Pagi di WarKoDuBa dibuka dengan kebiasaan baru: Toyo menyapu lantai sambil menyanyikan lagu daerah versi dangdut remix, Dimas menyeduh kopi untuk dirinya sendiri (karena pelanggan belum ada yang datang), dan Randi sibuk merekam semua aktivitas itu dari sudut-sudut absurd untuk konten “Behind the Beans.”Namun pagi itu berbeda. Semua kegiatan terhenti saat suara isak tangis terdengar dari meja pojok.Karina menangis.Diam-diam. Perlahan. Tapi nyata.Padahal ia tidak sedang meminum kopi rasa ‘kehilangan’ atau ‘penyesalan’. Cangkirnya hanya berisi kopi susu biasa—resep nostalgia dari hidupnya dulu. Tapi air mata mengalir begitu saja. Tanpa sebab, tanpa aba-aba.---“Ada apa ini?” Dimas mendekat sambil menaruh lap di bahunya.Karina buru-buru menyeka matanya, meski itu sia-sia.“Gak tau. Aku... nangis aja. Tiba-tiba.”Toyo ikut mendekat, wajah polosnya bingung. “Kak Karina habis nonton drama Korea dimensi sebelah ya?”Karina menggeleng. “Nggak nonton apa-apa. Nggak mikirin siapa-siapa.”R
WarKoDuBa selalu punya aroma khas: campuran kopi robusta panggang, kemenyan sisa ritual pelanggan, dan sedikit bau kenangan yang belum reda. Tapi malam itu, ada aroma lain menyusup di antara semuanya. Aneh. Lembut. Seperti... ingatan akan tempat yang belum pernah dikunjungi.“Mas Dimas, ini apa ya?” tanya Toyo sambil mencium udara di belakang mesin espresso. “Kok kayak bau... anggrek yang pernah mimpi?”“Bau anggrek mimpi apaan?” Randi mencibir. “Itu pasti sisa seduhan kopi rasa rindu-dalam-tidur.”Namun Dimas hanya diam, matanya tajam menatap pintu belakang.“Mas,” bisik Karina, “bau itu... datang dari dimensi lain. Aku kenal baunya. Itu... aroma transisi.”---Mereka berkumpul di belakang warung, tempat dinding tua dan jendela kecil menghadap ke gang buntu yang biasa dilalui makhluk-makhluk ‘bukan pelanggan’. Tapi malam ini, gang itu tidak sepi. Temboknya berdenyut pelan. Seperti napas. Dan dari sana, aroma aneh itu semakin kuat.Tiba-tiba, suara ketukan tiga kali terdengar. Bukan d
Pagi di WarKoDuBa selalu punya suara unik: dengkuran tuyul yang baru tidur setelah semalaman keluyuran, suara mesin penggiling kopi kuno yang batuk-batuk, dan kadang dentingan sendok yang jatuh sendiri padahal tak ada yang menyentuh. Tapi pagi ini, semua itu tenggelam oleh satu suara: ketukan di pintu warung.Toyo membuka pintu dengan semangat. Ia baru pulang dari semedi pelatihan “mengerti rasa lewat mimpi” selama dua hari. “Selamat pagi! Silakan masuk—eh?”Tak ada siapa pun.Di depan pintu hanya ada satu koper besar berwarna hitam dengan stiker dunia: ‘Dunia Bawah’, ‘Ruang Mimpi Retak’, ‘Zona Transit Kenangan’, bahkan satu dari ‘Lapisan Ketujuh Kekecewaan’. Di atas koper itu... secarik kartu nama.Karina mengambilnya.Tertulis:> “Tuan X. Tamu Sementara. Profesional dalam Rasa yang Tak Terdefinisi.”Dimas menatapnya lama. “Kayaknya ini bakal jadi hari yang panjang.”---Dua menit kemudian, seseorang muncul dari balik bayangan pojok warung. Tingginya sedang. Rambutnya bergelombang, s
WarKoDuBa memiliki banyak benda aneh yang tidak bisa ditemukan di warung kopi biasa: teko yang pernah menangis, mesin espresso yang terkadang menyeduh lagu sedih, dan piring-piring yang hanya retak kalau pemiliknya sedang jatuh cinta. Tapi dari semua benda aneh itu, tak ada yang lebih misterius daripada Kursi Nomor Empat.Kursi itu terletak di pojok dekat rak buku tua, tepat di bawah lukisan kabur yang selalu bergoyang sendiri meski tak ada angin. Sejak awal warung ini berdiri, kursi itu sudah ada. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang ingat kapan pertama kali dibawa masuk.Dimas pernah bilang, “Kursi itu... bukan kita yang beli.”Toyo, si asisten polos yang kembali dari pelatihan magang di dimensi lain, pernah mencoba duduk di kursi itu waktu awal-awal magang. Lima menit kemudian dia menangis tersedu-sedu karena tiba-tiba merasa bersalah pada ayam kampung yang pernah ia usir saat kecil.Setelah kejadian itu, kursi nomor empat dibiarkan kosong. Selalu kosong.---Suatu sore, warung m
Karina duduk sendirian di meja pojok WarKoDuBa. Biasanya, ia menjadi pusat kehangatan aneh: mengomentari pelanggan dari dunia lain, mengganggu Randi dengan cerita horor romantis, atau membantu Dimas menyesuaikan suhu air agar pas dengan suhu hati. Tapi malam itu, ia hanya diam.Matanya menatap cangkir kosong di hadapannya. Tangan kirinya memainkan sendok kecil berwarna perak kusam, hadiah dari pelanggan tak kasat mata bernama Bu Enti yang dulu suka menceramahi orang bahkan setelah meninggal.Tetesan air jatuh ke cangkir.Air mata.“Karina?”Suara lembut Dimas memecah keheningan.Karina menunduk lebih dalam. “Aku... nggak tahu kenapa nangis, Mas.”Dimas duduk perlahan di seberangnya. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya menatap sahabatnya, yang sejak dulu menolak untuk mengaku rapuh.Randi muncul membawa dua donat rasa takdir — donat yang hanya bisa dimakan oleh mereka yang sedang bingung dengan hidup. “Ini... gratis, kalau kamu bilang alasannya kenapa nangis.”Karina tertawa kecil, tapi ju
Malam itu WarKoDuBa sepi. Bukan karena tidak ada pengunjung, tapi karena semua pengunjung malam itu... sedang tertidur. Tidak, bukan tertidur karena ngantuk biasa. Tapi karena kopi yang mereka minum malam itu kebetulan tercampur biji “Tenang Abadi” — racikan langka yang disimpan Dimas untuk keadaan darurat.“Mas... kita beneran nyeduh biji itu?!” Randi berbisik panik sambil melihat sekeliling, tempat pelanggan manusia dan non-manusia sedang mendengkur damai. Bahkan arwah yang biasanya melayang-layang pun sedang ngorok di sudut plafon.Dimas mengangguk santai, menggulung lengan bajunya dan mulai membersihkan mesin seduh. “Kita butuh waktu untuk ngobrol tanpa interupsi dari tuyul galau atau hantu bucin, Ndii.”“Ngobrol soal apa?”Karina muncul dari balik rak rempah dengan secangkir teh bunga kenangan yang hanya bisa diseduh oleh mereka yang pernah menangis tengah malam.“Gerbang sebelah mulai bergetar lagi,” ujarnya pelan.Randi langsung duduk tegak. “Gerbang sebelah? Gerbang dimensi?!