Security wanita itu akhirnya melepas tangan Hanna. Namun, tetap saja wanita dengan seragam itu terus mengawasi Hanna, agar tidak kembali berbuat nekad.
Hanna menyibak rambutnya dengan elegan, lalu merapikan beberapa bagian pakaiannya yang kusut akibat pergulatan mereka tadi. Melihat heels miliknya tergeletak tak jauh dari posisinya sekarang, refleks Hanna melangkah mengambilnya.Suara ringisan kesakitan terdengar lirih dari bibir Siska, penampilan wanita muda itu begitu buruk. Kakinya bahkan gemetar untuk berdiri. Rasa terkejut karena pergulatan tadi masih membekas padanya. Kelihatannya butuh waktu bagi Siska untuk mengembalikan kepercayaan dirinya."Dasar wanita gila!" maki Siska yang terdengar sampai ke telinga Hanna."Apa katamu, j4lang! Kau bilang aku wanita gila?! Masih ingin kuhajar kau?" balas Hanna kembali emosi."Tenang, bu!" Suara security wanita terdengar lagi. Ia berusaha menenangkannya."Wanita murahan. Bisanya cuma jualan lobang saja, entah sudah berapa orang yang sudah mencicipi lobangmu itu," tuding Hanna membalas makian Siska."Cih, benar-benar J4lang murahan! Pel4cur!" lanjut Hanna mendesis sambil membuang ludah.Siska tak mau kalah. Meski masih berdiri gemetar, ia melempar pandangan menghujam pada Hanna.Tak ayal, hal itu membuat wanita bertubuh ramping itu kembali melepas heels nya dan melemparnya kembali pada Siska.Untung saja, lemparan itu meleset, jika tidak, bukan tidak mungkin ujung lancip sepatu itu akan menggores kulit wajahnya.
"Ah, meleset. Kau beruntung!" keluh Hanna seketika karena lemparannya tak mengenai sasaran."Sudah, bu!" Kembali, terdengar suara security wanita berusaha menenangkan emosi Hanna.Hanna mendengkus kesal. Jika tidak ingat security yang masih menempel di sampingnya, bukan tidak mungkin, akan ada ronde kedua pergulatan mereka. Wanita itu kesal karena masih ingin memberi selingkuhan suaminya itu pelajaran.Sebuah kilau terpancar dari kalung yang dipakai Siska membuat Hanna mendelik. Perhatiannya kini teralihkan. Dengan cepat dan tanpa sempat dicegah, tangannya menarik paksa kalung tersebut dari leher Siska, membuat wanita dengan bokong sensu4l itu kembali menjerit."Kau ... Itu kalungku, kembalikan kalungku, wanita gila!" Spontan Siska memaki."Kau pikir aku sebodoh itu, hah! Ini kalung kau beli dari hasil menjual lubangmu itu semalam, kan. Ini uang suamiku, ya kan! Enak saja kau. Dasar j4lang, l0nt3! Pel4cur!"Itu milikku," jerit Siska berusaha mendekat ingin meraih kembali perhiasannya. Namun, usahanya sia- sia, karena seorang security segera menahannya."Bubar ... bubar!" Teriak seorang security pria karena melihat beberapa orang pengunjung yang hendak kembali berkerumun."Sekali lagi saya minta untuk tidak membuat keributan di sini, jika tidak kita akan menyelesaikannya di ruang keamanan saja," seorang pria dengan pakaian serba hitam dengan handy talky ditangannya berbicara."Tak perlu, karena urusanku sudah selesai," jawab Hanna cepat.Hanna kembali memakai sepatunya yang dibawakan seorang security padanya. Kali ini ia benar-benar ingin berniat pergi. Tak lama, tangannya meraih tas miliknya yang masih tergeletak di lantai lalu menyimpan kalung hasil rampasan tangannya tadi kedalamnya.Kembali Hanna melepas pandangan tajam pada Siska. Sambil terus merapikan kembali penampilannya."Kali ini kau selamat, awas jika aku sampai melihatmu lagi, habis kau!" Ancam Hanna."Aku akan melaporkanmu ke polisi!" Balas Siska."Kau pikir aku takut?! Lakukan saja. Tapi harus kau ingat aku bisa bertindak lebih nekat dari ini jika sampai berani membawa masalah ini ke jalur hukum," Geram Hanna sambil mengacungkan jari telunjuknya.Hanna membalikkan badannya kemudian melenggang santai menjauhi arena pergulatan mereka tadi. Senyum sinis menghiasi wajahnya. Dengan kepala yang kini penuh dengan rencana dan skenario selanjutnya."Melapor ke polisi katanya, sok berani! Lagipula, siapa yang nanti akan rugi jika benar-benar ingin memperkarakannya? Dasar j4lang murahan!""Selanjutnya adalah giliranmu, mas!" Sungut Hanna sambil melangkah ke arah eskalator yang akan membawanya ke lantai bawah.Siska terdiam, wanita itu berdiri mematung menatap kepergian Hanna dengan lutut yang masih gemetar. Melihat pakaiannya yang tampak tak layak pakai, seorang security wanita menawarkan pilihan."Ibu bisa pakai jaket saya, jika mau. Karena pakaian ibu ...."Security wanita itu tak meneruskan ucapannya karena merasa tak nyaman mengatakannya. Siapapun yang melihatnya akan langsung terfokus pada bel4han d4d4 Siska terlihat jelas, juga beberapa sobekan kecil di beberapa bagian, akibat perkelahian tadi."Tak perlu, aku akan beli baju disana saja untuk menggantinya." Tolak Siska sambil menunjuk sebuah toko pakaian yang berada tak jauh dari hadapannya."Baiklah."Para petugas keamanan itu akhirnya membubarkan diri dan kembali ke pos jaga mereka masing-masing. Sedang Siska, berjalan tertatih-tatih menahan sakit dan rasa malu menuju ke sebuah toko pakaian. Dengan satu tangannya menutupi bagian atas belahan d4d4-nya yang terekpos jelas.Sambil berjalan, Siska mengeluarkan ponselnya. Meskipun rasa sakit dan perih terasa di sekujur tubuhnya namun, Jemarinya masih lincah menari di layar ponselnya. Taklama teleponnya tersambung. Suara seseorang terdengar di ujung sambungan."Mas Aldo, tolong jemput aku di mall sekarang. Istrimu menyerangku," rintih Siska memelas. "A-aku bahkan tidak sanggup berjalan,"Sebuah mobil memasuki sebuah kompleks perumahan, bergerak perlahan melewati beberapa blok hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rumah bercat kuning pucat.Dengan wajah datar Hanna turun dan melangkah tenang masuk ke halaman lalu mengetuk pintu, tak lama, datang seorang wanita lain yang langsung menyambutnya dengan hangat."Aku sudah menunggumu dari tadi." Ucap Dina, sahabat sekaligus sepupu Hanna. Seseorang yang selalu setia menampung segala cerita hidupnya."Ada sedikit masalah di jalan," ucap Hanna beralasan."Kau benar-benar nekat, Hanna, aku bahkan tak bisa berpikir dengan baik sewaktu kau menelponku dan bercerita tentang pergulatanmu itu," ujar Dina menggeleng."Maksudmu aku harus diam saja melihat perbuatan mes-um mereka, begitu?" Ketus Hanna."Jangan salah paham. Aku tidak mengatakan seperti itu. Kau menghajar Siska habis-habisan, Tapi bagaimana jika ia melapor ke polisi. Bisa panjang ceritanya Hanna. Kau selalu saja bertindak semaunya." Dina mengeluh seolah memikirkan kelan
Siska melempar tas yang dipegangnya dengan begitu keras hingga terdengar suara berdebum ketika benda itu membentur lantai kamarnya. Dengusan panjang dikeluarkannya, seakan hendak memberitahu betapa emosi dirinya saat ini.Perkelahiannya dengan Hanna menyisakan begitu banyak rasa sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya. Mulutnya bahkan tak henti memaki ketika melihat beberapa lebam di bagian wajah dan lengannya.Kakinya melangkah ke sebuah cermin yang cukup besar yang menempel di lemarinya. Salah satu tangannya menyentuh pipi kanannya masih terasa begitu nyeri akibat tamparan Hanna yang bertubi, ia juga menyibak poninya, nampak jelas bekas cekaran kuku wanita itu yang masih menjejak manis disana."Si4lan kau Hanna, dasar bar-bar, wanita gila! Wajar saja Mas Aldo lari dari pelukanmu." Siska mengumpat.Kembali Siska memandang ke arah cermin. Mengamati rambutnya yang tampak kusut meski sudah ia rapikan. Rasa sakit akibat jambakan tangan Hanna masih terasa nyeri, membuat wanita itu kembali mem
Aldo terdiam mendengar tudingan Hanna yang begitu menusuk. Wajah Hanna yang menahan amarah dengan nafas yang nampak memburu, membuat lelaki itu memilih untuk menahan diri.Ekor mata Aldo melihat Hanna dengan kedua tangan bersidekap di depan dada. Sebuah posisi pertahanan diri yang biasa refleks dilakukan. Aura panas yang dikeluarkan wanita itu begitu terasa, membuat tengkuk Aldo menegang.Ucapan Hanna tidak ada yang salah. Aldo memang menginap di tempat Siska selama tiga hari. Awalnya ia dan Siska, wanita gelapnya itu memutuskan untuk bertemu sebentar setelah pulang kantor, namun ditengah perjalanan, tiba tiba saja Siska mengubah rencana, wanita itu mengatakan ingin menonton film berdua saja di kamar kostnya.Permintaan Siska langsung dijawab Aldo dengan anggukan kecil. Bagai mendapat hadiah, tanpa berpikir panjang, mengikuti keinginan dan juga hasratnya.Suasana mendadak berubah, acara menonton film tersebut seketika berganti, ketika Siska tiba tiba mengganti pakaiannya dengan linge
Aldo menggigit kepalan tangannya yang tadi gagal digunakan untuk kembali menampar Hanna, matanya masih menatap nyalang pada istrinya, amarah masih membuatnya panas, serasa ingin meledakkan tubuhnya."Si4l!" Kembali Aldo mengumpat.Prang!Sebuah vas bunga kristal yang terpajang di meja tamu tiba-tiba di lempar Aldo untuk mengalihkan kekesalannya. Sengaja lelaki itu melemparnya didekat Hanna, untuk menunjukkan betapa emosi dirinya saat ini.Vas bunga itu keras membentur dinding dan hancur. Kepingan-kepingan vas itu berserakan di lantai. Hanna memandang vas yang hancur itu dengan sorot mata yang dingin. Dengan wajah yang menyeringai."Kau benar-benar keterlaluan. Aku menyesal menikah denganmu. Siska bahkan sepuluh kali lebih baik darimu." Sesal Aldo sambil terus memaki."Oh, benarkah! Baguslah. Artinya setelah ini, aku tak perlu mengurusi kebutuhanmu lagi," balas Hanna spontan.Ada rasa nyeri dihati Hanna ketika mendengar pernyataan Aldo. Mata dengan bulu mata lentik itu nampak berkaca.
Keesokan harinya,Hanna duduk memandang sepiring nasi goreng yang dibuat Mbok Iyem, Assisten rumah tangganya dengan wajah masam dan tak berselera. Pertengkaran dengan Aldo semalam masih menyisakan rasa nyeri di kepalanya yang terluka akibat berbenturan dengan kaki lemari. Sikap brutal yang dilakukan Aldo semalam masih terekam jelas dalam memori ingatannya. Hanna tak habis pikir mengapa Aldo yang begitu mencintainya bisa berubah begitu cepat membencinya. Apa yang dilakukan Siska hingga bisa membuat Aldo begitu cepat berpaling darinya?Adakah kesalahannya? Atau pelayanannya yang tidak sesuai keinginan suaminya? Entahlah, Hanna merasa yakin jika tak melakukan hal yang buruk yang bisa membuat Aldo berpaling dan menjauh darinya.Semalam, setelah puas mengeluarkan amarah, Hanna membanting pintu kamarnya dan menguncinya begitu rapat. Hingga Aldo terpaksa tidur mengungsi ke kamar tamu. Dan pagi ini lelaki itu tak terlihat di meja makan ini.Ah, tapi mengapa ia harus peduli? "Mbak Hanna, tid
"Apa yang akan didapatkan wanita bodoh itu dengan melaporkan Hanna?" ucap Aldo yang tanpa sadar mengingat kembali senyum yang begitu menakutkan di wajah Hanna semalam.***Awan mendung masih menggelayut di langit, begitu juga dengan angin yang mulai berhembus kencang, menerpa dedaunan dan menggoyangkan ranting pohon seperti tubuh seorang penari yang meliuk.Entah mengapa cuaca seperti begitu cepat berubah. Padahal tadi pagi matahari masih begitu garang memperlihat keperkasaannya. Seolah meyakinkan diri jika tetesan air tak akan mungkin bisa jatuh ke tanah.Hanna memandang halaman rumahnya dengan tatapan sayu dari teras, niatnya untuk pergi ke suatu tempat, terpaksa ditunda, karena cuaca yang tidak mendukung, ia yakin tak akan lama lagi hujan akan turun.Ditengah pikirannya yang seakan ingin mempermainkannya, sebuah motor matic berhenti tepat di depan rumahnya. Melihat siapa gerangan yang datang bertamu, sebuah senyuman kini terlukis indah wajahnya."Dina, tumben main ke rumahku?" Han
"Terserah kau saja, tapi jika kau butuh bantuan pengacara, Jangan sungkan menelponku." Ujar Dina khawatir.Hanna menggangguk."Tentu saja.""Aku pasti akan meminta bantuan padamu sebab kantor polisi adalah langkah terakhir bagiku, sebelum itu aku ingin melihat wajah pucat lelaki itu karena telah kehilangan segala hal yang dibanggakannya selama ini. Aku ingin melihat rasa penyesalan yang tulus di wajahnya, dan yang terpenting aku ingin melihatnya hancur di depan mataku sendiri.""Kau memiliki bukti KDRT yang dilakukan Aldo padamu Hanna.""Aku tahu, tapi melaporkannya ke kantor polisi tidak semudah yang dibayangkan, akan banyak waktu dan materi yang dibutuhkan dan aku tidak punya waktu untuk itu, lagipula melaporkannya juga tidak menyelesaikan masalah. Tuduhan KDRT dan perzinahan bisa menahannya berapa lama? Tiga bulan, satu tahun, tiga tahun? Tuduhan itu tidak akan membuatnya membusuk selamanya dipenjara, lalu begitu lelaki itu keluar nanti, adakah jaminan Jika dia tidak mencariku lagi
Aldo memandang foto Hanna yang sedang tersenyum manis di sudut kiri meja kerjanya dengan sorot mata yang dingin. Entah apa yang ada dalam pikirannya hingga setelah beberapa saat, foto itu di lepas dari piguranya dan di robek beberapa bagian hingga berakhir dalam kotak sampah.Dengan punggung yang menyandar di kursi, Aldo membuang nafas kasar. Pertengkarannya dengan Hanna dua malam lalu kini berkelebat di benaknya. Sungguh, selama satu setengah tahun mereka menikah, baru malam itu ia bisa lepas kendali dan memukul istrinya dengan begitu kasar.Aldo memandang kedua telapak tangannya sesaat, lalu mengusapnya ke wajah sambil menatap ke langit-langit ruang kerjanya. Rasa penyesalan sedikit terbetik dalam hatinya, karena sebelumnya tak pernah sekalipun ia memperlakukan Hanna sekasar itu."Mengapa Hanna?""Kau membuat tanganku menyakitimu. Jika memang kau sudah bosan padaku, mengapa tidak mengatakannya terus terang saja, kita bisa berpisah secara baik-baik." Gumam Aldo.Sebuah laci di sisi k