Hujan baru saja reda, meninggalkan tetesan air yang perlahan mengalir di jendela kamar yang semakin malam terasa begitu sepi, begitu hampa. Udara malam yang dingin menyusup masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.
Gelisah semakin Lia rasakan, bahkan untuk menyambut hari esok pun membuat Lia tidak bisa tidur sedari tadi, hanya karna memikirkan hal tersebut.
Padahal tubuh Lia sangat lelah, biasanya dia sudah bermimpi indah, tapi sekarang dia masih berperang dengan pikirannya.
Bahkan dia juga sama sekali tidak memikirkan keadaan perutnya yang keroncongan. Dia lapar, tapi tidak ada selera untuk melahap sesuap makanan pun.
"Rasanya aku tidak ingin bertemu dengan hari esok. Aku tidak sanggup kalau harus mengkhianati Bu Viola. Tapi aku sudah terlanjur berjanji dengan Pak Leon," ucap Lia lirih sambil menatap ke langit- langit kamarnya. Air matanya pun perlahan jatuh membasahi pipi.
***
Lia menggeliat pelan dalam tidurnya. Sinar matahari yang menyilaukan menembus ventilasi-ventilasi kamarnya. Wanita itu menyipitkan matanya lalu membukanya secara perlahan.
Matanya melirik ke arah jam dinding, rupanya dia hanya tertidur selama dua jam saja. Lia menghembuskan napas panjang dan bangun.
Lima belas menit berlalu, Lia masih duduk di tempat tidur, matanya masih kantuk bahkan dia sangat mengantuk sekarang. Rasanya matanya tak ingin terbuka. "Apa aku pura-pura sakit saja. Kepala aku juga terasa pusing. Pasti Pak Leon akan memakluminya," batin Lia.
Namun ternyata dugaan itu salah. Lia mencoba mengirim pesan kepada Leon. Leon sama sekali tidak percaya dengan semua alasan-alasan yang Lia berikan, dan sialnya Viola malah menyuruh Lia datang lebih awal ke rumahnya untuk mengurus keperluan Leon.
Setelah mematikan panggilan telepon dari Viola, wanita cantik itu mau tidak mau memaksakan dirinya untuk beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi dengan langkah berat. Hari ini Lia sangat enggan pergi ke rumah atasannya itu.
"Tumben sekali Bu Viola menyuruhku datang lebih awal ke rumahnya. Biasanya setelah dari kantor, baru aku urusi keperluan pak Leon. Kenapa ini mendadak pagi buta beliau sudah memintaku ke sana." Lia menghela napas panjang. "Padahal aku malas sekali bertemu dengan Pak Leon," ucap Lia sambil menyisir rambut panjangnya di depan meja rias.
Padangan Lia kosong menatap dirinya di depan cermin. Pikirannya melayang membayangkan apa
yang akan terjadi nanti malam. Tapi tak lama lamunannya terhenti, dia dikagetkan oleh suara nada dering dari ponsel miliknya.
"Lia, kamu sampai mana? Cepat ke sini, Pak Leon harus segera sarapan. Dia ada meeting penting pagi ini, jangan sampai dia terlambat gara-gara menunggu kamu. Sepuluh menit lagi kamu harus sudah sampai sini, kamu mengerti Lia!"
Belum sempat Lia menjawab, Viola sudah mematikan panggilannya. Lia tidak habis pikir, mengapa hanya sekedar menyiapkan sarapan saja harus Lia yang mengerjakannya.
Selama tiga tahun Lia bekerja bersama Viola menjadi asisten pribadinya, belum pernah sekalipun atasannya itu menyiapkan sarapan untuk suaminya. Bahkan hanya menyiapkan pakaian untuknya bekerja saja tidak pernah. Semua dipasrahkan kepada Lia.
Viola enggan melakukan pekerjaan seperti itu. Dia selalu sibuk dengan urusan pribadinya. Viola juga sibuk dengan selingkuhannya, yaitu teman Leon sendiri.
Leon sama sekali tidak mengetahui hal itu. Sedangkan Lia, dia tahu betul karena sering kali Viola menyuruhnya untuk mengantarnya bertemu dengan sahabat Leon. Dan Viola menyuruh Lia untuk tidak mengadu kepada Leon.
Sesekali Leon bercerita kepada Lia kalau dia sangat kesepian karena tidak pernah diurus oleh istrinya. Tapi Lia hanya bisa mendengarkan saja. Dia tidak mau terlalu ikut campur atau bahkan memberikan nasihat kepada Leon.
Tidak sampai sepuluh menit, akhirnya Lia sampai di rumah Viola. Dengan napas terengah-engah Lia memencet bel pintu rumah Viola dan langsung dibukakan oleh Viola.
"Akhirnya kamu datang juga. Cepat masuk, Pak Leon sudah marah-marah dari tadi karena kamu tidak datang-datang," ujar Viola.
"Baik, Bu," balas Lia.
Lia bergegas ke kamar Viola untuk menyiapkan pakaian yang akan dikenakan Leon. Setelah itu dia berpindah ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi untuk suami atasannya itu. Rutinitas harian ini lah yang membuat Leon merasa sangat nyaman di samping Lia.
Leon belum pernah sekalipun diurus oleh Viola. Sejak awal menikah, Viola sudah menyuruh Lia mengurus urusan pribadi Leon. Hal itu menambah pekerjaan untuk Lia yang tadinya hanya menjadi asisten pribadi Viola di kantornya.
Setiap pagi Viola selalu menghabiskan waktunya di kamar mandi. Sebagai seorang model dia harus terlihat cantik paripurna.
Kamar mandinya disulap bak ruangan spa dengan lilin-lilin beraroma terapi. Setelah selesai mandi Viola juga menghabiskan waktunya di depan meja rias.
“Aku langsung berangkat,”ucap Leon kepada sang istri.
“Kamu sarapan dulu kan, Leon?”balas Viola.
“Tidak, biar nanti aku bawa saja ke kantor sarapannya,”jawab Leon dengan sikap dingin.
“Ya sudah, kamu suruh Lia menyiapkannya. Aku belum selesai makeup.”
Dengan sedikit kesal atas sikap Viola kepadanya, Leon keluar kamar berjalan menuruni tangga sambil mengancingkan lengan jasnya. Selesai kegiatan tersebut, pandangannya tertuju ke dapur. Leon menambah kecepatan langkahnya.
"Jangan lupa nanti malam," bisik Leon yang berdiri di belakang Lia. Membuat bulu kuduk Lia merinding mendengarnya.
Lia hanya terdiam dia tetap melanjutkan aktivitasnya membuat nasi goreng kesukaan Leon.
“Siapkan bekalku sekarang, aku akan makan di kantor saja,”ucap Leon.
“Sebentar, Pak, saya siapkan.”
“Sekarang Lia! Saya sudah terlambat!”
“Ba-baik, Pak.”
“Oiya, pastikan nanti kamu datang tepat waktu. Saya tidak mau kalau harus menunggu lama.”
Dengan tangan gemetar Lia memberikan bekal sarapan Leon. Leon tersenyum tipis lalu pergi meninggalkannya.
Lia membuang napas kasar sambil mengusap keningnya yang berkeringat. Baru saja ia ingin duduk, Viola sudah memanggilnya.
“Lia, kamu segera siap-siap. Kita akan ke kantor sekarang.”
***
Waktu terasa begitu cepat, matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Lia juga sudah berada di depan cermin kamarnya. Dia menatap dirinya sebelum pergi menemui Leon. Ponsel yang berada di dalam tasnya berbunyi, tanda dirinya harus segera menuju apartemen. Sekitar empat puluh lima menit perjalanan Lia sampai dan langsung menuju kamar Leon.
Setelah menutup pintu, Lia membuka sepatunya terlebih dahulu sebelum melangkah semakin ke dalam apartemen Leon. Kemudian Lia menatap ke arah ruang tamu yang diduduki oleh Leon. Wajah pria itu tertutup buku novel yang tengah dia baca.
“Pak Leon,”sapa Lia
Leon menurunkan majalah tersebut, Leon mengamati perempuan yang berdiri di hadapannya dari ujung kaki sampai kepala seperti terpesona melihat kecantikan Lia. Leon berdiri menghampiri Lia, dia lalu meraih tangan Lia.
“Suhu di ruangan ini tidak terlalu dingin,”ucap Leon sambil menggenggam tangan Lia.
“Di luar hujan, Pak. Tangan saya jadi terasa dingin sekali,”jawab Lia dengan wajah pasrah padahal ia ingin sekali melepas genggaman Leon.
Jantung Lia semakin berdebar tak karuan ketika Leon mulai menggendongnya dan membawa Lia ke kasur berukuran king size. Kali ini Lia benar-benar sudah pasrah, dia harus menepati janjinya kepada
Leon dengan menghabiskan satu malamnya bersama suami atasannya itu.
Viola menghembuskan nafas kasar. "Leon semalam enggak pulang."Dafin malah menertawakan sang kakak. Lalu Viola melemparkan tasnya tepat ke arah lengan Dafin dengan sengaja."Tumben banget, Kakak udah sadar?" ejek Dafin sambil mengusap lengannya. Ia terlihat kesakitanViola hanya melirik ke arah sang adik. Dia juga tidak tahu dengan perasaannya, campur aduk tidak karuan menunggu Leon tidak pulang. Padahal selama ini dia sama sekali tidak peduli."Kak," panggil Dafin mengagetkan Viola."Apa," jawab perempuan berkulit putih ketus."Lia apa kabar? Aku sudah lama enggak ketemu dia. Kenapa dia enggak mau sama aku ya.""Karena kamu jelek.”“Apaan sih, Kak.”“Sekarang Lia sering izin enggak masuk kerja. Ada aja alasannya."Dafin semakin mendekat ke arah Viola. "Kenapa, Kak? Apa dia sekarang udah punya pacar, terus sibuk sama pacarnya?""Kakak enggak tahu. Ahhh sudah lah, Kakak mau pulang.""Kak, aku belum selesai tanyanya."Viola beranjak dari duduknya dan pergimeninggalkan Dafin. Dia tidak
Matahari mulai menampakkan cahayanya. Lia membuka mata perlahan, melihat keadaan sekitar. Lia mengangkat selimut tebal yang menutupi tubuhnya.Ia memeriksa bagian yang tertutupi selimut. Iia terbangun tanpa sehelai benangpun melekat ditubuhnya.Sekujur tubuhnya sangat sakit akibat kejadian semalam. Lia menengok ke arah samping dirinya.Tapi Leon tidak beradadi sampingnya.Lia pun segera bangkit dan beranjak dari tempat tidur dan memunguti satu persatu pakaian dalam serta blus dan celana jeans-nya. Ia berpakaian tergesa setelah itu merapikan rambutnyayangberantakan."Kemana pak Leon, kenapa dia tidak ada. Apa dia ada dikamar mandi ya," ujar Lia.Lia berjalan menuju kamar mandi,dia menempelkan telinganya dipintu berusaha mendengar, tapi tidak ada suara gemericik air di sana. Dengan cepat Lia membuka pintu."Apa Pak Leon sudah pulang ke rumah. Kenapa aku sampai tidak tahu kalau dia pergi. Apa karena minuman yang Pak Leon berikan semalam sampai-sampai aku tidak menyadarinya."Wanita cantik
Hujan baru saja reda, meninggalkan tetesan air yang perlahan mengalir di jendela kamar yang semakin malam terasa begitu sepi, begitu hampa. Udara malam yang dingin menyusup masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.Gelisah semakin Lia rasakan, bahkan untuk menyambut hari esok pun membuat Lia tidak bisa tidur sedari tadi, hanya karna memikirkan hal tersebut.Padahal tubuh Lia sangat lelah, biasanya dia sudah bermimpi indah, tapi sekarang dia masih berperang dengan pikirannya.Bahkan dia juga sama sekali tidak memikirkan keadaan perutnya yang keroncongan. Dia lapar, tapi tidak ada selera untuk melahap sesuap makanan pun."Rasanya aku tidak ingin bertemu dengan hari esok. Aku tidak sanggup kalau harus mengkhianati Bu Viola. Tapi aku sudah terlanjur berjanji dengan Pak Leon," ucap Lia lirih sambil menatap ke langit- langit kamarnya. Air matanya pun perlahan jatuh membasahi pipi.***Lia menggeliat pelan dalam tidurnya. Sinar matahari yang menyilaukan menembus ventilasi-ventilasi k
"Ya, apa syaratnya, Pak?" tanya Lia dengan penasaran."Kamu harus menghabiskan satu malam denganku," ucap Leon dengan menatap Lia tajam sambil mengangkat sedikit ujung bibirnya.Lia tertegun mendengar syarat yang diucapkan Leon. Seketika dadanya menjadi sesak. Dia tidak menyangka Leon memberikan persyaratan seperti itu. Dia pikir Leon hanya akan memberikan bunga pada hutangnya, dan dia bisa melunasinya setiap gajian."A-apa tidak ada syarat lain, Pak? tanya Lia ragu, dia bahkan tidak berani menatap mata Leon."Tidak, hanya itu persyaratannya. Kamu bahkan tidak perlu membayar bunga.""Tapi, Pak. Bagaimana dengan Bu Viola. Saya tidak mungkin melakukan hal itu.""Jadi kamu tidak mau? Ya sudah kalau tidak mau. Saya tidak akan membantu kamu."Leon beranjak dari duduknya. Dia bahkan tidak menghabiskan sarapan yang sudah dibuatkan oleh Lia. Dia lalu berdiri di samping Lia."Sepertinya sudah tidak ada lagi yang dibicarakan. Saya akan ke kantor, kamu beresi semua makanan saya," ucap Leon sambi
"Amelia Renata! Buka pintunya!" Sentak seorang pria bertubuh besar, berkulit hitam dan lengannya dipenuhi dengan tato mendesak Lia untuk membuka pintunya.Lia sangat kaget, dia langsung turun dari tempat tidurnya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Dengan rasa penasaran, Lia bergegas membukakan pintu. Matanya bergantian menatap kedua pria menyeramkan yang berdiri di hadapannya dengan penuh tanda tanya."Kamu harus segera membayar hutang tiga ratus juta sekarang juga. Kalau tidak, kamu harus menikah dengan Pak Fahri!""Siapa kalian? Untuk apa aku harus membayar hutang. Aku tidak pernah berhutang kepada siapa pun," ucap Lia memberanikan dirinya untuk menghadapi mereka, walaupun tangannya sedikit gemetar karena takut."Ayahmu yang sudah berhutang banyak kepada Pak Fahri. Ini bukti perjanjiannya."Tangan Lia terulur meraih kertas yang diberikan pria itu. Masih dengan perasaan tidak percaya matanya terus bergerak membaca setiap kalimat yang ada di kertas tersebut.Dia s