Matahari mulai menampakkan cahayanya. Lia membuka mata perlahan, melihat keadaan sekitar. Lia mengangkat selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
Ia memeriksa bagian yang tertutupi selimut. Iia terbangun tanpa sehelai benangpun melekat ditubuhnya.
Sekujur tubuhnya sangat sakit akibat kejadian semalam. Lia menengok ke arah samping dirinya.Tapi Leon tidak beradadi sampingnya.
Lia pun segera bangkit dan beranjak dari tempat tidur dan memunguti satu persatu pakaian dalam serta blus dan celana jeans-nya. Ia berpakaian tergesa setelah itu merapikan rambutnyayangberantakan.
"Kemana pak Leon, kenapa dia tidak ada. Apa dia ada dikamar mandi ya," ujar Lia.
Lia berjalan menuju kamar mandi,dia menempelkan telinganya dipintu berusaha mendengar, tapi tidak ada suara gemericik air di sana. Dengan cepat Lia membuka pintu.
"Apa Pak Leon sudah pulang ke rumah. Kenapa aku sampai tidak tahu kalau dia pergi. Apa karena minuman yang Pak Leon berikan semalam sampai-sampai aku tidak menyadarinya."
Wanita cantik itu mengangkat tangan dan memegang kepalanya. "Aku pulang saja, lagi pula kepalaku juga masih sedikit pusing."
Lia bergegas keluar apartemen Leon. Dia memakai maskernya dan berjalan cepat agar tidak ada yang melihatnya.
Leon memang sudah lebih dulu pergi meninggalkan Lia, karena pagi-pagi sekali dia harus segera sampai kantor.
Dia juga tidak tega membangunkan Lia yang masih tertidur pulas. Sebelum pulang Leon memandangi wajah cantik Lia. Sungguh dia tidak menyangka kalau akan terjadi seperti ini.
Sepanjang perjalan pulang menggunakan taxi, Lia mencoba berusaha mengingat kejadian semalam.
Tapi semakin ia paksa untuk mengingat semakin ia merasakan kepalanya sakit. Yang ia ingat hanyalah terakhir ia menerima segelas minuman yang Leon berikan.
Disela lumunannya, tiba-tiba ponsel Lia berbunyi. Dia mendapatkan pesan dari suami atasannya itu. Rupanya Leon sudah mentransfer uang ke rekening Lia dengan jumlah yang cukup banyak.
Lia langsung menelepon Leon. Untuk meminta kejelasan atas uang itu.
"Untuk apa Bapak memberi saya. Kemarin saya sudah menerima full uang yang saya minta. Sekarang Bapak tidak perlu membayarnya lagi. Lagi pula saya juga sudah menempati janji saya.
"Terima saja uang itu sebagai bonus untuk kamu, "ucap Leon.
"Maksud Bapak apa!" ucap Lia dengan anda tidak terima. "Tidak Pak, saya akan mengembalikannya. Saya berterima kasih sekali Bapak sudah membatu saya kemarin. Tidak perlu bapak memberi saya uang lagi. Urusan kita sudah selesai ya, Pak. Kita sama-sama sudah menempati janji, terimakasih."
"Tidak! Semuanya belum usai!" Leon langsung mematikan teleponnya.
Mendengar perkataan tegas Leon, Lia hanya terdiam. Setelah itu dia menurunkan perlahan ponsel yang melekat di telinganya.
"Apa maksud pak Leon," gumam Lia.
Sesampainya di rumah, perempuan cantik itu langsung masuk kedalam kamarnya. Ia menaruh tas selempangnya di atas meja rias, lalu duduk di atas tempat tidur. Tidak terasa ia meneteskan air mata. Dia terbayang-bayang atas kesalahannya terhadap Viola.
"Maafkan saya Bu Viola," ucap Lia disela isak tangisnya.
Sedangkan di sisi lain, Leon sedang duduk melamun di atas meja kerjanya. Dia terus memikirkan wanita yang semalam tidur bersamanya.
"Selama ini aku memang merasa nyaman berada di dekat Lia, karena dia yang selalu mengurusi kebutuhan ku. Dia juga selalu mau mendengarkan dan memberi nasihat tentang keluh kesah ku. Tapi kenapa semalam rasanya sangat berbeda. Sampai saat ini aku masih terus memikirkan hal itu," batin Leon.
Tiba-tiba pintu ruang kerja kamar Leon terbuka, membuat pikiran Leon terpecah. Dia melihat sang istri datang dengan raut wajah nampak marah.
"Kemana saja kamu semalam?" Kenapa kamu tidak pulang!" ucap Viola sambil menutup pintu ruang kerja Leon cukup keras.
"Biasanya kamu kan yang tidak pulang," balas Leon dengan nada ketus.
"Kamu lupa apa sengaja lupa Leon. Semalam adalah hari anniversary pernikahan kita. Biasanya kamu yang menyuruh aku untuk pulang lebih awal. Aku menunggu kamu semalaman. Mana Hp kamu tidak aktif."
"Owh ya, aku tidak ingat sama sekali. Biasanya aku yang menunggu kamu. Sekarang kamu tahu kan bagaimana rasanya menunggu!"
Viola semakin mendekat ke Leon. Dia sangat kesal kepada suaminya itu.
Setiap tahun Leon selalu mempersiapkan acara kecil untuk mereka berdua di acara anniversary mereka. Leon berusaha menumbuhkan rasa cintanya yang semakin hari semakin memudar kepada Viola karena sikap Viola terhadapnya.
Leon juga pernah menunggu Viola semalaman dan Viola sama sekali tidak pulang dengan alasan meeting sampai larut lalu menginap di rumah temannya. Padahal ia sedang bersama selingkuhannya.
Sebenarnya tidak ada niatan untuk Leon membalas apa yang pernah dilakukan oleh sang istri.
Tapi Leon sudah terlanjur menyuruh Lia untuk datang ke apartemennya. Dia bahkan juga sengaja menonaktifkan ponselnya agar tidak ada yang mengganggunya.
"Sudah sudah, kalau kamu datang hanya ingin marah-marah lebih baik kamu pergi. Aku masih banyak kerjaan," ucap Leon kepada Viola.
Viola mengerutkan bibirnya. Dirinya semakin kesal lalu pergi meninggalkan Leon. Baru kali ini Leon mengusir dirinya.
Di tengah perjalanan, Viola menghubungi asisten pribadinya. Dia meminta Lia untuk datang nanti malam ke ke rumahnya, membuatkan makan malam untuk Leon.
Lia tidak bisa beralasan, dari nada bicaranya Viola saja, dia sudah tau kalau Viola sedang marah dan dia tidak bisa menolak perintah atasannya itu. Sedangkan Viola pergi ke rumah sang adik.
Sesampainya di sana Viola meluapkan kekesalannya. Untuk kali ini entah mengapa dia merasa tidak suka Leon tidak pulang. Biasanya dia sama sekali tidak peduli.
"Kenapa, Kak?" tanya sang adik ketika melihat Viola melempar tasnya di sofa lalu duduk.
Viola menghembuskan nafas kasar. "Leon semalam enggak pulang."Dafin malah menertawakan sang kakak. Lalu Viola melemparkan tasnya tepat ke arah lengan Dafin dengan sengaja."Tumben banget, Kakak udah sadar?" ejek Dafin sambil mengusap lengannya. Ia terlihat kesakitanViola hanya melirik ke arah sang adik. Dia juga tidak tahu dengan perasaannya, campur aduk tidak karuan menunggu Leon tidak pulang. Padahal selama ini dia sama sekali tidak peduli."Kak," panggil Dafin mengagetkan Viola."Apa," jawab perempuan berkulit putih ketus."Lia apa kabar? Aku sudah lama enggak ketemu dia. Kenapa dia enggak mau sama aku ya.""Karena kamu jelek.”“Apaan sih, Kak.”“Sekarang Lia sering izin enggak masuk kerja. Ada aja alasannya."Dafin semakin mendekat ke arah Viola. "Kenapa, Kak? Apa dia sekarang udah punya pacar, terus sibuk sama pacarnya?""Kakak enggak tahu. Ahhh sudah lah, Kakak mau pulang.""Kak, aku belum selesai tanyanya."Viola beranjak dari duduknya dan pergimeninggalkan Dafin. Dia tidak
Matahari mulai menampakkan cahayanya. Lia membuka mata perlahan, melihat keadaan sekitar. Lia mengangkat selimut tebal yang menutupi tubuhnya.Ia memeriksa bagian yang tertutupi selimut. Iia terbangun tanpa sehelai benangpun melekat ditubuhnya.Sekujur tubuhnya sangat sakit akibat kejadian semalam. Lia menengok ke arah samping dirinya.Tapi Leon tidak beradadi sampingnya.Lia pun segera bangkit dan beranjak dari tempat tidur dan memunguti satu persatu pakaian dalam serta blus dan celana jeans-nya. Ia berpakaian tergesa setelah itu merapikan rambutnyayangberantakan."Kemana pak Leon, kenapa dia tidak ada. Apa dia ada dikamar mandi ya," ujar Lia.Lia berjalan menuju kamar mandi,dia menempelkan telinganya dipintu berusaha mendengar, tapi tidak ada suara gemericik air di sana. Dengan cepat Lia membuka pintu."Apa Pak Leon sudah pulang ke rumah. Kenapa aku sampai tidak tahu kalau dia pergi. Apa karena minuman yang Pak Leon berikan semalam sampai-sampai aku tidak menyadarinya."Wanita cantik
Hujan baru saja reda, meninggalkan tetesan air yang perlahan mengalir di jendela kamar yang semakin malam terasa begitu sepi, begitu hampa. Udara malam yang dingin menyusup masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka.Gelisah semakin Lia rasakan, bahkan untuk menyambut hari esok pun membuat Lia tidak bisa tidur sedari tadi, hanya karna memikirkan hal tersebut.Padahal tubuh Lia sangat lelah, biasanya dia sudah bermimpi indah, tapi sekarang dia masih berperang dengan pikirannya.Bahkan dia juga sama sekali tidak memikirkan keadaan perutnya yang keroncongan. Dia lapar, tapi tidak ada selera untuk melahap sesuap makanan pun."Rasanya aku tidak ingin bertemu dengan hari esok. Aku tidak sanggup kalau harus mengkhianati Bu Viola. Tapi aku sudah terlanjur berjanji dengan Pak Leon," ucap Lia lirih sambil menatap ke langit- langit kamarnya. Air matanya pun perlahan jatuh membasahi pipi.***Lia menggeliat pelan dalam tidurnya. Sinar matahari yang menyilaukan menembus ventilasi-ventilasi k
"Ya, apa syaratnya, Pak?" tanya Lia dengan penasaran."Kamu harus menghabiskan satu malam denganku," ucap Leon dengan menatap Lia tajam sambil mengangkat sedikit ujung bibirnya.Lia tertegun mendengar syarat yang diucapkan Leon. Seketika dadanya menjadi sesak. Dia tidak menyangka Leon memberikan persyaratan seperti itu. Dia pikir Leon hanya akan memberikan bunga pada hutangnya, dan dia bisa melunasinya setiap gajian."A-apa tidak ada syarat lain, Pak? tanya Lia ragu, dia bahkan tidak berani menatap mata Leon."Tidak, hanya itu persyaratannya. Kamu bahkan tidak perlu membayar bunga.""Tapi, Pak. Bagaimana dengan Bu Viola. Saya tidak mungkin melakukan hal itu.""Jadi kamu tidak mau? Ya sudah kalau tidak mau. Saya tidak akan membantu kamu."Leon beranjak dari duduknya. Dia bahkan tidak menghabiskan sarapan yang sudah dibuatkan oleh Lia. Dia lalu berdiri di samping Lia."Sepertinya sudah tidak ada lagi yang dibicarakan. Saya akan ke kantor, kamu beresi semua makanan saya," ucap Leon sambi
"Amelia Renata! Buka pintunya!" Sentak seorang pria bertubuh besar, berkulit hitam dan lengannya dipenuhi dengan tato mendesak Lia untuk membuka pintunya.Lia sangat kaget, dia langsung turun dari tempat tidurnya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul enam pagi. Dengan rasa penasaran, Lia bergegas membukakan pintu. Matanya bergantian menatap kedua pria menyeramkan yang berdiri di hadapannya dengan penuh tanda tanya."Kamu harus segera membayar hutang tiga ratus juta sekarang juga. Kalau tidak, kamu harus menikah dengan Pak Fahri!""Siapa kalian? Untuk apa aku harus membayar hutang. Aku tidak pernah berhutang kepada siapa pun," ucap Lia memberanikan dirinya untuk menghadapi mereka, walaupun tangannya sedikit gemetar karena takut."Ayahmu yang sudah berhutang banyak kepada Pak Fahri. Ini bukti perjanjiannya."Tangan Lia terulur meraih kertas yang diberikan pria itu. Masih dengan perasaan tidak percaya matanya terus bergerak membaca setiap kalimat yang ada di kertas tersebut.Dia s