Share

BAB 2

"Ah...!" Sebuah mobil berwarna putih barusan hampir saja menabrakku.

Bersyukur yang kena hanya koperku yang berisi pakaian di dalamnya. Kini koperku tepat berada di tengah jalan.

Dari dalam mobil itu terlihat seorang lelaki bertubuh tegap memakai baju seragam polisi menuju ke arahku dan mengambilkan koper milikku yang tergeletak di tengah jalan.

“Apakah Ibu tidak apa-apa?” tanya lelaki berseragam polisi itu Padaku.

"Ma-maaf ya, aku tidak sengaja," lanjutnya lagi.

“ Ti -tidak apa Pak, hanya...kaki saya sedikit terkilir di aspal,” jawabku dengan memegang mata kakiku yang tergores aspal.

“Kalau begitu, aku bawa ke puskesmas terdekat ya Bu, Kaki ibu lagi sakit." Pak Polisi tersebut berusaha menawarkan agar aku tetap baik – baik saja.

Lama diperhatikannya diriku. Aku yang berusaha menahan sakit sehingga tak memperhatikan pandangan Pak Polisi tersebut kepadaku.

“Ma-maaf, Ibu ini Sinta Dewi kan?" tanyanya sekedar untuk memastikan .

“I – Iya, kenapa? Apa, Bapak kenal saya?" tanyaku sedikit penasaran.

“Kamu, anak kelas IPA di SMA (...) alumni tahun (...)Kan?"

“I – Iya, Pak?" jawabku sambil memegang mata kakiku yang masih sakit sakit .

“Aku, Heri! kita dulu seletting. Aku anak IPS, dulu waktu masih sekolah SMA aku sering membacanya hasil karya kamu yang ditempel di mading sekolah," jawabnya sambil tersenyum.

Tampak terlihat giginya yang tersusun rapi, dengan jelas lesung pipi menghiasi kedua pipinya. Betul – betul pria sempurna menurutku.

“Aku, bawa kamu ke puskesmas ya! Aku takut kamu kenapa – kenapa,” Dia yang sebelumnya panggil aku Ibu kini digantinya dengan sebutan kamu ketika mengetahui aku teman lettingnya.

Segera diulurkan tangannya untuk menggotong aku masuk ke dalam mobilnya.

“I – iya Mas,” Aku pun demikian sebelumnya panggil dia dengan sebutan Bapak setelah mengetahui dia adalah teman sekolahku kini panggilan berubah jadi Mas. Aku hanya bisa mengangguk sebagai tanda mengiyakannya.

Aku berusaha berdiri dan masuk ke dalam mobil Heri. Mas Arman yang pada saat itu merasa bersalah dengan kepergianku dari rumah segera mengejarku dari belakang untuk membujukku kembali ke rumahnya.

Dalam waktu yang bersamaan dilihatnya diriku bersiap masuk ke mobil Heri.

“Sin, tunggu! Mas mohon, kembalilah ke rumah. Mas janji, tidak akan mengulanginya lagi.” Tangan Mas Arman yang menahan di lenganku. Kemudian aku berbalik ke arahnya.

“Mas! Selesaikan dulu urusanmu dengan orang tuamu. Jika uang aku sudah diganti oleh Ibumu baru aku mau balik lagi ke rumah orang tua kamu, " jawabku kemudian masuk ke dalam mobil Heri.

“Sin, siapa lelaki ini? Apakah dia selingkuhan kamu?” Mas Arman yang bersiap dengan tinjunya ke arah Heri.

“Hentikan Mas! Sudah cukup apa yang kamu lakukan padaku. Pulanglah, dan urus saja Ibumu itu,”

“Sin, awas ya kamu berani macam-macam di belakangku. Akan aku ce..,”

“ He! Istri secantik Sinta sampean mau ceraikan, tanpa mau cari tahu dulu jangan sampai menyesal Bro.” segera ditepisnya tangan Mas Arman yang memegang kerak bajunya kemudian masuk ke dalam mobil.

Saat ini aku sudah berada di dalam mobil Heri tepat duduk di sampingnya yang lagi mengemudi.

Diriku hanya duduk terdiam melihat tingkah Mas Arman. Rasa sakit di kaki ini tak sebanding dengan sakit yang kurasakan jika membayangkan kata-kata hinaan dari mulut Ibu mertuaku.

Apalagi ketika dia berani mengambil uang milikku. Kedua orang tuaku sangat berbeda dengan orang tua Mas Arman. Jika mereka butuh uang mereka malu untuk mengakui, tapi, aku sebagai anak selalu merasa peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang tuaku.

Jika orang tua Mas Arman tidak meremehkanku, aku bisa membantu mereka jika mereka butuh bantuan dari segi materi. Tapi, bukan dengan cara bertindak seperti tadi, menurutku itu sangat tidak sopan.

Rasanya tidak enak di pandang hina oleh keluarga suami. Diriku sering melihat wanita di luar sana yang menyandang status janda. Mereka sering berbagi pengalaman cerita hidup denganku.

Aku sering mendengar kisah dari mereka bercerai, salah satunya karena di pandang remeh oleh keluarga suami dan mertua.

Tidak semua mertua itu baik, seperti yang di film. Bersyukurlah mereka yang mempunyai mertua tidak seperti mertuaku.

Kadang juga ada mertua yang berusaha mengambil hati anaknya agar tetap baik di mata anaknya, ketika anak mereka sudah tidak di rumah barulah mereka berulah pada menantu.

Mobil Mas Heri kini menuju ke puskesmas terdekat. Sepanjang jalan aku banyak memilih diam. Aku tak berani memulai pembicaraan lebih dulu pada Mas Heri. Apalagi, aku tak begitu akrab dengannya.

Suasana hening mulai terasa ketika selama di perjalanan kami lebih banyak memilih diam. Kikuk, rasanya jika bersama dengan orang yang kurang akrab berdua di dalam mobil.

“Sin, sudah berapa lama menikah,? tanyanya memulai pembicaraan kami.

“Kurang lebih empat bulan Mas,”

“ Berarti, kamu masih menikmati masa – masa pengantin baru dong!" Mas Heri mulai tersenyum padaku.

“ Biasa saja Mas, boleh tau Mas sendiri sudah menikah?" tanyaku hanya sekedar memastikan.

“Aku belum menikah, entah di mana jodoh ini berada,” jawabnya cekikikan sambil fokus menyetir mobil.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“belum ada yang pas, " jawabnya.

Beberapa saat kemudian mobil Mas Heri berhenti di depan puskesmas. Segera dirinya membuka pintu mobil untukku.

kemudian dia membawaku untuk mengobati luka di kakiku ini.

***

Setelah dari puskesmas, Mas Heri segera mengantarku ke rumah yang kubeli sebelum aku menikah dengan Mas Arman.

Seperti biasa kali ini aku dapati Mbak Novita bersih-bersih di halaman rumah. Bunga- bunga yang ada ditatanya dengan rapi sehingga menambah suasana keindahan rumahku itu.

Mobil Rush berwarna putih, terpampang di garasi samping rumah. Bagian kaca depannya terlihat tulisan kecil ada namaku Sinta Taurus karena zodiakku adalah Taurus.

Jika aku sedang suntuk di rumah inilah aku menghabiskan waktu luangku. Meskipun rumah ini kurang besar hanya mempunyai tiga kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruang salat tapi, aku merasa puas bisa membeli sesuatu dengan uangku sendiri.

Segera kuturun dari mobil Mas Heri kemudian berjalan pelan menuju teras rumah. Mbak Novita yang melihatku berjalan dengan kaki sedikit pincang segera menghampiriku.

Mas Heri yang berjalan tepat di belakangku segera membawakan koperku. Ku persilahkan Mas Heri duduk di teras samping rumah.

Kemudian, segera melanjutkan obrolan kami yang tertunda.

“Ayo, duduk Mas. Maaf, sudah merepotkan Mas Heri sampai rela mengantarku kemari.” Segera kudekatkan bokongku untuk duduk di kursi kayu yang dibuat oleh Ayahku.

Meskipun hasilnya kurang rapi seperti yang dibuat oleh tukang mebel yang lebih ahli tapi aku sangat bersyukur dan berterima kasih atas perhatian Ayah padaku.

“Sudah seharusnya aku mengantarmu pulang Sin! Karena, kaki kamu sakit disebabkan aku, yang berkendara kurang hati – hati,” jawabnya sambil memberikan koper milikku.

Mbak Novita yang melihat kedatangan Mas Heri segera ke dapur untuk membuat air minum untuk kami. Mbak Novita adalah orang yang pernah kutolong karena mendapat KDRT dari suaminya dulu hingga bercerai.

Dulu dia bingung mau tinggal di mana akhirnya aku percayakan dia tinggal di rumahku sambil merawat rumah ini.

Beberapa saat kemudian Mbak Novita datang membawa dua gelas teh hangat dan cemilan ringan.

“Silahkan diminum Pak,” ajak Mbak Novita kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.

“Hm! Ngomong-ngomong Mas Heri sendiri sebenarnya tugas kerjanya di mana?”tanyaku sambil meminum teh hangat buatan Mbak Novita.

“ Aku baru seminggu lebih di mutasi pindah tugas di daerah sini,”

“Oh, terus di sini tinggal sendiri ya Mas atau ada keluarga?”

“Di sini untuk sementara masih tinggal di kos, sambil cari-cari kontrakan? Terus, apakah kamu saat ini tinggal bersama mertua?” tanyanya kembali.

“I-Iya Mas, sebagai pengantin baru saat ini aku lebih memilih tinggal di rumah mertua aku tidak mau durhaka,” jelas ku padanya.

“ Ini adalah rumah singgah aku jika aku suntuk, aku menghabiskan waktu dan menyelesaikan kerjaku di sini," lanjutku.

Lama kami mengobrol hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul dua belas siang.

Aku dan Mas Heri sesekali mengobrol masa lalu ketika duduk di bangku SMA. Meskipun saat itu aku kurang mengenalnya setidaknya bisa menambah keakraban kami setelah apa yang kualami dari kejadian tadi.

Sesekali Mbak Novita yang sedang menata bunga-bunga di taman melirik ke arah kami yang semakin akrab.

“ Oh, ya Sin! Aku belum terlalu paham daerah sekitar sini. Karena, aku masih baru, bisa ya kapan-kapan aku minta bantuan kamu?"

“Insya Allah aku siap Mas! Apalagi Mas adalah teman sekolahku dulu," jawabku agar tidak mengecewakannya.

“ Tidak boleh!” Segera kami berdua menoleh ke asal suara itu. Tampak di depan pintu pagar berdiri Mas Arman dan Ibu mertuaku dengan wajah garang.

“ Mas Arman, untuk apa kamu ke sini?” Aku yang merasa heran dengan kedatangan Mas Arman dan Ibu mertua ada di sini.

Mereka berjalan ke arahku. Heri yang duduk di kursi segera berdiri menyambut kedatangan Mas Arman dan Ibu.

“Plak!" Sebuah tamparan mendarat di pipiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status