Share

BAB 2

last update Last Updated: 2023-11-11 18:58:05

"Ah...!" Sebuah mobil berwarna putih barusan hampir saja menabrakku.

Bersyukur yang kena hanya koperku yang berisi pakaian di dalamnya. Kini koperku tepat berada di tengah jalan.

Dari dalam mobil itu terlihat seorang lelaki bertubuh tegap memakai baju seragam polisi menuju ke arahku dan mengambilkan koper milikku yang tergeletak di tengah jalan.

“Apakah Ibu tidak apa-apa?” tanya lelaki berseragam polisi itu Padaku.

"Ma-maaf ya, aku tidak sengaja," lanjutnya lagi.

“ Ti -tidak apa Pak, hanya...kaki saya sedikit terkilir di aspal,” jawabku dengan memegang mata kakiku yang tergores aspal.

“Kalau begitu, aku bawa ke puskesmas terdekat ya Bu, Kaki ibu lagi sakit." Pak Polisi tersebut berusaha menawarkan agar aku tetap baik – baik saja.

Lama diperhatikannya diriku. Aku yang berusaha menahan sakit sehingga tak memperhatikan pandangan Pak Polisi tersebut kepadaku.

“Ma-maaf, Ibu ini Sinta Dewi kan?" tanyanya sekedar untuk memastikan .

“I – Iya, kenapa? Apa, Bapak kenal saya?" tanyaku sedikit penasaran.

“Kamu, anak kelas IPA di SMA (...) alumni tahun (...)Kan?"

“I – Iya, Pak?" jawabku sambil memegang mata kakiku yang masih sakit sakit .

“Aku, Heri! kita dulu seletting. Aku anak IPS, dulu waktu masih sekolah SMA aku sering membacanya hasil karya kamu yang ditempel di mading sekolah," jawabnya sambil tersenyum.

Tampak terlihat giginya yang tersusun rapi, dengan jelas lesung pipi menghiasi kedua pipinya. Betul – betul pria sempurna menurutku.

“Aku, bawa kamu ke puskesmas ya! Aku takut kamu kenapa – kenapa,” Dia yang sebelumnya panggil aku Ibu kini digantinya dengan sebutan kamu ketika mengetahui aku teman lettingnya.

Segera diulurkan tangannya untuk menggotong aku masuk ke dalam mobilnya.

“I – iya Mas,” Aku pun demikian sebelumnya panggil dia dengan sebutan Bapak setelah mengetahui dia adalah teman sekolahku kini panggilan berubah jadi Mas. Aku hanya bisa mengangguk sebagai tanda mengiyakannya.

Aku berusaha berdiri dan masuk ke dalam mobil Heri. Mas Arman yang pada saat itu merasa bersalah dengan kepergianku dari rumah segera mengejarku dari belakang untuk membujukku kembali ke rumahnya.

Dalam waktu yang bersamaan dilihatnya diriku bersiap masuk ke mobil Heri.

“Sin, tunggu! Mas mohon, kembalilah ke rumah. Mas janji, tidak akan mengulanginya lagi.” Tangan Mas Arman yang menahan di lenganku. Kemudian aku berbalik ke arahnya.

“Mas! Selesaikan dulu urusanmu dengan orang tuamu. Jika uang aku sudah diganti oleh Ibumu baru aku mau balik lagi ke rumah orang tua kamu, " jawabku kemudian masuk ke dalam mobil Heri.

“Sin, siapa lelaki ini? Apakah dia selingkuhan kamu?” Mas Arman yang bersiap dengan tinjunya ke arah Heri.

“Hentikan Mas! Sudah cukup apa yang kamu lakukan padaku. Pulanglah, dan urus saja Ibumu itu,”

“Sin, awas ya kamu berani macam-macam di belakangku. Akan aku ce..,”

“ He! Istri secantik Sinta sampean mau ceraikan, tanpa mau cari tahu dulu jangan sampai menyesal Bro.” segera ditepisnya tangan Mas Arman yang memegang kerak bajunya kemudian masuk ke dalam mobil.

Saat ini aku sudah berada di dalam mobil Heri tepat duduk di sampingnya yang lagi mengemudi.

Diriku hanya duduk terdiam melihat tingkah Mas Arman. Rasa sakit di kaki ini tak sebanding dengan sakit yang kurasakan jika membayangkan kata-kata hinaan dari mulut Ibu mertuaku.

Apalagi ketika dia berani mengambil uang milikku. Kedua orang tuaku sangat berbeda dengan orang tua Mas Arman. Jika mereka butuh uang mereka malu untuk mengakui, tapi, aku sebagai anak selalu merasa peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang tuaku.

Jika orang tua Mas Arman tidak meremehkanku, aku bisa membantu mereka jika mereka butuh bantuan dari segi materi. Tapi, bukan dengan cara bertindak seperti tadi, menurutku itu sangat tidak sopan.

Rasanya tidak enak di pandang hina oleh keluarga suami. Diriku sering melihat wanita di luar sana yang menyandang status janda. Mereka sering berbagi pengalaman cerita hidup denganku.

Aku sering mendengar kisah dari mereka bercerai, salah satunya karena di pandang remeh oleh keluarga suami dan mertua.

Tidak semua mertua itu baik, seperti yang di film. Bersyukurlah mereka yang mempunyai mertua tidak seperti mertuaku.

Kadang juga ada mertua yang berusaha mengambil hati anaknya agar tetap baik di mata anaknya, ketika anak mereka sudah tidak di rumah barulah mereka berulah pada menantu.

Mobil Mas Heri kini menuju ke puskesmas terdekat. Sepanjang jalan aku banyak memilih diam. Aku tak berani memulai pembicaraan lebih dulu pada Mas Heri. Apalagi, aku tak begitu akrab dengannya.

Suasana hening mulai terasa ketika selama di perjalanan kami lebih banyak memilih diam. Kikuk, rasanya jika bersama dengan orang yang kurang akrab berdua di dalam mobil.

“Sin, sudah berapa lama menikah,? tanyanya memulai pembicaraan kami.

“Kurang lebih empat bulan Mas,”

“ Berarti, kamu masih menikmati masa – masa pengantin baru dong!" Mas Heri mulai tersenyum padaku.

“ Biasa saja Mas, boleh tau Mas sendiri sudah menikah?" tanyaku hanya sekedar memastikan.

“Aku belum menikah, entah di mana jodoh ini berada,” jawabnya cekikikan sambil fokus menyetir mobil.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“belum ada yang pas, " jawabnya.

Beberapa saat kemudian mobil Mas Heri berhenti di depan puskesmas. Segera dirinya membuka pintu mobil untukku.

kemudian dia membawaku untuk mengobati luka di kakiku ini.

***

Setelah dari puskesmas, Mas Heri segera mengantarku ke rumah yang kubeli sebelum aku menikah dengan Mas Arman.

Seperti biasa kali ini aku dapati Mbak Novita bersih-bersih di halaman rumah. Bunga- bunga yang ada ditatanya dengan rapi sehingga menambah suasana keindahan rumahku itu.

Mobil Rush berwarna putih, terpampang di garasi samping rumah. Bagian kaca depannya terlihat tulisan kecil ada namaku Sinta Taurus karena zodiakku adalah Taurus.

Jika aku sedang suntuk di rumah inilah aku menghabiskan waktu luangku. Meskipun rumah ini kurang besar hanya mempunyai tiga kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruang salat tapi, aku merasa puas bisa membeli sesuatu dengan uangku sendiri.

Segera kuturun dari mobil Mas Heri kemudian berjalan pelan menuju teras rumah. Mbak Novita yang melihatku berjalan dengan kaki sedikit pincang segera menghampiriku.

Mas Heri yang berjalan tepat di belakangku segera membawakan koperku. Ku persilahkan Mas Heri duduk di teras samping rumah.

Kemudian, segera melanjutkan obrolan kami yang tertunda.

“Ayo, duduk Mas. Maaf, sudah merepotkan Mas Heri sampai rela mengantarku kemari.” Segera kudekatkan bokongku untuk duduk di kursi kayu yang dibuat oleh Ayahku.

Meskipun hasilnya kurang rapi seperti yang dibuat oleh tukang mebel yang lebih ahli tapi aku sangat bersyukur dan berterima kasih atas perhatian Ayah padaku.

“Sudah seharusnya aku mengantarmu pulang Sin! Karena, kaki kamu sakit disebabkan aku, yang berkendara kurang hati – hati,” jawabnya sambil memberikan koper milikku.

Mbak Novita yang melihat kedatangan Mas Heri segera ke dapur untuk membuat air minum untuk kami. Mbak Novita adalah orang yang pernah kutolong karena mendapat KDRT dari suaminya dulu hingga bercerai.

Dulu dia bingung mau tinggal di mana akhirnya aku percayakan dia tinggal di rumahku sambil merawat rumah ini.

Beberapa saat kemudian Mbak Novita datang membawa dua gelas teh hangat dan cemilan ringan.

“Silahkan diminum Pak,” ajak Mbak Novita kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.

“Hm! Ngomong-ngomong Mas Heri sendiri sebenarnya tugas kerjanya di mana?”tanyaku sambil meminum teh hangat buatan Mbak Novita.

“ Aku baru seminggu lebih di mutasi pindah tugas di daerah sini,”

“Oh, terus di sini tinggal sendiri ya Mas atau ada keluarga?”

“Di sini untuk sementara masih tinggal di kos, sambil cari-cari kontrakan? Terus, apakah kamu saat ini tinggal bersama mertua?” tanyanya kembali.

“I-Iya Mas, sebagai pengantin baru saat ini aku lebih memilih tinggal di rumah mertua aku tidak mau durhaka,” jelas ku padanya.

“ Ini adalah rumah singgah aku jika aku suntuk, aku menghabiskan waktu dan menyelesaikan kerjaku di sini," lanjutku.

Lama kami mengobrol hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul dua belas siang.

Aku dan Mas Heri sesekali mengobrol masa lalu ketika duduk di bangku SMA. Meskipun saat itu aku kurang mengenalnya setidaknya bisa menambah keakraban kami setelah apa yang kualami dari kejadian tadi.

Sesekali Mbak Novita yang sedang menata bunga-bunga di taman melirik ke arah kami yang semakin akrab.

“ Oh, ya Sin! Aku belum terlalu paham daerah sekitar sini. Karena, aku masih baru, bisa ya kapan-kapan aku minta bantuan kamu?"

“Insya Allah aku siap Mas! Apalagi Mas adalah teman sekolahku dulu," jawabku agar tidak mengecewakannya.

“ Tidak boleh!” Segera kami berdua menoleh ke asal suara itu. Tampak di depan pintu pagar berdiri Mas Arman dan Ibu mertuaku dengan wajah garang.

“ Mas Arman, untuk apa kamu ke sini?” Aku yang merasa heran dengan kedatangan Mas Arman dan Ibu mertua ada di sini.

Mereka berjalan ke arahku. Heri yang duduk di kursi segera berdiri menyambut kedatangan Mas Arman dan Ibu.

“Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warisan Utang Mertua   BAB 43

    “A-aku kenapa?” tanya Sinta ketika tersadar dari pingsannya. Dilihatnya sekeliling ruangan dengan pandangan liar.“ Bu Sinta pingsan di ruangan. Sepertinya Ibu kelelahan. Sebaiknya Ibu pulang dan istirahat di rumah saja,” ujar salah satu guru wanita yang berdiri di hadapannya.“ Baiklah, sebaiknya mungkin seperti itu. Aku pamit ya Ibu-ibu,” balas Sinta seraya berdiri memakai sepatunya.Kemudian salah satu guru pria memberikan tas dan kunci mobilnya. Dirinya masih dalam keadaan sedikit pusing tetapi tetap berusaha menuju jalan pulang dengan mengendarai mobilnya.***“ Eh, Mbak Sinta! Kok pulang cepat?” tanya Mbak Novita ingin tahu. “Aku lagi kurang enak badan Mbak, jadi...lebih memilih pulang cepat,” ujarnya sambil melangkah ke kamarnya untuk beristirahat.Matanya seketika mulai terlelap ketika menjatuhkan diri di atas pembaringan. Dalam tidurnya sosok gadis kecil yang dilihatnya tadi muncul lagi dalam mimpinya. “ Bu, Ibu ayo ikut aku Bu. Di sini aku kedinginan, di ruangan gelap aku

  • Warisan Utang Mertua   BAB 42

    Hari- hari dilalui Sinta dengan kesendirian rasanya mulai membosankan. Mas Heri yang dulu selalu membantu ketika dirinya mengalami kesusahan saat ini mulai menjauh darinya.Karena sudah menemukan sosok Ibu polwan calon pendamping yang sebentar lagi menikah dengannya. Berulang kali dirinya mencoba berani mengutarakan isi hatinya. Namun, Sinta selalu menolak dengan alasan di hatinya masih membekas sosok Arman. Sosok Arman begitu sulit untuk dilupakannya.Andaikan saja dulu Arman mau mendengarkan keluh kesahnya, mungkin dia tidak akan termakan oleh hasutan Ibu mertuanya yang ingin menguasai harta menantu. Bahkan hutang-hutang keluarga Arman tak perlu ditanggung olehnya.Seperti biasa disaat waktu subuh dirinya bersiap menghadap sang Halik. Ketika selesai sujud terakhir tiba-tiba dirinya dikagetkan dengan teriakan Mbak Novita dari arah depan.“ Aaakkhh! Tolong!” teriak Mbak Novita yang mencari pertolongan dari segala arah.“ Ke-kenapa Mbak Nov? Ada apa? Apa yang terjadi?” Sinta yang

  • Warisan Utang Mertua   BAB 41

    “Hei, bangun! Beraninya sama perempuan.” Serentak ketiga lelaki itu terbangun. Di hadapan mereka Sinta mulai geram atas apa yang mereka lakukan sebelumnya.“Maaf Mbak, kami...,”“Kami apa? Jangan pikir aku akan diam atas apa yang kalian lakukan ya.” “Mbak, kami hanya menuruti apa yang diperintahkan Gayatri,” jawab lelaki yang bertubuh kurus itu.“Diam! Saya tidak tanya. Apa yang ingin kalian harapkan padaku?” “ Hei, kamu banci! Kukira dirimu sudah mati. Ternyata nasibmu masih bisa bertemu lagi denganku ya.” Diangkatnya dagu Gayatri dengan jari telunjuknya itu.“Aku begini karena Anda yang dulunya berani menyiksaku,” bantahnya.“Dulu kamu mencoba bermain-main denganku. Dengan cara merusak rumah tanggaku. Sekarang, maumu apa?” “Aku hanya ingin membalaskan dendamku dan mengambil uangmu.”Tawa Sinta seketika meledak. Kalimat yang dilontarkan Gayatri membuatnya jadi merasa lucu.“ Kali ini kamu menangkap orang yang salah. Aku hanya seorang Sinta yang penghasilan setiap bulannya tidak se

  • Warisan Utang Mertua   BAB 40

    Kini Sinta sudah tersadar kembali setelah beberapa lama dirinya sempat tak sadarkan diri akibat ulah Gayatri. Dilihatnya sekeliling tampak ruangan tertutup yang pengap udara dan sedikit gelap layaknya di dalam sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai .Baru saja mau menggerakkan kakinya namun terasa kaku karena lilitan tali yang mengikatnya.“ Ah! Sialan, berani macam-macam ke aku rupanya,” gumamnya dalam hati.Mulutnya yang ditutup dengan sebuah kain hitam Begitu juga dengan kaki dan tangannya membuat dirinya kesulitan dalam bergerak.“Siapa yang berani macam-macam denganku? Apakah itu memang Gayatri? Kalau memang dia kenapa dia masih hidup?” lanjutnya.Dirinya yang kini masih bertanya dalam hati seakan-akan ini suatu hal yang menjadi teka-teki bagi dirinya yang harus dipecahkan.“Oh Tuhan! Tolong aku. Semoga semuanya akan baik-baik saja,” lanjutnya memohon.Terdengar suara langkah kaki diluar membuat denyut jantungnya semakin kencang. Kini di pura-pura tidur kembali agar bisa

  • Warisan Utang Mertua   BAB 39

    Sesampainya di rumah Sinta segera turun dari mobil tanpa menunggu Heri membukakan pintu.“Mas, aku turun. Maaf karena ulah Mas Arman makan malam kita kali ini jadi kacau.” Kemudian dia melangkah masuk ke rumahnya.“Sinta! Tunggu dulu,” ucapnya sambil menahan lengannya.“ Kenapa Mas?” Rianti berbalik.“Aku...aku...” Namun tak dilanjutkannya lagi.“Kenapa dengan Mas?” tanya Rianti penasaran.“Tidak jadi. Aku takut nanti kamu tersinggung,” balas Heri.“ Ya sudah. Rianti masuk dulu ya Mas.” Dirinya berbalik kemudian segera meninggalkan Dibaringkan tubuhnya di tempat pembaringan kemudian tidur terlelap.Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah Sinta segera menuju ke sel tahanan menuju mantan Ibu mertuanya. Meskipun status mereka kini hanya mantan tapi, dirinya masih saja menganggap Ibunya sebagai mertuanya.“Maaf pak polisi kedatangan saya kemari ingin menengok Ibu Mertua saya. Apakah bisa?” tanya Sinta pada salah satu polisi yang kebetulan berjaga.“Atas nama Bu siapa mertua Anda.” po

  • Warisan Utang Mertua   BAB 38

    Malam harinya Heri sudah bersiap menjemput Sinta untuk pergi ke tempat yang sudah mereka sepakati. Dress berwarna pink senada dengan warna jilbab yang dikenakannya membuat penampilan Sinta kali ini semakin cantik mempesona.“Yuk, Sin!” Dipersilahkannya Sinta masuk ke dalam mobilnya. Kali ini Sinta duduk di depan samping Heri mengemudi.Kali ini mobil yang mereka naiki segera melaju ke Cafe. Beberapa saat kemudian mereka telah sampai.Sebuah meja yang dihiasi dengan lilin dan musik yang menambah keindahan suasana Cafe malam itu. Sengaja Heri menyiapkan ini semua, karena dia ingin mengutarakan isi hatinya ke Sinta yang selama ini dipendamnya.“Mau...makan apa Sin?” Diperlihatkan menu yang tersedia.“Aku...mau makan yang seperti Mas Heri pesan,” jawabnya dengan senyum.“Sin, aku...aku mau bilang sesuatu sama kamu!” Dipegangnya hari Sinta yang terasa dingin itu.“Mau bilang apa Mas? Tumben Mas serius seperti ini. Biasanya...Mas Heri kebakaran bercanda.” Sambil sesekali melihat pemandang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status