Share

BAB 3

“ Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Malu rasanya ditampar langsung oleh Ibu mertuaku di hadapan Mas Heri.

“Dasar wanita murahan, pergi dari rumah sebentar saja kamu sudah berani main hati dengan anakku ya,” dengan nada yang meninggi dimakinya diriku ini.

Sehingga, membuat aku semakin malu di hadapan Mas Heri. Apalagi dia baru dekat denganku hari ini.

“Ma-maaf Bu, saya dengan Sinta hanya sebatas teman. Lagi pula, kami baru bertemu hari ini.” Mas Heri yang berusaha membelaku.

“ Berteman? Tapi, pergi berdua dalam mobil itu apa? Sinta, kamu masih istri Arman, dan kamu seorang polisi beraninya pergi dengan istri orang!” Ibu mertuaku yang makin menjadi – jadi.

“ Ibu akan menyesal, jika menuduh menantu berbuat yang bukan-bukan." Mas Heri segera memasang badannya dan menyembunyikan aku di belakangnya.

“Percuma kamu membela wanita miskin ini, dia Cuma guru honorer dengan gaji tidak seberapa . Polisi sepertimu sangat tidak cocok dengannya.” Hinaan Ibu mertuaku sudah terbiasa ditelingaku.

Entah sampai kapan aku sabar berhadapan dengannya seperti ini. Sebagai wanita yang selalu direndahkan olehnya, rasanya sakit bagai diiris pisau mendengar kalimatnya yang tajam menusuk hati.

“Hentikan ... Hentikan! Sudah puas ya Bu, sudah puas selama ini menghinaku. Mas, saat istrimu dihina oleh orang tuamu dirimu hanya diam. Suami macam apa kamu ini.” Segera ku dorong tubuh Mas Arman dan meninggalkan mereka semua yang ada di teras rumahku.

“Arman, untuk apa kamu mengikutinya? Biarkan saja dia berulah, toh pasti dia akan kembali ke rumah lagi.” Tangan Ibu berusaha menahan Mas Arman yang ingin mengikutiku dari arah belakang.

“Tapi Bu, Sinta itu istriku,” Mas Arman berkeras mengikutiku namun, gagal karena ulah Ibu.

“Sudahlah, ayo kita pulang!" Ibu segera mengajak Mas Arman pulang ke rumah. Segera mereka melangkahkan kaki menuju pintu pagar depan.

Namun, kali ini langkah Mas Arman dan Ibu terhenti ketika melihat sebuah mobil Rush putih terparkir di garasi bagian kaca depan tertulis namaku. Sinta Taurus.

“Arman, ini apa? Ini apa? Semua sudah jelas Lelaki bangsat ini adalah selingkuhan Sinta Istri kamu. Kamu jadi suami kenapa tidak peka, selama ini istrimu diam-diam selingkuh dari kamu ha!” Ibu Mertuaku yang seperti orang kesurupan berputar-putar mengelilingi mobil Rush milikku itu.

“Ma-maksud Ibu apa? Siapa yang selingkuh dengan Sinta?” Mas Heri menuju mereka yang berdiri dekat mobil Rush milikku itu.

“Sudahlah, semua sudah jelas, kamu adalah selingkuhan istriku! Selama ini kalian diam-diam menjalin hubungan.” Kini Mas Arman yang sulit menahan emosi.

“ Apa maksud kalian, bukankah ini rumah Sinta?” tanya Mas Heri untuk memastikan.

“Alah, wanita miskin seperti Sinta mana bisa membeli rumah seperti ini, Gajinya sebulan saja tidak cukup untuk beli beras," lagi – lagi kalimat yang biasa diucapkan mertuaku itu terlontar dari mulutnya.

“ Mobil ini pasti mobil kamu kan? Ini mobil yang sengaja dibeli untuk Sinta kan? Sudah berapa lama kalian selingkuh? “ Ibu yang pada saat itu sudah naik pitam untuk menghadapi Mas Heri.

“ Aduh! lama – lama aku jadi stres menghadapi kalian berdua ini. Kamu sebagai suami, pahamlah apa yang dialami istrimu jangan terlalu mendengar cerita si nenek sihir ini.” Kemudian Mas Heri segera meninggalkan Ibu dan Mas Arman yang ada di situ, pulang tanpa menunggu pamit denganku.

Arman hanya bisa mengepakkan kedua tangannya menahan emosi. Ibu mertuaku hanya bisa memancungkan bibirnya ketika mendengar perkataan dari Mas Heri.

“Maaf Pak! Ibu Sinta sudah masuk ke dalam. Sebaiknya kalian pulang saja. Jangan bikin ribut di sini.” Mbak Novita kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali.

“ Ibu? siapa yang kamu maksudkan Ibu? Apakah wanita miskin yang ada di dalam?” Ibu mertuaku mulai lagi.

“I - iya, Bu Sinta adalah pemilik rumah ini," Jawab Mbak Novita lagi.

“Alah, wanita miskin seperti dia mana bisa punya rumah seperti ini. Lagi pula, biaya untuk dia merawat diri saja mana cukup,”

“Sudahlah Bu, sampai kapan Ibu meremehkan istriku. Tujuan kita kemari untuk membawa kembali Sinta pulang ke rumah,”

“Awalnya sih iya, tapi ketika melihat tingkahnya, lebih baik istri kamu tidak usah pulang ke rumah,” Ibu juga bergegas meninggalkan Mas Arman yang berdiri di hadapan mobilku itu. Kemudian Mas Arman menyusul Ibu dari belakang.

Sementara dari balik jendela kamarku yang mengarah ke posisi jalan, terdengar dengan jelas apa yang dikatakan Ibu mertuaku barusan.

Statusku saat ini ada baiknya tidak usah kukatakan pada keluarga Mas Arman. Lagi pula tidak ada untungnya jika mereka mengetahui. Malah aku takut, jika nanti Ibu mertuaku mengetahui aku akan dimanfaatkan olehnya.

Cukup, saat ini aku diremehkannya hingga suatu saat nanti mereka mengetahui dari orang lain dengan sendirinya siapa sebenarnya menantu yang mereka remehkan ini.

***

Tak terasa kurang lebih seminggu aku di rumah ini. Segala kebutuhanku disediakan langsung oleh Mbak Novita. Termasuk baju kerjaku dan makanan yang kumau.

Rasanya betah sekali tinggal di rumah sendiri tidak ada Ibu mertuaku yang selalu memperlakukan aku layaknya pembantu. Mas Arman, anggaplah dia anak emas dari orang tuanya, karena dia sangat dibanggakan sebagai tulang punggung.

Sampai saat ini dia tidak pernah menghubungiku. Entah, dia sudah lupa dengan dirinya yang sudah mempunyai istri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa jika Ibu mertua mulai berulah. Karena di matanya aku selalu salah, aku hanya orang miskin tidak punya harta yang dibanggakan, statusku hanya guru honorer dengan gaji tidak seberapa itulah kalimat andalannya untukku.

Bagiku, semua pekerjaan sama, asalkan halal. Aku yang saat ini duduk di depan laptop mengerjakan tugas administrasi ku sebagai kepala sekolah.

Tak terasa jarum pendek di jam dinding kamarku menunjukkan pukul sepuluh malam. Mataku mulai terlelap, tapi aku berusaha menyelesaikan tugas administrasiku. Beberapa saat kemudian gawai yang kuletakkan di samping bergetar. Segera kuambil kemudian kubuka pesan masuk. Tertera di situ pesan dari Mas Arman.

“(Sin, aku di depan, buka pintunya)”

“( Iya, Mas aku keluar)," jawabku. Segera ku bergegas menuju pintu depan membuka pintu untuk Mas Arman.

Tak lupa sebelum pergi ku matikan laptop. Kubuka pintu rumah, kini di hadapanku berdiri sosok lelaki yang sudah berstatus suamiku ini.

Sebagai pengantin baru rasa rindu ini pasti ada, ingin rasanya segera memeluknya. Namun, rasa rindu ini tetap ku tahan agar tidak terlalu kelihatan lemah di mata Mas Arman.

Semakin ku tunjukkan rasa sayangku padanya, semakin sakit hati ini jika mengingat Mas Arman yang tidak bisa membelaku di hadapan Ibunya.

“Ada apa Mas, kenapa mencari ku?" tanyaku dengan sedikit tegas.

“Sin, ayo kita pulang, apa kamu tidak malu tinggal di rumah teman kamu terus?” tanya Mas Arman dengan sikap memohon.

“Kembalikan dulu uangku Mas, dari tangan Ibumu.”

“ I-Ini uangnya, tapi kamu harus pulang malam ini ya, please,” lagi-agi sikap Mas Arman membuat aku mulai luluh. Segera kuambil uang dari tangan Mas Arman, kemudian menghitungnya.

“Oke uangnya cukup! Bisa kupastikan berikutnya jangan sampai Ibu kamu bersikap keterlaluan seperti itu, karena aku tidak suka. Eh satu lagi, aku tidak mau pulang. Aku sudah betah tinggal di sini," tukas ku sekedar hanya ingin menguji cinta Mas Arman sampai di mana batas kesabarannya menghadapi Ku yang selalu tersakiti oleh Ibunya.

“Sin, ini rumah temanmu. Pulanglah! Aku janji akan membela kamu di hadapan Ibu.”

“Tapi, aku tetap tidak bisa Mas! Aku mau Ibu yang datang kemari mengajakku pulang."

“I-Iya Sin, setelah ini aku akan pulang dan membujuk Ibu kemari.” Segera Mas Arman menghidupkan mesin motornya kemudian pergi meninggalkanku.

ku tutup pintu kemudian masuk ke kamar untuk menenangkan pikiran. Beberapa saat kemudian bel pintu rumahku berbunyi. Sudah kukira pasti itu Mas Arman dan Ibu mertuaku datang kemari.

Aku harus pakai cara cantik untuk menghadapinya kali ini. Capek jadi menantu yang penurut dan menantu yang teraniaya. Segera kumelangkah menuju pintu depan dan membukanya.

“Krek!” suara pintu depan kini terbuka. Awalnya kumengira Mas Arman datang bersama Ibu. Setelah kubuka ternyata yang datang adalah Mas Heri.

“Assalamualaikum, Ibu kepala sekolah cantik! Selamat ulang tahun! " Diberikannya sebuah bucket bunga kepadaku, kemudian disusul dengan kue ulang tahun mini dilapisi coklat, yang di atasnya ada sebuah lilin.

Rasanya, campur aduk antara sedih dan bahagia. Suamiku saja barusan datang kemari dia lupa Dengan hari ulang tahun istrinya.

“Waalaikumsalam! Terimakasih banyak Mas.” Tanpa melanjutkan kata segera kututup lilin di atas kue itu. Kemudian kuupersilahkan Mas Heri duduk di kursi depan.

“ Mas Heri tahu dari mana, hari ini aku ulang tahun? Padahal aku belum...,”

“Belum apa? Sin, dulu aku sering baca karya kamu. Di situ sudah terpampang jelas biodata kamu termasuk tanggal lahir kamu. Jadi, dari situ aku bisa tahu hari ulang tahun kamu.” Senyuman Mas Heri dengan wajahnya yang manis tersusun gigi yang rapi dan lesung pipi yang menggoda entah kenapa membuat aku sedikit ngehalu.

Sampai lupa kalau aku sudah punya suami.

Kami berdua sedang asyik mengobrol, bucket bunga yang diberikannya terus saja kupegang untuk menghargai pemberiannya. Sesekali Mas Heri bercanda sehingga menambah keakraban di antara kami.

“Sinta! Ternyata ini yang kamu lakukan di belakangku.”Suara Mas Arman mengagetkan kami. Dari depan terlihat jelas Mas Arman dan Ibunya menuju ke arahku.

“Mas, ini tidak seperti yang kamu bayangkan tolong dengan penjelasanku!” Aku yang pada saat itu bersiap menanti kedatangannya. Pikiranku mulai kacau lagi.

“Tidak, aku tidak mau dengar penjelasan kamu lagi.”

Kini sikap Mas semakin menjadi. Aku mencoba terus berusaha untuk meyakinkan.

Namun, Lagi-lagi Ibu mertua terus menghalanginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status