Share

Wanita yang Kunodai
Wanita yang Kunodai
Author: Ida Saidah

Mimpi Buruk

Tiga orang pemuda tiba-tiba masuk ke kamar dan membekap mulutku lalu mengikatku di kursi, sedang istriku ditelanjangi dan digarap beramai-ramai oleh mereka.

“Mas Aidil tolong aku!” teriak Lubna saat mereka mulai menjamah tubuhnya.

Aku mencoba melepaskan diri dari ikatan yang melilit tubuh hendak menolong sang kekasih hati tapi tidak bisa.

“Lepas! Lepaskan aku, Bajingan!” Lubna terus berusaha melawan, tetapi tenaganya tidak lebih kuat dari mereka bertiga.

Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Lubna dinodai oleh ketiga berandalan itu. Hatiku teramat pedih melihatnya, terlebih lagi dengan keadaanku yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Hampir semalaman aku menyaksikan pem*rkos*an itu hingga Lubna terlihat sudah tidak berdaya. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan nafasnya sudah tidak beraturan.

Setelah puas menggagahi istri, mereka pergi begitu saja meninggalkan luka yang teramat dalam di hati, terlebih lagi di hati Lubna. Ia pasti sangat tersiksa dengan semua yang telah terjadi.

Aku terus mencoba menggerakkan tangan dan kaki yang terikat begitu kuat, hingga pergelangan tangan serta kaki terasa perih.

“Astaghfirullahaladzim!” pekik Ibu saat melihat keadaan kami yang begitu kacau. Para penjahat itu meninggalkan kami dalam keadaan pintu terbuka, sehingga begitu melewati depan kamar Ibu bisa langsung melihat keadaan kami.

“Ada apa, Lubna, Aidil?” tanya wanita itu sembari menatap kami secara bergantian.

Lubna menangis tersedu di atas pembaringan. Terlihat banyak sekali luka di wajah serta tubuh istri membuat hati ini teramat perih karena tidak mampu menyelamatkan kehormatan wanita yang sangat aku cintai.

“Maafkan aku, Mas. Maafkan aku!” ucap Lubna pelan disertai air mata yang berduyun-duyun mengalir di pipinya.

Aku bergeming, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi.

“Kamu boleh menceraikan aku, Mas! Aku ini wanita kotor, wanita hina!” ujarnya lagi di sela isakannya.

Hening masih menyelimuti kami berdua. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kenyataan pahit ini. Aku sangat mencintai Lubna dan tidak mungkin menceraikannya apa pun keadaannya sekarang.

Menatap netra kekasih hatiku yang di selimuti kabut, perasaan ini seperti sedang dicabik-cabik saat mengingat kejadian malam itu.

***

“Kami sudah menangkap ketiga pelaku pemerkosaan itu, Pak!” kata seorang polisi mengabari kami lewat sambungan telepon.

Aku bergegas pergi ke kantor polisi ingin melihat siapa pelaku pelecehan terhadap istri. Akan kucabut kepala mereka hingga terpisah dari badan.

Tiga orang pemuda berseragam narapidana berdiri berjajar di hadapanku dengan mode menunduk enggan menatap wajah ini. Ketiganya seperti kerupuk yang tersiram air, tidak segarang kemarin saat melakukan hal keji kepada Lubna.

Buk!

Buk!

Beberapa kali pukulan kulayangkan kepada mereka secara bergantian. Kalau saja tidak ada yang menghalangi, pasti salah satu dari mereka sudah mati di tanganku.

***

“Mas!” Lubna mengusap bahuku lembut. Aku pura-pura tertidur karena aku tidak sanggup jika harus menatap wajahnya.

Isakan terus terdengar memecah keheningan malam. Entah kenapa hati ini tidak tergerak sedikit pun untuk menenangkan hatinya. Perasaanku sangat kacau saat itu.

“Sudahlah, Lubna. Jangan menangis terus. Lupakan saja semua yang sudah terjadi,” ucapku dengan enteng tanpa memedulikan perasaan wanita itu sekarang.

“Apa sekarang kamu jijik sama aku, Mas?” pertanyaan konyol macam apa yang ia lontarkan kepadaku. Aku tidak jijik kepadanya hanya saja aku belum bisa menyentuhnya. Aku takut dia trauma dengan kejadian malam itu.

“Sudah sebulan semenjak kejadian itu, kamu sama sekali tidak pernah menyentuhku. Sikap kamu juga begitu dingin kepadaku, Mas!”

Aku menelan ludah yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan. Kuusap wajah istriku yang masih menangis, tetapi lupa memeluknya. Padahal saat itu yang ia butuhkan adalah pelukan dan dukungan dari seorang suami.

***

“Astaghfirullahaladzim, Allahu Akbar, lailahillallah ...!” teriak Mbak Jum membuatku terlonjak kaget dan terjaga.

Aku bangkit dari tempat tidur dan mendapati Lubna sudah tidak ada di kamar. Mungkin dia sudah berlari lebih dulu saat mendengar teriakan asisten rumah tangga kami .

“Ada apa, Mbak...?” tanyaku ketika menghampiri wanita paruh baya tersebut.

Mbak Jum hanya mematung sambil menunjuk ke arah pohon yang menjulang tinggi di pekarangan belakang.

Lututku mendadak lemas dan tak mampu menopang badan. Bumi seperti berhenti berputar dan langit seakan runtuh menimpaku hingga terasa pukulan yang teramat dahsyat di kepala. Aku melihat tubuh istriku tergantung dengan menggunakan tali. Tanah tempatku berpijak seperti berputar-putar, tubuhku ambruk dan tidak sadarkan diri.

***

Perlahan mataku terbuka lalu menutup kembali karena cahaya yang menyilaukan. Tangan Lubna terulur mengusap kepalaku dengan lembut. Aku sangat bersyukur karena semua ini hanyalah mimpi.

“Kamu sudah sadar, Le?” tanya Ibu penuh kelembutan.

Aku mengerjapkan mata, mencoba memahami semua yang tengah terjadi.

Banyak sekali orang berada di rumah, bahkan ibu mertua pun sedang duduk sambil menangis di kursi tidak jauh dari tempatku berbaring.

Ada apa?

“Mana Lubna, Bu?” tanyaku mencari wanita yang teramat aku cintai.

Ibu hanya menangis. Ia kembali memeluk dan menyuruhku untuk ikhlas.

Terseok-seok aku berjalan keluar dari kamar, berdiri mematung saat melihat ada sosok wanita berbaring di atas dipan kecil dengan tubuh di selimuti kain.

Ya! Dia adalah Lubnaku. Wanita yang paling aku cintai setelah Ibu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Dia adalah lubnaku
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status