***
Abi tampak tak suka mendengar ucapan Umi. “Jangan sembarangan kalau bicara, Umi. Jangan mendahului Allah,” komentar Abi. Umi sedikit terkejut, tetapi dia mengalah. Dalam hati membenarkan apa yang Abi ucapkan. Dia tak boleh terlalu berharap akan sosok Hafa untuk menjadi menantunya.
Abi mengabaikannya. Abi menoleh sesaat kepada Senja. “Kalau boleh tahu siapa yang sedang bersamamu ini, ustadzah?” tanyanya kepada Hafa.
Hafa yang tengah sibuk mengajak Umi bicara mengalihkan perhatiannya pada Senja. Namun, baru saja dia ingin membuka mulutnya, Abrisam sudah mendahului menjawab pertanyaan Abinya. Lelaki itu baru saja kembali dari kamarnya.
“Namanya Senja, Bi,” ucap lelaki itu sambil mendudukkan diri.
Sejenak dia melirik Senja yang ternyata tengah menatapnya. Secepat kilat keduanya berpaling.
Senja bahkan merutuk dirinya karena terlalu lekat menatap gus Isam. Senja terpaku pada penampilan Abrisam ketika di rum
*** Ditemani Aisyah, Senja masuk menemui Umi. Sekali lagi air mata membasahi pipi saat Senja bersimpuh sambil memeluk lengan Umi. "Mohon maafkan aku, Umi. Maaf sebab telah menyeret keluarga ini ke dalam masalahku," ucapnya tergugu. "Umi tidak perlu khawatir lagi, aku akan pergi diam-diam agar gus Isam bisa menikahi ustadzah Hafa," "Siapa bilang Umi ingin Isam menikah dengan Hafa?" tanya Umi sembari mengusap lembut rambut Senja. Membuat Senja bertanya-tanya apakah maksudnya. "Mulai hari ini restu Umi sepenuhnya untukmu dan Abrisam. Kalian berhak bahagia dengan pilihan kalian," Seketika Senja mendongakkan kepalanya, menatap Umi yang juga sedang memandangnya. "M-maksud Umi apa?" tanyanya terbata. Sungguh, Senja tak ingin berharap. Umi memaafkannya saja sudah sangat beruntung, tetapi apa kata Umi tadi? Umi sepenuhnya merestui? Umi Laila tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca menatap Senja. "Iya, kamu yang Umi pilih sebagai menantu. Maafkan Umi ya karena terlalu keras. Padahal hidupmu
***"Berhenti!" Sejak tadi Abrisam hanya diam memperhatikan. Dia menunggu saat yang tepat untuk menghentikan lelaki yang lancang membawa calon istrinya pergi. Bagaimana gus Isam bisa ada di sini? Sedangkan tadi dia membawa Umi ke rumahnya. Jawabannya ada pada Asiyah. Sejak kedatangan Aditya, Asiyah berlari ke rumah gus Isam. Memberi kabar kedatangan lelaki asing yang tampak memihak Senja. Gus Isam bersyukur uminya telah kembali sadar dari pingsan. Dia pun lebih leluasa menemui Senja. "Jangan pernah berpikir untuk membawa Senja pergi dari tempat ini," ucap gus Isam yang kali ini menahan tangan Aditya. Benar, bukan tangan Senja yang lelaki itu genggam. Namun, dia menahan tangan Adit agar tertahan. "Gus," lirih Senja. Perasaannya campur aduk. Cemas dan juga lega, sebab gus Isam menghalangi kepergiannya. "Gus untuk apa lagi gus menghalangi mbak Senja? Biarkan dia pergi bersama mas Adit," ucap Hafa mencoba menyadarkan gus Isam yang menurutnya telah dibutakan oleh Senja tersebut. "K
***Umi Laila yang baru saja mendengar pernyataan tentang Senja tampak sangat syok. Wanita itu menatap Senja tak percaya. "Umi, sekarang Umi tahu kan seperti apa mbak Senja?" Hafa mendekat saat melihat Umi menatap Senja dengan berkaca-kaca. "Dia itu wanita simpanan. Apakah Umi tega membiarkan gus Isam yang sempurna bersanding dengan wanita murahan itu?" tanyanya berapi-api. Umi Laila mengalihkan perhatiannya dari Senja, menatap sedih ke arah Hafa. Kepalanya menggeleng entah karena menjawab Hafa atau yang lainnya. Tak mendapatkan respon yang diinginkan dari Umi Laila, Hafa beralih pada gus Isam. Tiba-tiba dia menangis. "Gus Isam pasti terkejut, kan? Mbak Senja wanita murahan. Rela menjadi simpanan, merusak rumah tangga orang," ucapnya. "Gus tahu apa yang selama ini aku rasakan? Aku memendam semuanya, gus. Aku takut menyakiti orang lain, tapi aku nggak sanggup melihat gus tertipu oleh perempuan murahan itu!" Mendengar Hafa menghina Senja membuat Abrisam mengepalkan tangannya. Hafa
***Jujur saja Adit terbebani mendengar ucapan Nayra beberapa jam yang lalu. Oleh karena itu, sekarang dia berada tepat di depan gerbang pesantren. Namun, dia menahan diri untuk masuk sebab tak ada alasan yang tepat baginya menembus gerbang. Tentu Adit menghormati sebuah batasan. Dia bukan lelaki yang tak tahu aturan. Kecuali mendesak. Adit hanya akan memantau untuk sementara waktu. Lalu, setelah tiga puluh menit berada di sana, Adit pun menghidupkan mesin mobilnya. Roda berputar meninggalkan gerbang pesantren. Di sisi lain, Hafa baru saja turun dari angkot. Tergopoh-gopoh melewati gerbang pesantren. Mulutnya manyun karena kesal akibat ketiduran sampai lupa waktu. Dia malu karena lagi-lagi meminta Aisyah menggantikan tugasnya mengajar anak-anak. Sialnya, angkot yang tadi dia naiki terkena macet hingga dia benar-benar ketinggalan kelas. Terpaksa semua diborong Aisyah."Astaghfirullahal'adzim!" Hafa hampir saja terjatuh andai seseorang tak menggenggam tangannya. Waktu bagai berhenti
***"Jadi, kapan kalian akan menikah?" tanya Kyai setelah Abrisam dan Senja mendudukkan diri di kursi ruang tamu. Nyai Laila terpaksa berhenti berdebat, terapi dia juga akan tetap mengutarakan pendapatnya kepada Isam nanti. "Kalau Isam inginnya minggu ini juga Bi, tapi entah bagaimana dengan Senja," jawab Abrisam. Kyai menunggu jawaban Senja. "Bagaimana Nak Senja? Kamu setuju?" Senja menautkan jari-jemarinya. Pertanyaan ini terlalu mendadak, tetapi dia sudah punya jawabannya. "Boleh setelah lebaran saja Kyai?" tanyanya. "Sebaiknya kamu tanyakan langsung pada calon suamimu," ucap Kyai tenang. Mendengar calon suami membuat pipi Senja memerah tanpa kompromi. Sesungguhnya dia masih tidak percaya gus Isam ingin menikahinya. Ini benar-benar seperti mimpi. Senja melirik gus Isam sekilas. Abrisam tersenyum tipis. Tergelitik hatinya melihat pipi Senja memerah. "Nggak masalah. Lebaran juga tersisa seminggu lagi," ucapnya. "Umi juga setuju! Tunda saja sampai selesai lebaran," sahut Nya
***"Assalamu'alaikum," sebuah salam membuat ketiga wanita yang sedang berada di gazebo pesantren itu menolehkan kepala. Hafa adalah yang pertama berdiri dari duduknya. Disusul Aisyah lalu Senja. "Wa'alaikumsalam. Gus Isam sudah pulang?" tanya Hafa dengan wajah yang sumbringah. Dia senang sekali melihat gus Isam berada di pesantren. Dengan begitu dirinya akan leluasa memberitahukan soal siapa Senja sebenarnya. Gus Isam mengangguk singkat. Tanpa menatap mata, pandangannya tertuju kepada Senja, wanita yang beberapa hari ini ingin sekali dia ketahui kabarnya. Sebuah kejutan bagi gus Isam kala melihat penampilan Senja yang baru. Gamis semata kaki, lalu kerudung menutup dada itu telah merubah Senja seutuhnya. Dan, kalau boleh gus Isam berkomentar, Senja teramat cantik dalam balutan busana syar'i tersebut. Senja menunduk dalam. Ia malu, tetapi juga rindu. Entah bagaimana mengungkapkannya. Namun, diperhatikan gus Isam seperti itu membuatnya salah tingkah. Ingin sekali memberi sedikit sa
***Ustadzah Hafa tampak uring-uringan. Pikiran negatif tentang kehadiran Senja telah menyita perhatiannya. Bahkan gadis itu tak konsentrasi dalam mengajar. Aisyah, ustadzah yang juga mengajar di pesantren menegurnya. "Apa yang mengganggu pikiranmu ustadzah Hafa?" tanyanya. Hafa menoleh mendengar pertanyaan itu. Hafa menghela napas dengan berat. "Kamu sudah kenal, kan, pada mbak Senja?" Alih-alih langsung menjawab pertanyaan Aisyah, Hafa justru ikut melempar tanya. Aisyah mengangguk singkat. "Tadi aku yang membantunya memakai hijab syar'i. Aku juga meminjamkan pakaian padanya karena semua pakaiannya berbeda dari kita," ucapnya menjawab pertanyaan Hafa. Senja memang tak punya pakaian syar'i seperti yang sering Hafa dan Aisyah kenakan. Oleh karena itu Aisyah meminjamkan beberapa gamis untuknya. "Kenapa memangnya?" Ustadzah Hafa tampak gelisah. "Aku heran kenapa tiba-tiba dia berada di pesantren. Apa ini permintaan gus Isam?" tanyanya. "Jadi ustadzah Hafa cemburu ceritanya?" Aisya
***Senja mengusap air matanya. "Gus Isam bisa saja, saya jadi berharap yang tidak-tidak. Saya ini nggak pantas gus, saya janda dan pernah jadi simpanan. Saya ti ... " "Tolong jangan katakan itu. Saya janji akan menerima kamu apa adanya. Kita capai Jannah bersama ya?" Abrisam dengan cepat memotong ucapan Senja. Dia tak ingin mendengar Senja pernah tidur dengan Aditya. Sudah cukup baginya mendengar pernyataan itu beberapa jam yang lalu. "Tapi bagaimana dengan umi Laila dan Kyai? Mereka mungkin akan menolak saya,"Isam tersenyum mendengar pertanyaan Senja. Itu artinya Senja menerima pinangannya. "Umi dan Abi orang baik. Atas izin Allah, mereka akan menerima niat baik kita," ucapnya. "Jadi setuju ya ikut ke pesantren dan menikah dengan saya?" "Tapi gus belum mengenal saya dengan baik," "Mengenal kamu setelah kita menikah akan jauh lebih baik, dan tentu saja romantis," Ada saja jawaban gus Isam yang membuat Senja kehabisan kata-kata. Pada akhirnya, Senja menganggukkan kepala. Setuj
***Senja menjauh dari pelataran rumah sakit, bermaksud mencari angkutan umum agar dapat membawanya ke kontrakan kecilnya. Namun, siapa sangka seseorang yang telah mengincar kedatangannya kini melakukan aksinya. Nayra, perempuan itu memandang sinis selingkuhan suaminya. Kebencian terpampang jelas di mata sang jelita. Dia sangat amat tak suka pada Senja meskipun kenyataannya Senja bukan lagi simpanan mas Adit. "Perempuan jalang itu harus mati di tanganku!" ujarnya penuh kebencian. Sesuai rencana, Nayra menginjak pedal gas sedalam-dalamnya hingga mobil melaju kencang tanpa ampun. Menuju Senja yang berdiri gelisah menunggu angkutan. Sedikit lagi, wanita malang itu pergi menghadap ilahi. Akan tetapi, bukan tubuhnya yang menghantam kap mobil milik Nayra meski benturan terdengar keras di telinganya. Seperti ada sesuatu yang jatuh. "Gus Isam!" Teriakan Senja menjawab semuanya. Iya, Abrisam yang baru saja terjatuh. Semua orang yang menyaksikan kejadian naas tersebut terpekik panjang. M