Home / Romansa / We Are Not Lovers / Dijebak di Pesta Rancangan Sendiri?

Share

We Are Not Lovers
We Are Not Lovers
Author: Lily Arriva

Dijebak di Pesta Rancangan Sendiri?

Author: Lily Arriva
last update Last Updated: 2025-05-05 12:13:46

Terkadang, lelah yang dipikul oleh badan tidak sebanding dengan lelah yang dipikul oleh hati.

Itulah yang Arika rasakan sekarang. Dia menyibukkan diri untuk mengecek setiap sudut ruangan aula hotel bintang lima yang terkenal di Sidoarjo itu. Dia tidak ingin ada yang terlewat sama sekali. Sudah tugasnya juga sebagai penanggung jawab acara untuk memastikan keberlangsungan acara dengan baik.

Lebih lagi, acara ulang tahun yang dia pegang kali ini bukan acara ulang tahun orang sembarangan. Dia sudah diwanti-wanti oleh bosnya untuk bekerja dengan sesempurna mungkin. Keluarga Baskara adalah keluarga terpandang di kota, sepupu dari keluarga Anggari. Mereka lebih vokal daripada keluarga Anggari jika ada kesalahan barang sedikitpun.

Arika memanggil salah satu petugas acaranya. "Semua minuman, makanan ringan, hingga hidangan manis sudah siap?"

Jaka, lelaki kepercayaan Arika, mengangguk. "Beres."

"Sip."

Untungnya, konsep yang diinginkan oleh pemilik acara tidaklah ribet, sama seperti acara pesta orang kaya pada umumnya yang mengedepankan kemewahan dan kesan elegan. Arika sudah handal dengan itu.

Gawai Arika bergetar panjang, tanda ada panggilan masuk. "Halo."

"Kamu udah di acara?" tanya seseorang di seberang sana.

"Udahlah. Masa iya aku mau nelat. Orang aku yang pegang acaranya."

"Sesore ini? Gila. Kamu niat banget mau urusin acara orang, hah? Kamu lagi niat banget atau niat mau kabur aja? Ini si Amar nodong aku buat ketemu kamu." Dia adalah Fatina, teman kantor sekaligus teman curhat.

"Bodoh amat. Cemplungin aja dia ke kali. Jadi orang sukanya porotin adiknya mulu." Arika jengah. Inilah alasan utama dia ingin cepat-cepat ke venue acara. Dia tidak mau bertemu dengan kakaknya meski lelaki itu adalah kakak kandungnya sendiri.

Arika mematikan gawainya. Dia tidak ingin diganggu. Dia benar-benar ingin fokus dalam acara ini dan mendapatkan reward lebih dari bosnya sesuai dengan kesepakatan. Ada beberapa barang yang belum dia beli yang termasuk dalam daftar pengeluaran bulanannya.

"Bu Arika?" sapa seorang paruh baya dengan menepuk pundak gadis itu pelan.

Arika menoleh kemudian mengangguk. Senyumnya merekah profesional. "Iya. Saya sendiri.

"Salah satu anggota keluarga Baskara ingin bertemu dengan Anda. Saya adalah salah satu manager mereka. Silakan ikuti saya."

Mendengar kata 'Keluarga Baskara', membuat Arika langsung percaya saja tanpa mempertanyakan lain-lain. Dia mengikuti wanita itu ke sebuah ruangan di lantai dua setelah memasrahkan kepengurusan acara kepada Jaka.

Di dalam ruangan, ada seorang lelaki dengan setelan rapi sedang menghadap ke arah jendela. Di tangannya ada gelas berisikan air oranye yang disangka Arika sebagai jus jeruk.

"Ini dia EO-nya, Pak." Wanita itu segera melangkah pergi, memberikan ruang untuk Arika dan lelaki asing yang katanya dari keluarga Buono itu.

"Namamu siapa?" Lelaki itu bertanya.

"Pangil saya Arika."

Lelaki itu mengangguk, entah untuk apa. Wajahnya begitu serius dan tatapannya sarat akan misterius.

"Kalau Anda?" tanya Arika memberanikan diri. Dia merasa harus ada kesetaraan di ruangan ini.

Anehnya, lelaki itu tidak langsung menjawab. Dia sedikit tersenyum, tampak sangat maskulin sekaligus tak mau disamakan.

"Kamu akan segera tahu."

Mendapatkan jawaban seperti itu, Arika langsung hilang respect. Dia jengah dengan para manusia yang terlihat sangat meninggikan diri dengan kedudukan dan harta yang dimiliki. Well, lelaki di depannya ini tidak diragukan lagi mempunyai dunia di tangannya. Semua itu terlihat dari cara dia berbicara dan bergerak.

"Kalau tidak ada yang dikatakan lagi, saya akan kembali ke aula. Maaf kalau lancang, saya yakin Anda adalah salah satu keluarga inti dari yang punya acara nanti. Apa ada yang ingin Anda minta untuk acara nanti?" Sekedar basa basi. Arika hanya ingin tahu sejauh mana kesombongan lelaki di hadapannya ini.

Lelaki itu tediam sejenak, menatap lurus ke Arika. "Hati-hatilah. Nanti malam mungkin akan menjadi pesta yang kacau." Lalu dia tertawa, merasa bisa membuat suasana ruangan menjadi tegang.

Geram, Arika mengepalkan telapak tangannya. Tanpa kata lagi, dia meninggalkan ruangan itu dan kembali ke aula.

"Gak jelas. Mana sombong banget. Ngeselin." Arika mendumel sambil bergabung dengan Jaka yang sedang menata minuman soda di meja yang sudah ditata sedemikian rupa di aula.

"Kenapa, Bos?" tanya Jaka yang merasa ada sesuatu aneh menimpa Arika.

"Udah bener berarti aku minta ditambah gajiku buat ngurus ulang tahun keluarga ini. Orangnya aneh-aneh."

Jaka malah tertawa. "Bukannya karena kamu sudah terbiasa komunikasi sama orang-orang kayak gitu, ya, si Bos besar pilih kamu untuk ini?"

Arika memutar bola matanya. "Bodoh amat. Yang penting acara ini selesai dengan baik dan aku dapat cuan lebih."

"Habis itu kita makan enak, kan?" Jaka memancing. Alisnya dinaik-turunkan.

"Kita? Gue aja keles."

Jaka tertawa lepas. Reaksi dari temannya ini memang tidak mengecewakan.

"MC udah dateng?"

"Udah tadi. Nanti keluarga besarnya bakalan dateng jam enam, katanya. Aku jamin acara ini bakalan sempurna."

Arika mengangguk. Dia juga berharap begitu. Tak apa dia kelelahan mengurus ulang tahun keluarga kaya ini yang banyak permintaan. Setidaknya ini adalah salah satu cara bagi dirinya untuk mengalihkan diri dari kelelahan hakikinya. Masalah dengan keluarganya lebih melelahkan daripada ini.

Sejenak, Arika mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Semuanya sudah siap. Ada waktu sejenak untuk bersanti sebelum nanti dia jadi manusia super sibuk saat acara sudah dimulai.

"Santai dulu gak sih?" Arika duduk di salah satu kursi. Dia berisyarat kepada Jaka untuk diambilkan minuman soda.

Jaka tidak keberatan. Dia tahu kalau Arika juga perlu istirahat sejenak agar saat acara dimulai bisa bekerja lebih optimal. Dia pun meminta bantuan karyawan EO yang lain untuk membuka botol. Setelah botol terbuka, dia memberikannya ke Arika.

"Dimintai tolong malah minta tolong." Arika agak menyindir.

Jaka hanya terkekeh dalam menanggapinya. Dia juga ikutan duduk di kursi sebelah Arika.

Seteguk. Dua teguk. Tiga teguk.

Arika merasakan ada yang aneh dengan tenggorokannya. Dia melihat ke arah botol soda yang di tangannya. Bahkan dia sampai mengangkat botol itu setara dengan wajahnya. "Ini soda kuat banget? Nyegrak, sumpah."

Jaka mengedikkan bahu. "Gak tahulah. Orang aku enggak pernah minum soda dari kecil. Gak dibolehin sama emakku."

Arika terbatuk beberapa kali demi melonggarkan kerongkongannya. Tapi, dia tidak kapok untuk meminum soda tersebut. "Kalau kayak gini, para tamu bakalan suka enggak sama minumannya?"

"Lah, yang request minuman soda merek ini siapa?"

"Ya, keluarganya juga sih."

"Ya udah. Di luar tanggung jawab kita."

Arika mengangguk. Benar juga apa yang dikatakan oleh Jaka. "Aku ke toilet dulu, ya. Aku serahin acaranya ke kamu kalau aku belum balik."

Jaka mengangkat jempol tangannya.

Arika buru-buru ke toilet. Dia merasa sangat ingin buang air kecil. Kerongkongannya juga terasa sangat panas. Namun baru saja sampai di lorong menuju toilet, kepalanya tiba-tiba terasa sangat berat. Bahkan tubuhnya mulaii terhuyung, tidak bisa berdiri tegak.

Sedetik kemudian, tubuh Arika ambruk di atas lantai, pingsan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • We Are Not Lovers   Lelaki Yang Mempunyai Dua Sisi

    Pandu memandang hidangan yang ada di atas meja di hadapannya. Hanya ada satu piring dengan menu pakai sejumput nasi. Sisanya ada bergelas-gelas smoothie. Dia menatap tak percaya ke arah Arika. Gadis itu masih memasang muka betenya. "Wah, ternyata kayak gini caranya kamu ngabisin duit? Kurang enggak, sih?" Pandu mencoba untuk membuka pembicaraan dengan Arika setelah semua pergi dan meninggalkan dirinya dengan gadis itu di balkon. Masalahnya, meski sedang berada di ruangan terbuka, atmosfer sekitar mereka seperti di ruangan pengap tanpa jendela. "Kalau kamu cuma mau mengejekku, mendingan kamu lompat aja lewat pagar itu." Arika menyuap nasinya dan tidak memedulikan ucapan Pandu. Dia anggap saja lelaki itu tidak ada. "Enggak ada kata makasih atau semacamnya, nih?" Pandu masih mencari bahan untuk bisa berbicara dengan leluasa bersama Arika. Sungguh setelah cekcok di ruang baru mereka tadi dan aksi sok tangguh Pandu, rasanya ketika bersama seperti ini adalah berada dalam selimut cang

  • We Are Not Lovers   Saudara atau Hama?

    "Seharusnya kamu bela aku sebagai wanita yang harus dilindungi saat dilecehkan seperti itu." Arika berhadapan dengan Dimas yang tadinya berdiri di lorong. Dimas diam. Percuma saja kalau dia menjawab. Jawabannya pasti salah semua dan dia mendapatkan nilai minus karena nol nilainya lebih besar untuk ukuran seorang wanita yang sedang marah. Dia harus banyak bersabar menghadapi keluarga ini. Bagaimanapun sumber uangnya juga dari mereka. "Aku mau ruangan di pojok sana. Kalau Pandu tidak setuju, bilang saja ke dia kalau bukan aku yang menempatkan diriku sendiri di posisi ini." Arika langsung pergi setelah mengatakan hal itu dengan tegas dan tanpa ada jeda. Dimas hanya mengangguk paham. Tak selang beberapa detik, Pandu keluar dari balik pintu ruangan luas itu. Dimas mengangkat kedua alisnya kepada tuannya. "Anda pasti dengar apa yang barusan diucapkan oleh Nyonya Arika, kan?" Pandu mengangguk. "Lakukan apa yang dia mau. Kasihan juga dari tadi dia harus marah-marah." "Itu juga karen

  • We Are Not Lovers   Drama Ruangan Baru

    Arika meninggalkan ruangan Johan dengan hati yang tidak sepenuhnya bisa menerima apa yang baru saja dikatakan oleh bosnya. Bahkan dia malah jadi dongkol sekali. Hatinya sudah seperti sekerat daging yang sedang dipanggang di atas kayu menyala. Panas. "Kenapa kamu nurut aja, sih, sama si Pandu?" tanya Arika yang sudah kelewat kesal. "Ah, kamu kuasa hukumnya dan emang udah kerjaan kamu buat melaksanakan apa yang Pandu mau. Oke. Aku yang kurang tanggap." Dimas yang tadinya akan menjawab dengan jawaban senada pun akhirnya menutup mulutnya kembali. Arika sudah menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya. Sungguh berjalan di belakang Arika sekarang terasa lebih menyeramkan ketimbang saat berjalan mengawal Pandu. Bahkan Dimas harus menarik napas sedikit dalam berkali-kali. Langkah Arika begitu cepat dan derap kaki gadis itu seakan bisa menghancurkan marmer di bawahnya. Dimas menekan tombol lift untuk membuka pintunya. Kemudian dia memosisikan diri lagi di belakang Arika. "Lama ba

  • We Are Not Lovers   Sisi Yang Tak Diketahui Oleh Arika

    Nyatanya, Tuhan tidak membiarkan manusia untuk tahu segalanya. Bukan menjadikan sebuah ketidaktahuan sebagai alasan untuk dicela. Akan tetapi, terkadang lebih baik tidak tahu daripada tahu segalanya dan tak bisa sembuh dari luka. Ilmu terbatas juga sebuah anugerah, sama seperti ketika manusia bisa dan lekat dengan kata 'lupa'. Arika membuka pintu ruang kerja Johan dengan sangat hati-hati. Tubuhnya bahkan menunduk sedikit sarat akan segan dan tak mau ambil resiko. Sejenak, dia menilik ke seluruh ruangan dengan desain elegan yang dominan hitam putih itu, memastikan bahwa tidak ada alasan untuk takut dipanggil bosnya itu. "Oh, hai Arika!" Seruan Johan malah membuat gadis yang seperti kelinci ketakutan itu terlonjak. Suara bariton Johan dan tubuh tegapnya mendekati gadis itu dengan langkah yang sangat teratur. Sangat persis sekali dengan perawakan Tom Lembong tapi ini versi yang tidak lembut. "Apa kabar?" tanyanya lagi, membuat si gadis menggigit bibir bawahnya. "Bapak ada perlu apa, y

  • We Are Not Lovers   Masa Lalu Yang Melekat

    Waktu yang berjalan mengiringi kehidupan manusia selalu memberikan kesan yang berbeda-beda dari satu masa ke masa. Kenangan indah atau kenangan yang tidak pernah diinginkan pun akan hadir untuk mengisi perjalanan usia. Tinggal manusia saja yang perlu menentukan arah; mau meninggalkannya di waktu dia mendapatkannya atau terus membawanya sampai tumbuh dewasa? Arika mengembuskan napas dalam dan duduk lagi di kubikel miliknya. Berjarak dua kubikel ke kanan, Fatina sedang mencuri-curi kesempatan untuk berbicara kepada sahabatnya. Akan tetapi, nihil adanya karena Arika kembali serius dengan laptop dan kerjaannya. Sepertinya kesempatan untuk ngerumpi harus ditunda dulu sampai waktu istirahat tiba. Untungnya tinggal tiga jam. Gawai Arika berdering saat dia hendak memindahkan file yang ada di benda itu ke laptop. Sengaja dia tidak mengunggahnya ke penyimpanan awan agar tidak gagal muat kalau internet sedang tidak mendukung. Terkesan sedikit ribet namun dia lebih menyukai cara klasik nan me

  • We Are Not Lovers   Bosnya Bos

    Kejutan di hidup bisa saja membuatmu bahagia. Tapi tak satu juga yang mendapatkan kejutan yang lebih menyusahkan. Tergantung dari sudut pandang mana kamu melihatnya. Arika sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk di kubikelnya. Sudah hampir sebulan pekerjaan itu tidak disentuh olehnya sama sekali. Sungguh keterlaluan nasib di dunia ini. Bukan hanya dia yang terlahir jablay ternyata pekerjaannya pun juga. Ah, lebih tepatnya dia bukan jablay, tapi jomlo. Lalu Pandu? Seperti yang dia katakan kepada Fatina, dia masih tidak percaya dengan pernikahan mereka. Di kepalanya, semua itu tidak masuk akal. Sudahlah, dia harus serius lagi mengerjakan tumpukan kertas dan file yang ada di foldernya. Tidak lama setelah itu, dia baru saja menyelesaikan tiga pekerjaan utama untuk memindah ilustrasi yang diminta para klien ke dalam galeri bersama. Masih ada pekerjaan yang lain yang membutuhkan tenaga dan konsentrasinya. Akan tetapi hari tenang pasti sudah dihapuskan dari kalender hidupnya. Dengan la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status