Share

Mari Ngontrak Sendiri!

"Ngontrak sendiri?" Arik malah mengulang ucapan Hayana. Wanita itu menanti jawaban suaminya dengan seksama.

"Iya, ngontrak sendiri. Mau kan?" Hayana masih menatap suaminya.

"Nggak! Aku nggak mau ngontrak lagi. Aku ingin menyatukan kalian! Kamu itu belum kenal Ibu. Tugasku adalah menyatukan kalian!" sergah Arik.

Mustahil!

"Menyatukan kami? Aku nggak mau! Bisa mati berdiri kalau aku kelamaan di dekat orang tuamu!" bantah Hayana sambil berdiri dari tempat duduknya.

"Kamu belum mencoba sudah ngomong mati berdiri. Coba dulu!"

"Mas, tiga bulan di sini sudah cukup bagiku untuk mengenal seperti apa ibumu.

 Aku pastikan tidak akan pernah ada kecocokan antara ibumu denganku. Bagaikan minyak dan air, bisa satu wadah tapi tak pernah bisa bersatu. Perbedaan itu jelas dan tak pernah bisa melebur."

"Kamu sok tahu! Ini perintah suami jangan dibantah!" tegas Arik sambil berjalan ke luar dari kamar mereka.

"Dasar suami egois!" umpat Hayana.

Perut perempuan bertubuh mungil itu keroncongan, tanda meminta diisi. Mata wanita berkulit sawo matang itu menatap jam dinding. Sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Wajar kalau sudah lapar.

Wanita itu menggerakkan kakinya menuju meja makan, sambil mengusap perutnya, sebagai tanda untuk bersabar.

"Hah. Kemana telur dadar yang aku masak tadi? Padahal tadi banyak, lho! Apa mungkin Mas Arik menghabiskan semua? Tega sekali lelaki itu! Awas saja kamu, Mas!" ujar Hayana ketika membuka tudung saji.

Telur dadar ala masakan Padang yang dia masak dengan sepenuh hati, tiba-tiba hilang tak tersisa, hanya tinggal wadahnya saja. 

"Kenapa piringnya tidak sekalian dimakan? Dasar rakus!" umpat Hayana. 

Terpaksa Hayana hanya makan dengan tumis kacang serta sambal terasi. Matanya mencari keberadaan kerupuk yang tadi dibeli Arik. Lagi, lagi kerupuk tersebut tak ada. Semua sudah ludes, bahkan bungkusnya tak ada.

"Dasar manusia rakus! Aku belum makan malah diembat semuanya! Tak punya perasaan memang!" umpat Hayana sebelum menyuapkan makanan dalam mulutnya.

Berdekatan dengan mertuanya selama tiga bulan terakhir, bagai neraka untuk Hayana. Memang, mereka tidak tinggal satu atap, tapi wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu ikut campur urusan mereka. 

Selama lima tahun pernikahan hanya beberapa kali Hayana menginap di rumah mertuanya. Hayana merupakan seorang perantauan dari pulau Andalas. Dari awal bekerja sudah mengontrak sendiri. Pertemuan antara Hayana dengan Arik pun di tempat kerja. Itu sebabnya setelah menikah tak pernah ikut dengan ibu mertuanya.

Setelah Hayana memutuskan resign dari pekerjaan, Arik membawanya pindah ke rumah bibinya yang telah lama kosong. Hayana menyetujui karena memang dulu mertuanya terlihat baik. Setiap bertandang ke rumah mertua, Hayana Selalu disambut dengan baik, dimasakkan makanan kesukaan. Setiap pulang pun selalu dibawakan oleh-oleh dari ibu mertua. Hayana merasa dicintai oleh ibu mertuanya. Namun, setelah tinggal berdekatan Bu Sastro baru memperlihatkan sifat aslinya.

Memang, benar adanya pribahasa yang mengatakan 'bila jauh bau wangi kalau dekat bau kotoran'. Kini apa pun yang dilakukan Hayana serba salah di mata mertuanya.

Hayana hendak mengangkat jemuran yang telah kering. Dari tempatnya berdiri terlihat pintu rumah Bu Sastro terbuka. Tangan wanita itu mengangkat jemuran dengan terburu-buru.

Setelah mengangkat semua baju yang dijemuran, Hayana menaruh tumpukan pakaian tadi di kursi plastik yang ada di teras belakang. Wanita itu pun segera melangkahkan kaki menuju rumah mertuanya, mumpung masih dibuka.

Matanya memindai setiap sudut ruang dapur tersebut. Meja makan jadi sasarannya. Dibuka tudung saji berbahan rotan tersebut, mata Hayana membola.

"Dasar! Kenapa tidak berbasa-basi dulu!" umpat Hayana. Sialnya tangannya menyenggol sendok hingga jatuh ke lantai.

Suara sendok yang jatuh tadi mengundang tanya mertuanya. "Apa itu? Jangan-jangan kucing!" Bu Sastro setengah berlari menuju tempat makan. 

"Hayana! Kamu mau ngapain?" pekik Bu Sastro. Wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara, terlihat mertuanya menatap nyalang. Di belakang mertua ada Arik yang menatapnya heran.

"Hanya mau ngecek sesuatu." Hayana memamerkan senyumnya.

"Mau ngecek apa? Kamu mau mengambil apa memangnya?" cecar Bu Sastro.

"Haya mau memastikan telur dadarnya ada di sini nggak? Soalnya raib dari tempatnya, Bu!"

 Mata Hayana masih tertuju pada telur dadar yang ada di atas meja makan tersebut. Arik pun mengikuti arah tatapan istrinya. Pria itu pun kaget, seingat dia telur dadar tadi masih ada di bawah tudung saji di rumahnya. 

"Kamu kan pintar masak. Sana buat lagi! Itu yang sudah ibu ambil, ikhlaskan saja!" tegas Bu Sastro tanpa rasa bersalah sama sekali. Ajaib memang mertua satu itu!

"Tapi, Bu. Haya belum makan, lho! Minta dong satu aja!" rengek Hayana bak anak kecil yang minta jajan pada ibunya.

"Sudah, buat lagi sana! Itu mau buat makan ibu nanti." Wanita tua itu segera menutup tudung saji kembali setelah tadi dibuka Hayana. Istri Arik hanya mendengus kesal sambil mengelus dada.

"Kenapa mengelus dada? Nggak suka? Sama aku juga nggak! Ini ni Arik kalau punya menantu beda suku! Selalu membantah dan pelit setengah mati!" cicit Bu Sastro sambil menatap wajah anak bungsunya.

"Gua yang buat kenapa pula yang gua yang disalahkan? Dasar mertua rakus!" umpat Hayana dalam hati, sambil memonyongkan bibirnya.

Arik melihat ekspresi wajah istrinya yang tak enak dipandang, segera menarik tangannya dibawa pulang.

"Mas. Lepaskan!" Hayana memberontak.

"Diam! Ayo, pulang!" Arik semakin mempererat cengkraman tangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status