Share

Chapter 5

"Jadi bagaimana, Tri? Apakah kamu menerima lamaran Sena ini?" Ayahnya menanyakan keputusannya atas lamaran Sena. Ruang tamu mendadak hening. Ia duduk di sebelah kakaknya. Kedua orang tuanya duduk saling bersebelahan di hadapannya. Disamping kanan dan kirinya duduk kedua orang tua Sena dan juga Sena sendiri. Semua pandangan kini tertuju padanya. Sudah pasti mereka semua penasaran akan jawaban yang akan diberikan olehnya.

Tria terdiam. Ia memandang wajah kedua orang tua Sena dengan perasaan tidak enak. Siapa pun yang ada dalam posisi mereka, pasti amat sangat malu apabila lamaran mereka ditolak mentah-mentah. Istimewa Pak Bratayudha adalah orang besar negeri ini. Pasti akan ada konsekuensi yang akan diterima oleh keluarganya nanti, sebagai akibat dari rasa malu dan sakit hati sang mentri. Ia benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit.

"Apakah kamu tahu Tri, kalau kita berdua menikah maka semua bisnis ayah dan kakakmu akan semakin berkembang pesat. Bersatunya dua keluarga besar kita, akan semakin menyukseskan semua usaha-usaha kedua belah pihak dalam segala hal. Perpaduan nama besar ayahmu, kakakmu dan juga saya sebagai pelaku bisnis akan semakin kuat bila ditopang oleh posisi ayah saya dalam bidang legitimasi dan birokrasi. Bagaimana pun ayah saya mempunyai pengaruh yang kuat dalam bidang pemerintahan." 

Si Sena ini rupanya pintar sekali memanfaatkan situasi.

"Selain masalah duniawian, bukankah kamu juga akan bisa membahagiakan ayahmu karena telah membebaskannya dari tanggung jawab atas dirimu kepada saya? Memindahkan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah kepada saya sebagai sebagai imam kamu maksudnya. Kamu ingin membantu ayahmu menggapai surganya bukan?" 

Bener-bener tukang cari kesempatan!

Sena mulai mencoba menekan Tria dari sisi emosionalnya. Ia tahu orang seperti Tria ini tidak akan mempan jika kerasi, tetapi ia akan luluh jika dibujuk. Ia telah berpengalaman dalam menghadapi berbagai macam karakter dan sifat wanita.

"Tolong lo jangan mempengaruhi adek gue dalam mengambil keputusan ya, Sena? Ini masalah serius. Dia yang akan menjala--"

"Assalamualaikum Om Aksa, Tante Lia, semuanya." Akbar tiba di ruang tamu. Syukurlah, sepertinya ia belum terlambat. Tria masih tampak kebingungan dan tertekan. Pasti ia belum memberi jawaban apa-apa. 

"Walaikumsalam. Kamu ada keperluan dengan Om atau Tama, Akbar? Tapi maaf, saat ini kebetulan kami sedang ada tamu. Kamu tunggu saja di ruang kerja Om dulu ya, Bar?" Aksa sebenarnya heran melihat kemunculan tiba-tiba Akbar. Pasti ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba ada di sini. Hanya saja ia tidak bisa menebak apa "sesuatu-nya".

Akbar terdiam sejenak. Menarik nafas panjang panjang beberapa kali. Setelah mengucap bismillah dalam hati ia pun siap memulai aksinya.

"Sebelumnya saya minta maaf karena mungkin telah mengacaukan acara Om hari ini. Tetapi ada baiknya kalau Om dan Tante melihat dulu hasil test urine Tria ini sebelum acara dilanjutkan."

Akbar merogoh saku depan jaket dan mengeluarkan amplop putih berlogo Rumah Sakit Ibu dan Anak pada Aksa. Setelahnya ia berdiri di samping kiri Om Aksa yang duduk bersebelahan dengan Tante Lia. Ia menarik nafas panjang berkali-kali sebagai persiapan apabila ia harus menerima konsekuensi atas segala perbuatannya. Ia tahu berita besar yang ia bawa ini mungkin akan membuat dirinya babak belur. Mudah-mudahan saja ia tidak harus opname di rumah sakit atas hajaran Om Aksa dan juga Tama. Akbar melihat Tama mendekati ayahnya dan juga Tante Lia yang menggerakkan kepala mendekati suaminya.

"Lo mau membuat kerusuhan apa lagi, gay sialan?!" Bisik Tria yang penasaran atas amplop yang dibawa oleh Akbar. Ia sampai berdiri dari duduknya dan menghampiri Akbar. Tapi si beruang dingin ini malah menggeser tubuhnya sedikit menjauhinya.

"Jangan deket-deket, bukan muhrim." Ketusnya. Eh si anying, berasa kecakepan banget ini laki sebatang.

"Halah bukan muhrim, bukan muhrim. Lupa kemarin siapa yang nyium siapa? Perasaan dicintai lo, blekok!" Tria hampir saja memberikan sebuah uppercut ke rahang Akbar, sebelum ia sadar kalau situasi dan kondisi sedang tidak memungkinkannya untuk bersikap sembarangan.

"Saya dan keluarga minta maaf sekali kepada Pak Bratayudha, Ibu dan juga Sena. Berhubung ada sesuatu yang telah terjadi di luar kehendak dan prediksi saya, maka saya dengan amat sangat terpaksa menolak lamaran Bapak dan Ibu sekalian. Ada kondisi yang tidak memungkinkan saya untuk melanjutkan acara ini. Saya harap Bapak, Ibu dan juga Sena mengerti." Tria mengucap syukur alhamdullilah dalam hati. Akhirnya doa dalam hatinya dijabah juga oleh Allah Subhanawata'ala. Hanya saja ada yang aneh di sini. Ekspresi ayah dan kakaknya tampak seperti orang yang sedang menahan emosi mati-matian. Pasti sesuatu hal buruk yang telah terjadi.

"Alhamdulillahi Robbil' Alamin." Tria mendengar Akbar juga ikut mengucap syukur atas ditolaknya lamaran Sena. Walaupun Akbar mengucapkannya hanya dalam sebuah bisikan. 

Sena tiba-tiba saja berdiri. Wajah tampannya yang tadi berlihat begitu teduh, dewasa dan penuh dengan rasa percaya diri, sekarang tampak menyeramkan. Ia tidak terima dengan pernyataan ayahnya. Sifat aslinya akhirnya keluar juga. Sena tidak bisa menerima penolakan.

"Saya bersedia menerima apapun keadaan Tria, Pak Aksa. Mau dia itu hamil, bahkan sakit kanker stadium 4 sekali pun tidak masalah bagi saya. Saya ikhlas menerima apa pun keadaannya. Izinkan saya memiliki putri Anda, Pak Aksa." Tria sampai meringis ngeri mendengar betapa frontalnya kata-kata Sena. Kata-kata Sena malah terdengar mengancam alih-alih memohon. Malah nyumpahin dia lagi ujung-ujungnya. Hamil atau terkena kanker stadium 4 katanya? Kurang ajar!

"Anda mengerti bahasa Indonesia bukan? Jadi saya kira, saya tidak perlu lagi mengulangi kalimat-kalimat saya. Lia, tolong kamu antar tamu-tamu kita keluar, sayang." Perintah ayahnya pada ibunga. Ayahnya sudah mulai menunjukkan taringnya. Terlihat sekali kalau suasana hati ayahnya sedang buruk. Dan itu semua karena sebuah amplop yang dibawa oleh si beruang galak di sampingnya ini!

Tria melihat Sena ingin kembali membantah kata-kata ayahnya, sebelum sang mentri menarik tangannya dan melayangkan tatapan tajam. Sepertinya sang mentri dengan cepat bisa memahami situasi dan juga bisa membawa diri. Tanpa banyak cincong lagi, mereka bertiga mengikuti langkah ibunya menuju teras. 

Begitu tubuh ibu dan ketiga tamunya menghilang dibalik koridor, Tria kaget saat ayah dan kakaknya menerjang ke arah Akbar. Mereka berdua seperti kesetanan dan terus saja memukuli Akbar yang hanya mencoba menangkis sebisanya. Ayahnya seorang praktisi bela diri. Kakaknya Tama apalagi. Satu kepalan tangan mereka berdua ibarat sepuluh kali kepalan tangan laki-laki biasa. Begitu juga Akbar. Sebagai orang yang juga memahami seluk beluk bela diri, Tria tahu sebenarnya mudah saja bagi Akbar untuk mengelak, menangkis atau bahkan balas memukul. Tetapi alih-alih membalas ia malah menjadikan dirinya sasaran empuk bagi ayah dan kakaknya. Ada apa ini sebenarnya? Tria bingung.

"Sudahhh! Sudah! Stop Mas Aksa... Tama! Kalian berdua tidak boleh main hakim sembarangan. Biarkan Akbar menjelaskan semua permasalahannya dulu, baru kita semua bisa menentukan sikap. Sudah Mas! Sudah! Ayo Tri, bantuin Ibu misahin Ayah dan Kakakmu. Ngapain kamu malah bengong kayak joki three in one lagi nungguin mobil penumpang ? Cepet bantuin Ibu!" 

Tria yang sempat bengong beberapa detik, seketika menarik lengan kakaknya. Mengalungkan tangan kanannya ke leher kakaknya dalam gerakan memiting, sehingga kakaknya kesulitan untuk menggapai tubuh Akbar yang sudah tergeletak di lantai.

Ibunya lebih ekstrem lagi. Ibunya menarik pinggang ramping ayahnya dari belakang dengan sekuat tenaga, sehingga ayahnya terjatuh dalam posisi duduk. Kemudian membalik tubuh ayahnya dan menduduki perutnya sekaligus. Gerakan berikutnya adalah menahan leher ayahnya dengan siku tangan kanan yang ditekuk. Kini ayahnya sudah tidak bisa bergerak lagi. Beginilah seharusnya cara yang efektif untuk memisahkan orang yang sedang berkelahi dibanding dengan berteriak-teriak menyuruh berhenti. 

"Sekarang semuanya pada cooling down dulu, baru kita bicara baik-baik. Dan kamu Tria, segera ambil kotak obat dan obati muka bengep Akbar." Tanpa banyak tanya lagi Tria segera melaksanakan semua titah ibunya. Kalau sedang marah ibunya memang menyeramkan.

Saat ia kembali dengan kotak obat di tangan, semua orang telah duduk di sofa. Tetapi suasana masih mencekam. Ayah dan kakaknya masih terus saja memandangi wajah bengep Akbar dengan penuh kemarahan. Mau tidak mau ia berjalan mengitari sofa dan duduk di sebelah Akbar. Ia mulai membersihkan luka-luka luar wajah Akbar dengan kapas yang telah di bubuhi dengan cairan alkohol.

"Selagi luka-luka kamu diobati, sekalian juga kamu ceritakan soal hasil test urine kehamilan yang kamu akui sebagai kepunyaan Tria itu, Akbar." Gerakan tangannya yang sedang membersihkan bercak-bercak darah di wajah Akbar seketika terhenti. Hasil test kehamilannya? Dengan cepat ia merangkai-rangkai kejadian tadi dan kesimpulannya telah membuatnya benar-benar naik marah. Si Beruang kutub ini memberikan hasil test lab tentang kehamilannya rupanya. Pantas saja ayah dan kakaknya mengamuk. Baru saja ia ingin memaki Akbar, ibunya mengangkat tangan kanannya. 

"Biar Akbar saja yang menjelaskan segalanya, Tria. Ada giliran kamu berbicara nanti. Sekarang ibu ingin mendengar penjelasan versi Akbar."

"Sebelumnya saya minta maaf atas segala kekacauan yang saya setting ini. Saya ingin mengatakan bahwa semua hasil yang tercetak di kertas laboratorium itu adalah palsu belaka. Saya yang memalsukan semuanya baik dari amplop maupun hasil akhirnya. Saya mengeprint semuanya melalui hasil lab kehamilan Michellia, adik saya." Tukas Akbar tegas. Mereka semua termangu. Tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu dari Akbar.

"Lalu untuk apa lo merekayasa semua itu? Untuk menggagalkan lamaran Sena pada gue?" Tanya Tria penasaran.

"Bener. Gue yakin banget lo juga nggak mau kan dilamar sama si Sena? Lo harusnya berterima kasih sama gue karena sudah menolong lo di saat yang tepat." Akbar menjawab kalem. Ia sedikit meringis saat Tria dengan sengaja menekan kuat luka si sudut bibirnya yang pecah.

"Kenapa kamu menolong Tria, Akbar? Kamu bahkan sampai rela bonyok begini untuk sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan. Apa untungnya buat kamu? Kecuali... kalau kamu mencintai Tria. Apa kamu mencintai Tria, Akbar?" Pertanyaan Aksa membuat ruang tamu hening seketika. Mereka tahu, Akbar ini sifatnya persis sama dengan Dewa, ayahnya. Mereka adalah type laki-laki yang cuek dan nekadan. Apa pun yang mereka inginkan akan mereka raih bahkan dengan cara yang paling ekstrem sekalipun. Ayah dan anak ini sama-sama berpredikat sebagai orang-orang nekad. Dewa tidak pernah mengumbar kata cinta secara berlebihan pada Ory, istrinya. Sikapnya tetap saja cuek-cuek menyebalkan. Tetapi coba senggol istrinya. Ia pasti akan mengamuk persis seperti seekor banteng gila yang dikibari oleh kain merah. Kalau tidak percaya, coba saja. Dewa pernah mematahkan tangan Orlando Atmanegara dan juga menghajar habis-habisan Raven Artharwa Al Rasyid karena mencoba untuk mengusik istrinya.

"Saat ini belum. Entah kalau suatu hari nanti. Allah kan maha segala. Bisa saja suatu hari Dia akan membolak balikkan perasaan saya nanti. Wallahualam. Niat saya hanya sekedar ingin menolong. Sena itu seperti seorang psikopat dalam kerajaan kecilnya. Ia selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan dalam hidup ini. Reputasinya terhadap para wanita juga sangat tidak bagus. Ia mengambil apapun yang ditawarkan tanpa memikirkan konsekuensi. Saya hanya takut kalau ia akan menyia-nyiakan Tria setelah ia puas bermain-main dengannya. Itu saja. Niat saya pure ingin menolong. Tidak ada kepentingan apapun di dalamnya. Insya Allah." 

"Om yakin ada cara lain untuk memperingatkan Om dan Tria agar tidak menerima lamaran Sena bukan? Mengapa kamu malah memilih cara yang ekstrem seperti ini, Akbar." Tria tahu ayahnya tidak puas atas jawaban lugas dan penuh diplomasi Akbar. Sebenarnya ia juga tidak puas. Ia ingin tau alasan sebenarnya si beruang galak ini melindunginya sampai ia rela bonyok-bonyok begini dirame-ramein ayah dan kakaknya.

"Om benar. Memang banyak sekali cara lain. Tetapi orang seperti Sena itu harus ditegesin orangnya. Kalau saya hanya memperingati Om atau Tria, saya yakin Sena akan melakukan berbagai macam manuver untuk mematahkan segala alasan, Om. Dan jangan lupa, ia juga akan memberdayakan kedua orang tuanya untuk menekan om. Harus kita akui, ayahnya orang berpengaruh negeri ini. 

Akan tetapi kalau saya memakai cara yang secara terselubung mengisyaratkan kalau Tria sudah tidak akan mungkin lagi ia miliki, itu akan membuatnya memupus harapan untuk memiliki Tria lagi. Satu hal lagi, kedua orang tuanya pasti tidak akan mendukungnya lagi. Bagaimanapun sayangnya mereka pada Sena, pasti mereka ingin punya cucu dari darah dan daging mereka sendiri. Bukan dari benih orang lain. Inilah alasan saya melakukan rekayasa tentang kehamilan Tria."

Akbar menolehkan kepalanya kepada Tria yang saat ini telah selesai mengobati luka-lukanya sambil berkata," bukan karena saya mencintai kamu, preman pasar? Saya hanya menganggap kamu itu seperti adik saya sendiri, paham."

Nganggap adik sendiri tapi giliran sange diembat juga. Mana ada kakak normal yang semangat 45 kalo nyiumin adiknya? Ngeles aja ini si beruang buluk! 

"Om berterima kasih sekali karena sudah kamu tolong untuk menyelamatkan masa depan Tria, Bar. Tapi kamu melupakan satu hal. Nama Tria sudah tercemar karena dianggap telah hamil di luar nikah. Bagaimana pertanggung jawaban kamu akan hal ini?" Tria saling memandang sejenak dengan Akbar sebelum Akbar mengucapkan sebuat kalimat yang membuat Tria terdiam sejenak kehabisan kata-kata.

"Tidak masalah, Om. Sebelum saya melakukan hal ini saya juga sudah memikirkan konsekuensinya. Saya bersedia untuk menikahi Tria sebagai bentuk tanggung jawab saya yang sudah mencemari nama baiknya dan juga Om sekeluarga. Saya siap untuk bertanggung jawab kalau om mengizinkan tentu saja." Jawab Akbar tegas. Bola mata Tria membesar. Ini gay sebatang pasti pengen melakukan kamuflase untuk menutupi orientasi seksualnya yang menyimpang. Makanya ia mau menikahinya. Dasar kadal buntung!

"Eh lo laki apaan. Deket sama gue kagak. Pacaran juga kagak. Eh tetiba mau ngawinin gue aja. Lo sehat?" Sembur Tria gemas.

"Gue ini laki-laki sejati makanya gue niat nikahin bukan niat macarin. Laki-laki sejati itu nikahnya kagak pake pacaran-pacaran. Kalo laki-laki kw baru pacaran tapi kagak nikah-nikah. Inget itu. Lagian, pacaran juga nggak menjamin bahagianya suatu hubungan bukan? Buktinya gue pernah pacaran dua tahun, gagal. Lo pacaran setahun juga gagal. Nggak menjamin juga kan pacaran? Pikir pake otak lo yang segede--"

"Segede otak ayam maksud lo? Gue sunat dua kali baru tau lo!" Balas Tria kasar.

"Jangan. Kalo lo sunat gue dua kali yang rugi siapa? Lo juga kan?!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status