Terkadang, lelah yang dipikul oleh badan tidak sebanding dengan lelah yang dipikul oleh hati.
Itulah yang Arika rasakan sekarang. Dia menyibukkan diri untuk mengecek setiap sudut ruangan aula hotel bintang lima yang terkenal di Sidoarjo itu. Dia tidak ingin ada yang terlewat sama sekali. Sudah tugasnya juga sebagai penanggung jawab acara untuk memastikan keberlangsungan acara dengan baik. Lebih lagi, acara ulang tahun yang dia pegang kali ini bukan acara ulang tahun orang sembarangan. Dia sudah diwanti-wanti oleh bosnya untuk bekerja dengan sesempurna mungkin. Keluarga Baskara adalah keluarga terpandang di kota, sepupu dari keluarga Anggari. Mereka lebih vokal daripada keluarga Anggari jika ada kesalahan barang sedikitpun. Arika memanggil salah satu petugas acaranya. "Semua minuman, makanan ringan, hingga hidangan manis sudah siap?" Jaka, lelaki kepercayaan Arika, mengangguk. "Beres." "Sip." Untungnya, konsep yang diinginkan oleh pemilik acara tidaklah ribet, sama seperti acara pesta orang kaya pada umumnya yang mengedepankan kemewahan dan kesan elegan. Arika sudah handal dengan itu. Gawai Arika bergetar panjang, tanda ada panggilan masuk. "Halo." "Kamu udah di acara?" tanya seseorang di seberang sana. "Udahlah. Masa iya aku mau nelat. Orang aku yang pegang acaranya." "Sesore ini? Gila. Kamu niat banget mau urusin acara orang, hah? Kamu lagi niat banget atau niat mau kabur aja? Ini si Amar nodong aku buat ketemu kamu." Dia adalah Fatina, teman kantor sekaligus teman curhat. "Bodoh amat. Cemplungin aja dia ke kali. Jadi orang sukanya porotin adiknya mulu." Arika jengah. Inilah alasan utama dia ingin cepat-cepat ke venue acara. Dia tidak mau bertemu dengan kakaknya meski lelaki itu adalah kakak kandungnya sendiri. Arika mematikan gawainya. Dia tidak ingin diganggu. Dia benar-benar ingin fokus dalam acara ini dan mendapatkan reward lebih dari bosnya sesuai dengan kesepakatan. Ada beberapa barang yang belum dia beli yang termasuk dalam daftar pengeluaran bulanannya. "Bu Arika?" sapa seorang paruh baya dengan menepuk pundak gadis itu pelan. Arika menoleh kemudian mengangguk. Senyumnya merekah profesional. "Iya. Saya sendiri. "Salah satu anggota keluarga Baskara ingin bertemu dengan Anda. Saya adalah salah satu manager mereka. Silakan ikuti saya." Mendengar kata 'Keluarga Baskara', membuat Arika langsung percaya saja tanpa mempertanyakan lain-lain. Dia mengikuti wanita itu ke sebuah ruangan di lantai dua setelah memasrahkan kepengurusan acara kepada Jaka. Di dalam ruangan, ada seorang lelaki dengan setelan rapi sedang menghadap ke arah jendela. Di tangannya ada gelas berisikan air oranye yang disangka Arika sebagai jus jeruk. "Ini dia EO-nya, Pak." Wanita itu segera melangkah pergi, memberikan ruang untuk Arika dan lelaki asing yang katanya dari keluarga Buono itu. "Namamu siapa?" Lelaki itu bertanya. "Pangil saya Arika." Lelaki itu mengangguk, entah untuk apa. Wajahnya begitu serius dan tatapannya sarat akan misterius. "Kalau Anda?" tanya Arika memberanikan diri. Dia merasa harus ada kesetaraan di ruangan ini. Anehnya, lelaki itu tidak langsung menjawab. Dia sedikit tersenyum, tampak sangat maskulin sekaligus tak mau disamakan. "Kamu akan segera tahu." Mendapatkan jawaban seperti itu, Arika langsung hilang respect. Dia jengah dengan para manusia yang terlihat sangat meninggikan diri dengan kedudukan dan harta yang dimiliki. Well, lelaki di depannya ini tidak diragukan lagi mempunyai dunia di tangannya. Semua itu terlihat dari cara dia berbicara dan bergerak. "Kalau tidak ada yang dikatakan lagi, saya akan kembali ke aula. Maaf kalau lancang, saya yakin Anda adalah salah satu keluarga inti dari yang punya acara nanti. Apa ada yang ingin Anda minta untuk acara nanti?" Sekedar basa basi. Arika hanya ingin tahu sejauh mana kesombongan lelaki di hadapannya ini. Lelaki itu tediam sejenak, menatap lurus ke Arika. "Hati-hatilah. Nanti malam mungkin akan menjadi pesta yang kacau." Lalu dia tertawa, merasa bisa membuat suasana ruangan menjadi tegang. Geram, Arika mengepalkan telapak tangannya. Tanpa kata lagi, dia meninggalkan ruangan itu dan kembali ke aula. "Gak jelas. Mana sombong banget. Ngeselin." Arika mendumel sambil bergabung dengan Jaka yang sedang menata minuman soda di meja yang sudah ditata sedemikian rupa di aula. "Kenapa, Bos?" tanya Jaka yang merasa ada sesuatu aneh menimpa Arika. "Udah bener berarti aku minta ditambah gajiku buat ngurus ulang tahun keluarga ini. Orangnya aneh-aneh." Jaka malah tertawa. "Bukannya karena kamu sudah terbiasa komunikasi sama orang-orang kayak gitu, ya, si Bos besar pilih kamu untuk ini?" Arika memutar bola matanya. "Bodoh amat. Yang penting acara ini selesai dengan baik dan aku dapat cuan lebih." "Habis itu kita makan enak, kan?" Jaka memancing. Alisnya dinaik-turunkan. "Kita? Gue aja keles." Jaka tertawa lepas. Reaksi dari temannya ini memang tidak mengecewakan. "MC udah dateng?" "Udah tadi. Nanti keluarga besarnya bakalan dateng jam enam, katanya. Aku jamin acara ini bakalan sempurna." Arika mengangguk. Dia juga berharap begitu. Tak apa dia kelelahan mengurus ulang tahun keluarga kaya ini yang banyak permintaan. Setidaknya ini adalah salah satu cara bagi dirinya untuk mengalihkan diri dari kelelahan hakikinya. Masalah dengan keluarganya lebih melelahkan daripada ini. Sejenak, Arika mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Semuanya sudah siap. Ada waktu sejenak untuk bersanti sebelum nanti dia jadi manusia super sibuk saat acara sudah dimulai. "Santai dulu gak sih?" Arika duduk di salah satu kursi. Dia berisyarat kepada Jaka untuk diambilkan minuman soda. Jaka tidak keberatan. Dia tahu kalau Arika juga perlu istirahat sejenak agar saat acara dimulai bisa bekerja lebih optimal. Dia pun meminta bantuan karyawan EO yang lain untuk membuka botol. Setelah botol terbuka, dia memberikannya ke Arika. "Dimintai tolong malah minta tolong." Arika agak menyindir. Jaka hanya terkekeh dalam menanggapinya. Dia juga ikutan duduk di kursi sebelah Arika. Seteguk. Dua teguk. Tiga teguk. Arika merasakan ada yang aneh dengan tenggorokannya. Dia melihat ke arah botol soda yang di tangannya. Bahkan dia sampai mengangkat botol itu setara dengan wajahnya. "Ini soda kuat banget? Nyegrak, sumpah." Jaka mengedikkan bahu. "Gak tahulah. Orang aku enggak pernah minum soda dari kecil. Gak dibolehin sama emakku." Arika terbatuk beberapa kali demi melonggarkan kerongkongannya. Tapi, dia tidak kapok untuk meminum soda tersebut. "Kalau kayak gini, para tamu bakalan suka enggak sama minumannya?" "Lah, yang request minuman soda merek ini siapa?" "Ya, keluarganya juga sih." "Ya udah. Di luar tanggung jawab kita." Arika mengangguk. Benar juga apa yang dikatakan oleh Jaka. "Aku ke toilet dulu, ya. Aku serahin acaranya ke kamu kalau aku belum balik." Jaka mengangkat jempol tangannya. Arika buru-buru ke toilet. Dia merasa sangat ingin buang air kecil. Kerongkongannya juga terasa sangat panas. Namun baru saja sampai di lorong menuju toilet, kepalanya tiba-tiba terasa sangat berat. Bahkan tubuhnya mulaii terhuyung, tidak bisa berdiri tegak. Sedetik kemudian, tubuh Arika ambruk di atas lantai, pingsan.Nyatanya, Tuhan tidak membiarkan manusia untuk tahu segalanya. Bukan menjadikan sebuah ketidaktahuan sebagai alasan untuk dicela. Akan tetapi, terkadang lebih baik tidak tahu daripada tahu segalanya dan tak bisa sembuh dari luka. Ilmu terbatas juga sebuah anugerah, sama seperti ketika manusia bisa dan lekat dengan kata 'lupa'. Arika membuka pintu ruang kerja Johan dengan sangat hati-hati. Tubuhnya bahkan menunduk sedikit sarat akan segan dan tak mau ambil resiko. Sejenak, dia menilik ke seluruh ruangan dengan desain elegan yang dominan hitam putih itu, memastikan bahwa tidak ada alasan untuk takut dipanggil bosnya itu. "Oh, hai Arika!" Seruan Johan malah membuat gadis yang seperti kelinci ketakutan itu terlonjak. Suara bariton Johan dan tubuh tegapnya mendekati gadis itu dengan langkah yang sangat teratur. Sangat persis sekali dengan perawakan Tom Lembong tapi ini versi yang tidak lembut. "Apa kabar?" tanyanya lagi, membuat si gadis menggigit bibir bawahnya. "Bapak ada perlu apa, y
Waktu yang berjalan mengiringi kehidupan manusia selalu memberikan kesan yang berbeda-beda dari satu masa ke masa. Kenangan indah atau kenangan yang tidak pernah diinginkan pun akan hadir untuk mengisi perjalanan usia. Tinggal manusia saja yang perlu menentukan arah; mau meninggalkannya di waktu dia mendapatkannya atau terus membawanya sampai tumbuh dewasa? Arika mengembuskan napas dalam dan duduk lagi di kubikel miliknya. Berjarak dua kubikel ke kanan, Fatina sedang mencuri-curi kesempatan untuk berbicara kepada sahabatnya. Akan tetapi, nihil adanya karena Arika kembali serius dengan laptop dan kerjaannya. Sepertinya kesempatan untuk ngerumpi harus ditunda dulu sampai waktu istirahat tiba. Untungnya tinggal tiga jam. Gawai Arika berdering saat dia hendak memindahkan file yang ada di benda itu ke laptop. Sengaja dia tidak mengunggahnya ke penyimpanan awan agar tidak gagal muat kalau internet sedang tidak mendukung. Terkesan sedikit ribet namun dia lebih menyukai cara klasik nan me
Kejutan di hidup bisa saja membuatmu bahagia. Tapi tak satu juga yang mendapatkan kejutan yang lebih menyusahkan. Tergantung dari sudut pandang mana kamu melihatnya. Arika sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk di kubikelnya. Sudah hampir sebulan pekerjaan itu tidak disentuh olehnya sama sekali. Sungguh keterlaluan nasib di dunia ini. Bukan hanya dia yang terlahir jablay ternyata pekerjaannya pun juga. Ah, lebih tepatnya dia bukan jablay, tapi jomlo. Lalu Pandu? Seperti yang dia katakan kepada Fatina, dia masih tidak percaya dengan pernikahan mereka. Di kepalanya, semua itu tidak masuk akal. Sudahlah, dia harus serius lagi mengerjakan tumpukan kertas dan file yang ada di foldernya. Tidak lama setelah itu, dia baru saja menyelesaikan tiga pekerjaan utama untuk memindah ilustrasi yang diminta para klien ke dalam galeri bersama. Masih ada pekerjaan yang lain yang membutuhkan tenaga dan konsentrasinya. Akan tetapi hari tenang pasti sudah dihapuskan dari kalender hidupnya. Dengan la
Terlalu lama berapa pada pusaran waktu dengan orang-orang yang sama kadang membosankan. Akan tetapi manusia selalu mempunyai rasa rindu jika sudah keluar darinya. Yang parah, jika mereka malah tenggelam dan tak bisa menyelamatkan diri dari hal tersebut. Arika memasuki lantai tiga, tempat dia bekerja dahulu. Dia berjalan di antara kubikel yang berjajar. Tidak seperti perkantoran biasa yang memiliki kubikel sempit, kantornya menyediakan kubikel yang cukup leluasa dan nyaman. "Arika?" Seseorang memanggil namanya. Arika pun menoleh dan mendapati Fatina yang berdiri di depan pintu ruang rapat. Segera, mereka berdua saling menghampiri. "Kangen banget." Arika memeluk Fatina dengan erat. Begitu juga dengan Fatina yang membalas pelukan itu dengan tak kalah eratnya. Melepas rindu memang momen yang membahagiakan serta mengharukan. "Gila. Kenapa lo enggak nelepon gue sih?" tanya Fatina dengan nada jengkel. Dia sedikit menggeplak pundak temannya. Namun seketika dia membelalak dan menark ta
Manusia sering menganggap remeh sesuatu yang telah dimilikinya. Mereka berpikir bahwa hal itu tidak akan bisa lenyap dari genggaman tangan. Namun bukan begitu cara semesta bekerja. Maka dari itu kita mengenal kata sakral yang sangat menyakitkan yang bernama kehilangan. Arika hanya diam saat para pelayan mendatanginya untuk menawarkan tempat duduk. Dia kesal. Duduk di atas anak tangga teras begini saja dijadikan masalah. Padahal dia belum merasa memiliki semua ini seutuhnya. Ya, sama dengan keraguannya tentang pernikahan mereka. Semua terdengar seperti dongeng. Para pelayan itu menjauh saat Pandu keluar dan menghentikan langkahnya di sebelah Arika. "Berdirilah. Kamu enggak mau, kan, terlihat seperti gembel dengan baju mahal begitu?" Arika tidak menjawab dan tetap duduk. Malas sekali memerespons ucapan lelaki yang sok berkuasa. Kalau bukan karena kepentingan perjanjian pasca nikah itu, mungkin dia sudah kabur saja dari rumah ini. "Arika, jaga sikapmu. Banyak pelayan yang melihat
Kadang jebakan dalam hidup tidak hanya untuk menjatuhkanmu. Akan tetapi terkadang ia juga menyelamatkanmu dari jebakan yang lebih mematikan. Arika sudah rapi dengan setelan kantoran semi kasualnya. Dia sudah memakai riadan tipis dan wajahnya terlihat sangat segar pagi ini. Akan tetapi pikirannya masih saja berputar pada ucapan Pandu kemarin malam bahwa mereka akan berangkat bersama.Gadis itu melihat wajahnya di cermin. Dia sendiri saja masih ragu dengan hubungannya bersama Pandu. Dia sengaja tidak mempermasalahkan pernikahan mereka lagi hanya karena menghindari konflik. Selagi dia dibiarkan berada di kamar sendiri dan privasinya terjaga dengan baik, dia tidak akan protes. Toh selama ini Pandu tidak menjamahnya. Dugaannya semakin kuat bahwa mereka hanya sedang bersandirwara menjadi sepasang suami istri.Namun, selagi semua yang dia dapatkan bisa menguntungkan dirinya, bersandiwara pun tidak jadi masalah. Dia malah akan melayani dengan senang hati, mau sampai mana Pandu membawa sandiw