Share

Chapter 2

Akbar berusaha menahan beberapa pukulan hook dan jab kanan kiri Tria yang sedang mengamuk. Tria ini memang bukan perempuan biasa. Walaupun tubuhnya kecil, tapi tenaganya luar biasa. Terlihat sekali gerakan bela dirinya ini sudah terlatih lama. Setiap gerakannya konstan, bertenaga dan tepat sasaran. Kalau saja ia hanya laki-laki biasa tanpa menguasai teknik bela diri, pasti saat ini wajahnya sudah remuk tak berbentuk. Untungnya ia memang sudah terbiasa dengan yang namanya ilmu bela diri. Papanya sudah mendaftarkannya mengikuti pelatihan bela diri sejak ia mulai bisa berjalan. Ia, Tian, Tama dan Raphael Arthawra Al Rasyid satu club bela diri sedari mereka kecil. Hanya Tria yang beda club. Dia lebih suka satu club dengan Altan dan Bintang, dua sahabat oroknya yang berlatih di Green Hill Muay Thay Club. Asuhan Om Saka, pamannya sendiri. Saat ini dengan mudah ia menahan dua lengan Tria dan menempelkannya pada dada kekarnya.

"Harap lo ingat-ingat pelajaran hari ini. Pertama, gue ini laki-laki normal, bukan gay. Lo udah merasakan sendiri betapa lakinya gue 'kan? Kedua, otak itu bisa lumpuh karena situasi yang tidak terkendali. Contohnya ya kejadian hari ini. Untuk ke depannya, jangan coba-coba mengata-ngatai gue gay lagi, kalo lo nggak mau merasakan betapa "lakinya" gue. Gue bahkan bisa membuat perut lo mlendung tiap tahun kalau gue mau. Paham lo?!"

Akbar melepaskan kedua tangan Tria dan menghampiri mobilnya yang terparkir di sudut jalan. Ia tadi baru saja keluar dari gang rumah Benny yang memang tidak bisa dilalui oleh mobil. Makanya ia memarkir mobilnya di ujung jalan. Siapa sangka saat akan pulang dan menyeberang ke arah mobilnya di parkir, ia malah nyaris ditabrak oleh si preman pasar.

Tria sama sekali tidak menyahuti kata-kata Akbar lagi. Dia tahu kalau ia tidak akan menang jika ia kembali memaksakan diri menghajar Akbar. Ayahnya selalu mengatakan jangan suka memaksakan diri. Jika kita tahu bahwa musuh kita itu lebih kuat, maka mundurlah dengan elegant. Mati hanya karena mempertahankan kekeras kepalaan itu konyol. Alih-alih mempertahankan harga diri, malah berakhir dengan "bunuh diri".

Suara deruman mobil Akbar yang menjauh menyadarkannya dari monolognya sendiri. Akhirnya si gay pervert itu pergi juga. Tria mengibas-ngibaskan kepalanya. Mencoba mengusir bayangan Akbar yang tadi menciumnya dengan ganas. Pipinya memanas. Dengan pacarnya saja ia hanya membolehkan pipinya untuk dicium. Tapi si gay sialan itu malah mencuri ciuman pertamanya. Katanya saja gay, tapi ciumannya ganas pake banget. Berarti selama ini kabar yang mengatakan bahwa Akbar adalah seorang gay hanyalah isapan jempol belaka. Gay itu seharusnya kan tidak bisa bernafsu terhadap lawan jenisnya. Atau jangan-jangan Akbar tadi mengganggapnya sebagai seorang laki-laki tampan? Kan ia memang lebih sering disebut tampan dari pada cantik? Kepalanya makin pusing saja memikirkannya. Auk ah gelap! 

Tria baru saja memasang safety beltnya saat ponsel khususnya berbunyi. Ketika melirik nama pemanggilnya, ia berdecak kesal. Karina Winardi! Mau apalagi si pelakor satu ini. Tetapi ia tetap mengangkat teleponnya. Ia tidak mau Karin berpikir kalau ia adalah seorang pecundang. Apalagi memberi kesan kalau saat ini ia tengah menangis merana gundah gulana karena pacarnya direbut orang. Never!

"Ada apa, Rin? Mau mengabarkan kalo lo udah sukses ngerebut pacar orang, atau kabar akhirnya lo batal jadi bini orang?" Ia menjawab santai panggilan telepon dari Karina. Entah mengapa sekarang ia sudah kehilangan rasa sedihnya. Saat ini rasa-rasanya ia malah mensyukuri kejadian di hari ini. Setidaknya ia tidak jadi mempunyai kakak ipar yang berkelakuan seperti iblis dan juga pacar yang mirip dengan demit. 

"Nggak dua-duanya, Tri. Gue cuma mau bilang kalo gue itu puas banget udah berhasil nunjukin kalo pacar lo itu sebenernya nggak cinta sama lo. Tapi sama gue. Gimana rasanya ngeliat pacar sendiri ena ena sama gue? Nyesek, gagal jantung atau pengen bunuh diri? Penasaran gue. Lo anjing-anjingin pastinya ya? Secara lo kan preman pasar!

"Gue anjing-anjingin? Ya kagak lah! Gila aja gue nyamain si Rapha sama anjing. Anjing itu kan setia. Kasian anjingnya kali. Ntar dia merasa terhina kalo disamain sama orang-orang tukang selingkuh kayak lo lo pada. Beda level, coeg! Lagian lo nggak usah bangga karena udah berhasil ngerebut pacar orang. Beban lo itu berat lho, Rin. Nggak gampang miara penghianat. Lagian ngapain juga lo nelpon gue? Mau nunjukin betapa busuknya lo? Gue kadang heran ngeliat manusia-manusia nggak ngotak kayak lo. Nggak sayang apa lo punya otak tapi kagak pernah dipake? Udah ya, gue tutup dulu teleponnya. Kelamaan ngomong sama lo bikin gue engap. Sampah semua sih omongan lo!" Tria menutup telepon Karin begitu saja. Eneg kelamaan berbicara dengan orang stress. Lebih baik ia menjernihkan pikirannya. Ikut adu balap liar misalnya. Saat ide cemerlang itu singgah di kepalanya, ia segera memutar balik arah mobil menuju tempat nongkrong favoritnya. 

Tria tiba di arena balap liar dengan sambutan tepuk tangan heboh para joki-joki yang sedang mangkal. Sudah cukup lama juga ia tidak ke tempat ini. Raphael tidak suka melihatnya mengikuti bali alias balap liar. Raphael lupa, bahwa melalui arena inilah ia bisa mendapatkannya sebagai pacar. Raphael mengalahkannya di tempat ini setahun yang lalu. Dan konsekuensinya adalah ia harus menjadi pacarnya.

"Wohoooo... akhirnya ratu bali kita turun gunung juga. Dengaren amat Tri, lo tetiba aja mau nongkrong lagi di mari. Gandengan lo mane?" Ricard si biang taruhan menepuk bahu Tria yang baru saja keluar dari mobil dengan gembira. Sumber pundi-pundi uangnya sudah datang.

"Udah metong dia gue racunin pake oli kotor." Jawaban tidak terduga Tria membuat ngakak Ricard dan beberapa joki yang kebetulan berdekatan dengannya. Ia rindu suasana ini. Suara mesin motor yang digeber-geber. Tawa riuh yang kadang diselingi dengan obrolan seputar mesin motor, bahkan obrolan-obrolan nakal beberapa kelompok joki yang suka berpetualang dengan para cabe-cabean pemuja mereka. Ia bukan manusia sok suci. Ia tidak suka menghakimi orang lain. Ia berprinsip, selama lo kagak nyenggol gue, gue mah asik-asik aja. My life my rule. Dosa mah ditanggung masing-masing. Tidak usah menyinyiri hidup orang lain selama kita masih doyan ghibah sana sini. 

"Lo mau terima panjar nggak, Tri?" Ricard menepuk bahu Tria. Mengajak untuk bertanding. Ada beberapa joki baru yang potensial hari ini. Di dalam mobil mewah yang terparkir di ujung arena, ada seorang anak pejabat yang sangat gemar mengikuti bali seperti ini. Taruhannya pasti bisa melar tinggi. Alamat untung gede dia!

"Ck! Lo nggak liat apa kalo gue nggak bawa motor? Gue jadi team hore aja di mari." Sahut Tria seraya membuka jaket bikers penuh stud-nya. Saat ini ia hanya menggunakan kaos oblong putih dan ripped jeansnya.

"Ah kalo itu mah gampang. Lo pake aja motor gue. Gimana?" Ricard masih berupaya membujuk Tria.

"Spek mesinnya apa? 58-an standard atau 58-an bebas?" Tria merasa tidak ada salahnya juga ia main sekali-sekali. Ia ingin melepas semua rasa suntuknya hari ini.

"Kita main yang 58-an standard aja? Oke? Kalo lo nggak yakin, ntar gue suruh yang lain lepas baut aja. Biar kita bisa sama-sama ngecek speknya. Gue juga nggak suka ada yang main curang dan pake selundupan." Ricard kembali berusaha untuk meyakinkan Tria.

"Kita main berapa tiang? Gue mau kita mainnya cengli dan gue sendiri yang ngecek scrutineering regulasi mesinnya. Kalo lo lo semua setuju sama syarat-syarat gue, ayo kita main." Keputusan Tria mengundang siulan heboh joki-joki lainnya. Beberapa orang bandar taruhan bahkan bertepuk tangan dengan gembira.

"Gue pasti megang lo, Tri." Denis, Pascal dan Wilmar mengangkat tangan kanan mereka masing-masing dengan optimis.

"Ntar kalo lo udah masuk garis finish, tunjukin gaya superman andalan lo ya, Tri? Mau gua masukin ke I* gue." Pascal nyengir saat merequest permintaan khusus pada Tria. Superman adalah posisi balapan sambil tiduran di atas motor.

"Bentar gue tanya orang yang mau nantang lo du-- nah ini orangnya udah nongol." Tria melihat Ricard bertepuk tangan saat seorang pria bertubuh tinggi besar berjalan menghampirinya.

"Nah Tri, ini Bratasena Pangestu. Gue yakin lo pasti sering ngeliat bokapnya di teve. Gue nggak perlu ngejelasin lagi kan?" Richard kini berpaling pada sang pemuda.

"Sen, ini yang harus lo kalahin. Nah lo bedua silahkan saling kenalan dulu, biar enak ntar lo bedua mainnya. Oh ya Sen, Tria adalah hantunya arena ini. Pokoknya dia ini nggak ada obatnya." Seperti biasa si makelar ini mempromosikan joki-nya. 

"Tolong lo pake dulu jaket lo, Joki. Kalo lo cuma pake kaos tipis begini bisa nggak fokus mata gue nanti. Mau gue anggurin sayang, mau gue liatin ntar lo bilang gue kegatelan." Tria melongo sesaat mendengar betapa vulgarnya setiap kata-kata yang diucapkan si anak mentri.

Lo jual gue, gue borong deh.

"Lo yang ngaceng, kenapa mesti gue yang repot? Segala baju gue lo urusin. Otak lo noh yang dibenerin." Tria berdecih sinis. Ia bukanlah kaum feminisme yang ektrim ataupun seorang aktifis perempuan. Ia juga tahu sampai di mana batasan cara berpakaiannya. Ia hanya tidak suka dengan kaum laki-laki yang selalu saja bersikap otoriter dan menghakimi orang lain hanya karena ia tidak mampu menahan nafsunya sendiri. Lagi pula ia bukannya memakai tank top atau lingerine. Dia hanya mengenakan kaus oblong yang ukurannya bahkan sengaja ia lebihkan satu size agar tidak terlihat ketat. Manusia ini saja yang ngeres otaknya.

"Lo galak bener sih, Cantik. Gue demen yang begini ini nih. Pasti lo liar banget dalam segala hal. Bikin gue tambah napsu aja. Tapi gue harap saat lo jadi menantu menteri nanti, lo bisa berkebaya anggun ya, Cantik. Buat bokap dan nyokap gue bangga. Kalo gue sih sebenernya lebih seneng kalo lo nggak usah make apa-apa." 

Sena mengedipkan sebelah matanya dengan gaya mesum. Tria menjinjitkan alisnya. Ia risih. Sena seperti sedang menggerayangi dirinya hanya melalui tatapan matanya. Laki-laki modelan begini pasti otaknya selalu ketinggalan di selangkangannya. Kalau saja ia tidak mendengar sendiri berondongan kata-kata vulgar dari salah seorang anak mentri negeri ini, ia pasti tidak akan percaya. Bratasena Pangestu yang nota bene adalah anak orang besar negeri ini, ternyata kelakuannya bejat juga kalau di luar layar kaca. A man is a man. Whatever the species, males never change, do they?

"Lo lupa kita juga punya mantan mentri kelautan dan perikanan yang gahar abis? Merokok, tatoo-an tapi juga bisa anggun saat berkebaya. Satu hal yang harus lo tau, perempuan zaman sekarang itu nggak cuma bisa ngangkang doang, tapi juga bisa lebih berprestasi dari kaum lo. Ayolah, sekarang udah tahun 2020, jangan lo pikir perempuan cuma alat untuk ngangetin lo di ranjang. Gue bahkan bisa bikin lo gosong di sana. So, tolong jaga lidah lo. Jangan asal ngecot doang. Sampah!" Balas Tria ganas. Ini laki sebiji mulutnya najis banget.

"Oh... berarti lo bersedia jadi mantu mentri dong? Makanya lo ngasih perbandingan ada mantan mentri yang gahar kayak lo, Cantik." Sena mengedipkan sebelah matanya. Tria memutar bola matanya. Bener-bener ya ini manusia sebiji!

"Wadoohhhh... belum apa-apa udah panas aja lo bedua. Ya udah, nggak perlu acara kenalan lagi dah. Ribet ntar urusannya kebawa-bawa waktu main. Ya udah kita main 6 tiang. Yang mau pegang Tria atau pegang Sena silahkan pasang di sini. Yang cuma naninu harap menjauh. Herman ayo mulai brodol. Kalian berdua harap segera bersiap-siap." Ricard mulai meneriakkan perintah.

Tria berjalan kembali ke arah mobilnya dan mengambil jaket. Saat-saat akan main begini, adrenalinnya selalu terpacu deras. Ia seperti mendapatkan pelampiasan untuk segala macam permasalahan hidupnya. 

"Lo beneran udah putus dari Rapha, Tri?" Ricard sepertinya masih sangat penasaran dengan kisah cintanya. Ia mengangguk.

"Kenapa?" Tanya Ricard lagi.

"Dia ketangkul sama gue tadi pas lagi mau ena ena sama calon kakak ipar gue." Tria nyengir. Dia sudah lupa rasa sakit hatinya. Perasaannya yang sedih tadi sudah hilang semua. Jangan-jangan hatinya ini made in china. Makanya perasaannya gampang rusak. Hahaha.

"Ck! Makanya gue nggak mau nikah sama laki seberapa gantengnya pun mereka. Cukup gue pacarin dan gue emek-emek aja." Gantian sekarang si gay sejati, Ricard yang nyengir.

"Hans gimana kabarnya, Card?" Tria menanyakan kabar adik Ricard yang sakit kanker darah.

"Ya begitulah, Tri. Harus bolak balik kemo. Makanya gue harus rajin-rajin cari duit buat ngerawat dia. Cuma dia satu-satunya keluarga yang gue punya, Tri." Sahut Ricard sendu. Dibalik penampilan Ricard yang gahar dan seram, sesungguhnya ia adalah seorang penyayang yang lembut hati. Kisah kelam masa kecilnya yang kerap kali mendapatkan pelecehan seksual akhirnya merubah orientasi seksualnya. Setiap orang mempunyai permasalahan sendiri bukan? Dunia ini kejam, Man!

"Kalo lo mau gue bisa bantu biaya--"

"Nggak usah Tri. Gue bukan tukang minta-minta. Permintaan gue cuma satu, lo harus menang kali ini. Gue megang lo soalnya. Itu saja udah cukup buat gue. Ayo gaspol kan, Tri!" Ricard memberi semangat. 

"Ahsiapppp... " Tria memberikan jawaban lucu untuk sekedar mencairkan suasana sedih yang sempat tercipta.

Tria dan Sena saat ini sedang bersiap-siap main. Sistem start kali ini bukan memakai aba-aba 123. Melainkan hanya dengan sistem geberan yang mengandalkan feeling joki. Tria mulai memancing emosi Sena dengan melakukan blayer dengan grip dan gas yang ditekan hingga RPM tertinggi. Ia tidak tahu bagaimana ekspresi wajah Sena karena mereka berdua kini telah memakai helm full face. Kali ini ia harus menang. Ada titipan doa dari Ricard untuk biaya kemoterapi Hans, adiknya. 

Gue harus menang, walaupun gue harus melewati panasnya api neraka, akan gue terjang demi Hans dan Ricard!



Naratria Abiyaksa



Adzan Akbar Dewangga

NOTES.

Joki adalah pelaku balap atau rider balap liar.

Satu tiang adalah tanda jarak yang berpatokan pada tiang listrik atau tiang lampu yang ada di jalan. Di mana persatu tiang memiliki jarak sekitar 20-50 meter yang dapat dibuat patokan hitung panjang trek.

Lepas baut adalah Liat spek mesin dengan cara bongkar mesin.

Melar adalah Pasangan taruhan bisa dinaikan sesuai kemampuan masing-masing bengkel.

58-an standard adalah spek mesin hanya menggunkan piston 58 mm sedangkan part pendukung lainnya standar.

Pegang adalah pilihan atau berpihak.

Selundupan adalah motor pinjaman untuk di pertandingkan yang tidak mau dikasih tahu nama bengkelnya.

Naninu adalah seseorang yang 'belagu' bergaya sok bos racing tapi enggak punya duit.

Brodol adalah waktunya totalan untuk taruhan dan bikin motor kencang.

Geberan adalah start yang tidak ada hitungan atau aba-aba terlebih dahulu dan hanya pakai feeling joki.

Blayer adalah memancing emosi lawan dengan grip gas ditekan hingga RPM tinggi.

Nggak ada obatnya adalah tidak pernah kalah saat balapan dan tidak ada lawan. Namun, dihaluskan bahasanya menjadi nggak ada obatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status