Viola menghembuskan nafas kasar. "Leon semalam enggak pulang."
Dafin malah menertawakan sang kakak. Lalu Viola melemparkan tasnya tepat ke arah lengan Dafin dengan sengaja.
"Tumben banget, Kakak udah sadar?" ejek Dafin sambil mengusap lengannya. Ia terlihat kesakitan
Viola hanya melirik ke arah sang adik. Dia juga tidak tahu dengan perasaannya, campur aduk tidak karuan menunggu Leon tidak pulang. Padahal selama ini dia sama sekali tidak peduli.
"Kak," panggil Dafin mengagetkan Viola.
"Apa," jawab perempuan berkulit putih ketus.
"Lia apa kabar? Aku sudah lama enggak ketemu dia. Kenapa dia enggak mau sama aku ya."
"Karena kamu jelek.”
“Apaan sih, Kak.”
“Sekarang Lia sering izin enggak masuk kerja. Ada aja alasannya."
Dafin semakin mendekat ke arah Viola. "Kenapa, Kak? Apa dia sekarang udah punya pacar, terus sibuk sama pacarnya?"
"Kakak enggak tahu. Ahhh sudah lah, Kakak mau pulang."
"Kak, aku belum selesai tanyanya."
Viola beranjak dari duduknya dan pergi
meninggalkan Dafin. Dia tidak menjawab lagi sang adik.
Sedangkan Leon belum juga beranjak dari duduknya. Dia terus melamun di depan meja kerjanya dengan pikiran melayang tidak pada tempatnya. Dia masih terbayang-bayang tentang kejadian semalam. Bahkan dia lupa kalau harus membeli kado anniversary pernikahannya.
Biasanya setiap tahun Leon selalu menyiapkan kado untuk sang istri. Dia juga selalu bertanya kepada Lia kado apa yang cocok untuk ia berikan. Tapi untuk kali ini, dia sudah mulai lelah dengan keadaan rumah tangganya. Viola tidak pernah sekalipun menghargai pemberianLeon. Dia mau menerima kado dari Leon tapi hanya menaruhnya sembarangan saja.
Leon sudah sering meminta Viola untuk memakai tas dan pakaian yang ia berikan, tapi Viola tidak pernah mau, ada saja alasannya untuk Viola tidak memakainya.
Tak lama suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Leon. Rupanya orang kepercayaan Leon mengajaknya untuk segera meeting ke luar kantor.
"Lima menit lagi aku akan ke lobby. Kamu tunggu di sana saja," perintah Leon dan dia mulai menyiapkan semuanya.
Tapi tidak sampai lima menit, Leon sudah sampai di lobby. Saat hendak masuk ke mobil ponselnya pun berbunyi. Sang istri meneleponnya untuk mengajaknya untuk pulang bersama. Walaupun tadi sudah diusir Viola masih penasaran dengan Leon. Tapi Leon segera menolaknya karena dia akan pulang larut malam karena meeting.
Kesal dengan penolakan Leon, Viola pun memutar arah tujuannya. Kemudian dia berhenti di pinggir jalan.
"Sayang, kamu di mana? Kita ketemu sekarang ya. Aku tunggu di cafe bintang," ucap Viola.
"Aku lagi ada urusan, besok saja ya kita ketemunya."
"Tapi aku mau ketemu kamu sekarang. Aku lagi kesel banget sama Leon. Ayolah sayang, kita ketemu ya," rengek Viola kepada pria yang sedang ia hubungi itu.
"Enggak bisa, urusannya enggak bisa di tinggal. Udah dulu ya, nanti aku telepon lagi."
Pria itu langsung mematikan ponselnya membuat Viola semakin kesal. Viola berteriak sambil memukuli stir mobilnya. Setelah itu dia Dia lalu melajukan mobilnya dengan kencang. Untung saja jalanan sepi, tidak ada kendaraan yang melaju selain dirinya.
Viola sampai di kantornya, dia langsung menuju ruangnya. Baru saja meletakkan tas belum duduk di kursi kebesarannya. Lia sudah mengetuk pintunya.
Lia berhenti sejenak setelah membuka pintu dan tangannya masih memegangi gagang pintu. Dia menatap Viola, membuat Viola sedikit bingung.
"Kenapa kamu seperti itu? Kamu mau berdiri di situ terus, Lia?" tanya Viola.
"Iy-iya buk, maaf."
Lia melepaskan pegangannya lalu berjalan pelan mendekat ke Viola.
"Tadi pak Irwan tiba-tiba telepon dan meminta Ibu untuk pemotretan nanti malam," ucap Lia.
Pandangannya menunduk tak berani menatap wajah Viola.
"Aku lagi enggak mood, bilang sama Pak Irwan untuk mengganti jadwalnya lusa saja."
"Tapi Bu, Pak Irwan tidak bisa kalau lusa. Maka dari itu dia meminta sore nanti."
"Kamu kenapa, Lia?" tanya Viola sambil menatap Lia yang sedari tadi terus menunduk dan memegangi kedua tangannya.
"Tidak apa-apa Bu, baik saya akan bilang ke Pak Irwan kalau jadwal pemotretan diganti besok pagi. Permisi, Bu."
"Tunggu!" gertak Viola.
Seketika Lia berhenti lalu membalikkan tubuhnya.
"Kamu ada salah, Lia?"
"Maksud Ibu?"
"Kamu tidak seperti biasanya, kenapa sedari tadi kamu tidak melihat ke arah saya?"
Lia menghembuskan napas panjang. Baru saja ia akan menjawab, tiba-tiba ponsel Viola yang berada di atas meja kerjanya berbunyi. Di situlah kesempatan Lia untuk melarikan diri menghindari pertanyaan dari sang atasan.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Lia bersiap-siap untuk pulang. Hari itu ia rasakan begitu lama. Lia berjalan sendirian memakai payung di bawah air hujan yang turun cukup lebat.
Tiba-tiba Lia dikagetkan dengan suara klakson mobil dari arah belakangnya. Seketika Lia langsung menepi, dia cukup kaget melihat mobil yang berhenti di sampingnya.
"Li, ayo aku antar pulang. Nanti kamu basah, hujannya deras sekali," kata seorang pria yang berada di dalam mobil itu."
"Enggak fin, lagi juga udah deket. Aku jalan kaki aja. Terimaksih atas tawarannya," tolak Lia halus.
Bukannya pergi, Dafin malah tetap mengikuti Lia dari belakang sampai depan rumah Lia. Lia pun cukup kesal karena dia ingin sekali istirahat sebelum kembali ke rumah Viola. Ditambah lagi dia malam kalau harus mengobrol dengan Dafin.
"Fin, maaf ya, kamu enggak pulang? Aku harus siap-siap ke rumah Bu Viola," kata Lia kepada Dafin yang sedang mengusap rambutnya karena basah.
"Ngapain kamu ke sana?"
"Kamu kayak enggak hafal saja. Seperti biasa, menyiapkan makan malam buat Pak Leon."
"Untuk apa? Paling Kak Leon enggak pulang lagi kayak semalam."
Mendengar ucapan Dafin, Lia cukup kaget. Ternyata Dafin tau kalau semalam Leon tidak pulang ke rumahnya.
"Kamu tau dari mana kalau Pak Leon enggak pulang?" tanya Lia dengan wajah penuh penasaran.
"Kata Kak Viola, tadi Kak Viola datang ke rumah. Dia kesel banget sama suaminya itu. Dia juga tadi diusir dari kantor Kak Leon."
Lia terdiam, dia semakin merasa bersalah kepada Viola. Tapi yang dia tidak habis pikir. Mengapa tidak biasanya Leon mengusir viola dari kantornya. Yang dia tau selama ini Leon selalu sabar menghadapi sikap Viola.
"Terus?"
"Terus apa?"
"Terus gimana dengan Bu Viola?"
Dafin mengusap-usap tangannya karena kedinginan sebelum ia menjawab pertanyaan Lia lagi.
"Ya terus aku enggak tau lagi Lia. Kak Viola terus pergi karena kesal sama aku. Oinya Li, nanti aku antar kamu ke rumah Kakak ya."
Seketika Lia langsung menolak. "Enggak usah, nanti aku bisa ke sana sendirian."
"Aku sekalian mau ek rumah Kak Viola, Lia. Jadi kita bareng aja ya," pinta Leon.
Dafin pun tetap kekeh dengan ucapannya. Dia tidak mau pergi dari rumah Lia, membuat Lia sangat risih akan hal itu.
Tak ada pilihan lain, Lia mau tidak mau datang ke rumah Viola bersama Dafin. Setelah sampai Viola malah menyuruh adiknya mengantar Lia ke supermarket. Dia ingin acara malam hari ini spesial. Dia juga ingin Lia memasak masakan kesukaan Leon.
Awalnya Lia menolak karena apa yang dibutuhkan masih tersedia di dapur. Tapi Biola tetap memaksanya. Viola tau kalau sang adik sangat menyukai Lia. Dia sengaja juga memberi waktu kepada Dafin untuk lebih mendekati Lia.
Viola menghembuskan nafas kasar. "Leon semalam enggak pulang."Dafin malah menertawakan sang kakak. Lalu Viola melemparkan tasnya tepat ke arah lengan Dafin dengan sengaja."Tumben banget, Kakak udah sadar?" ejek Dafin sambil mengusap lengannya. Ia terlihat kesakitanViola hanya melirik ke arah sang adik. Dia juga tidak tahu dengan perasaannya, campur aduk tidak karuan menunggu Leon tidak pulang. Padahal selama ini dia sama sekali tidak peduli."Kak," panggil Dafin mengagetkan Viola."Apa," jawab perempuan berkulit putih ketus."Lia apa kabar? Aku sudah lama enggak ketemu dia. Kenapa dia enggak mau sama aku ya.""Karena kamu jelek.”“Apaan sih, Kak.”“Sekarang Lia sering izin enggak masuk kerja. Ada aja alasannya."Dafin semakin mendekat ke arah Viola. "Kenapa, Kak? Apa dia sekarang udah punya pacar, terus sibuk sama pacarnya?""Kakak enggak tahu. Ahhh sudah lah, Kakak mau pulang.""Kak, aku belum selesai tanyanya."Viola beranjak dari duduknya dan pergimeninggalkan Dafin. Dia tidak
Matahari mulai menampakkan cahayanya. Lia membuka mata perlahan, melihat keadaan sekitar. Lia mengangkat selimut tebal yang menutupi tubuhnya.Ia memeriksa bagian yang tertutupi selimut. Iia terbangun tanpa sehelai benangpun melekat ditubuhnya.Sekujur tubuhnya sangat sakit akibat kejadian semalam. Lia menengok ke arah samping dirinya.Tapi Leon tidak beradadi sampingnya.Lia pun segera bangkit dan beranjak dari tempat tidur dan memunguti satu persatu pakaian dalam serta blus dan celana jeans-nya. Ia berpakaian tergesa setelah itu merapikan rambutnyayangberantakan."Kemana pak Leon, kenapa dia tidak ada. Apa dia ada dikamar mandi ya," ujar Lia.Lia berjalan menuju kamar mandi,dia menempelkan telinganya dipintu berusaha mendengar, tapi tidak ada suara gemericik air di sana. Dengan cepat Lia membuka pintu."Apa Pak Leon sudah pulang ke rumah. Kenapa aku sampai tidak tahu kalau dia pergi. Apa karena minuman yang Pak Leon berikan semalam sampai-sampai aku tidak menyadarinya."Wanita cantik
Hujan baru saja reda, meninggalkan tetesan air yang perlahan mengalir di jendela kamar yang semakin malam terasa begitu sepi, begitu hampa. Udara malam yang dingin menyusup masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.Gelisah semakin Lia rasakan, bahkan untuk menyambut hari esok pun membuat Lia tidak bisa tidur sedari tadi, hanya karna memikirkan hal tersebut.Padahal tubuh Lia sangat lelah, biasanya dia sudah bermimpi indah, tapi sekarang dia masih berperang dengan pikirannya.Bahkan dia juga sama sekali tidak memikirkan keadaan perutnya yang keroncongan. Dia lapar, tapi tidak ada selera untuk melahap sesuap makanan pun."Rasanya aku tidak ingin bertemu dengan hari esok. Aku tidak sanggup kalau harus mengkhianati Bu Viola. Tapi aku sudah terlanjur berjanji dengan Pak Leon," ucap Lia lirih sambil menatap ke langit- langit kamarnya. Air matanya pun perlahan jatuh membasahi pipi.***Lia menggeliat pelan dalam tidurnya. Sinar matahari yang menyilaukan menembus ventilasi-ventilasi k
"Ya, apa syaratnya, Pak?" tanya Lia dengan penasaran."Kamu harus menghabiskan satu malam denganku," ucap Leon dengan menatap Lia tajam sambil mengangkat sedikit ujung bibirnya.Lia tertegun mendengar syarat yang diucapkan Leon. Seketika dadanya menjadi sesak. Dia tidak menyangka Leon memberikan persyaratan seperti itu. Dia pikir Leon hanya akan memberikan bunga pada hutangnya, dan dia bisa melunasinya setiap gajian."A-apa tidak ada syarat lain, Pak? tanya Lia ragu, dia bahkan tidak berani menatap mata Leon."Tidak, hanya itu persyaratannya. Kamu bahkan tidak perlu membayar bunga.""Tapi, Pak. Bagaimana dengan Bu Viola. Saya tidak mungkin melakukan hal itu.""Jadi kamu tidak mau? Ya sudah kalau tidak mau. Saya tidak akan membantu kamu."Leon beranjak dari duduknya. Dia bahkan tidak menghabiskan sarapan yang sudah dibuatkan oleh Lia. Dia lalu berdiri di samping Lia."Sepertinya sudah tidak ada lagi yang dibicarakan. Saya akan ke kantor, kamu beresi semua makanan saya," ucap Leon sambi
"Amelia Renata! Buka pintunya!" Sentak seorang pria bertubuh besar, berkulit hitam dan lengannya dipenuhi dengan tato mendesak Lia untuk membuka pintunya.Lia sangat kaget, dia langsung turun dari tempat tidurnya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Dengan rasa penasaran, Lia bergegas membukakan pintu. Matanya bergantian menatap kedua pria menyeramkan yang berdiri di hadapannya dengan penuh tanda tanya."Kamu harus segera membayar hutang tiga ratus juta sekarang juga. Kalau tidak, kamu harus menikah dengan Pak Fahri!""Siapa kalian? Untuk apa aku harus membayar hutang. Aku tidak pernah berhutang kepada siapa pun," ucap Lia memberanikan dirinya untuk menghadapi mereka, walaupun tangannya sedikit gemetar karena takut."Ayahmu yang sudah berhutang banyak kepada Pak Fahri. Ini bukti perjanjiannya."Tangan Lia terulur meraih kertas yang diberikan pria itu. Masih dengan perasaan tidak percaya matanya terus bergerak membaca setiap kalimat yang ada di kertas tersebut.Dia s