Share

Bab 2

Mereka tidak banyak bicara ketika mereka meninggalkan tempat pesta. Adelio mengarahkannya pada trotoar di sepanjang jalan.

"Kemana kita akan pergi?" Tanya Rosalind, memecah keheningan setelah satu atau dua menit.

"Ke tempatku."

Sepatu hak tinggi milik Rosalind tersandung dengan sembrono di tepi jalan kemudian dia berhenti. "Kita pergi ke rumahmu?"

Adelio berhenti dan melihat ke belakang, jas hitamnya berkibar di sepanjang tubuhnya, pahanya terlihat lebih kuat dari pagar besi di sekitaran mereka. 

"Ya, kita akan pergi ke rumahku." Kata Adelio dengan lembut namun dengan nada yang mengancam.

Rosalind mengerutkan dahinya. Adelio jelas-jelas sedang menertawakannya. 'Aku sangat senang bila aku dapat menghiburmu.' Bisiknya dalam hati.

Adelio menarik nafas dan memandang ke arah sebuah danau kecil di dekat kami yang hanya terhalang oleh sebuah dinding pembatas yang sengaja di bangun tidak terlalu tinggi agar orang-orang bisa menikmati pemandangan danau. Adelio terlihat jengkel pada gadis di depannya dan mencoba untuk terlihat tenang.

"Aku bisa melihat kalau kau merasa tidak nyaman, tapi kau bisa memegang kata-kataku, ini semua hanya untuk pekerjaanmu. Tidak lebih. Pemandangan yang akan kau lukiskan untukku dari tempatku tinggal. tentu saja kamu bisa tidak percaya kalau aku tidak mungkin menyakitimu. Tapi semua orang dalam ruangan itu melihat kita berjalan keluar bersama."

Adelio tidak perlu mengingatkannya. Rasanya seolah semua mata di tempat itu menatap mereka ketika mereka pergi.

"Apakah aku harus bekerja di tempatmu?" Tanya Rosalind dengan penuh waspada.

"Apartemenku sangan luas," Kata Adelio dengan nada bosan. "Kalau kau suka, kau tidak perlu melihatku setiap harinya."

Rosalind terkejut dengan jawabannya. 

"kau akan mengerti ketika kau melihat pemandangannya." Lanjut Adelio.

Adelio tinggal di sebuah apartemen dengan bangunan bergaya eropa klasik dan elegan, bangunan dengan tembok abu-abu ini terlihat cocok untuknya. Rosalind tidak terkejut ketika Adelio berkata kalau tempat tinggalnya ada dua lantai. 

Pintu lift pribadi terbuka lebar dan Adelio masuk tanpa suara, dia menahan pintu lift itu agar Rosalind bisa masuk mengikutinya. Setelah pintu tertutup Adelio menekan tombol ke lantai sebelas.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempatnya, karena lift itu langsung mengarah ke dalam rumah Adelio setelah dia memasukan beberapa sandi keamanan.

Rosalind masuk ke tempat yang ajaib. Perabot yang bagus dan mewah terlihat di mana-mana. Pintu masuknya di atur sederhana namun elegan. Dia melihat bayangan dirinya pada sebuah cermin antik. Rambut hitam panjangnya sedikit berantakan dan pipinya sedikit berwarna merah karena terkena angin dingin, tapi dia mulai khawatir dari akibat kebersamaanya dengan Adelio Carlos. 

Kemudian dia teringan tentang karya seninya, dan melupakan segalanya. Dia mengikuti Adelio turun ke bawah menuju ke ruangan depan yang luas yang juga berfungsi sebagai galeri kecil, mulitnya menganga ketika dia melihat beberapa lukisan, beberapa terlihat baru untuknya, beberapa adalah karya besar dari pelukis yang dia tahu.

Rosalind berhenti di samping sebuah patung yang terletak tidak jauh dari jalan masuk sebuah replika yang terkenal dari Yunani kuno.

"Kau suka?" Tanya Adelio dengan nada yang begitu intens.

Roslaind mengangguk dengan penuh kekaguman dan kembali berjalan. 

"Aku baru membelinya beberapa bulan lalu. sangat sulit di dapatkan." Kata Adelio.

"Aku suka lukisan ini." Kata Rosalind menunjuk pada sebuah lukisan yang di ciptakan oleh seorang seniman yang dia tahu di depan mereka berdiri sekarang. Dia melihat kembali pada Adelio, dan tiba-tiba tersadar kalau beberapa menit sudah terlewati dengan percuma dan dia merasa seolah dia sedang berjalan sambil tidur dalam suasana yang menenangkan di apartemen Adelio.

"Aku tahu. Kau menyebutnya di biodatamu pada surat lamaran untuk perlomboaan."

"Aku tidak percaya kau akan membacanya." Jawab Rosalind.

"Kenapa kau tidak percaya?" Tanya Adelio dengan suara yang rendah. 

Rosalind memandang sekilas padanya. Lukisan yang dia sukai di lukis di atas kanvas kecil tepat berada di depannya.

"Entahlah, kau sudah memilihku." Jawab Rosalind gugup. Dia menelan ludah untuk membersihkan tenggorokannya. 

Adelio membuka jasnya. Wangi tubuhnya tercium sangat kuat oleh Rosalind. 

"Kau sepertinya... sangat suka bertanya." Kata Rosalind pelan, seolah seperti dia sedang berbisik. Berdua dengan Adelio di ruangan yang sama perlahan membuatnya melupakan siapa dirinya.

"Kau benar." Kata Adelio. "Aku tidak suka kecerobohan. Tapi bukankah pelukisnya adalah orang seperti itu?" Dia memandang pada lukisan. "Arti dari lukisan ini adalah kekacauan. Benarkan?"

Mulut Rosalind menganga. Dia tidak pernah mendengar penjelasan mengenai karya pelukis ini dengan begitu detail.

"Kau benar." jawabnya pelan.

Adelio memberikannya sebuah senyum kecil. Bibirnya menarik sebuah senyum. Dagunya yang kokoh. Juga tubuhnya yang terliah kuat. 

"Apakah telingaku yang salah mendengar atau kau baru saja membenarkan perkataanku, Rosalind?"Adelio berbisik dan kembali memandang lukisan di depannya. Dia merasakan panas di paru-parunya.

"Kau benar. Kau memiliki selera seni yang tinggi." Rosalind mengambil resiko dengan menatap sekilas ke samping.

Adelio menatapnya dengan mata yang gelap. "Biarkan aku bantu membuka jaketmu." Kata Adelio sambil mengurulkan tangannya.

"Tidak." Pipi Rosalind memanas ketika nada suaranya membesar. Kesadaran dirinya hilang karena ketertarikannya pada Adelio.

Tangan Adelio berada di sekitarnya. "Aku akan mengambilnya." 

Rosalind membuka mulutnya untuk berdebat, tapi terhenti ketika dia sadar kalau tatapan Adelio menguncinya dan sedikit mengangkat alisnya. Rosalind memberinya pandangan pura-pura jengekel dan membuka jaketnya pada Adelio. udara terasa begitu sejuk di sekitar bahu telanjangnya. Tatapan Adelio terasa hangat. 

"Ikut aku." Kata Adelio. Dia menaruh jaket Rosalind dengan rapi di sebuah sofa, kemudian membawa Rosalind turun ke lorong samping galeri di mana terdapat sebuah cahaya kekuningan. Dia membuka salah satu pintu masuk dan Mempersilahkan Rosalind masuk ke dalam.

Rosalind mengira akan melihat ruangan lain yang luar dan besar, namun ruangan ini justru lebih sempit dengan lantai yang bertingkat menuju ke sebuah jendela besar yang terdapat kain putih yang berkibar karena tiupan angin. Adelio tidak menyalakan lampu. Kamar itu adalah sebuah balkon sempit yang terdapat sebuah jendela tanpa kaca yang memantulkan cahaya pada danau di luar yang gelap.

Adelio berjalan ke arah jendela tanpa bicara dan Rosalind mengikutinya. 

"Pemandangan yang indah. terlihat hidup. Gedung.. dan lainnya." Kata Rosalind kagum dengan suara yang pelan.

Adelio memandangnya dan tersenyum. Rasa malu membanjiri Rosalind.

"Maksudku, Pemandangan ini terlihat seperti itu. aku pikir selalu seperti itu. Seperti memiliki jiwa. Nyawa. Terutama di malam hari seperti ini. Aku bisa merasakannya." Jelas Rosalind.

"Aku tahu kau bisa merasakannya. Itulah kenapa aku memilih lukisanmu." Jawab Adelio.

"Bukan karena kesempurnaan dari garis lurus dan barang tiruan?" tanya Rosalind.

"Tidak bukan itu." Jawab Adelio dengan tersenyum.

Perasaan senang memenuhi tubuh tubuh Rosalind. Adelio ternyata mengerti tentang karyanya. Dan dia akan memberikan sesuatu yang Adelio inginkan.

Rosalind memandang pada pemandangan yang mengagumkan di depannya. "Aku mengerti yang kamu maksudkan." katanya, suaranya bergetar penuh kegembiraan. "Aku tidak mengambil arsitektur selama satu setengah tahun, dan aku akan sangat sibuk dengan kelas seniku. AKu tidak akan memperhatikan buku-buku, atau mungkin aku tidak akan melihatnya lgi. Tapi, aku merasa malu karena tidak melihatnya sekarang." Kata Rosalind, melihat pada duua gedung paling terkenal yang dilapii garis hitam dan berbintik emas berkilauan terang. Rosalind menggelengkan kepalanya. "Kau membuat gedungmu terlihat begtu modern, bentuk yang sederhana dari arsitektur yang sempurna. Hebat." Kata Rosalind lagi.

Gedung milik Adelio sama sepertinya. Tegas dan kuat, elegan dengan gaya eropa modern. Rosalind tersenyum pada pemikirannya.

"kebanyakan orang tidak melihat pengaruhnya sampai aku menunjukan pemandangan ini." Kata Adelio.

"Kau jenius Adelio." Kata Rosalind jujur. Dia melihat ke arah Adelio dengan pandangan bertanya. "kenapa kau tidak menunjukan ini pada pers?"

"Karena aku tidak melakukannya untuk mereka, aku melakukannya untuk kesenanganku sendiri." 

Rosalind merasa terjebak oleh tatapan Adelio dan tidak memberikan tanggpan. 

Sebaliknya Adelio, tidak tahu mengapa kata0kata Rosalind menyebabkan sensasi berbeda padanya saat ini.

"Tapi aku senang, kalau kau juga senang." Kata Adelio. "AKu punya sesuatu yang lain untuk kutunjukan padamu."

"Benarkah?"

Adelio mengangguk lagi. Rosalind mengikutinya, senang bahwa Adelio tidak bisa melihat warna pipinya. 

Adelio membawanya ke sebuah kamar lain yang di kelilingi oleh lemari buku hitam. Adelio berhenti di belakang pintu, melihat reaksi Rosalind yang memandangnya dengan penuh curiga. Tatapan Rosalind berhenti dan mengunci tatapannya ke arah lukisan diatas perapian. Dia membeku. Tanpa sadar dia juga berjalan ke arah lukisan itu dan mengetahuinya kalau itu adalahnya karyanya.

"Kau membeli ini dari Atlas?" Bisik Rosalind. 

Billi Atlas adalah teman sekamarnya yang juga aalah seorang pemilik galeri. Rosalind menatap lukisan itu, ini adalah lukiran pertamanya yang berhasil terjual. Dia bersikeras memberikannya pada Billi sebagai jaminan atas pinjamannya satu setengah tahun lalu, ketika dia terpuruk dan tidak memiliki apa pun sebelum pindah ke kota ini.

"Ya." Jawb Adelio, suaranya terdengar dari samping Rosalind.

"Billi tidak pernah mengatakannya."

"Aku meminta Evan membelinya untukku. Galeri mungkin tidak akan pernah tahu siapa sebenarnya yang membeli lukisan ini."

Rosalind menelan ludah dan pandangannya beralih pada gambaran seorang pria penyendiri yang berjalan di tengah taman di pagi buta. Dia merasakan tatapan tajam dari pria yang berdiri di sampingnya. Dia melihat ke arah Adelio dan tersenyum. Sangat memalukan bagunya karena tanpa sadar air mata tergenang di matanya. Dia menyeka matanya. Semua ini membuatnya sangat tersentuh, melihat lukisannya ada di dalam rumah Adelio.

"Aku pikir lebih baik aku pulang," Kata Rosalind. 

Hatinya mulai bergemuruh dalam keheningan.

"Mungkin itu yang tebaik."Kata Adelio pelan. Adelio berbalik dan terlihat lega atau karena menyesal ketika melihat Rosalindberjalan ke luar. Adelio mengikutinya. membisikan ucapat terima kasih ketika mengambilkan jaketnya, kemudian mereka berjalan menuju ke pintu keluar. 

Rosalind berusaha tenang ketika mencoba mengambil jaketnya dari Adelio. Rosalind menelan ludah dan berbalik membiarkan Adelio membantunya memakai jaket itu. Jari-jari Adelio menyapu pundaknya dan dengan lembut menarik rambutnya keluar jaket dan merapikan punggungnya. 

Rosalind tidak bisa menahan getaran dan menduga ini karena berasal dari sentuhan Adelio. "Warna yang sempurna." Bisik Adelio, tetap memegang rambutnya, mengimkan tanda bahaya dari kegelisahannya yang mulai naik.

"Aku akan menyuruh supirku, Hendrik mengantarmu pulang." Kata Adelio setelah beberapa saat. 

"Tidak." Jawab Rosalind. Dia tidak bisa bergerak. Seketika dia merasa lumpuh. Setiap sel dalam tubuhnya menegang dengan waspada. "Temanku akan datang untuk menjemputku sebentar lagi."

"Maukah kau datang ke sini untuk melukis?" tanya Adelio, suaranya terasa begitu dalam dan dekat hanya beberapa inci dari telinga Rosalind.

"Ya."

"Aku ingin kau memulainya hari senin, aku akan menyuruh Hendrik untuk menyediakanmu kartu tanda masuk dan password di liftnya. Semua yang kau butuhkan akan di sediakan ketika kau datang." Kata Adelio.

"Aku tidak bisa datang setiap hati. Aku punya beberapa kelas. Terutama di pagi hari dan aku bekerja sebagai pelayan dari jam tujuh pagi sampai tutup setiap hari minggu."

"Datang saja sebisamu. Yang penting kau mau datang."

"Ya, tentu saja." Kata Rosalind mengatur tenggorokanya yang serak. Adelio tidak melepaskan tangannya dari bahunya. 

Apakah Adelio tahu kalau jauntungnya berdetak kencang? Dia harus keluar dari sini. Sekarang. Dia harus membuang Adelio jauh-jauh dari pikirannya. Dia tiba-tiba bergerak menuju lift, tergesa-gesa menekan tombol di dinding. Dia berpikir untuk menekannya lagu, tapi dia salah. Pintu lift terbuka. "Rosalind?" Panggil Adelio ketika.

"Ya?" Dia berbalik.

Adelio berdiri dengan tangan di belakang punggungnya. "Sekarang kau punya jaminan keuangan. Aku lebih suka kau tidak berkeliling di jalanan di pagi hari untuk mencari inspirasi. Kau tidak pernah tahu apa yang mungkin akan kau hadapi. Itu berbahaya."

Mulut Rosalind melongo keheranan. Dia melangkah ke depan dan menekan tombol, membuat pintu tertutup. Pandangan terakhir yang dia lihat alaha tatapan dari wajah Adelio yang tenang. Detak jantungnya bergemuruh di telinganya. 

Dia melukisnya empat tahun yang lalu. Itulah yang akan dia katakan pada Adelio. Adelio tahu bahwa dia mengamatinya berjalan dalam kegelapan, jalan sepi pada malam hari sementara dunia sedang beristirahat dengan hangat di ranjang mereka.

Rosalind tidak menyangka dengan pikirannya saat ini, dia tidak tahu sampai dia melihat lukisan itu dan tidak di ragukan lagi. Adelio Carlos adalah pria dalam lukisan itu dan dia ingin Rosalind mengetahuinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status