Share

BAB 3

Aвтор: Duo Sul Enjelika
last update Последнее обновление: 2023-11-12 12:36:19

“ Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Malu rasanya ditampar langsung oleh Ibu mertuaku di hadapan Mas Heri.

“Dasar wanita murahan, pergi dari rumah sebentar saja kamu sudah berani main hati dengan anakku ya,” dengan nada yang meninggi dimakinya diriku ini.

Sehingga, membuat aku semakin malu di hadapan Mas Heri. Apalagi dia baru dekat denganku hari ini.

“Ma-maaf Bu, saya dengan Sinta hanya sebatas teman. Lagi pula, kami baru bertemu hari ini.” Mas Heri yang berusaha membelaku.

“ Berteman? Tapi, pergi berdua dalam mobil itu apa? Sinta, kamu masih istri Arman, dan kamu seorang polisi beraninya pergi dengan istri orang!” Ibu mertuaku yang makin menjadi – jadi.

“ Ibu akan menyesal, jika menuduh menantu berbuat yang bukan-bukan." Mas Heri segera memasang badannya dan menyembunyikan aku di belakangnya.

“Percuma kamu membela wanita miskin ini, dia Cuma guru honorer dengan gaji tidak seberapa . Polisi sepertimu sangat tidak cocok dengannya.” Hinaan Ibu mertuaku sudah terbiasa ditelingaku.

Entah sampai kapan aku sabar berhadapan dengannya seperti ini. Sebagai wanita yang selalu direndahkan olehnya, rasanya sakit bagai diiris pisau mendengar kalimatnya yang tajam menusuk hati.

“Hentikan ... Hentikan! Sudah puas ya Bu, sudah puas selama ini menghinaku. Mas, saat istrimu dihina oleh orang tuamu dirimu hanya diam. Suami macam apa kamu ini.” Segera ku dorong tubuh Mas Arman dan meninggalkan mereka semua yang ada di teras rumahku.

“Arman, untuk apa kamu mengikutinya? Biarkan saja dia berulah, toh pasti dia akan kembali ke rumah lagi.” Tangan Ibu berusaha menahan Mas Arman yang ingin mengikutiku dari arah belakang.

“Tapi Bu, Sinta itu istriku,” Mas Arman berkeras mengikutiku namun, gagal karena ulah Ibu.

“Sudahlah, ayo kita pulang!" Ibu segera mengajak Mas Arman pulang ke rumah. Segera mereka melangkahkan kaki menuju pintu pagar depan.

Namun, kali ini langkah Mas Arman dan Ibu terhenti ketika melihat sebuah mobil Rush putih terparkir di garasi bagian kaca depan tertulis namaku. Sinta Taurus.

“Arman, ini apa? Ini apa? Semua sudah jelas Lelaki bangsat ini adalah selingkuhan Sinta Istri kamu. Kamu jadi suami kenapa tidak peka, selama ini istrimu diam-diam selingkuh dari kamu ha!” Ibu Mertuaku yang seperti orang kesurupan berputar-putar mengelilingi mobil Rush milikku itu.

“Ma-maksud Ibu apa? Siapa yang selingkuh dengan Sinta?” Mas Heri menuju mereka yang berdiri dekat mobil Rush milikku itu.

“Sudahlah, semua sudah jelas, kamu adalah selingkuhan istriku! Selama ini kalian diam-diam menjalin hubungan.” Kini Mas Arman yang sulit menahan emosi.

“ Apa maksud kalian, bukankah ini rumah Sinta?” tanya Mas Heri untuk memastikan.

“Alah, wanita miskin seperti Sinta mana bisa membeli rumah seperti ini, Gajinya sebulan saja tidak cukup untuk beli beras," lagi – lagi kalimat yang biasa diucapkan mertuaku itu terlontar dari mulutnya.

“ Mobil ini pasti mobil kamu kan? Ini mobil yang sengaja dibeli untuk Sinta kan? Sudah berapa lama kalian selingkuh? “ Ibu yang pada saat itu sudah naik pitam untuk menghadapi Mas Heri.

“ Aduh! lama – lama aku jadi stres menghadapi kalian berdua ini. Kamu sebagai suami, pahamlah apa yang dialami istrimu jangan terlalu mendengar cerita si nenek sihir ini.” Kemudian Mas Heri segera meninggalkan Ibu dan Mas Arman yang ada di situ, pulang tanpa menunggu pamit denganku.

Arman hanya bisa mengepakkan kedua tangannya menahan emosi. Ibu mertuaku hanya bisa memancungkan bibirnya ketika mendengar perkataan dari Mas Heri.

“Maaf Pak! Ibu Sinta sudah masuk ke dalam. Sebaiknya kalian pulang saja. Jangan bikin ribut di sini.” Mbak Novita kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali.

“ Ibu? siapa yang kamu maksudkan Ibu? Apakah wanita miskin yang ada di dalam?” Ibu mertuaku mulai lagi.

“I - iya, Bu Sinta adalah pemilik rumah ini," Jawab Mbak Novita lagi.

“Alah, wanita miskin seperti dia mana bisa punya rumah seperti ini. Lagi pula, biaya untuk dia merawat diri saja mana cukup,”

“Sudahlah Bu, sampai kapan Ibu meremehkan istriku. Tujuan kita kemari untuk membawa kembali Sinta pulang ke rumah,”

“Awalnya sih iya, tapi ketika melihat tingkahnya, lebih baik istri kamu tidak usah pulang ke rumah,” Ibu juga bergegas meninggalkan Mas Arman yang berdiri di hadapan mobilku itu. Kemudian Mas Arman menyusul Ibu dari belakang.

Sementara dari balik jendela kamarku yang mengarah ke posisi jalan, terdengar dengan jelas apa yang dikatakan Ibu mertuaku barusan.

Statusku saat ini ada baiknya tidak usah kukatakan pada keluarga Mas Arman. Lagi pula tidak ada untungnya jika mereka mengetahui. Malah aku takut, jika nanti Ibu mertuaku mengetahui aku akan dimanfaatkan olehnya.

Cukup, saat ini aku diremehkannya hingga suatu saat nanti mereka mengetahui dari orang lain dengan sendirinya siapa sebenarnya menantu yang mereka remehkan ini.

***

Tak terasa kurang lebih seminggu aku di rumah ini. Segala kebutuhanku disediakan langsung oleh Mbak Novita. Termasuk baju kerjaku dan makanan yang kumau.

Rasanya betah sekali tinggal di rumah sendiri tidak ada Ibu mertuaku yang selalu memperlakukan aku layaknya pembantu. Mas Arman, anggaplah dia anak emas dari orang tuanya, karena dia sangat dibanggakan sebagai tulang punggung.

Sampai saat ini dia tidak pernah menghubungiku. Entah, dia sudah lupa dengan dirinya yang sudah mempunyai istri. Aku tidak bisa berbuat apa-apa jika Ibu mertua mulai berulah. Karena di matanya aku selalu salah, aku hanya orang miskin tidak punya harta yang dibanggakan, statusku hanya guru honorer dengan gaji tidak seberapa itulah kalimat andalannya untukku.

Bagiku, semua pekerjaan sama, asalkan halal. Aku yang saat ini duduk di depan laptop mengerjakan tugas administrasi ku sebagai kepala sekolah.

Tak terasa jarum pendek di jam dinding kamarku menunjukkan pukul sepuluh malam. Mataku mulai terlelap, tapi aku berusaha menyelesaikan tugas administrasiku. Beberapa saat kemudian gawai yang kuletakkan di samping bergetar. Segera kuambil kemudian kubuka pesan masuk. Tertera di situ pesan dari Mas Arman.

“(Sin, aku di depan, buka pintunya)”

“( Iya, Mas aku keluar)," jawabku. Segera ku bergegas menuju pintu depan membuka pintu untuk Mas Arman.

Tak lupa sebelum pergi ku matikan laptop. Kubuka pintu rumah, kini di hadapanku berdiri sosok lelaki yang sudah berstatus suamiku ini.

Sebagai pengantin baru rasa rindu ini pasti ada, ingin rasanya segera memeluknya. Namun, rasa rindu ini tetap ku tahan agar tidak terlalu kelihatan lemah di mata Mas Arman.

Semakin ku tunjukkan rasa sayangku padanya, semakin sakit hati ini jika mengingat Mas Arman yang tidak bisa membelaku di hadapan Ibunya.

“Ada apa Mas, kenapa mencari ku?" tanyaku dengan sedikit tegas.

“Sin, ayo kita pulang, apa kamu tidak malu tinggal di rumah teman kamu terus?” tanya Mas Arman dengan sikap memohon.

“Kembalikan dulu uangku Mas, dari tangan Ibumu.”

“ I-Ini uangnya, tapi kamu harus pulang malam ini ya, please,” lagi-agi sikap Mas Arman membuat aku mulai luluh. Segera kuambil uang dari tangan Mas Arman, kemudian menghitungnya.

“Oke uangnya cukup! Bisa kupastikan berikutnya jangan sampai Ibu kamu bersikap keterlaluan seperti itu, karena aku tidak suka. Eh satu lagi, aku tidak mau pulang. Aku sudah betah tinggal di sini," tukas ku sekedar hanya ingin menguji cinta Mas Arman sampai di mana batas kesabarannya menghadapi Ku yang selalu tersakiti oleh Ibunya.

“Sin, ini rumah temanmu. Pulanglah! Aku janji akan membela kamu di hadapan Ibu.”

“Tapi, aku tetap tidak bisa Mas! Aku mau Ibu yang datang kemari mengajakku pulang."

“I-Iya Sin, setelah ini aku akan pulang dan membujuk Ibu kemari.” Segera Mas Arman menghidupkan mesin motornya kemudian pergi meninggalkanku.

ku tutup pintu kemudian masuk ke kamar untuk menenangkan pikiran. Beberapa saat kemudian bel pintu rumahku berbunyi. Sudah kukira pasti itu Mas Arman dan Ibu mertuaku datang kemari.

Aku harus pakai cara cantik untuk menghadapinya kali ini. Capek jadi menantu yang penurut dan menantu yang teraniaya. Segera kumelangkah menuju pintu depan dan membukanya.

“Krek!” suara pintu depan kini terbuka. Awalnya kumengira Mas Arman datang bersama Ibu. Setelah kubuka ternyata yang datang adalah Mas Heri.

“Assalamualaikum, Ibu kepala sekolah cantik! Selamat ulang tahun! " Diberikannya sebuah bucket bunga kepadaku, kemudian disusul dengan kue ulang tahun mini dilapisi coklat, yang di atasnya ada sebuah lilin.

Rasanya, campur aduk antara sedih dan bahagia. Suamiku saja barusan datang kemari dia lupa Dengan hari ulang tahun istrinya.

“Waalaikumsalam! Terimakasih banyak Mas.” Tanpa melanjutkan kata segera kututup lilin di atas kue itu. Kemudian kuupersilahkan Mas Heri duduk di kursi depan.

“ Mas Heri tahu dari mana, hari ini aku ulang tahun? Padahal aku belum...,”

“Belum apa? Sin, dulu aku sering baca karya kamu. Di situ sudah terpampang jelas biodata kamu termasuk tanggal lahir kamu. Jadi, dari situ aku bisa tahu hari ulang tahun kamu.” Senyuman Mas Heri dengan wajahnya yang manis tersusun gigi yang rapi dan lesung pipi yang menggoda entah kenapa membuat aku sedikit ngehalu.

Sampai lupa kalau aku sudah punya suami.

Kami berdua sedang asyik mengobrol, bucket bunga yang diberikannya terus saja kupegang untuk menghargai pemberiannya. Sesekali Mas Heri bercanda sehingga menambah keakraban di antara kami.

“Sinta! Ternyata ini yang kamu lakukan di belakangku.”Suara Mas Arman mengagetkan kami. Dari depan terlihat jelas Mas Arman dan Ibunya menuju ke arahku.

“Mas, ini tidak seperti yang kamu bayangkan tolong dengan penjelasanku!” Aku yang pada saat itu bersiap menanti kedatangannya. Pikiranku mulai kacau lagi.

“Tidak, aku tidak mau dengar penjelasan kamu lagi.”

Kini sikap Mas semakin menjadi. Aku mencoba terus berusaha untuk meyakinkan.

Namun, Lagi-lagi Ibu mertua terus menghalanginya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Utang Mertua   BAB 43

    “A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku

  • Warisan Utang Mertua   BAB 42

    Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 41

    “Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se

  • Warisan Utang Mertua   BAB 40

    Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa

  • Warisan Utang Mertua   BAB 39

    Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po

  • Warisan Utang Mertua   BAB 38

    Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status