***
Senja berlari tergesa menuju pintu utama rumah sakit Pelita Hati setelah turun dari ojek yang mengantarnya ke sana. "Maaf!" ujarnya saat tak sengaja menabrak tubuh seorang lelaki hingga dirinya terduduk ke lantai.
Airmata mengalir di pipi wanita Dua Puluh Tujuh tahun itu, membuat lelaki yang bertabrakan dengannya merasa khawatir. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya dengan tangan yang mengantung mendekati bahu Senja. Lelaki itu tak bermaksud menyentuhnya.
Senja mendongak, bola matanya yang dipenuhi dengan airmata bertatapan dengan lelaki itu. Namun, tak lama sebab si lelaki segera berpaling. Melihat pakaian yang dikenakan lelaki itu, Senja sadar yang tak sengaja tubuhnya tabrak adalah seorang gus muda.
Dengan cepat Senja bediri lalu menangkupkan kedua tangannya. "Sekali lagi saya minta maaf. Saya nggak apa-apa. Assalamu'alaikum." Kemudian berlalu begitu saja. Meninggalkan kebingungan di kening sang gus muda.
Senja berlari lagi. "Andra," lirihnya. Tak lama setelah itu, ia bertemu dengan dokter yang merawat Andra. Percakapan pun terjadi di antara mereka hingga Senja dikejutkan oleh kenyataan pahit yang menimpa Andra.
"Apa?"
"S-seratus juta?" Wanita berusia Dua Puluh Tujuh tahun itu terbata menyebut angka fantastis untuk biaya pengobatan anaknya. "Apa saya tidak salah dengar, dok?" tanyanya memastikan.
Dokter Kinan menggeleng menjawab pertanyaan wanita itu. "Tidak Bu Senja, biaya pengobatan untuk Andra memang mahal karena penyakit langka yang dia derita," terangnya.
Senja terduduk lemas. Ke mana ia harus mencari uang seratus juta? Sedang rumah saja dirinya mengontrak bersama Andra, anaknya.
"Lebih baik Ibu pikirkan semuanya, karena jujur saya tidak bisa membantu banyak. Rumah sakit memiliki prosedur yang ketat," ucap dokter Kinan merasa perihatin.
Senja tahu dokter Kinan tak tega padanya dan Andra. Senja juga tak bisa menyalahkan mengingat selama ini dokter Kinan telah banyak membantu mereka. "Tolong jangan biarkan rumah sakit ini mengusir Andra, dok. Saya janji akan segera mendapatkan uang tersebut!" mohonnya.
Dokter Kinan berjanji akan menjamin Andra untuk sementara waktu, sedangkan Senja mulai memikirkan cara untuk mendapatkan uang seratus juta.
Senja pulang ke kontrakannya. Merenung, mencari cara tercepat mendapatkan uang. Ia lalu meraih ponsel bututnya, menghubungi satu persatu teman yang dikenalnya. Berharap dari mereka dia bisa mendapatkan pinjaman. Namun, tak ada yang merespon permintaannya. Mereka bahkan menghinanya.
"Tika! Mungkin dia bisa membantuku mendapatkan pekerjaan tambahan!" Dengan cepat Senja menelpon Tika. Senja ingat dulu sewaktu pengangguran Tika pernah menawarinya sebuah pekerjaan, tapi belum sempat Senja menerimanya, ia sudah lebih dulu mendapat kabar dari rumah makan tempatnya bekerja sekarang untuk menjadi pelayan. Alhasil, Senja tak lagi mengubris tawaran Tika.
"Halo? Tika? Ini Senja, kamu masih ingat aku?" tanya Senja khawatir Tika melupakannya karena mereka jarang berkomunikasi sejak saat itu.
Dari seberang Tika menyahuti. "Ohh masih. Ada apa, Nja?" tanyanya. Senja pun menjelaskan maksud dan tujuannya menelpon Tika. Ia juga menceritakan tentang Andra yang sakit-sakitan dan butuh biaya.
"Ada sih. Tapi yakin kamu mau kerja seperti aku?" Tika bertanya.
Tanpa berpikir Dua kali Senja langsung mengiakan. Padahal, dia tak tahu seperti apa pekerjaan Tika yang sebenarnya.
"Nanti malam langsung aku kenalkan pada Mas Adit ya. Kebetulan dia klien baru. Masih fresh," ucap Tika masih melalui telepon.
Senja agak mengernyitkan dahi mendengar kata fresh dari mulut Tika. Namun, sekali lagi ia mengabaikan semua tanda tanya dalam benaknya. "Baik Tik, jam berapa kita bertemu?" tanyanya.
"Jam Delapan malam." Maka pada pukul Delapan malam di hari yang sama, Senja dan Tika betul-betul bertemu.
Dengan setelan seperti ingin melamar pekerjaan Senja menghampiri Tika yang sudah menunggunya. Senja tak heran melihat penampilan Tika yang terlihat serba terbuka. Sejak awal mengenal Tika, pakaiannya memang tergolong seksi.
"Nja, kamu ganti baju dulu deh. Aku udah siapin dress buat kamu!" ujar Tika setelah memperhatikan penampilan Senja yang terlalu formal.
"Untuk apa, Tik? Baju ini cocok untuk aku yang mau melamar pekerjaan,"
Tck!
"Nurut aja Nja kalau kamu niat nyari duit seperti yang aku lakukan," ucap Tika.
Sewaktu menelpon Tika siang tadi, Senja memang sudah menceritakan kesulitannya. Tika tahu Senja membutuhkan uang yang tidak sedikit. Jalan ini mungkin terjal serta berduri, tapi jika memang Senja menginginkan uang dengan cepat, maka jalan ini menjadi satu-satunya.
Senja menuruti Tika. Ia berganti pakaian di toilet. Setelah selesai ia kembali menghampiri Tika. "Dress ini kekecilan ya Tik. Tubuh bagian depanku tampak menonjol, membuat nggak nyaman saja," ucapnya ketika sampai di depan Tika.
"Kamu cantik, Nja! Yakin deh cepat dapat uang seratus jutanya," Tanpa peduli pada ucapan Senja, Tika justru memuja Senja dan mengungkit kembali soal uang seratus juta yang Senja butuhkan.
Tak sempat Senja membalas ucapan Tika, seorang lelaki berumur Tiga Puluh tahun menghampiri meja mereka. Tika dengan cepat menyambutnya.
"Senja, ini Mas Adit. Dan, Mas Adit ini Senja. Wanita yang aku ceritakan tadi siang," ucap Tika memperkenalkan keduanya.
Adit mengulurkan tangan. Dengan canggung Senja menyambutnya. Ada yang aneh saat tangan mereka bersentuhan. Senja seolah merasa lelaki di depannya itu memperhatikan tubuh bagian depannya yang membusung dengan intens. Membuatnya merasa tidak nyaman.
"Sabar Mas, nanti juga bisa dieksekusi,"
Terlebih ketika Tika menegur pandangan itu dengan cara yang... Entahlah, Senja tak bisa menjelaskan. Namun, dalam hati Senja curiga, pekerjaan yang Tika berikan tak seperti bayangannya.
Sementara itu, Adit tampak mengusap kepala bagian belakangnya setelah melepas tautan tangan dengan Senja. "Dia cantik, Tik. Saya suka!" ujarnya.
Tika bertepuk tangan. "Soal harga gimana, Mas? Aman kan?" tanyanya tampak girang.
"Aman. Tapi, malam ini saya coba dulu," balas Adit sambil mengedikan dagu ke arah Senja.
Mendengar percakapan absurd itu membuat Senja terus mengerutkan dahi. Tak ingin menambah tanya semakin banyak, Senja akhirnya menarik Tika menjauh dari Adit. Ia perlu penjelasan soal pekerjaan yang Tika berikan.
"Tik, pekerjaan seperti apa yang kamu berikan ini? Kenapa aku merasa ada yang aneh sejak tadi?"
"Serius kamu belum paham, Nja?" Tika membola. Dari pertanyaannya Tika tak ada maksud menipu Senja. Sejujurnya ia tulus membantu wanita itu meski mereka bukan teman dekat.
Senja mengangguk. "Tentang apa ini Tika?" tanyanya.
"Aduh gimana aku jelasinnya ya Nja. Ehm, semacam kupu-kupu malam, tapi kalau Mas Adit suka, kamu bisa jadi simpanannya,"
Pupil mata Senja melebar. Tak menyangka apa yang dirinya pikirkan ternyata benar. "P-pelacur?" teriaknya. Untung mereka sedikit menjauh dari keramaian sehingga tak ada yang mendengar percakapan itu.
"Kamu gila, Tik!"
"Memangnya kamu pikir apa, Senja? Uang Seratus Juta itu bukan sedikit. Mana mungkin bisa didapatkan dalam waktu yang singkat, kecuali kamu anak konglomerat!" ujar Tika membalas Senja.
Senja terdiam.
"Sekarang terserah kamu mau lanjut apa enggak. Kalau kamu benar-benar memikirkan keselamatan anakmu, sebaiknya terima saja kencan dengan Mas Adit malam ini karena dia berani bayar mahal dirimu meskipun kamu sudah bukan perawan lagi!"
Remuk hati Senja. Namun, jika ia pergi begitu saja, maka nasib Andra akan dipertaruhkan. Mungkin saja dokter Kinan tak sanggup menjamin keberadaan Andra lagi besok pagi.
"Senja? Jangan berpikir terlalu lama. Mas Adit nanti nggak betah!" desak Tika.
"Tapi ... "
"Sudah! Ayo ketemu Mas Adit lagi." Tanpa memberi Senja waktu untuk berpikir, Tika langsung menarik tangannya. Mereka kembali menghampiri Adit yang tampak gelisah karena menunggu cukup lama.
Wajah lelaki itu terlihat kesal menatap Tika, membuat Tika khawatir Adit membatalkan traksaksi mereka. "Maaf Mas, tadi ada yang mau Senja tanyakan," kekehnya.
Adit berdecak. "Jadi gimana?" tanyanya tak sabaran.
"Aman. Senja sudah bisa dibawa," jawab Tika sembari mendorong tubuh Senja ke arah Adit. Dengan cepat lelaki itu menangkapnya. Membuat tubuh Senja bergidik begitu saja. Tika tersenyum. "Nja, aku pulang dulu ya. Besok aku telepon kamu," pamitnya.
Tidak ada yang bisa Senja lakukan selain menganggukan kepala. Malam ini ia akan menjadi wanita jalang yang melayani Adit, lelaki yang baru saja dirinya kenal dari Tika. Senja memejamkan mata, semua demi uang pengobatan Andra sebanyak seratus juta.
.
.
Bersambung.
***"Silakan masuk!" tutur Adit kepada Senja saat mereka akhirnya sampai di sebuah hotel bintang Lima yang memiliki privasi. Senja menelan ludahnya dengan susah payah. Jantungnya berdegup kencang karena menduga-duga apa yang akan terjadi selanjutnya. "Kamu tuli?" Adit bertanya sinis. Sekarang Senja tahu Adit bukan lelaki yang suka basa-basi. Adit bukan pula lelaki yang sabaran. "Enggak, Mas. Ini saya mau masuk," ucap Senja. Tanpa sudi menunggu lama, pemilik nama lengkap Aditya Praja Wirata itu langsung menarik tangan Senja hingga tubuh Senja sepenuhnya masuk ke dalam kamar.Senja terkesiap. "Mas," tegurnya dengan suara yang sangat kecil. "Apa? Kamu berubah pikiran?" tanya Adit tak suka. Sejak tadi ia sudah sangat ingin melampiaskan semua perasaannya. Tak hanya soal hasrat, tapi juga kekesalan. Senja menggeleng. "Bukan begitu, tapi bisakah kita hanya mengobrol malam ini?" tanyanya. "Tidak bisa! Aku membayarmu bukan untuk mengobrol saja," Sejak mendengar itu, Senja tahu ia tak a
***Adit memandang Senja yang pagi ini masih bergelung di dalam selimut. Sementara dia sendiri sudah siap dengan setelan yang semalam ia kenakan. “Dua Puluh Juta untukmu sebagai tambahan karena semalam kita bercinta sekali lagi!” ujarnya sembari melempar segepok uang kepada Senja.Dengan hati yang penuh sesak Senja menerimanya.“Ingat jangan lupa minum pil kontrasepsi. Aku tak ingin kamu tiba-tiba menuntut pertanggung jawaban padaku karena hamil!”Kali ini Senja mengangguk. “Iya Mas,” ucapnya.Adit mendengus, lalu pergi begitu saja dari hadapan Senja. Dalam kamar yang kini hening Senja menangis. Airmata tak terbendung saat melihat sejumlah uang di dalam genggamannya. Uang yang ia dapatkan karena menjadi wanita simpanan seorang Aditya Prada Wirata.“Ampuni aku Tuhan, tapi aku sungguh nggak punya pilihan,” ratapnya.Dalam kesedihan itu, Senja tetap bersyukur karena dengan begini ia bisa mengumpulkan uang pengobatan untuk Andra lebih cepat. Buah hatinya harus diselamatkan.Di saat Senja
***Abrisam baru saja kembali dari pesantren saat menemukan sebuah amplop yang dijatuhkan seorang wanita. Niat hati ingin langsung menemui uminya, tapi terpaksa tertunda karena ingin mengembalikan amplop tersebut.Tak disangka pemilik amplop tersebut adalah wanita yang sama dengan orang yang pernah menubruknya sehari sebelumnya.Gus Isam tampak terkejut karena perempuan itu selalu saja menangis saat mereka bertemu. Sayang tak sempat ia bertanya, perempuan itu sudah pergi terlebih dulu.“Apa yang kamu pikirkan, Abrisam?”Sebuah suara mengintrupsi Isam dari lamunannya.Gus muda tersebut tampak terkejut. “Umi? Sejak kapan Umi ada di sini?” tanyanya.Umi Laila tersenyum karena anak sulungnya itu tak menjawab pertanyaannya. “Sudah sejak Lima menit yang lalu, Nak. Memangnya apa yang membuatmu melamun seperti itu?” tanyanya.Isam salah tingkah. Astagfirullah. Tak seharusnya ia mengingat wanita yang bukan mahramnya.“Apa yang mengganggumu, Isam? Cerita pada Umi,” ucap Nyai Laila.Isam ragu, h
***Senja baru saja tiba di rumah makan tempatnya bekerja kala jarum jam pendek menunjukan pukul Sepuluh pagi. Ia tahu akan mendapat masalah sebab terlambat Dua jam dari yang seharusnya.“Dari mana kamu Senja? Masih niat kerja di sini?” Begitu Senja menghadap bosnya, pertanyaan sarkas yang didengar.“Maafkan saya, Bu. Saya kesiangan,” ucap Senja meminta maaf. Tak ingin wanita itu membawa nama Andra sebagai alasan keterlambatannya.Bu Sinta, si pemilik warung makan mendengus sebal. “Enak betul jawabanmu didengnar oleh telingaku, Nja,” sindirnya.“Mulai besok tidak usah bekerja di sini lagi. Banyak yang ingin menggantikan posisimu sebagai pelayan!”Mendengar itu membuat Senja bereaksi dengan cepat. “ Saya mohon jangan pecat saya, Bu. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi,” pintanya dengan mata yang berkaca-kaca.Gaji dari rumah makan memang tidak seberapa, tetapi cukup untuk membayar kontrakan. Jika dipecat, Senja tak tahu harus berbuat apa. Ia merasa rugi jika kehilangan pekerjaa
***Jam Sembilan malam Senja sudah berada di sebuah café & bar tempat Tika membuat janji dengannya. Wanita itu masih terlihat mengenakan pakaian lusuh yang sama dengan yang dikenakannya saat bekerja tadi.“Tck! Nja, bisa kali kamu pakai baju yang agak bagusan dikit kalau mau masuk ke sini. Untung diizinkan masuk karena aku!” ujar Tika mengomentari pakaian Senja yang memang tak layak untuk dibawa masuk ke dalam sebuah bar.Senja memperhatikan penampilannya, tapi ia tampak tak peduli dengan hal itu. “Tik malam semaki larut. Ada apa kamu memanggilku ke sini?” tanyanya.“Sabar!”“Ini honor pertama untukmu karena berkencan dengan Mas Adit! Setelah ini, kamu akan langsung dibayar olehnya tanpa prantara dariku. Kalian sudah sepakat kan untuk berkencan diam-diam?” tanya Tika.Senja tampak terkejut. “Tapi aku sudah mendapatkan uang dari Mas Adit, Tik,” ucapnya dengan jujur.“Nggak apa-apa itu hakmu. Ini untuk kesepakatan kit. Lima Belas juta!”“Lima Belas juta? Kenapa banyak sekali?”Tika meng
***Senja baru saja selesai mandi ketika sebuah notifikasi pesan chat masuk ke dalam ponselnya. Aplikasi berwarna hijau yang populer digunakan oleh banyak orang itu pun akhirnya menyita perhatian Senja.[Kata Tika kamu sudah nggak sabar mau bertemu denganku lagi, Senja]Setelah membaca barisan kata, Senja akhirnya tahu siapa pemilik nomor baru tersebut. “Mas Adit,” lirihnya.[Bukan begitu, Mas. Tapi, lebih cepat lebih baik karena aku membutuhkan uang secepatnya!]Segera Senja membalas.Tak lama kemudian panggilan vidio call dari Adit masuk ke dalam ponselnya. Senja pun mengangkatnya. “Halo Mas,” sapanya dengan suara yang agak serak, lantaran ia sudah mengantuk karena malam cukup larut.“Kamu menggodaku dengan suara serakmu, Nja?” Namun, berbeda dengan yang Senja rasakan, justru Adit menganggapnya lain. Senja menggeleng. “Aku mengantuk, Mas,” ucapnya menjelaskan.A
***Adit menjadi uring-uringan sejak Senja tak bisa dihubungi usai ia kembali ke Jakarta. Lelaki itu berkali-kali menelpon Senja, tapi Senja yang sibuk bekerja tak sempat mengangkat panggilannya.“Sialan! Ke mana perempuan itu?” Adit bertanya pada dirinya sendiri.Pada akhirnya Adit memutuskan untuk menelpon Tika. Dalam beberapa menit keduanya telah terhubung.“Ada apa, Mas?” tanya Tika.“Di mana Senja?” Tanpa basa basi Adit langsung mengungkapkan tujuannya yaitu mencari wanita simpanannya.“Loh bukannya kalian memiliki nomor telepon masing-masing?” Tika terdengar heran.Membuat Adit berdecak sebal karena bukan pertanyaan yang sekarang dia butuhkan. Melainkan jawaban. “Di mana Senja?” ulangnya.Dari jauh Tika ikut mendecakan lidahnya. “Jam segini biasanya Senja kerja di rumah makan, Mas,” jawabnya setelah melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya ma
***Sebuah pesan masuk ke ponsel Senja. Isinya mengabarkan kalau Adit terus mencari keberadaannya. Pesan itu dari Tika.“Pantas saja banyak panggilan tak terjawab dari Mas Adit!” ujar Senja.Sekarang sudah pukul Empat sore. Dirinya pun sudah berada di rumah. Tak ingin membuat pelanggan semata wayangnya itu gelisah apalagi marah, Senja segera mengirim sebuah pesan.[Ada apa, Mas?]Sambil menunggu balasan dari Adit, Senja membereskan kontrakan. Sore ini rencananya ia akan ke rumah sakit untuk mengunjungi Andra. Mau menginap sekalian makanya ia siap-siap. Senja lupa kalau ada janji pada Adit.[Nanti malam aku ingin kita bertemu. Di mana aku bisa menjemputmu? Aku ingin kita berkencan,]Dua Puluh menit Senja menunggu balasan dari lelaki yang berani membayar mahal dirinya itu.“Nanti malam?” Senja membola. Apakah ia akan membiarkan Andra tidur sendirian lagi malam ini? Jujur Senja merasa iba. Ia ingin bersama