Tiga orang pemuda tiba-tiba masuk ke kamar dan membekap mulutku lalu mengikatku di kursi, sedang istriku ditelanjangi dan digarap beramai-ramai oleh mereka.
“Mas Aidil tolong aku!” teriak Lubna saat mereka mulai menjamah tubuhnya.
Aku mencoba melepaskan diri dari ikatan yang melilit tubuh hendak menolong sang kekasih hati tapi tidak bisa.
“Lepas! Lepaskan aku, Bajingan!” Lubna terus berusaha melawan, tetapi tenaganya tidak lebih kuat dari mereka bertiga.
Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Lubna dinodai oleh ketiga berandalan itu. Hatiku teramat pedih melihatnya, terlebih lagi dengan keadaanku yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Hampir semalaman aku menyaksikan pem*rkos*an itu hingga Lubna terlihat sudah tidak berdaya. Wajahnya terlihat sangat pucat dengan nafasnya sudah tidak beraturan.
Setelah puas menggagahi istri, mereka pergi begitu saja meninggalkan luka yang teramat dalam di hati, terlebih lagi di hati Lubna. Ia pasti sangat tersiksa dengan semua yang telah terjadi.
Aku terus mencoba menggerakkan tangan dan kaki yang terikat begitu kuat, hingga pergelangan tangan serta kaki terasa perih.
“Astaghfirullahaladzim!” pekik Ibu saat melihat keadaan kami yang begitu kacau. Para penjahat itu meninggalkan kami dalam keadaan pintu terbuka, sehingga begitu melewati depan kamar Ibu bisa langsung melihat keadaan kami.
“Ada apa, Lubna, Aidil?” tanya wanita itu sembari menatap kami secara bergantian.
Lubna menangis tersedu di atas pembaringan. Terlihat banyak sekali luka di wajah serta tubuh istri membuat hati ini teramat perih karena tidak mampu menyelamatkan kehormatan wanita yang sangat aku cintai.
“Maafkan aku, Mas. Maafkan aku!” ucap Lubna pelan disertai air mata yang berduyun-duyun mengalir di pipinya.
Aku bergeming, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi.
“Kamu boleh menceraikan aku, Mas! Aku ini wanita kotor, wanita hina!” ujarnya lagi di sela isakannya.
Hening masih menyelimuti kami berdua. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kenyataan pahit ini. Aku sangat mencintai Lubna dan tidak mungkin menceraikannya apa pun keadaannya sekarang.
Menatap netra kekasih hatiku yang di selimuti kabut, perasaan ini seperti sedang dicabik-cabik saat mengingat kejadian malam itu.
***
“Kami sudah menangkap ketiga pelaku pemerkosaan itu, Pak!” kata seorang polisi mengabari kami lewat sambungan telepon.
Aku bergegas pergi ke kantor polisi ingin melihat siapa pelaku pelecehan terhadap istri. Akan kucabut kepala mereka hingga terpisah dari badan.
Tiga orang pemuda berseragam narapidana berdiri berjajar di hadapanku dengan mode menunduk enggan menatap wajah ini. Ketiganya seperti kerupuk yang tersiram air, tidak segarang kemarin saat melakukan hal keji kepada Lubna.
Buk!
Buk!
Beberapa kali pukulan kulayangkan kepada mereka secara bergantian. Kalau saja tidak ada yang menghalangi, pasti salah satu dari mereka sudah mati di tanganku.
***
“Mas!” Lubna mengusap bahuku lembut. Aku pura-pura tertidur karena aku tidak sanggup jika harus menatap wajahnya.
Isakan terus terdengar memecah keheningan malam. Entah kenapa hati ini tidak tergerak sedikit pun untuk menenangkan hatinya. Perasaanku sangat kacau saat itu.
“Sudahlah, Lubna. Jangan menangis terus. Lupakan saja semua yang sudah terjadi,” ucapku dengan enteng tanpa memedulikan perasaan wanita itu sekarang.
“Apa sekarang kamu jijik sama aku, Mas?” pertanyaan konyol macam apa yang ia lontarkan kepadaku. Aku tidak jijik kepadanya hanya saja aku belum bisa menyentuhnya. Aku takut dia trauma dengan kejadian malam itu.
“Sudah sebulan semenjak kejadian itu, kamu sama sekali tidak pernah menyentuhku. Sikap kamu juga begitu dingin kepadaku, Mas!”
Aku menelan ludah yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan. Kuusap wajah istriku yang masih menangis, tetapi lupa memeluknya. Padahal saat itu yang ia butuhkan adalah pelukan dan dukungan dari seorang suami.
***
“Astaghfirullahaladzim, Allahu Akbar, lailahillallah ...!” teriak Mbak Jum membuatku terlonjak kaget dan terjaga.
Aku bangkit dari tempat tidur dan mendapati Lubna sudah tidak ada di kamar. Mungkin dia sudah berlari lebih dulu saat mendengar teriakan asisten rumah tangga kami .
“Ada apa, Mbak...?” tanyaku ketika menghampiri wanita paruh baya tersebut.
Mbak Jum hanya mematung sambil menunjuk ke arah pohon yang menjulang tinggi di pekarangan belakang.
Lututku mendadak lemas dan tak mampu menopang badan. Bumi seperti berhenti berputar dan langit seakan runtuh menimpaku hingga terasa pukulan yang teramat dahsyat di kepala. Aku melihat tubuh istriku tergantung dengan menggunakan tali. Tanah tempatku berpijak seperti berputar-putar, tubuhku ambruk dan tidak sadarkan diri.
***
Perlahan mataku terbuka lalu menutup kembali karena cahaya yang menyilaukan. Tangan Lubna terulur mengusap kepalaku dengan lembut. Aku sangat bersyukur karena semua ini hanyalah mimpi.
“Kamu sudah sadar, Le?” tanya Ibu penuh kelembutan.
Aku mengerjapkan mata, mencoba memahami semua yang tengah terjadi.
Banyak sekali orang berada di rumah, bahkan ibu mertua pun sedang duduk sambil menangis di kursi tidak jauh dari tempatku berbaring.
Ada apa?
“Mana Lubna, Bu?” tanyaku mencari wanita yang teramat aku cintai.
Ibu hanya menangis. Ia kembali memeluk dan menyuruhku untuk ikhlas.
Terseok-seok aku berjalan keluar dari kamar, berdiri mematung saat melihat ada sosok wanita berbaring di atas dipan kecil dengan tubuh di selimuti kain.
Ya! Dia adalah Lubnaku. Wanita yang paling aku cintai setelah Ibu.
POV Author. Aidil duduk di samping pusara sang istri sambil terus menabur bunga di atas gundukan tanah itu. Rasa sesak terus mendera hati, karena kehilangan sosok yang teramat di cintai. “Aku akan membalas semua perbuatan mereka kepadamu, Lubna!” ucap laki-laki itu sambil menyusut air mata yang mulai menetes di pipi. Kini pria itu bangkit meninggalkan makam istrinya, dengan tangan mengepal menyimpan seribu dendam. Bruk! Tanpa sengaja dia menabrak seorang wanita berhijab satin. Mata Aidil membulat saat melihat siapa wanita yang beru saja ia tabrak. Intan, adik kandung Radit, salah satu pemerkosa istrinya. “Ma-maaf, Mas. Saya tidak sengaja!” ucap gadis itu dengan santun. Aidil terus memandangi wanita itu hingga menghilang ditelan tikungan. Ia tersenyum sengit menatapnya, apalagi jika mengingat perlakuan kakaknya yang begitu biadab. Pelan-pelan Aidil melangkah mengikuti ke mana gadis itu pergi. Ia ingin tahu di mana perempuan itu tinggal. Entah apa yang ada di benaknya sekarang hi
Aku memarkirkan mobilku tepat di depan gang rumah gadis itu. Membuka kaca, ingin melihat keadaan Intan setelah apa yang aku lakukan dua bulan yang lalu.Entah kenapa bayang-bayang wanita itu selalu menggangguku setiap malam. Aku hampir tidak bisa memejamkan mata mendengar jerit tangisnya yang begitu menyayat hati.Sungguh, aku menyesali perbuatan terkutuk itu karena telah merenggut kesucian Intan. Mematahkan sayap-sayapnya, hingga ia tidak bisa terbang berkelana mencari jati dirinya. Aku sama seperti Radit dan kawan-kawannya. Bejat, tidak punya moral.Setelah cukup lama aku mematung memandangi rumahnya. Tidak ada tanda-tanda kalau Intan berada di dalam. Apa dia pindah dari tempat ini karena harus menahan malu? Atau, jangan-jangan dia mengakhiri hidupnya seperti Lubna.Perasaan bersalah terus berkecamuk dalam hati. Teringat saat Lubna selalu menangis di sepanjang harinya, tidak mau makan ataupun hanya sekedar meneguk air yang di suguhkan oleh ibu. Dia terus meratapi nasibnya sepanjang
“Ma-maaf, Mas, tadi saya kaget. Maaf juga sudah mecahih gelas. Tolong jangan pecat saya!” ucapnya gemetar.Aku mendekat dan membantunya memunguti serpihan gelas yang tercecer di lantai, tetapi dia langsung beringsut menjauh dariku.Kamu hanya menghancurkan gelas milikku Intan. Tetapi aku sudah menghancurkan seluruh hidup kamu.“Ada apa?” Tergopoh Ibu berlari menghampiri kami.“Maaf, Bu haji. Saya tadi tidak sengaja memecahkan gelas. Saya benar-benar minta maaf!” Intan terlihat ketakutan. Mata beningnya memerah dan berembun, mengingatkan aku akan kejadian malam itu, saat dia memohon kepadaku supaya tidak menyentuhnya.“Ya Allah, Intan. Kalau kerja itu hati-hati. Tangan kamu ada yang luka nggak?” Ibu terlihat mencemaskan wanita itu.Intan hanya menggeleng. Dengan cekatan ia mengambil sapu kemudian membuang serpihan-serpihan kaca itu ke dalam tong sampah.Aku menarik kursi dan duduk dengan lengan bertumpu di atas meja makan. Selera makanku lenyap seketika, berubah menjadi perasaan tak ka
“Heh, Intan. Kamu jangan ngarang ya. Aku itu tahu rumah kamu, kamu ingetkan saat nabrak aku di depan gerbang kuburan. Kamu itu punya kakak namanya Radit bukan?” Aku menggebrak meja, membuat gadis itu seketika langsung menunduk ketakutan. “Kak Radit?” Dia menjawab sangat pelan dengan nada bergetar. “Iya, dia salah satu orang yang telah memperkosa istri saya!” Otakku dibuat kembali mendidih oleh wanita itu. Intan terperanjat mendengar pernyataanku. Mungkin dia bisa membohongi ibu, tapi tidak denganku. Aku lihat buliran-buliran kristal putih mulai mengalir di pipinya. Air mata buaya! “Ja-jadi, wanita yang dinodai Kak Radit adalah istri Mas?” Dia balik bertanya dan sekarang berani menatap wajahku. “Iya! Saya juga pernah lihat kamu datang ke kantor polisi menemui baj*ngan itu!” sahutku muntab. “Kak Radit itu mantan tunangan saya, Mas, Bu. Tapi demi Allah saya tidak tahu menahu masalah pemerkosaan itu. Saya datang ke kantor polisi karena dengar Kak Radit ditangkap dan tiba-tiba memutu
Pemandangan macam apa ini? “Aku sudah berusaha menjaga kehormatan ibu, tetapi laki-laki itu merenggutnya dengan paksa. Aku juga tidak menginginkan anak haram ini karena dia telah menjadi beban di hidupku!” Intan memukuli perutnya dengan brutal serta penuh kebencian. “Intan stop. Jangan sakiti anak dalam perut kamu!” teriakku spontan. Dia langsung menataku dengan tatapan aneh. Begitu pula dengan Ibu. “Dia tidak bersalah, Intan,” ucapku lirih. “Maafin Ibu ya, Nak. Mungkin perkataan Ibu sudah menyakiti hati kamu. Sekarang kamu nggak boleh mikir macem-macem. Kalau ada apa-apa, cerita saja sama Ibu. Anggap saja kalau Ibu ini ibu kandung kamu sendiri.” Wanita yang telah melahirkanku itu lalu memeluk Intan dengan erat. Aku melangkah keluar dengan sejuta rasa bersalah yang terus menghantui diri. Intan hamil, dan itu sudah pasti anakku. Kenapa harus seperti ini. Kenapa dulu saat bersama Lubna Allah tidak memberiku amanah sebesar itu. Lima tahun aku menikah dengan Lubna, tetapi Allah tidak
“Tidak, aku bukan laki-laki bejat seperti mereka. Aku tidak mau melakukannya lagi!” Segera kututup pintu kamar Intan dan kembali ke kamarku sendiri.Mengacak-acak rambut, merasa bingung dengan keadaan diri sendiri. Kenapa aku menjadi seperti ini?Terus memandangi perut Intan yang sedang sibuk membantu Ibu di dapur, aku tersenyum sendiri ketika membayangkan perut wanita itu mulai membesar lalu anak dalam perutnya menendang-nendang dari dalam. Indah nian bayangan itu.“Pagi-pagi udah ngelamun, udah sana ke toko!” celetuk ibu menyentakku dari lamunan.Intan menoleh ke arahku dan tersenyum. Apa kamu masih bisa tersenyum semanis itu jika mengetahui akulah penyebab kehancuranmu?Aku memijat kepalaku yang terasa seperti mau pecah. Beban di hati membuat aku sulit sekali untuk memejamkan mata, hingga kepalaku sering terasa sakit.Pun saat aku berada di toko. Aku hanya diam melamun sambil menatap lalu lalang pelanggan dan juga anak buahku saat mengambil barang.Aku memiliki dua buah toko materi
“Ibu itu ketemu Intan di mana, kok dia bisa kerja sama kita?” tanyaku saat kami sedang santai di teras belakang.“Di pinggir jalan, Dil. Dia sedang menangis sendiri, terus ibu tanya di mana keluarganya dia bilang tidak ada. Katanya dia diusir dari rumah gara-gara kesalahan yang tidak ia perbuat. Ya mungkin karena dia jadi korban rudapaksa sampai dia diusir warga. Tapi Ibu yakin, kok, kalau Intan itu anak baik-baik!” sahut Ibu menerangkan.“Kasihan dia ya, padahal gadis baik, shalihah, pinter ngaji. Eh, ada yang tega memperlakukan dia seperti itu. Mudah-mudahan laki-laki yang menodai Intan cepet dapet balasan yang setimpal!” imbuhnya lagi.“Ibu!” Tanpa sengaja aku berteriak kepada wanita yang telah melahirkanku itu.Ibu menautkan alis menatap wajahku.“Ada apa sih, Aidil? Ibu itu heran sama tingkah kamu sekarang ini loh. Aneh!” Dia menggelengkan kepalanya.“Bu, kalau seumpama aku berbuat kesalahan besar, apa ibu mau memaafkan aku, Bu?” Menggenggam jemari Ibu.“Tergantung, kalau kesalah
"Maafkan aku, Ibu. Aku khilaf. Saat itu yang terlintas di pikiranku hanya membalas dendam kepada Radit karena dia telah menodai istriku sehingga Lubna mengakhiri hidupnya. Tadinya aku fikir Intan itu adiknya Radit. Ternyata bukan, Bu. Aku menyesal sudah melakukan hal sebejat itu, Bu!"Plak!Rasa panas kembali menjalar di pipi, dia wanita yang lemah lembut, untuk pertama kalinya memukul sang putra karena kelakuan buruknya yang mungkin tidak ter maafkan. Aku menatap mata Ibu yang sudah memerah. Bibirnya terkatup, dadanya naik turun tidak beraturan. Aku tahu pasti saat ini ibu sedang menahan amarah yang sangat besar."Ibu kecewa sama kamu, Aidil. Ibu fikir kamu anak Ibu yang paling baik tapi ternyata Ibu salah. Kenapa kamu bisa berbuat hal sehina itu Aidil?" Dia menekan dadanya sambil menangis tergugu."Aku khilaf, Bu. Maaf!" Kini aku sudah bersimpuh di pangkuan Ibu.Ibu bergeming. Dia tidak mengusap kepalaku seperti biasanya, bahkan ia berusaha menjauh."Tolong Ibu jangan bilang dulu sa