POV Author
____
Papa Zafir berhasil mencekal tangan Olivia, lalu kembali membawanya masuk ke rumah. Sesak sekali, air mata perempuan itu tidak berhenti berlinang.
Kembali berada di ruang keluarga, ternyata Abyan masih diam di tempatnya. Namun, terlalu menyakitkan bagi Olivia karena lelaki tersebut sudah memainkan ponsel seolah tidak pernah ada masalah.
"Duduk dulu, Oliv!" pinta Ibu Namira dengan tatapan sendu.
Perempuan itu menjatuhkan dirinya di lantai yang beralaskan karpet. Sesekali melirik pada Abyan yang menatapnya ketus setelah menyimpan ponsel.
"Nak, kalian sudah dewasa, jangan bertingkah seperti anak kecil lagi. Setelah melewati banyak ujian dalam pernikahan, apa masih belum bisa mengokohkan cinta dan kasih sayang?" Ibu Namira bertanya lembut, suaranya terdengar memilukan.
"Untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak didasari rasa cinta, Bu? Hati Mas Abyan telah berpaling dan kurasa memang sepatutnya hidup sendiri sekarang. Aku sudah banyak merepotkan Mas Abyan."
"Ya, betul. Kamu sudah terlalu banyak merepotkan aku. Sejak pertama melihatmu, memang benar aku langsung jatuh cinta, tetapi begitu tahu kamu pacaran sama adik aku, lalu hamil dengannya, cinta itu perlahan sirna." Tatapan tajam mematikan itu mengarah pada Olivia yang memilih menunduk.
Masa lalu selalu saja dia ungkit padahal sekarang situasi sudah berbeda. Bertahun-tahun hidup penuh cinta membuat Olivia tidak menduga jika suaminya akan berubah.
Perih merajai hati. Olivia memaksa diri untuk tetap kuat karena bagaimana pun, dia tetap saja akan disalahkan oleh orang-orang. Namun, apakah tidak boleh melupakan masa lalu saja dan fokus pada hari ini?
"Abyan, jangan bilang seperti itu. Sebelum bertemu Kamila, kamu sangat mencintai istrimu. Ibu menjadi saksi bagaimana kamu berjuang untuk memiliki banyak uang demi kebahagiaan Olivia. Siang dan malam bekerja demi memantaskan diri yang katamu malu bersanding dengannya. Lantas, kemana semua kegigihan itu? Setelah kamu berada di puncak, tiba-tiba mencintai Kamila yang entah tulus atau matre!"
Lelaki itu menoleh pada Ibu Namira. Untuk sesaat dia memilih diam. Ada amarah yang setiap hari membuncah, berusaha dia tahan agar tidak sampai meledak mengingat kedua orang tuanya sudah hampir dikata renta.
"Olivia Sayang, pikirkan baik-baik. Beri Aby waktu, siapa tahu kalian bisa baikan. Talak satu dan dua itu masih bisa rujuk. Ibu yakin, ada sesuatu yang membuat Aby salah dalam melangkah. Ibu akan membujuknya."
"Bu, sebenarnya tidak ada lagi yang perlu aku pikirkan baik-baik. Sejak awal aku sudah bilang, tidak pantas bertahan di sini karena kami tidak punya anak untuk dijaga perasaannya. Mas Aby sudah berubah, kenapa aku harus menunggu? Mengetahui Mas Aby punya selingkuhan saja rasanya ingin mengakhiri hidup apalagi bertahan di sini, menghadapi sifat keras kepalanya."
"Olivia ...."
"Ibu tidak tahu rasanya karena tidak mengalami. Hati aku sakit, Bu!" lanjut Olivia tersenyum miris.
"Ibu pernah berada di posisi kamu meski situasinya berbeda. Selama bertahun-tahun ibu menyalahkan Mas Zafir, ternyata dia sendiri dalam kekangan orang tuanya. Mungkin saja Aby–"
"Maaf karena aku memotong pembicaraan Ibu. Mas Abyan mustahil dalam kekangan. Dia itu lelaki tegas dan kerap kali bersikap dingin tak pandang bulu. Jangankan Kamila, Ibu sama Papa saja pernah dicueki, bukan?"
"Itu karena aku membenci perempuan yang hamil di luar nikah!" timpal Abyan mengejutkan istrinya.
Olivia menghela napas untuk menelan kesedihan. Dia tidak boleh terlihat lemah walau hatinya benar-benar hancur saat ini. Sejak dulu, bukankah Abyan memang mudah marah padanya?
"Kalau kamu benci sama aku, kenapa menerima tawaran Papa Zafir buat nikahin aku, hah?!"
"Bukankah semua sudah jelas, Oliv? Hari itu aku terpaksa karena tahu anakmu tidak berdosa. Kamu dan Rayan yang melakukan perbuatan dosa itu, bukan salahnya. Aku hanya ingin menyelamatkannya dari segala bentuk hinaan ketika kelak dia lahir dan tumbuh besar. Sudah berapa kali kujelaskan alasan menikahimu?"
"Itu di awal pernikahan kita. Tiga bulan setelahnya kamu justru mencintai aku. Kamu mengaku tidak mau berjauhan dariku. Hampir setiap malam kita memadu kasih, lalu kamu sebut itu bukan karena cinta, Sialan!"
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi Olivia. Lelaki itu merasa murka karena dia membahas urusan pribadi di hadapan orang tua sendiri. "Aku menidurimu karena kamu istriku. Jangan sok menjadi korban, seolah kamu tidak pernah tidur dengan Rayan!" teriak Abyan semakin emosi.
"Abyan, jangan bawa-bawa nama Rayan. Dia sudah tiada, harusnya kita mendoakan kebaikan untuknya dan bukan malah membahas dosa masa lalu. Jangan selalu kepikiran masa lalu, kita hidup hari ini, bukan kemarin." Papa Zafir ikut membuka suara. Dia tidak bisa marah karena baru sembuh dari stroke. "Menampar Olivia bukanlah kebenaran, minta maaf padanya, sekarang!"
"Itu pantas untuknya!" Abyan menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Papa nggak mau aku bawa-bawa masa lalu karena ngebela anak kesayangan Papa, kan?"
"Anak kesayangan apa? Kamu sama Rayan itu anak papa, Abyan!"
"Aku tidak mau tahu. Olivia harus angkat kaki dari rumah ini." Menatap dingin pada Olivia lantas melanjutkan, "silakan bawa mobil yang kamu beli, aku punya sendiri!" Abyan melempar kunci mobil pada Olivia yang berusaha menahan air mata padahal tamparan tadi sangat menyakitkan, meninggalkan perih sampai ke sudut hati.
Meskipun Ibu Namira melarang, Olivia tetap berdiri setelah memungut kunci mobilnya. Benar, hampir saja dia pergi tanpa membawa apa-apa. Tangisan dari mertua tidak mampu meluluhkan hati perempuan itu.
Dia terus melangkah panjang menuju mobil putih yang terparkir di depan rumah sambil menarik kopernya. Kenapa harus takut pergi sementara dia punya banyak uang? Lagi pula, kedua orang tuanya masih lengkap dan hidup berkecukupan.
"Nak Oliv, jangan tinggalkan ibu!" teriak Ibu Namira menangis pilu. Dia tidak mau berpisah dengan sang menantu karena mengingat saat masih sakit dulu, Olivia lah yang begitu telaten mengurusnya.
Sayang sekali, kendaraan roda empat itu melaju meninggalkan halaman rumah Abyan. Pikirannya kini tak tentu arah, tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada kedua orang tuanya.
Tiba-tiba, ponsel Olivia bergetar. Ada telepon dari nomor baru, tanpa foto profil. Gegas Olivia menekan ikon hijau, khawatir itu penting.
"Olivia, sekarang kamu di mana? Apa telah menjadi gelandangan karena diusir sama pacar aku? Kasihan sekali kamu, sudah lama menumpang hidup, disangka telah menjadi ratu ternyata begitu mudah terusir dari rumah yang kamu anggap istana sendiri. Menyedihkan, bukan? Tetapi permainan belum dimulai, ini hanya pemanasan saja untuk kejutan yang lebih besar. Aku mencintai Mas Abyan!" Suara itu milik Kamila, Olivia bisa menebaknya.
Dengan satu helaan napas, Olivia menimpali, "Gadis matre memalukan!"
Pada bagian belakang rumah besar bernuansa putih dipadu dengan gold serta memiliki empat pilar itu terdapat sebuah teman yang dipenuhi dengan bunga-bunga mekar berwarna-warni. Ada mawar, melati serta tulip kuning dan dua macam lainnya. Di bawah pohon rindang terdapat sebuah ayunan. Dua anak lelaki tampak begitu ceria. Yang sedang duduk dalam ayunan itu berumur sembilan tahun, sementara satunya menginjak usia remaja yakni lima belas tahun. Terdapat dua perbedaan besar di antara mereka. Anak remaja itu bertubuh tinggi tegap dengan hidung menjulang. Kulitnya putih bersih serta senyum begitu menawan. Rambutnya ikal, sedikit kecokelatan. Sementara sang adik berbeda. Kulit kuning langsat, rambutnya lurus berwarna hitam legam. Dia tampan, seperti kakaknya. "Alif, Muammar! Sudahi mainnya, Nak. Sini makan pizza sama mama!" teriak seorang perempuan dewasa memakai kerudung sambil membawa kotak besar berwarna cokelat. Dua anak lelaki itu seketika mendekat duduk di kursi panjang berwarna putih.
Tepat tanggal 21 September, Muammar di-aqiqah. Acara demi acara berlangsung dengan lancar. Meskipun tidak banyak mengundang, ternyata tamu membludak. Olivia tidak tahu jika Papa Zafir juga mengundang mantan karyawannya dahulu.Banyak doa terhatur pada Muammar, termasuk keluasan rezeki, tumbuh menjadi anak salih serta hidup dalam keberkahan di bawah naungan Allah. Kyai dan ustadz yang kemarin meruqyah mereka juga datang.Sebelum sesi foto keluarga, Olivia berdiri di di depan para tamu undangan, memintanya untuk diam dulu agar fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh Olivia.Semua mata memandang kepadanya. Dari yang raut wajahnya terlihat santai sampai judes stadium empat. Namun, Olivia tidak peduli karena tentu saja mereka adalah komplotan tetangga iri dan dengki."Terima kasih atas perhatiannya. Di sini saya sebagai istri Abyan dan juga mama dari Muammar memberitahu kalian semua kalau kami ...." Olivia melirik ke arah kanan, kemudian meminta Kenzo naik ke panggung. "Dia adalah Alexa
Bab 89. Apa Tante Oliv Membenciku?Setelah satu minggu berlalu, Kenzo masih juga tinggal di rumah Abyan. Dia tetap dipanggil Timothee karena Olivia kesal mendengar nama aslinya. Meskipun perempuan itu telah tertimbun dengan tanah sesaat setelah hasil autopsi keluar, maka pihak rumah sakit langsung memandikannya.Mereka mengatakan bahwa Nadin meninggal bunuh diri karena tidak ada luka lebam di tubuhnya. Luka sayatan bisa saja dia buat sendiri karena menurut informasi dari beberapa tetangga bahwa Nadin memang sering dimarahi para rentenir karena menunggak. Rumah pun disita oleh bank.Namun, ketika dilelang, siapa yang akan mau membeli jika tahu kalau dulu pernah ada orang yang mati secara tragis di sana? Sungguh, sebuah rumah yang dulunya adem ayem kini terlihat angker. Para tetangga yang kebetulan lewat saja enggan menengok ke dalam karena beberapa malam terakhir terdengar suara tangisan dan lolongan meminta tolong.Kenzo sendiri berusaha mengubur masa lalu dengan hidup sebagai Timothe
Bab 88. Karma Sang PelakorOlivia terdiam cukup lama. Untuk saat ini hatinya benar-benar terluka. Dia geram pada Nadin dan bersyukur karena dia telah tiada. Melirik sekali pada Kenzo, anak itu menatap penuh harap.Haruskah dia mematahkan harapannya? Dia lahir sebagai seorang muslim bahkan sudah belajar salat dan mengaji, meski hanya dilangsungkan ketika di sekolah atau saat Andre berada di rumah.Lantas, jika ikut pada Stephan, apakah Kenzo akan tetap menjadi muslim? Anting salib pada telinga kiri lelaki berambut landak itu memperkuat dugaan Olivia kalau mereka berbeda agama.Abyan pun sama takutnya. Dia tahu bahwa Stephan adalah anak seorang mafia dari Italia, tepatnya di Kota Turin. Jika Kenzo ikut dengannya lantas belajar menjadi seorang pembunuh, maka dia bisa saja tumbuh sebagai ketua mafia kelas kakap.Terutama karena ada dendam membara di dalam hatinya. Abyan semakin risau. Dia juga ingat kalau Kamila pernah bilang, kedatangan Stephan ke Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu
Bab 87. Penjelasan dan Bukti TerkuatKenzo terus menangis dalam pelukan Ibu Namira. Anak lelaki berambut ikal itu sangat terluka atas berita yang dia dengar dari layar kaca. Sekarang, dia merasa tidak punya siapa-siapa lagi.Dalam pikirannya, para rentenir lah yang bersalah karena mereka menagih hutang dengan cara sangat kasar bahkan sengaja menampar wajah Nadin dua kali. Hal itu memang tidak disaksikan langsung oleh Kenzo, tetapi dia bisa mendengarnya.Ibu Namira sendiri berusaha menenangkan anak itu karena dia tahu bahwa Kenzo tak bersalah. Apa pun tindakan orang tuanya, dia tetap masih anak kecil. Ibu Namira kasihan karena kini menjadi yatim piatu, padahal Alex masih hidup.Hampir dua jam Ibu Namira menenangkan Kenzo, gantian dengan Bi Surti dan juga Papa Zafir. Anak tersebut terus dibujuk oleh semua orang di dalam rumah selain Olivia.Perempuan itu menangis dalam kamarnya sambil memeluk Muammar. Dia sengaja menyalakan murottal agar pikiran tenang dan tidak melakukan tindakan cerob
Bab 86. Kebenaran yang TerungkapAbyan menuju rumah Nadin memakai taksi online dengan sedikit tergesa karena Kamila memberi kabar kalau dia sudah berada di lokasi kejadian bersama Stephan. Perasaannya campur aduk sambil terus berharap kalau nanti Kenzo tidak terlalu sakit hati mendengarnya.Hanya butuh waktu satu jam lebih untuk tiba di sana. Mereka bertemu di bawah pohon yang cukup untuk berteduh. Stephan memintanya bergabung dalam satu mobil karena harus membahas sesuatu."Polisi belum datang, kabarnya sedang dalam perjalanan menuju ke sini. Aku meminta Kamila pulang dengan memakai taksi karena dia sangat ketakutan. Kau tidak boleh grogi, orang-orang bisa mencurigai kita. Nanti dalam bahaya, sementara pembunuhnya tersenyum menang. Kau mengerti?"Abyan yang baru saja menutup pintu mobil Pajero itu langsung mengangguk. Napasnya sedikit tersengal. Abyan meminum air mineral yang disodorkan oleh Stephan."Siapa pembunuhnya?""Kalau aku memberitahumu, kau janji tidak akan membuka mulut?"