki itu menggigit kecil bahu Salwa. "Aaarhggh!" Salwa sangat kesal. Dengan mata terkatup dia membentak Sean Arthur. "Tuan, tolong biarkan saya tidur!" Salwa mendorong kepala Sean yang sedang menunduk di bahunya. "Saya sangat
"Me-rayu?" Salwa bertanya dengan gugup. Saran dari Alan sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Sampai saat ini, Salwa belum bisa menerima kenyataan bahwa statusnya adalah istri dari Sean Arthur. Apalagi dia masih diperlakukan layaknya pembantu, bukan seperti seorang istri dari pengusaha kaya dengan menikmati segala aset dan kemewahan yang dimiliki suaminya. Dia tahu diri, karena pernikahan yang ia lakukan hanyalah sebuah kesepakatan belaka. Bukan atas dasar cinta dan saling menginginkan. Salwa tak ubahnya property yang telah Sean beli setelah kesepakatan itu dibuat. Ya, mana mungkin Salwa bisa meminta hak lebih sementara dirinya lah yang menjual diri kepada Sean Arthur. Dia merasa sudah tidak memiliki harga diri di depan lelaki itu. "Ya, kau bisa mencobanya dengan ... memeluk dan menciumnya tanpa diminta." Alan meletakkan tangannya, memosisikan sedikit menutupi bibirnya dari arah samping, lantas ia berkata, "Sean sepertinya tertarik kepadamu, tetapi jangan mengharap ia akan m
"Aku bilang jangan datang. Kenapa kau masih datang juga?"Sean terus saja memprotes kehadiran Alan. Lelaki itu paling tidak suka jika ada orang lain tahu ketika dirinya sakit. Lelaki yang selalu menjaga kesehatan, rajin berolahraga, dan menjaga pola makan tersebut sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah sakit."Salwa yang menghubungiku. Aku tidak mungkin mengabaikan panggilan wanita cantik."Perkataan Alan yang terkesan bercanda itu justru memantik kemarahan Sean. Lelaki itu menatap tajam ke arah Alan sehingga teman sekaligus dokter pribadinya itu meringis agar Sean tak marah kepadanya."Apa kau mulai menyukainya?" Alan berkata setelah selesai memeriksa kondisi Sean. Lelaki itu duduk di atas ranjang dengan Sean masih berselonjor bersandar di punggung ranjang."Tidak mungkin. Kau mengenalku. Aku hanya penasaran dengannya. Tidak lebih.""Kau yakin? Ini sudah dua minggu lebih kau mengurungnya di penthouse. Kau tak mengizinkannya keluar untuk menatap dunia luar. Aku merasa sikap pos
Di tengah meja makan, Salwa telah menyiapkan sarapan seperti biasanya. Perempuan itu tak sempat merapikan rambutnya lantaran bangun kesiangan. Rambut masih basah dan tergerai di punggung. Ia hanya mengenakan kain penutup seperti bando yang merupakan bagian dari seragam kerjanya.Sean menuruni tangga, menatap lurus ke arah meja makan yang sudah tersedia menu makan pagi di atasnya. Tentu saja rasanya begitu lezat, setidaknya itulah yang Sean rasakan. Apa pun yang Salwa masakkan, ia bisa menghabiskannya meskipun terkadang perempuan itu tak mengikuti prosedur yang ada di buku resep. Bahkan, Sean tak rela membaginya dengan Leon ketika lelaki itu membawa masakan Salwa sebagai bekal. Sikap posesifnya merambah ke makanan."Tuan."Salwa mundur selangkah begitu melihat Sean menuju meja makan. Seharusnya ia langsung pergi dari tempat itu karena menurut peraturan yang tertulis, pelayan wajib meninggalkan area meja makan ketika sang majikan sedang menimati makanannya. Namun, alih-alih pergi menjau
Sean bersandar di kursi putar, menekuk kedua tangannya di depan dengan menyatukannya di bawah dagu. Matanya menatap serius seseorang yang baru saja pulang dari luar negeri karena mengusut masalah ekstern perusahaan.Dialah Abust Harris, pria berusia dua puluh delapan tahun yang merupakan kaki tangan Sean Arthur. Selain Leon, Abust juga memiliki andil besar dalam perputaran roda uang di perusahaan.Sikapnya yang tegas dan sedikit tempramen, membuat Sean meletakkan Abust di bagian penagihan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat utang piutang juga pemacetan siklus pembagian deviden merupakan tanggung jawab Abust. Selain pandai melobi, lelaki itu juga disegani karena kepribadiannya yang tegas dan berwibawa. Namun, setegas-tegasnya Abust, dia tidak akan berkutik jika berada di hadapan Sean Arthur."Perusahaan Yang Group mulai meresahkan. Mereka bermain saham secara licik. Mereka mencuri rahasia perusahaan pesaing dengan mengancam para pegawainya. Aku merasa beberapa orang yang telah kaupeca
Sean masih mempertahankan posisinya, membiarkan Salwa memeluknya dengan tangan dan kaki berada di atas tubuhnya. Dia mendesis di saat perempuan itu semakin berulah padahal matanya sedang terpejam rapat.Salwa dengan tanpa dosa menyelusupkan wajahnya di ceruk leher Sean, memeluk rapat tubuh kekar itu layaknya guling yang menghangatkan.Sialan kau Salwa!Detik jam terus berputar, menyintas waktu yang terasa begitu lama dari biasanya. Sean masih terbaring kaku dengan Salwa tak mengubah posisinya. Dia mengeram, merasa tidak sabar lagi dengan ulah perempuan itu. Bagaimana bisa dia yang harus mengalah? Di sini dia adalah tuannya, bukan Salwa.Sejenak lelaki itu berpikir, apakah ia harus membangunkan Salwa dan menagih janji perempuan itu. Bukankah dia sudah berbaik hati dengan membiarkan perempuan itu untuk tertidur selama tiga puluh menit. Harusnya waktu tiga puluh menit sudah lebih dari cukup untuk melepaskan penat yang sejak seharian Salwa pikul.Sean menghela napas panjang, lalu mengembu
Sebuah pusat perbelanjaan menjadi tujuan Sean kali ini. Sejak keluar dari mobil, lelaki itu tak sekali pun melepaskan genggamannya dari tangan Salwa. Entah mengapa jiwa posesifnya kian menjadi-jadi meski tanpa ia sadari. Berjalan bergandengan, tetapi raut wajahnya tetap dingin dengan sorot mata yang menatap lurus ke depan.Apakah pasangan itu tampak romantis?Tentu saja tidak. Salwa merasa seperti sedang diseret-seret oleh Sean. Langkah lebar dan cepat lelaki itu sama sekali tak selaras dengan langkah kecil Salwa sehingga perempuan itu tampak kesulitan mengimbangi langkah lebar Sean yang sedari tadi menggandeng tangannya."Tuan, bisakah Tuan memelankan jalannya? Apakah kita sedang dikejar-kejar penagih hutang?" Salwa bertanya dengan napas memburu dan sedikit ngos-ngosan, mencoba menyadarkan Sean bahwa dirinya kewalahan mengimbangi langkah lelaki itu yang seperti sedang dikejar hantu."Kau terlalu lamban." Helaan napas terdengar dari bibir lelaki itu, menatap kesal ke arah Salwa. "Ayo,
Suasana berubah tegang, tatapan semua orang tak beralih dari insiden itu. Salwa terlihat pucat pasi, melihat bagaimana seorang Sean Arthur ternyata mampu dan tega memukul seorang wanita. Dia menelan ludah, tubuhnya gemetar.Apakah jika dirinya melakukan kesalahan, lelaki itu akan memukulnya juga?Salwa mendadak takut dengan suaminya. Rasa takutnya melebihi wanita yang mendapat tamparan keras dari lelaki itu. Sekelebat bayangan lelaki yang pernah dihajar oleh Sean saat itu terbayang kembali di kepalanya, membuat ia merasa sedang dalam bahaya hingga memundurkan langkahnya dua kali. Peluh tiba-tiba membanjiri pelipis Salwa, tubuhnya benar-benar bergetar karena takut.Sangat berbeda dengan kondisi Salwa, wanita yang kini sedang mengusap pipinya yang memanas tersebut justru berusaha mendekati Sean. Ia menangis tersedu, menatap Sean penuh permohonan, berharap belas kasihan dari lelaki itu."Tuan, kenapa Tuan memukul saya? Saya korbannya di sini. Dan wanita itu ... dialah yang harus disalahk