Share

Lagi-lagi Ibu

Wanita yang Kau Sakiti 

Bab 5

Salah satu alasan Hayana tidak betah tinggal di dekat mertuanya, adalah tidak adanya kebebasan pergi berdua dengan kekasih halalnya.

Hayana merasa tak tenang setiap mau bepergian.

Wanita yang bergelar ibu mertua itu seolah selalu menghalangi kebebasan mereka. 

Hayana masih berusaha bersabar dengan semua itu, bukan tanpa sebab. Ada beberapa alasan yang membuat dia masih bersabar. Hayana berjanji pada dirinya sendiri, bila memang sudah benar-benar tidak sanggup, maka dia akan mengambil tindakan tegas.

"Bu. Arik sama Haya saja, ya. Nggak lama, kok. Setelah itu nanti Arik antar, Ibu, belanja. Janji," rayu Arik. 

"Kamu pasti bohong? Mau kemana, sih, sampai ibu nggak boleh ikut?" Bu Sastro manyun. 

"Masa iya, mau ikut. Nggak muatlah, Bu." 

"Makanya cepat beli mobil biar ibu bisa ikut kalian."

"Doakan secepatnya, Bu."

"Percuma ibu doakan setiap hari kalau hanya kamu saja yang cari uang. Uangmu kan hanya cukup untuk makan. Mana bisa untuk beli mobil. Tidak akan cukup." Mata Bu Sastra melirik Hayana yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Mas. Itu ibu menyuruh aku kerja lagi. Izinkan aku kerja lagi! Makanya biar bisa beli mobil ibu jangan minta jatah banyak- banyak! Udah tuju ratus ribu aja sebulan dari Mas Arik! Gaji anaknya naik, ibunya juga ikutan minta jatahnya naik! Gimana mau bisa nabung buat beli mobil!" ketus Hayana. 

"Haya! Kurang ajar kamu!" Bu Sastro ingin sekali menjambak kerudung menantunya itu!

"Kami pacaran dulu, ya, Bu. Ibu nggak usah ikut. Dada, Ibu. Muaah." Hayana memperagakan gaya anak kecil yang sedang kiss bye, sambil tersenyum penuh kemenangan.

"Dasar menantu kurang ajar. Awas saja kamu!" ancam Bu Sastro, sayangnya sudah tidak didengar oleh mereka. Motor sudah meninggalkan pekarangan rumah.

Wanita paruh baya itu gegas masuk ke dalam rumah, mencari HP jadul miliknya. Ponsel merk ternama pada jamannya itu, tergeletak di depan TV

"Awas kamu, Haya!" Tangan yang mulai berkerut itu memencet angka pada keyboard. Bu Sastro ingin menghubungi anak pertamanya yang tinggal di daerah Cianjur.

Nomor itu terhubung, tak lama kemudian terdengar suara dari seberang sana. Bu Sastro langsung mengadukan sesuatu sama anaknya tersebut.

~~~~~~~~~

"Dek, pulang, yuk! Sudah mau magrib," ajak Arik setelah di tengah perjalanan. 

"Memangnya tidak jadi beli telur dadar?" 

"Sudah mau magrib! Lain kali, ya!" 

"Memangnya kalau sudah magrib kenapa? Bukankah di dekat kecamatan ada Masjid besar? Kan bisa sholat di sana." Haya menahan geram.

"Aku kan janji sama Ibu untuk mengajaknya belanja. Nanti kemalaman."

"Ibu lagi. Ibu lagi. Ya sudah sana pulang! Bahagiakan ibumu nggak usah pikirkan aku! Sana pulang!" usir Hayana. Dadanya sesak. Mengapa hanya ibunya yang dia pikirkan? Apa istrinya tidak berhak dibahagiakan?

"Pulang bareng. Beli telur dadarnya besok saja, ya!" rayu Arik dengan suara lembut. 

"kamu membawa aku ke sawah untuk menukar dengan telur dadar yang dihabiskan ibumu? Iya? Dasar pelit! Aku bisa beli sendiri. Sana pulang! Aku pikir kamu sudah benar-benar berubah. Tidak hanya ibumu saja yang kamu pikirkan. Ternyata aku salah kamu tak pernah berubah! Tidak pernah memikirkan perasaan aku! Aku bisa pergi sendiri!" 

Hayana emosi. Wanita itu pun langsung berjalan ke arah kecamatan tanpa menoleh ke belakang. Arik yang menyadari istrinya marah langsung mengikuti dari belakang. Membawa motor pelan-pelan.

"Ayo naik!" titahnya Sambil menepuk jok belakang. Arik berhenti di depan Haya.

"Nggak mau! Pulang sendiri sana! Ibumu sudah menunggu di rumah!" Haya terus berjalan. Adzan Maghrib telah berkumandang dari toa masjid tak menghentikan langkah wanita itu.

"Ayo naik! Kita ke arah kecamatan!" Haya hanya melengos sebentar ke arah suaminya, kemudian melanjutkan aksinya berjalan kaki. 

"Sudah sana pulang! Aku tidak butuh tebengan dan uangmu!" tegas Haya.

"Ini sudah magrib. Ayo, naik! Aku antarkan ke rumah makan Padang. Kalau kamu nekat jalan kaki keburu habis waktu sholat Maghrib." 

Haya sudah merasa pegal kakinya, padahal baru jalan berapa ratus meter. Ia pun memutuskan untuk naik motor. Ada benarnya ucapan suaminya, waktu Magrib yang sempit kalau mau maksa jalan kaki ke buru habis waktunya.

"Awas kalau bohong!" ancam Hayana.

"Nggak. Takut kalau kamu marah. Bisa runtuh duniaku," jawab Arik sambil menunggu istrinya naik ke atas motor.

"Gombal! Kamu sendiri yang selalu membuatku marah! Dasar laki-laki egois! Nunggu istrinya marah baru nurut!" tegas Hayana di atas boncengan.

~~~~~~~~~

Rumah makan nasi Padang pada tutup semua, padahal di sana ada tiga rumah makan Padang. Mereka kompakan tidak ada satupun yang buka. Mungkin sedang mudik semua. Sebagai gantinya wanita itu hanya minta mi ayam, yang terkenal enak tak jauh dari masjid tempat mereka sholat Magrib tadi. 

Sebenarnya Haya sudah tak menggebu untuk makan telur dadar Padang. Namun, dia ingin suaminya bertanggung jawab atas perbuatan ibunya. Memberi pelajaran pada suaminya.

Hayana sudah ke luar dari kedai mi ayam. Tiga bungkus sudah ada di tangan. Siap untuk pulang.

Arik sudah di atas motor siap untuk pulang. Tiba-tiba ponselnya berdering, ada panggilan masuk. Pria itu pun merogoh saku celananya.

"Dari Teh Maya? Tumben?" gumam Arik.

Arik pun segera mengangkat panggilan tersebut. Membuka salam dan sedikit berbasa-basi menanyakan kabar. Setelahnya mimik wajah pria itu menegang mendengar suara dari seberang sana.

Hayana menautkan kedua alisnya. Heran. Kenapa? Apa yang dibicarakan kakak iparnya?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Widuri Widuri
lanjutkan ceritanya saya sudah tidak sabar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status