Share

BAB 5

Kesya, satu kata lagi kau berani menghina Sinta akan ku blokir semua ATM pemberianku.” Mas Arman tiba – tiba muncul dari belakangku.

Segera diambilnya Handphone di tanganku kemudian dia yang melanjutkan pembicaraan dengan Kesya.

“Kak, aku ini adikmu. Kenapa dirimu tega lebih membela dia yang baru beberapa bulan hidup denganmu dari pada adik kandungmu sendiri yang tumbuh bersama dari kecil. Salahkah, jika aku lebih membela Ibu,” jawab Kesya dari seberang sana.

“Mengenai cincin yang kau berikan ke aku sebagai sumbanganmu di pernikahanku, akan kuganti. Aku tidak menyangka hal ini akan diungkit olehmu,” Mas Arman mulai emosi.

“Saya ingin rumah tanggaku dan Sinta aman, mungkin dengan kami cari kontrakan Ibu perlahan – lahan membuka hati untuk Sinta," lanjut Mas Arman.

“Kak, tapi aku lebih percaya Ibu dibanding Sinta yang baru menjadi bagian dari keluarga kami. Jadi, tak perlu mendengar langsung darimu lagi. Semua sudah kudengar dari Ibu.”

“Terserah apa tanggapanmu, lagi pula, aku tetap berlaku adil untuk Ibu dan Sinta, assalamualaikum.” Mas Arman menutup telepon dari Kesya kemudian mengajakku masuk untuk beristirahat.

Keesokan harinya seperti biasa aku bangun subuh melaksanakan ibadah dua rakaat kemudian segera menyiapkan sarapan pagi. Pagi ini, Mas Arman mengantarku kemudian dia berangkat pergi ke tempat kerjanya.

“Mas, aku turun di sini saja ya.” Aku menghentikan sepeda motor milik Mas Arman.

“Loh! Apa ini tidak kejauhan Sin? Sekolah tempat kamu tugaskan sekitar dua ratus meter lagi dari sini. Kasihan, kamu jalan kaki sejauh ini sampai sekolah,” Mas Arman berusaha membujukku.

“ Tidak apa – apa Mas, sekali – sekali aku jalan kaki biar sekalian olahraga," Aku berusaha untuk meyakinkannya.

“Sin, maafkan adikku tentang masalah semalam ya. Aku janji, akan mengganti cincin yang disebut Kesya semalam.” Kemudian dia pamit.

“Mas, jangan sampai orang tuaku mendengar apa yang dikatakan Kesya semalam. Aku takut mereka akan kecewa pada dirimu, Mas.” Kemudian aku melangkah menuju Sekolah

Sengaja aku berjalan kaki, agar Mas Arman tidak mengetahui bahwa istri yang selalu dihina oleh Ibunya ini bukan hanya berstatus guru ASN, tapi juga berstatus sebagai kepala sekolah.

Setelah mengantarku, Mas Arman segera pergi ke toko emas untuk mencari cincin emas pengganti yang diungkit oleh Kesya semalam.

Rasanya tidak menyangka saja, cincin pernikahan diungkit lagi olehnya, setelah semua tamu undangan melihat cincin pernikahan itu dipakaikan dijari manisku.

Lagi pula, Mas Arman pernah bilang ke aku bahwa cincin pernikahan itu adalah uang pemberian dari Mas Arman ke Kesya kemudian dia minta tolong untuk dicarikan cincin pernikahan kami.

***

Pulang dari sekolah tak lupa aku pergi ke warung beli sayur untuk makan malam nanti. Setelah pulang dari warung, segera kumenuju sebuah toko pecah belah beli perlengkapan dapur yang masih kurang di kontrakan kami.

Setelah dari toko pecah belah aku pulang ke kontrakan, kemudian segera masuk ke dapur untuk memasak makan malam.

“Assalamualaikum," terdengar dari luar ada suara tamu.

“Waalaikumsalam.” Segera kumenuju pintu depan dan membukanya ternyata Ibu mertuaku yang datang.

“Eh Ibu, mari masuk! " Perlahan kubuka pintu depan.

“Tidak usah, cukup Ibu berdiri di sini saja. Tolong , kamu kasih tahu ke Arman Ibu lagi butuh uang buat bayar arisan.” Sambil melirik ke dalam kontrakan dengan tatapan sedikit risih.

“Ba-baik Bu, nanti aku beri tahu ke Mas Arman sebentar.”

"katakan pada Arman, Ibu butuh uangnya sore ini.”

“ Ibu butuh uang berapa? Biar aku beritahu Mas Arman.”

“Tanpa kamu tanya pasti Arman sudah tahu. Oh Iya, sekali-sekali kamu datang juga ke rumah Ibu bantu ibu bersih-bersih.” kemudian berlalu pergi tanpa pamit.

Rasanya seperti tak dianggap oleh Ibu pergi dengan cara seperti itu. Tapi tak apalah, yang terpenting aku sudah tidak serumah dengan Ibu. Kemudian aku menutup pintu dan melanjutkan pekerjaan di dapur.

***

Sore ini Mas Arman menuju ke rumah Kesya menggunakan sepeda motor. Rasanya kata-kata Kesya semalam sudah keterlaluan. Hingga membuat Mas Arman merasa tak sabar ingin mengembalikan cincin pernikahan itu namun aku tidak memberikannya.

Aku takut nantinya orang tuaku menanyakan cincin pernikahanku itu. Akhirnya Mas Arman mencari penggantinya di toko emas dengan cincin yang mirip .

Kurang lebih satu jam perjalanan akhirnya Mas Arman sampai di rumah Kesya.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam, Kak Arman ayo masuk.”

Kesya segera keluar menghampiri Arman yang tengah berdiri di depan pintu.

“ Kebetulan uang bulanan kami semakin menipis. Kak Arman, tanpa aku hubungi ternyata sudah peka rupanya kesini,” lanjut Sinta.

“ Kedatanganku kemari, tak perlu berlama-lama. Bukankah kamu sudah punya usaha kecil-kecilan. Jadi, tidak perlu menunggu uang bulanan dariku lagi. Tujuanku hanya untuk mengembalikan cincin yang sudah kau ungkit semalam.” Dikeluarkannya cincin itu dari sakunya kemudian diberikannya cincin itu ke Kesya namun di tolaknya.

“Kak, aku tak mau menerima cincin ini! Semua ini aku lakukan karena Sinta sudah keterlaluan dengan Ibu." Ditolaknya cincin pengganti itu dan dikembalikan lagi ke Arman.

“Tapi, sikap kamu sudah keterlaluan. Kenapa harus cincin pernikahan itu yang kamu katakan pada Sinta,” suaranya yang meninggi membuat tubuh Kesya bergetar.

“ Seharusnya Kak Arman tanya dulu ke aku jangan hanya mendengar dari Kak Sinta saja. Bisa saja istrimu itu berbohong.” Segera ditinggalnya Arman duduk sendiri di ruang tamu. Kemudian Arman menyusul ke dalam.

“ Ambillah cincin ini, sebagai penggantinya.” Arman segera pulang setelah memberikan cincin itu kepada adiknya . Sebenarnya Arman juga tak tega memberikan cincin itu sebagai pengganti namun itu lebih baik untuk menjaga perasaan Sinta.

Sepulang dari rumah Kesya, Mas Arman tidak lupa mampir di rumah Ibu untuk menengoknya, terlihat Ibu lagi sibuk mengurus bunga – bunga yang ada di taman.

Dihampirinya Ibu, untuk memberikan uang nafkah bulanan.

“Assalamualaikum, Bu.” Segera disalami tangan Ibunya.

“Waalaikumsalam, mana Istrimu?”

“ Dia lagi dikontrakkan Bu, dan aku baru dari rumah Kesya.”

“ Sudah seharusnya, kamu memberikan nafkah bulanan ke Kesya. Karena dia punya hak atas usaha Bapakmu,” tangannya yang sibuk menggunting ujung bunga sama sibuknya dengan mulutnya yang sedikit cerewet.

“Kedatangan aku ke sana, bukan untuk memberi nafkah Bu, tapi mengganti cincin perkawinan yang diungkit oleh Kesya semalam. Aku kecewa dengan apa yang dilakukan Kesya ke Sinta, Bu.”

“Alah, pasti itu kelakuan Sinta yang suka bohong. Biar kamu tidak memberikan uang ke adik kamu lagi.” Kemudian disimpannya gunting dan mendekati Arman

“Ingat ya Arman, jika kamu masih ingin kerja di usaha milik Bapakmu, kamu harus rutin memberikan Ibu nafkah, memberikan Kesya nafkah, dan juga Si Junet Kakakmu.” Kemudian segera berlalu pergi meninggalkan Arman.

“ Tapi Bu, bagaimana dengan Sinta istriku. Sinta juga kewajiban aku menafkahi dia, Bu.” Sambil mengikuti Ibu dari belakang.

“Arman, Sinta itu Cuma istri kamu. Jika kamu bercerai dengannya berarti, dia adalah mantan Istrimu. Tapi, Kesya dan Junet adalah saudara kamu. Tidak ada namanya mantan saudara.” Suara Ibu yang meninggi membuat Arman kecewa.

Rasanya Ibu dan Kesya sama saja, tidak pernah berlaku adil dengan Sinta. Kedatangan Arman ke rumah Ibu rasanya sia-sia saja. Bukannya Ibu sebagai penengah malah menyalahkan Sinta. Segera dirinya pamit kemudian pulang ke kontrakan .

“Aku pamit Bu.” Segera menyalami tangan Ibu.

“ Eh, jangan dulu pulang! Ibu butuh uang arisan sepuluh juta, sore ini juga harus dibayar.”

“Maaf Bu, kali ini Arman tidak punya uang untuk bayar uang arisan. Ibu minta saja ke Ayah, lagi pula aku hanya dipercayakan untuk bantu mengelola usaha Bapak.” Kemudian bersiap meninggalkan Ibunya.

Tak lupa Nafkah sepuluh juta diberikannya ke Ibu dan berlalu pergi.

***

Sore ini Sinta masih sibuk mengatur barang yang belum sempat dirapikan. Kedatangan Ibu ke kontrakannya tadi membuat dirinya mengingat pandangan Ibu tertuju di barang yang masih berserakan di lantai.

Segera di aturnya barang-barang itu satu persatu agar terlihat rapi. Tampak dari kejauhan suara motor Mas Arman terdengar. Dirinya segera menyambut kedatangan suaminya.

Sebagai pasangan yang baru menikah tentu saja masih merasakan indahnya masa-masa pengantin baru. Meskipun saat ini, mereka tinggal dikontrakan kecil. Tapi, rasa cinta Sinta ke Arman tidak pernah sirna oleh bujukan Ibunya.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam, Mas.” Segera dihampiri suaminya kemudian mengambil barang bawaannya.

“ Wah, Mas bau! Ayo, masuk kemudian mandi. Handuknya sudah kusediakan di situ ya, Mas.”

Setelah selesai mandi Arman menghampiri Sinta.

Kemudian Arman berbicara apa yang dialaminya ketika bertemu Kesya dan bertemu Ibu tadi.

“Sin, menurutmu bagaimana kalau berhenti saja bekerja diusaha dagang milik Ayahku.”

“Loh, kenapa Mas. Kamu sudah bosan kerja di tempat Ayah? Tangannya juga sibuk membersihkan sisa kotoran di lantai.

“ Aku ingin punya usaha sendiri saja. Menurutku, tabunganku selama ini sudah bisa dibuat modal buat buka usaha sendiri.” Sambil membuka tudung saji yang berada di atas meja.

“Loh, Mas! Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apakah ada yang salah dengan mengelola usaha Ayah? Segera mendekatkan diri ke Mas Arman untuk menyemangatinya.

“Bukan Sin, kalau aku pikir-pikir Kesya dan Ibu sudah sangat keterlaluan meminta nafkah terus-terusan ke aku tanpa peduli ke kamu sebagai istriku,”

“ ya, aku tidak bisa berkata apa-apa Mas! Aku hanya bisa mendukung kamu jika itu menurutmu jalan yang baik.” Kemudian aku duduk di samping Mas Arman.

“Sin, menurut kamu, kita usaha apa ya?” sambil mengunyah makanannya.

“ Usaha sembako saja, Mas! Menurutku, sembako kan kebutuhan pokok tiap hari, Insya Allah orang-orang pasti suka.” Aku yang dengan semangat selalu mendukung apa kemauan Mas Arman selagi itu menurutku baik.

“ Oke, nanti aku bicara dengan Ibu dulu ya. Biar, nanti Bang Junet atau Kesya yang bantu-bantu usaha dagang campuran Ayah.”

***

Keesokan harinya aku dan Mas Arman pergi ke rumah Ibu mertuaku untuk membicarakan keinginan Mas Arman. Sesampainya di sana terlihat ada sebuah mobil Rush berwarna hitam parkir di halaman.

“Mas, rumah Ibu lagi ramai! Apakah, kita tunda dulu untuk membicarakan ini?”

“Iya, nanti besok baru aku mencoba bicara dengan Ibu lagi.” Kemudian memarkirkan sepeda motor di halaman rumah Ibu.

Aku dan Mas Arman segera masuk. Tampak di ruang tamu ada sanak keluarga dari Ayah mertuaku lagi kumpul.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumsalam,”

“ Eh, Nak Arman, sini masuk! Ternyata kamu sekarang makin tampan saja ya.” Seorang Ibu paruh baya mendekati Mas Arman dan memeluknya.

Sementara aku yang berdiri di samping Mas Arman tak mendapatkan respon sedikit pun darinya terlebih lagi Ibu dan Ayah mertuaku menatap kedatanganku dengan wajah yang biasa.

Dari sudut ruang tamu terlihat Kesya juga ikut bergabung. Aku yang menahan rasa kikuk karena tidak mendapatkan respon dari mereka segera mendekati Kesya yang ada di sana dan duduk di sampingnya. Kejadian kemarin dengannya, aku lupakan untuk saat ini.

“ Kak Arman, makin kelihatan dewasa dan tampan saja ya. Aku jadi ingat dulu Kak Arman suka bermain denganku kalau aku pulang ke sini,” terlihat seorang gadis cantik dengan lesung pipi di wajahnya menambah kecantikannya memuji suamiku.

“Iya, Tin andaikan saja kamu menikah dengan Arman . Pasti, Ibu bahagia melihat anak Ibu menikah dengan wanita seperti kamu. Masih muda, dan sukses membangun usaha di kota.” Ibu mertua yang duduk di samping gadis itu seakan-akan menyinggung statusku yang punya penghasilan seadanya.

Namun, aku tak menghiraukan apa yang dikatakannya itu. Aku mendekatkan diri dengan Kesya yang duduk dekat sudut ruang tamu.

“ Sepertinya firasatmu tajam juga ya, tanpa di kabari kamu akhirnya datang ke sini.” Kesya berbisik mendekati telingaku.

“ Tujuanku, memang kemari karena ingin menengok Ibu," jawabku dengan tak mau kalah darinya.

“Kamu tau gak, tampang kamu kemari mirip pembantu. Cocoknya kamu bantu aku untuk menyiapkan makanan untuk keluarga Ayah.” Ditariknya pergelanganku menuju dapur.

Aku yang tidak mempunyai kesempatan berbicara hanya bisa menuruti kemauan Kesya. Terlihat suasana dapur masih berantakan, piring kotor pun belum di cuci.

“ Kerjakan tugas yang layaknya jadi pekerjaanmu, dan siapkan makanan buat mereka. Eh, jangan lupa kalau sudah selesai segera kabari kami di luar.” Kemudian berlalu meninggalkanku.

Kali ini aku tidak bisa membantah, aku hanya bisa sabar mengerjakan semuanya. Di luar sana mereka sibuk tertawa sampai terbahak – bahak.

Mas Arman, ketika bertemu dengan keluarganya tampak sibuk meladeni mereka sampai lupa bahwa aku juga ada di sini.

Beberapa saat kemudian wanita cantik yang duduk di samping Ibu pergi ke dapur dan menuju ke kamar kecil. Tampak wajahnya biasa saja ketika melihat ke arahku. Setelah keluar dari kamar kecil dia menghampiriku.

“ Sudah berapa lama Mbak kerja jadi pembantu di rumah ini?”

Rasanya bagai di sambar Kilat mendengar pertanyaan darinya. Bagaimana mungkin dirinya mengira aku sebagai pembantu padahal jelas-jelas aku tadi datang kemari bersama Mas Arman.

“Dia sudah empat bulan kerja di sini sebagai pembantu rumah tangga yang membantu Ibu,” tiba-tiba Kesya muncul dari pintu tengah memotong pembicaraan diantara kami.

Belum sempat ku menjawab, Kesya segera mendekatiku dengan berwajah manis kemudian memegang kuat pergelangan tanganku hingga aku lupa bahwa aku menantu di rumah ini.

“Kesya! Apa yang kamu lakukan pada Sinta? ”

Aku menoleh ke samping, ternyata, Mas Arman mendengar pembinaan kami.

“Mas, dia siapa?” wanita itu mendekatkan diri pada Mas Arman.

“Dia istriku,” Mas Arman berusaha menjauh dari posisi wanita itu.

“Apa...? Istri Mas! Berarti selama ini sudah menikah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status