Share

Bab 3

Adelio mengatur pikirannya agar Rosalind keluar dari otaknya selama beberapa hari penuh. Adelio pergi keluar kota dan menyelesaikan proyek aplikasi game. Setiap pekerjaan dan pertemuan-pertemuan menahannya di kantor hingga lewat tengah malam. Dan ketika dia sampai di tempat tinggalnya, suasananya menjadi suram dan sepi. 

Sulit untuk berbohong kalau Rosalind Prada tidak memenuhi pikirannya. Adelio dengan kejam mengaku pada dirinya sendiri ketika dia naik lift menuju tempat tinggalnya pada selasa malam. Dia tahu kalau Rosalind akan datang ke dunianya dengan cepat, seperti kilatan cahaya. Bahkan pengurus rumah tangga tanpa dosa memberinya kabar tentang pertemanannya dengan Rosalind. Adelio senang mengetahui kalau wanita tua itu bisa berteman dengan Rosalind, dia juga sesekali mengundang Rosalind ke dapur untuk minum teh bersama. Adelio juga senang mendengar kalau Rosalind merasa nyaman di rumahnya.

Dia bertanya pada dirinya sendiri, apa urusannya dengan semua ini. Lukisan itu satu-satunya hal yang dia inginkan, dan tentu saja kondisi tempat kerja yang juga memadai. Sekali lagi, dia mengatakan pada dirinya sendiri kalau dia sudah berbuat kasar pada Rosalind dengan mengabaikannya. Tentu saja berada di dekatnya juga membawa tekanan berlebihan padanya, membuat situasi lebih baik jika dia menjaga jarak. 

Kamis malam lalu Adelio pergi ke ruangan tempat Rosalind bekerja, bermaksud untuk bertanya apakah dia ingin bergabung dengannya untuk minum di dapur. Pintu sedikit terbuka, dan dia masuk tanpa mengetuk pintu. Selama beberapa detik, dia berdiri dan melihat Rosalind bekerja. Dia berdiri di atas tangga pendek, bekerja pada pojok kanan paling atas kanvas. Meskipun Adelio diam dan tidak mengeluarkan suara, Rosalind tiba-tiba berbalik dan membeku, memandang dengan pandangan terkejut pada Adelio, kuasnya tetap berada di atas kanvas. Terdapat goresan hitam di pipi lembutnya, dan bibir merah mudanya terpisah saat terkejut.

Adelio bertanya dengan sopan mengenai kemajuannya dan mencoba untuk tidak memperhatikan denyutan pada tenggorokannya atau di sekitar dada Rosalind. Saat bekerja tadi gadis itu melepas jaket dan memakai tank top ketat.

Setelha tiga puluh detik percakapan yang kaku, Adelio lalu pergi seperti pengecut. Adelio mengatakan pada dirinya sendiri untuk menyadari kalau gadis itu sangat natural dan cantik. Faktanya Adelio lupa akan sisi sensualitas dari Rosalind yang membuatnya terpesona. 

'Apakah dia hidup di dalam goa?' pikir Adelio. Tentu saja dia membuat para pria meneteskan air liur ketika dia berjalan.

Rosalind terlihat mempesona seolah pandangannya pada karyanya, atau ketika dia melihat keluar jendela pada langit atau ketika Adelio mencuri pandang padanya saat dia melukis, Rosalind benar-benar tersesat sepenuhnya dalam karyanya, kecantikan alami yang terlihat sangat jelas.

Adelio tiba-tiba berhenti di lorong. Tidak ada suara apa-pun yang berasal dari dalam rumahnya tapi dia tahu dan mengerti kalau Rosalind sedang bekerja di balkon khususnya. Adelio membayangkan, wajah cantiknya tegang penuh konsentrasi, matanya berkedip dengan cepat antara kuas dan pemandangan. Ketika Rosalind bekerja dia menjadi lebih muram. Semua kesadarannya hilang berganti bakat cerdas dan keanggunan yang tidak dia sadari. 

Sayangnya, Adelio cukup sadar akan kenaifannya. Dia praktis bisa menyadari itu di sekelilingnya. Kepolosannya bercampur dengan seksualitas menciptakan parfum yang memabukkan bagi Adelio. 

Mengerutkan dahi, Adelio melihat jam tangannya dan menarik keluar ponsel dari sakunya. Dia menekan beberapa tombol dan berjalan ke arah pintu masuk, berbelok ke arah kamarnya. Bersyukur atas keheningan tempat ini. Dia harus mengeluarkan Rosalind dari pikirannya. 

Sebuah suara menjawab panggilannya.

"Evan. Sesuatu yang penting sedang terjadi, bisakah kita bertemu jam 17.35?"

"Tentu saja. Aku akan menemuimu dalam empat puluh lima menit, kuharap kau akan kuat, karena aku sedang bersemangat." 

Adelio tersenyum masam ketika dia menutup pintu dan menguncinya. 

"Aku merasa sendang haus darah, kita lihat saja siapa yang akan kuat dan siapa yang tidak."

Evan tertawa ketika Adelio menutup telepon. Dia membawa tas kantor dan mengambil pakaian yang biasa dia gunakan dari dalam ruang ganti, mengambil sarung tangan dan pelindung kepala, celana dan jaket. Dia berbalik dan berjalan ke kamar mandi dan bersiap untuk latihan tinju. 

Kemudian, Adelio selesai berpakaian, dia mengatakan pada Rosalind dan pengurus rumah kalau dia ingin sendirian akhir minggu ini. Dia menelpon mereka. tentu saja. Jelas saja, dia memerlukan seorang wanita berpengalaman yang mengerti bagaimana memuaskannya kebutuhannya. 

Evan tidak berbohong. Dia dalam kondisi yang berani. Adelio mundur dari temannya yang lebih agresif, menangkis serangannya yang cepat, dengan santai menunggu untuk memperpanjang waktu agar Evan bisa mudah di serang. Adelio secara teratur latihan tinju dengan Evan yang selama dua tahun ini mengerti gaya hidupnya dan bagaimana emosinya berpengaruh pada pertarungan ini. 

Evan sangat berbakat, petarung yang pandai, tapi dia juga belajar mengetahui suasana hati Adelio yang berpengaruh pada caranya menyerang di ring. Mungkin itulah yang membantu Adelio dalam mengontrol emosinya dan bereaksi dari logika. 

Sore ini, Evan bergelora dengan energi yang bergejolak, lebih kuar dari biasanya, tapi tetap ceroboh. Adelio menunggu sampai dia melihat ada kemenangan di setiap sudut serangan Evan. Evan mengerti maksud lawannya, dengan akurat menangkis serangan ke dua, berniat untuk mengalahkan Adelio. Evan menggerutu dalam keputusasaannya ketika Adelio membalas serangannya dan menjatuhkannya.

"Kau bisa membaca pikiran, sialan." Evan menggerutu, Evan melepas pelindung kepalanya dan membuang pelindung giginya, rambutnya menyapu di sekitar dahinya. Adelio juga melepas pelindung kepalanya.

"Kau selalu mengatakan hal itu. Faktanya sederhana saja dan kau tahu itu."

"Sekali lagi." Tantang Evan bangun dan menatap Adelio.

Adelio tersenyum. "Siapa dia?"

"Siapa?"

Adelio memberinya pandangan bosan sambil membuka sarung tangannya. "Wanita yang membuat darahmu memompa seperti kambing yang panik."

Ekspresi Evan menegang, dan Adelio melihatnya. Adelio menghentikan aksinya dari membuka sarung tangannya yang lain. Dia mengerutkan keningnya. "Ada apa?"

"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu." Kata Evan dengan nada penuh tekanan.

"Apa?"

"Apakah pegawaimu diijankan untuk berkencan satu sama lain?"

"Hal itu tergantung pada posisi mereka. hal ini sangat jelas mengacu pada kontrak pegawai. manager dan direktur di larang berkencan dengan bawahannya, dan akan di pecat kalau ketahuan. meskipun tidak ada larangan. Tapi akan dibuat jelas pada kontrak jika ada hal yang merugikan yang datang dari hubungan itu untuk perusahaan, alasan pemberhentian yang pantas. Aku pikir kau tahu ini dalah kondisi yang buruk Evan. Apakah dia salah satu direktur?"

"Tidak."

"Apakah dia adalah manager?" Tanya Adelio sambil melepaskan sarung tangannya yang lain. 

"Aku tidak yakin. Bagaimana jika pegawai... menyimpang?"

"Menyimpang... seperti direktur restoran dengan manager dapartemen bisnis?" Tanya Evan dengan asam.

Evan ragu, kemudian mengangguk, wajahnya tidak dapat di baca. Mereka berdua terkejut ketika ketukan terdengar di pintu.

"Ya?" Tanya Adelio. Alisnya terangkat kerna kebingungan. Pengurus rumah biasanya tidak pernah mengganggunya selama dia sibuk. Pengetuhan tentang dia yang tidak mau di ganggu membantunya berkonsentrasi penuh di ring tinju. 

Adelio melihat dengan takjub ketika Rosalind masuk ke dalam ruangan. Rambut panjangnya terikat di belakang kepalanya. beberapa helai menyapu leher dan pipinya. Dia tidak memakai riasan, memakai jeans ketat, pakaiannya tampak agak berkeringat, dan sepasang sepatu abu-abu dan putih. Sepatunya bukan kualitas yang terbaik, tapi Adelio dengan cepat menghargainya karena itu adalah barang termahal uang dia pakai. pada bagian jaketnya yang terbuka, dia melihat garis tipis dari tank top. Bayangan tubuhnya yang gemulai yang tertutup pakiannya memenuhi pikiran Adelio. 

"Rosalind, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Adelio, tand asengaja suaranya menajam jengkel karena gambaran itu. Sebuah pikiran yang tidak dapat di kontrok. Dia berhenti beberapa tidak jauh dari ring. 

"Alin perlu bicara denganmu tentang sesuatu yang mendesak. kau tidak menjawab teleponmu, jadi dia menelpon ke rumah." 

Adelio mengangguk, memakai handuk di sekeliling lehernya untuk menyeka keringat di wajahnya. "Aku akan segera menghubunginya setelah mandi."

"Aku akan bilang padanya." kata Rosalind, berbalik dan keluar dari ruangan.

"Apa dia masih ada di telepon?" Rosalind mengangguk. 

"Ada sambungan telepon di sini. katakan padanya aku akan segera mengangkat teleponnya."

"Baiklah." Kata Rosalind. Dia menatap cepat pada Evan dan memberinya senyuman singkat sebelum keluar.

Sebuah kejengkelan menghantamnya ketika dia melihat ke arah Evan yang sedang menatapnya seolah dia sedang membentaknya.

"Rosalind." panggil Adelio membuat Rosalind berbalik. "Maukah kau kembali ke sini ketika kau sudah selesai menyampaikan pesan pada Alin? Kita belum memiliki kesempatan untuk bicara banyak minggu ini. Aku ingin mendengar kemajuanmu."

Rosalind terlihat ragu untuk bergerak selama beberapa detik. Pandangan Adelio jatuh pada dadanya, membuat dia terpaku. "Tentu. aku akan segera kembali." kata Rosalind sebelum melangkah keluar. Pintu menuju ruangan tertutup di belakangnya. 

Evan tersenyum ketika Adelio menatap ke arahnya. "Ketika aku mengunjungi Amerika mereka bilang kalau, seseorang yang memiliki tubuh yang tinggi, menarik tapi ingin tahu dari mana semua itu berasal."

Adelio melemparkan sarung tangannya. "jangan ikut campur." Katanya.

Evan terlihat terkejut. Adelio menatapnya dengan mata menyala. 

"Tunggu dulu... wanita yang kau bicarakan tadi bekerja untukku."

"Bukan Rosalind." Kata Evan cepat, matanya berkilat ketika dia memberi Adelio pandangan dari samping dan membuka lemari es untuk mengambil sebotol air. "menurutku lebih baik kau memakai saranmu sendiri tentang hubungan romantis antar perusahaan."

"Jangan aneh-aneh."

"Jadi kau tidak tertarik pada orang yang menarik itu?" Tanya Evan.

Adelio menyeka handuk pada lehernya. 

"Aku rasa aku tidak punya pegawai kontrak." Katanya, nadanya yang tajam memperjelas kalau percakapan telah berakhir.

"Aku pikir itu adalah tanda untuk pergi." Kata Evan dengan masam. "Aku akan menemuimu hari senin."

"Evan." Panggil Adelio. "Aku minta maaf karena sudah membentakmu." Kata Adelio.

Evan mengangkat bahu. "Aku tahu bagaimana rasanya. rasanya membuat pria sedikit lebih... lebih cepat marah."

Adelio tidak merespon, hanya melihat temannya berjalan pergi. Adelio berpikir mengenai apa yang Evan katakan tentang Rosalind mengenai seseorang yang tinggi dan menarik. Namun, dia tidak mengerti dari mana semua itu berasal. Adelio seperti benar-benar kehausan di padang pasir. 

Dia memandang hati-hati ke arah pintu masuk dan melihat Rosalind berjalan masuk ke dalam ruangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status