Adelio mengatur pikirannya agar Rosalind keluar dari otaknya selama beberapa hari penuh. Adelio pergi keluar kota dan menyelesaikan proyek aplikasi game. Setiap pekerjaan dan pertemuan-pertemuan menahannya di kantor hingga lewat tengah malam. Dan ketika dia sampai di tempat tinggalnya, suasananya menjadi suram dan sepi.
Sulit untuk berbohong kalau Rosalind Prada tidak memenuhi pikirannya. Adelio dengan kejam mengaku pada dirinya sendiri ketika dia naik lift menuju tempat tinggalnya pada selasa malam. Dia tahu kalau Rosalind akan datang ke dunianya dengan cepat, seperti kilatan cahaya. Bahkan pengurus rumah tangga tanpa dosa memberinya kabar tentang pertemanannya dengan Rosalind. Adelio senang mengetahui kalau wanita tua itu bisa berteman dengan Rosalind, dia juga sesekali mengundang Rosalind ke dapur untuk minum teh bersama. Adelio juga senang mendengar kalau Rosalind merasa nyaman di rumahnya.
Dia bertanya pada dirinya sendiri, apa urusannya dengan semua ini. Lukisan itu satu-satunya hal yang dia inginkan, dan tentu saja kondisi tempat kerja yang juga memadai. Sekali lagi, dia mengatakan pada dirinya sendiri kalau dia sudah berbuat kasar pada Rosalind dengan mengabaikannya. Tentu saja berada di dekatnya juga membawa tekanan berlebihan padanya, membuat situasi lebih baik jika dia menjaga jarak.
Kamis malam lalu Adelio pergi ke ruangan tempat Rosalind bekerja, bermaksud untuk bertanya apakah dia ingin bergabung dengannya untuk minum di dapur. Pintu sedikit terbuka, dan dia masuk tanpa mengetuk pintu. Selama beberapa detik, dia berdiri dan melihat Rosalind bekerja. Dia berdiri di atas tangga pendek, bekerja pada pojok kanan paling atas kanvas. Meskipun Adelio diam dan tidak mengeluarkan suara, Rosalind tiba-tiba berbalik dan membeku, memandang dengan pandangan terkejut pada Adelio, kuasnya tetap berada di atas kanvas. Terdapat goresan hitam di pipi lembutnya, dan bibir merah mudanya terpisah saat terkejut.
Adelio bertanya dengan sopan mengenai kemajuannya dan mencoba untuk tidak memperhatikan denyutan pada tenggorokannya atau di sekitar dada Rosalind. Saat bekerja tadi gadis itu melepas jaket dan memakai tank top ketat.
Setelha tiga puluh detik percakapan yang kaku, Adelio lalu pergi seperti pengecut. Adelio mengatakan pada dirinya sendiri untuk menyadari kalau gadis itu sangat natural dan cantik. Faktanya Adelio lupa akan sisi sensualitas dari Rosalind yang membuatnya terpesona.
'Apakah dia hidup di dalam goa?' pikir Adelio. Tentu saja dia membuat para pria meneteskan air liur ketika dia berjalan.
Rosalind terlihat mempesona seolah pandangannya pada karyanya, atau ketika dia melihat keluar jendela pada langit atau ketika Adelio mencuri pandang padanya saat dia melukis, Rosalind benar-benar tersesat sepenuhnya dalam karyanya, kecantikan alami yang terlihat sangat jelas.
Adelio tiba-tiba berhenti di lorong. Tidak ada suara apa-pun yang berasal dari dalam rumahnya tapi dia tahu dan mengerti kalau Rosalind sedang bekerja di balkon khususnya. Adelio membayangkan, wajah cantiknya tegang penuh konsentrasi, matanya berkedip dengan cepat antara kuas dan pemandangan. Ketika Rosalind bekerja dia menjadi lebih muram. Semua kesadarannya hilang berganti bakat cerdas dan keanggunan yang tidak dia sadari.
Sayangnya, Adelio cukup sadar akan kenaifannya. Dia praktis bisa menyadari itu di sekelilingnya. Kepolosannya bercampur dengan seksualitas menciptakan parfum yang memabukkan bagi Adelio.
Mengerutkan dahi, Adelio melihat jam tangannya dan menarik keluar ponsel dari sakunya. Dia menekan beberapa tombol dan berjalan ke arah pintu masuk, berbelok ke arah kamarnya. Bersyukur atas keheningan tempat ini. Dia harus mengeluarkan Rosalind dari pikirannya.
Sebuah suara menjawab panggilannya.
"Evan. Sesuatu yang penting sedang terjadi, bisakah kita bertemu jam 17.35?"
"Tentu saja. Aku akan menemuimu dalam empat puluh lima menit, kuharap kau akan kuat, karena aku sedang bersemangat."
Adelio tersenyum masam ketika dia menutup pintu dan menguncinya.
"Aku merasa sendang haus darah, kita lihat saja siapa yang akan kuat dan siapa yang tidak."
Evan tertawa ketika Adelio menutup telepon. Dia membawa tas kantor dan mengambil pakaian yang biasa dia gunakan dari dalam ruang ganti, mengambil sarung tangan dan pelindung kepala, celana dan jaket. Dia berbalik dan berjalan ke kamar mandi dan bersiap untuk latihan tinju.
Kemudian, Adelio selesai berpakaian, dia mengatakan pada Rosalind dan pengurus rumah kalau dia ingin sendirian akhir minggu ini. Dia menelpon mereka. tentu saja. Jelas saja, dia memerlukan seorang wanita berpengalaman yang mengerti bagaimana memuaskannya kebutuhannya.
Evan tidak berbohong. Dia dalam kondisi yang berani. Adelio mundur dari temannya yang lebih agresif, menangkis serangannya yang cepat, dengan santai menunggu untuk memperpanjang waktu agar Evan bisa mudah di serang. Adelio secara teratur latihan tinju dengan Evan yang selama dua tahun ini mengerti gaya hidupnya dan bagaimana emosinya berpengaruh pada pertarungan ini.
Evan sangat berbakat, petarung yang pandai, tapi dia juga belajar mengetahui suasana hati Adelio yang berpengaruh pada caranya menyerang di ring. Mungkin itulah yang membantu Adelio dalam mengontrol emosinya dan bereaksi dari logika.
Sore ini, Evan bergelora dengan energi yang bergejolak, lebih kuar dari biasanya, tapi tetap ceroboh. Adelio menunggu sampai dia melihat ada kemenangan di setiap sudut serangan Evan. Evan mengerti maksud lawannya, dengan akurat menangkis serangan ke dua, berniat untuk mengalahkan Adelio. Evan menggerutu dalam keputusasaannya ketika Adelio membalas serangannya dan menjatuhkannya.
"Kau bisa membaca pikiran, sialan." Evan menggerutu, Evan melepas pelindung kepalanya dan membuang pelindung giginya, rambutnya menyapu di sekitar dahinya. Adelio juga melepas pelindung kepalanya.
"Kau selalu mengatakan hal itu. Faktanya sederhana saja dan kau tahu itu."
"Sekali lagi." Tantang Evan bangun dan menatap Adelio.
Adelio tersenyum. "Siapa dia?"
"Siapa?"
Adelio memberinya pandangan bosan sambil membuka sarung tangannya. "Wanita yang membuat darahmu memompa seperti kambing yang panik."
Ekspresi Evan menegang, dan Adelio melihatnya. Adelio menghentikan aksinya dari membuka sarung tangannya yang lain. Dia mengerutkan keningnya. "Ada apa?"
"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu." Kata Evan dengan nada penuh tekanan.
"Apa?"
"Apakah pegawaimu diijankan untuk berkencan satu sama lain?"
"Hal itu tergantung pada posisi mereka. hal ini sangat jelas mengacu pada kontrak pegawai. manager dan direktur di larang berkencan dengan bawahannya, dan akan di pecat kalau ketahuan. meskipun tidak ada larangan. Tapi akan dibuat jelas pada kontrak jika ada hal yang merugikan yang datang dari hubungan itu untuk perusahaan, alasan pemberhentian yang pantas. Aku pikir kau tahu ini dalah kondisi yang buruk Evan. Apakah dia salah satu direktur?"
"Tidak."
"Apakah dia adalah manager?" Tanya Adelio sambil melepaskan sarung tangannya yang lain.
"Aku tidak yakin. Bagaimana jika pegawai... menyimpang?"
"Menyimpang... seperti direktur restoran dengan manager dapartemen bisnis?" Tanya Evan dengan asam.
Evan ragu, kemudian mengangguk, wajahnya tidak dapat di baca. Mereka berdua terkejut ketika ketukan terdengar di pintu.
"Ya?" Tanya Adelio. Alisnya terangkat kerna kebingungan. Pengurus rumah biasanya tidak pernah mengganggunya selama dia sibuk. Pengetuhan tentang dia yang tidak mau di ganggu membantunya berkonsentrasi penuh di ring tinju.
Adelio melihat dengan takjub ketika Rosalind masuk ke dalam ruangan. Rambut panjangnya terikat di belakang kepalanya. beberapa helai menyapu leher dan pipinya. Dia tidak memakai riasan, memakai jeans ketat, pakaiannya tampak agak berkeringat, dan sepasang sepatu abu-abu dan putih. Sepatunya bukan kualitas yang terbaik, tapi Adelio dengan cepat menghargainya karena itu adalah barang termahal uang dia pakai. pada bagian jaketnya yang terbuka, dia melihat garis tipis dari tank top. Bayangan tubuhnya yang gemulai yang tertutup pakiannya memenuhi pikiran Adelio.
"Rosalind, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Adelio, tand asengaja suaranya menajam jengkel karena gambaran itu. Sebuah pikiran yang tidak dapat di kontrok. Dia berhenti beberapa tidak jauh dari ring.
"Alin perlu bicara denganmu tentang sesuatu yang mendesak. kau tidak menjawab teleponmu, jadi dia menelpon ke rumah."
Adelio mengangguk, memakai handuk di sekeliling lehernya untuk menyeka keringat di wajahnya. "Aku akan segera menghubunginya setelah mandi."
"Aku akan bilang padanya." kata Rosalind, berbalik dan keluar dari ruangan.
"Apa dia masih ada di telepon?" Rosalind mengangguk.
"Ada sambungan telepon di sini. katakan padanya aku akan segera mengangkat teleponnya."
"Baiklah." Kata Rosalind. Dia menatap cepat pada Evan dan memberinya senyuman singkat sebelum keluar.
Sebuah kejengkelan menghantamnya ketika dia melihat ke arah Evan yang sedang menatapnya seolah dia sedang membentaknya.
"Rosalind." panggil Adelio membuat Rosalind berbalik. "Maukah kau kembali ke sini ketika kau sudah selesai menyampaikan pesan pada Alin? Kita belum memiliki kesempatan untuk bicara banyak minggu ini. Aku ingin mendengar kemajuanmu."
Rosalind terlihat ragu untuk bergerak selama beberapa detik. Pandangan Adelio jatuh pada dadanya, membuat dia terpaku. "Tentu. aku akan segera kembali." kata Rosalind sebelum melangkah keluar. Pintu menuju ruangan tertutup di belakangnya.
Evan tersenyum ketika Adelio menatap ke arahnya. "Ketika aku mengunjungi Amerika mereka bilang kalau, seseorang yang memiliki tubuh yang tinggi, menarik tapi ingin tahu dari mana semua itu berasal."
Adelio melemparkan sarung tangannya. "jangan ikut campur." Katanya.
Evan terlihat terkejut. Adelio menatapnya dengan mata menyala.
"Tunggu dulu... wanita yang kau bicarakan tadi bekerja untukku."
"Bukan Rosalind." Kata Evan cepat, matanya berkilat ketika dia memberi Adelio pandangan dari samping dan membuka lemari es untuk mengambil sebotol air. "menurutku lebih baik kau memakai saranmu sendiri tentang hubungan romantis antar perusahaan."
"Jangan aneh-aneh."
"Jadi kau tidak tertarik pada orang yang menarik itu?" Tanya Evan.
Adelio menyeka handuk pada lehernya.
"Aku rasa aku tidak punya pegawai kontrak." Katanya, nadanya yang tajam memperjelas kalau percakapan telah berakhir.
"Aku pikir itu adalah tanda untuk pergi." Kata Evan dengan masam. "Aku akan menemuimu hari senin."
"Evan." Panggil Adelio. "Aku minta maaf karena sudah membentakmu." Kata Adelio.
Evan mengangkat bahu. "Aku tahu bagaimana rasanya. rasanya membuat pria sedikit lebih... lebih cepat marah."
Adelio tidak merespon, hanya melihat temannya berjalan pergi. Adelio berpikir mengenai apa yang Evan katakan tentang Rosalind mengenai seseorang yang tinggi dan menarik. Namun, dia tidak mengerti dari mana semua itu berasal. Adelio seperti benar-benar kehausan di padang pasir.
Dia memandang hati-hati ke arah pintu masuk dan melihat Rosalind berjalan masuk ke dalam ruangan.
Rosalind menyesal melihat Evan memberinya lambaian yang ramah saat berjalan keluar ruangan ketika dia hendak akan masuk. Suasana bertambah berat ketika pintu tertutup di belakangnya dan tinggal dia sendiri bersama Adelio. Rosalind berhenti di tepi meja."Mendekatlah. Tidak apa-apa." Kata Adelio.Rosalind mendekatinya dengan hati-hati. Hal ini membuatnya merasa tidak nyaman untuk melihat ke arah Adelio. Wajah tampannya tenang, seperti biasa. Dia terlihat terganggu dengan memakai sepasang celana pendek dan kaus putih sederhana. Bajunya semakin ketat karena keringat di tubuhnya membuat tubuh kekarnya yang berotot semakin terlihat.Prioritasnya adalah bekerja untuk Adelio. Tapi, tubuhnya sangat indah. Rosalind mencoba mengabaikan bau harum yang keluar dari tubuh bersih, sabun rempah bercampur dengan keringat."Bagaimana kabarmu?" Tanya Adelio dengan sopan, suaranya yang tenang cocok dengan sinar matanya. Adelio selalu membuatnya bingung. Sep
Insting Rosalind mengatakan kalau bergaul dengan orang seperti Adelio Carlos bukanlah ide yang bagus. Dia tahu dia sudah keluar jalur setiap kali Adelio menatapnya dengan sinar yang misterius dari matanya. Bukankah Adelio pernah memperingatkannya dengan cara halus kalau dia berbahaya?Sekarang semuanya terbukti ketika Adelio menekannya ke dinding seolah ingin menyantapnya seperti Rosalind adalah makanan terakhirnya."Oh, kalian berdua ada di sana. Maafkan aku." Kata seseorang.Adelio mengangkat kepalanya menghentikan ciuman liarnya dan tatapan Rosalind terkunci dengan tatapannya. Adelio menggeser tubuhnya membuat Rosalind terhalang dari siapa pun yang datang."Ada apa?" Tanya Adelio tajam. Rosalind memandang sekeliling, bingung dengan apa yang sedang terjadi dan bagaimana bisa dia berakhir di ujung dinding dan berciuman dengan ganas bersama seorang Adelio Carlos.Sebuah langkah kaki berhenti. "maafkan aku. Ponselmu berdering tanpa henti di ruang ga
Rosalind duduk di meja dapur dengan murung memandang Billi sedang memanggang roti."Apa yang membuat suasana hatimu buruk? Bukankah suasana hatimu bersinar sejak kemarin? Apa kau masih bisa menyelesaikannya?" Tanya Billi, menunjuk pada kenyataan bahwa dia langsung pulang setelah kuliahnya kemarin dari pada pergi ke rumah Adelio untuk melukis."Tidak, aku baik-baik saja." Jawab Rosalind dengan senyum meyakinkan.Awalnya, Rosalind merasa putus asa dan marah atas apa yang Adelio katakan dan lakukan, di tempat latihan dua hari yang lalu, tapi setelah itu dia bertambah cemas. Bukankah yang terjadi sudah mempertaruhkan harga dirinya? Bukankah perkataannya menunjukkan kalau dia tidak berharga bagi Adelio dan membuangnya? Bagaimana kalau Adelio mengakhiri perjanjian mereka dan Rosalind tidak bisa membayar uang kuliahnya? Rosalind bukan karyawannya, tidak lagi setelah semua yang terjadi. Dia tidak punya kontrak. Bukankah reputasi Adelio terkenal karena kekejamannya?
Sayang sekali, Adelio tidak ada ketika Rosalind datang ke apartemennya di sore hari. Bukan berarti dia mengharapkan sesuatu dari Adelio. Dia biasanya tidak begitu. Ragu-ragu tentang apa yang harus dia lakukan mengenai ciuman itu, pekerjaannya, belum lagi tentang masa depannya, dia masuk ke ruangan yang dia gunakan sebagai studio.lebih dari lima menit, dia melukis dengan gugup. Adelio Carlos tidak nyata untuknya. Meskipun dia juga tidak nyata untuk Adelio Carlos. Tapi lukisan itu nyata. Hal itu masuk ke dalam otaknya dan mengalir ke dalam darahnya. Dia harus menyelesaikannya sekarang.Dia tenggelam dalam pekerjaannya selama berjam-jam, akhirnya kreativitasnya mengalir tanpa sadar sampai matahari tenggelam di balik gedung-gedung bertingkat.Pengurus rumah mengaduk sesuatu di mangkuk ketika Rosalind masuk ke dapur untuk mengambil air. Dapur Adelio mengingatkannya pada salah satu ruangan milik bangsawan inggris yang besar, dengan peralatan memasak yang mungkin pern
Billi mengemudikan mobil Oki dengan pelan pada sabtu malam di lalu lintas yang sangat sibuk. Oki agak sedikit mabuk setelah mendengarkan Band bermain selama dua jam. Meskipun begitu mereka menjadi gila."Ayolah Ros." Rafa mendorong dari kursi belakang. "Kita semua akan mendapatkan satu.""Kau juga Billi?" Tanya Rosalind dari tempat duduk di kursi penumpang.Billi mengangkat bahu. "Aku selalu ingin punya tato di lengan kananku dengan model kuno, seperti jangkar atau yang lainnya." Katanya, berkedip dan tersenyum pada Rosalind ."Dia mempertimbangkan untuk menjadi bajak laut." Canda Oki."baiklah aku tidak akan ikut membuatnya sampai aku punya waktu untuk menggambar designnya sendiri." Kata Rosalind dengan tegas."Kau adalah perusak kesenangan." Kata Oki dengan keras. "Dimana letak kesenangannya kalau tato di rencanakan terlebih dahulu? Kau harusnya bangun dengan kaget keesokan harinya karena kau tidak ingat kapan kau membuat tato.""Ap
Pintu lift tertutup dengan pelan, dan Rosalind mengikuti Adelio masuk ke dalam apartemennya, perasaan yang sama, sebagian adalah rasa takut yang bercampur dengan ragu dan kegembiraan."Ikut aku ke kamarku." Kata Adelio.Kamarku. Kata itu menggema di kepala Rosalind. Dia mengikuti Adelio di belakangnya, merasa seperti anak sekolah yang tertangkap basah. Antisipasi yang tidak bisa di sangkal, dia merasakan sesuatu yang tidak bisa dia mengerti. Bagaimana pun juga, dia tahu jika dia menyeberangi pintu menuju kamar Adelio, hidupnya akan berubah selamanya. Seolah Adelio mengerti hal ini, dia berhenti di depan pintu kayu."Kau belum melakukan ini sebelumnya kan?" Tanya Adelio."Tidak." Rosalind mengakui. "Apakah itu tidak masalah bagimu?""Ini bukan yang pertama. Aku sangat menginginkanmu, tapi aku juga sadar tentang kepolosanmu." Katanya dan menatap Rosalind. "Apa kau yakin ingin melakukannya Rosalind?""Katakan padaku tentang satu hal.""A
Adelio menatap Rosalind. Lubang hidungnya mengembang dan wajahnya kaku sebelum dia tiba-tiba berdiri."Kita mulai sekarang. Membungkuk ke depan dan letakkan tanganmu di lutut." Perintah Adelio."Ya Tuhan, kau sangat cantik. Membuatku frustasi karena kau tidak menyadari semua itu, Rosalind."Rosalind menutup matanya ketika Adelio membelai punggungnya. Dia tidak membuka matanya ampai Adelio berhenti membelainya. Kemudian sebuah pukulan mendarat di pantatnya. Matanya melebar dan dia berteriak. Sengatan rasa sakit itu memudar dengan cepat."Kau baik-baik saja?" Tanya Adelio"Ya." Jawab Rosalind jujur.Rosalind bernafas keras ketika pukulan lain menderanya lagi. Adelio mengangkat tangannya dan menampar pantat kanan kemudian sebelah kiri, berganti lagi ke kanan dalam irama yang cepat. Rosalind mengigit bibirnya untuk tidak berteriak. Adelio sangat berpengalaman dalam hal ini, pukulannya tepat, tegas, cepat tapi tidak terges-gesa. Adeli
Dua hari kemudian, Adelio menatap keluar dari jendela mobilnya saat Hendrik berbelook turun di sepanjang jalan rumah perkotaan dengan batu bata. Seorang temannya memberitahunya kalau Billi Atlas menerima rumaah warisan dari almarhum orang tuanya.Galeri seni Atlas berjalan sangat baik. Sepertinya teman sekamar Rosalind memiliki selera yang baik dan punya intuisi bisnis yang bagus, dia juga sopan, tenang dan teliti. Itu juga yang menarrik pecinta karya seni.Adelio juga tidak bisa menyangkal saat baru mengetahui kalau Billi yang ternyata adalah seorang gay. Dialah yang menjamin pada malam berikutnnya agar teman sekamar Rosalind yang lain tidak akan bisa menyentuhnya.Adelio menjadi orang pertama yang menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya dia sentuh, dia mengutuk dirinya sendiri. Bayangan Rosalind yang hancur saat dia meninggalkan kamarnya di malam itu menyadarkannya ribuan kali. Adelio menggerutu pelan, saat Rosalind pergi dari rumahnya. Adelio ingin meng