Share

BAB 4

"Tidak! Aku tidak mau mendengar penjelasan kamu lagi. Semua sudah jelas, kamu selingkuh di belakangku.” Kini Mas Arman berulah lagi layaknya orang kesurupan

“Mas, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, tolong dengarkan aku dulu Mas!" Aku yang berusaha menenangkannya lalu dihalangi oleh Ibu mertuaku.

“Sudahlah! Tak ada gunanya kami mendengar penjelasan kamu lagi. Sekarang sudah jelas tujuan kamu, mau menikah dengan Arman hanya butuh harta kami kan?” lagi – lagi kalimat hinaan yang dilontarkan Ibu membuat aku sakit hati.

“Ma-maaf ini tidak seperti yang kalian bayangkan! Kami... kami hanya berteman. Lagi pula, hari ini hari ulang tahun Sinta, seharusnya dirimu sebagai suamilah yang lebih dulu tahu.” Mas Heri yang berusaha membelaku kemudian melirik ke kue ulang tahun yang ada di atas meja kemudian menatap wajah Mas Arman.

“Mas, jangan turuti emosi kamu tanpa mencari tahu lebih dulu! Seharusnya, sebagai suami Kamulah yang lebih peka,” Aku yang berusaha menenangkan Mas Arman.

“Ha! Terserah kamulah aku pusing. Sekarang aku mau tanya kamu mau pulang ikut aku ke rumah atau kamu bertahan di rumah lelaki selingkuhanmu ini.” Mas Arman mulai lagi.

Entah sampai kapan diriku dituduh selingkuh olehnya. Untuk mempertahankan pernikahanku kali ini aku mencoba untuk mengalah. Asalkan uang milikku yang diambil Ibu sudah dikembalikan langsung oleh Mas Arman. Kenapa tidak aku mencoba memperbaiki hubunganku dengannya lagi.

“I-Iya, Mas, aku mau pulang. Aku mau kumpul baju aku dulu ya.” Segera kumasuk ke kamar mengemasi barang-barangku kemudian aku keluar.

Tak lupa pula aku pamit ke Mbak Novita agar menjaga diri dengan baik selama aku tinggal. Kemudian, aku pamit juga ke Mas Heri yang masih setia duduk ditemani Mbak Novita hingga aku beranjak pergi.

Selama di perjalanan pulang aku lebih banyak memilih diam. Ibu dan Mas Arman juga memilih diam hingga beberapa saat kemudian mobil Mas Arman sampai di halaman rumah. Aku segera turun dari mobil kemudian menuju masuk ke rumah.

“Eits! Siapa yang izinkan kamu masuk?" Lagi – lagi Ibu mencoba menghalangiku.

“Ma-maksud Ibu apa?” tanyaku dengan heran.

“Sebelum kamu masuk, aku harus introgasi kamu dulu. Enak saja main masuk ke rumah tanpa menjawab pertanyaanku dulu.” Kulirik wajah jutek mertuaku tampak seperti Ibu tiri yang di TV.

Kali ini aku harus kuatkan hati untuk menghadapinya jangan sampai aku terlihat lemah di matanya.

“ Maaf Bu, introgasi apalagi. Bukankah tujuan kalian ke sana mau aku pulang kan?" jawabku sedikit membantah.

“ Siapa laki – laki itu. Apa hubunganmu dengan dia?” Terasa sakit pergelangan tangan ini di pegang paksa oleh Ibu mertua. Namun, tetap kutahan agar aku tidak kelihatan lemah di matanya.

“Teman, dia itu teman aku waktu SMA. Kenapa Bu?” Kuhempaskan tangannya yang menahanku.

“Plug!" Suara dorongan kepalaku memantul di dinding. Rasanya sakit sampai ke ubun -ubun. Rasa sakit ini tetap aku tahan, namun kali ini ingin rasanya melawan Ibu Mertuaku di hadapan Mas Arman.

“Menantu seperti kamu ini, tidak pantas aku diamkan. Baru berapa hari keluar dari rumah sudah beralih ke pria lain.” Wajah garangnya tampak kelihatan ingin menyakitiku.

“ Ibu, sudahlah! Sampai kapan Ibu membenci istriku. Kami baru saja sampai, kenapa sudah keterlaluan seperti ini.” Lagi – lagi Mas Arman berusaha membelaku.

“ Mas, aku lelah jadi istri kamu. Ingin rasanya aku pulang ke rumah orang tuaku. Rasanya, sangat tak adil jika Ibu terus menyalahkanku.” Segera kuambil tas koper kemudian masuk ke kamar disusul Mas Arman.

Di kamar Mas Arman berusaha membujukku. Bagiku Mas Arman adalah pria baik.Tapi, kebaikannya selalu dimanfaatkan Ibu mertuaku.

“Sin, maafkan aku ya. Aku janji aku akan melindungi kamu dari keluargaku," bujuk Mas Arman.

“ Mas! Harusnya sebelum kamu menikah denganku, alangkah baiknya aku mendengar perkataan orang tuaku. Aku harus mengenal keluargamu lebih jauh dulu. Kamu terlalu cepat mengambil keputusan untuk melamar ku Mas," ucapku sambil menahan emosi.

"Inikah yang harus aku dapatkan dari keluarga kamu? Setelah aku menikah denganmu, rasa penyesalan di dalam diriku tak ada duanya. Jika aku terus-terusan dihina dan disakiti oleh Ibumu Mas," lanjutkan sambil menyeka air mata yang mulai jatuh bercucuran.

"Sin! Mohon, maafkan Mas ya."

"Di keluargaku dirimu Sangat di sanjungi dan di banggakan, sementara diriku dalam keluargamu bagai Upik Abu. Apa salahku Mas? ” air mata ini terus saja mengalir, jatuh ke pipi namun dihapus oleh Mas Arman.

Amarah yang selama ini ku tahan kini telah memuncak. Mas Arman memeluk diriku berusaha mengerti apa yang aku rasakan selama ini.

“ Besok, Mas janji akan mencari kontrakan buat kita, Sin! Biarlah, Mas yang mengalah nantinya, aku harus bagi waktu juga agar bisa mengunjungi ibu di sini."

“Maafkan Mas, ya! Mas akan berusaha menjadi suami yang baik dan tidak curiga dengan kamu lagi," lanjut Mas Arman.

***

Seperti biasa aku bangun subuh menunaikan ibadah dua rakaat kemudian segera menyiapkan sarapan pagi.

Tak lupa pula aku segera mengemas barang milikku dan Mas Arman bersiap untuk mencari kontrakan baru.

Seperti biasa aku, Ibu dan Mas Arman sarapan bertiga sebelum berangkat ke tempat kerja . Kali ini Ibu mertuaku masih saja malas bertegur sapa denganku di meja makan. Namun, aku sebagai menantu tak mau pedulikan ulahnya.

Lagi pula sebentar lagi aku dan Mas Arman akan pergi cari kontrakan baru.

“ Arman, sebentar sebelum ke tempat kerja kamu harus antar istrimu ini. Jangan sampai dia bertemu dengan lelaki selingkuhannya lagi.” Rupanya Ibu mulai mengungkit kejadian semalam lagi.

“I-iya Bu. Pagi ini aku memang mau mengantar Sinta ke tempat kerjanya. Sekalian kita mau cari kontrakan baru buat tempat tinggal kami," jawab Mas Arman sambil menikmati hidangan di meja.

“ Kontrakan?Apa kalian sudah tidak suka tinggal sama Ibu ya sampai kalian mau cari kontrakan lagi?” celoteh Ibu mertuaku sambil mengayunkan sendoknya kemudian dimasukkan ke mulut bersama makanan.

“Bukan begitu Bu! Maksud Mas Arman biar kami lebih mandiri. Kami cuma cari kontrakan dekat tempat kerjaku, Bu," jawabku biar Ibu lebih paham.

“Halaa! Pasti kamu ya, yang berusaha mempengaruhi Arman. Sampai dia mau mengikuti apa yang kamu mau.” Ibu mertua mulai menuduhku lagi.

“ Bu-bukan begitu maksud saya Bu. Tapi...,”

“Sudahlah! Ibu sudah paham maksud kalian. Sudah tidak mau tinggal serumah dengan Ibu lagi kan. Silahkan kalian keluar jika kamu mau menuruti kemauan istrimu ini.” Sambil melirik ke arahku.

Selesai sarapan pagi, kami bersiap keluar dari rumah Ibu. Meskipun kali ini, dia tidak begitu setuju mengizinkan kami pergi cari kontrakan untuk tidak tinggal bersamanya lagi, setidaknya aku sedikit lega kini Mas Arman ada dipihakku.

Aku dan Mas Arman segera pergi ke kontrakan baru milik temannya. Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan dari rumah Ibu ke sini.

Sampai di sana, aku juga suka dengan tempat kontrakannya. Karena, berbentuk ruko meskipun terlihat sederhana setidaknya bagiku cukup untuk hidup berdua dengan Mas Arman.

Rumah berbentuk ruko dengan kamar tidur satu dan kamar mandi satu bagian depan rasanya pas buatku usaha kecil – kecilan ketika pulang dari kerja. Lumayan, tambah – tambah penghasilan sampingan.

“Bagaimana, apa kamu suka?” tanya Mas Arman padaku.

“Alhamdulillah, aku suka Mas.” Segera kumelangkah menuju kontrakan itu kemudian melihat-lihat isi di dalamnya.

“Sin! Maafkan Mas selama ini kurang peka dengan posisi kamu. Mungkin , dengan kita tinggal di kontrakan perlahan-lahan Ibu mulai sadar dan mulai menerima kamu.”

“Mas, bolehkah aku mau bilang sesuatu?”

“ Bilang apa?”

“ Aku mohon, jangan sampai Ibu mengetahui kalau aku adalah seorang ASN.”

“I- Iya, Mas tidak akan memberitahu Ibu dan keluargaku. Mas janji." Sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sebagai tanda bahwa Mas Arman telah berjanji untuk menyimpan rahasia ini.

***

Mulai malam ini aku dan Mas Arman tidur di kontrakan baru. Rasa nyaman tanpa gangguan dari Ibu mertua pasti ada. Namun, entah kenapa tanpa ada sosok Ibu jadi terasa sepi, jika tidak mendengar hinaannya salam sehari.

Saat ini aku sedang baring – baring di hadapan Mas Arman yang sedang sibuk memainkan gawainya. Tiba – tiba ada notifikasi pesan masuk di WA ku. Segera kubuka pesan itu ternyata pesan dari Kesya adik Mas Arman.

“ Sudah pindah di kontrakan baru ya wanita miskin?” Tanyanya dari seberang sana.

“Alhamdulillah, sudah," jawabku.

“Kamu pakai mantra apa sampai Mas Arman menuruti semua kemauanmu ha?"

“Maksud kamu apa,?

“Alaahh tidak usah sok pura – pura polos di mata kami. Nyesal aku Sebagai adik Mas Arman merestui hubunganmu dan menikahi Kakakku,” Jawabannya Sangat tak mengenakkan hati.

“Astaghfirullah , istighfar Key!" balasku.

Beberapa saat kemudian chat dari Kesya masuk berkali – kali namun tak kuhiraukan lagi. Aku malas ribut dengannya, bagiku tinggal di sini berdua dan Mas Arman tanpa saling mendengarkan kabar dari mereka , adalah hal yang paling utama agar aku tetap waras sebagai menantu.

Beberapa saat kemudian terlihat di layar ponselku panggilan masuk dari Kesya. Segera ku menjauh dari Mas Arman kemudian kuangkat teleponnya, dan mulai percakapan antara kami.

“Hei, Wanita miskin! Sudah punya kontrakan baru ya. Sudah tidak mau serumah dengan Ibuku ya, atau kamu sengaja cari kontrakan biar tidak mau merawat Ibu,” Ucap Kesya dari seberang sana.

“Bu, bukan begitu Key. Tapi...,”

“Alah, aku tak perlu mendengar penjelasan kamu! Ibu sudah cerita semuanya ke aku. Tega ya, kamu marahi Ibu. Bahkan kamu memperlakukan dia seperti anak kecil."

“Key, ini tidak seperti yang Ibu katakan, dengarkan aku dulu!” aku berusaha membela diri.

“Asal kamu tau ya, cincin pernikahan kamu dengan Mas Arman aku yang beli. Jika aku tahu sifat aslimu, ingin rasanya ku beli cincin imitasi saja buat cincin pernikahanmu,” rasanya bagai disambar petir mendengar kata-kata dari Kesya.

“ Kesya! Satu kata lagi kau lanjutkan untuk menghina Sinta istriku akan aku blokir semua ATM pemberianku,”

Aku kaget dan menoleh ke asal suara tersebut

Ternyata...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status