Belle menyumpal kuping dengan headseat. Lebih memilih mendengarkan lagu-lagu dari ponselnya daripada mendengarkan celotehan panjang Rose yang membanggakan si Tarzan tua menyebalkan. Selepas bertemu Marlon kemarin, Belle jadi malas mendengarkan cerita Rose, ia hanya mengangguk setiap kali Rose bercerita soal pamannya.
Rose bilang Marlon itu teman curhat terbaik sepanjang zaman. Huh! Andai Rose tahu kelakuan Marlon sesungguhnya. Karena Belle tahu Rose sangat menyayangi Marlon dan demi menjaga pertemanan mereka, maka kejadian kemarin sore tidak dia ceritakan. Untuk ke sekian kali, Belle bergidik ngeri ketika teringat apa yang telah dilakukan Marlon kepadanya. Dia merasa dilecehkan.
"Pamanku itu paling bisa mengerti aku. Dia selalu menyempatkan diri mendengar seluruh curhatanku, meski yang kuceritakan padanya mengenai kampus." Rose sangat bersemangat, mulutnya bergerak cepat memuji sosok Marlon.
Bahkan saking semangatnya, Rose sampai tidak menyadari jika Belle sedang asyik sendiri. Mengaduk-aduk minuman sambil menikmati lagu tua keluaran tahun 1980-an. Seketika wajah Marlon muncul di ingatannya, Belle membeliak untuk seperkian detik, lantas mematikan pemutar musik itu.
Perasaan, yang Belle putar tadi sederet lagu hits terbaru, kenapa bisa berubah jadi lawas? Ini pasti akibat memikirkan Marlon terus. Bukan dalam artian baik, melainkan buruk, karena Isabeau Chambell membenci Marlon setelah pelecehan yang dilakukannya.
"Bell, aku ingin meminta pendapat. Kau kan sudah bertemu Paman Marlon kesayanganku. Menurutmu, dia bagaimana?" tanya Rose menggebu, menatap Belle dengan pandangan berbinar.
"Jelek, tua, dan mesum." Tanpa keraguan Belle menjawab, mengatakan apa adanya. Sontak Rose terperangah, tidak terima. Tetapi Belle tak peduli, dia hanya ingin berkata jujur.
"Bagaimana bisa kau bilang paman Marlon mesum?! Pamanku itu penyayang, wajahnya memang sangar bak singa lapar, tapi kau harus tahu jika dia sangat rajin membelikan makanan untuk burung-burung di sepanjang jalan komplek."
"Itu namanya bukan penyayang, Rose, tapi kurang kerjaan."
"Belle!" Rose memekik, wajahnya merah padam. Dia memang sangat menyayangi sang paman jadi wajar saja marah.
Belle hanya mencibir saat Rose berlari meninggalkan kantin. Mereka berteman sejak awal semester, baru kali ini keduanya terlibat adu cekcok karena beda pendapat. Biarkan saja! Selain manja, Rose sangat kekanakan. Dipikirnya Belle akan datang mengejar? Tentu saja itu tak akan terjadi.
Meneguk sisa minuman hingga tandas, Belle bangkit setelah menumpuk buku-buku di atas meja, lalu membawanya. Sepanjang jalan, Belle masih memikirkan Marlon dan memaki pria itu di dalam hati.
Belle meringis manakala menyadari telah menabrak seseorang, dia mundur seraya berdoa dalam hati supaya orang itu tidak memarahinya. Dengan perlahan, Belle mengangkat kepalanya. Matanya membeliak kala melihat orang yang berada di hadapannya. Si lelaki tua jelmaan Tarzan tengah tersenyum lebar padanya. Marlon? Belum sempat Belle mengelak maupun berteriak, Marlon dengan sigap menarik tangannya. Melewati para mahasiswa tanpa rasa canggung.
"Paman, aku masih ada kelas. Kau mau membawaku ke mana?" tanya Belle. Ia kerap kali kesandung kakinya sendiri, karena berusaha mengimbangi langkah Marlon yang lebar.
"Panggil aku Marlon, aku bukan pamanmu."
"Tapi ..."
"Hari ini kau bolos saja. Aku ingin membawamu menemui ibuku." Marlon memotong cepat, tidak memberi Belle kesempatan berbicara.
"Hah?" Belle melongo sambil menatap sisi wajah Marlon yang ditumbuhi rambut tebal, kemudian bergidik. "Paman tidak bisa seenaknya begitu padaku! Aku tidak mau!"
Terserah Belle mau berkata apa. Karena sekalipun Belle menolak, niat Marlon sudah bulat dan tidak akan melepaskan. Usianya tidak lagi muda. Maka, begitu menemukan gadis yang telah membuat hatinya bergetar hebat, Marlon bersikeras menikahinya.
"Besok atau mungkin sepulang dari rumah orang tuaku, aku akan menemui orang tuamu untuk meminta doa restu."
"Aku harus menemui orang tuamu, kau menemui orang tuaku dan meminta doa restu. Itu semua untuk apa, Paman? Aku tidak mengerti kenapa kau melakukan ini."
"Kita akan menikah."
"APA? MENIKAH?"
Spontan Belle menggeleng keras, tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Rasanya dia hanya ingin menangis ketika Marlon mendorong tubuhnya ke dalam mobil. Belle berusaha lepas dari Marlon. Ia memukul Marlon tapi sepertinya pria itu tak merasakan sakit sama sekali.
"Paman lepaskan aku! Aku tidak mau menikah denganmu, lelaki tua."
Marlon terlihat sedikit kesal. "Diam atau aku akan menciummu di hadapan semua orang!"
Mendengar ancaman itu, Belle mengatupkan mulut. Memilih mengikuti langkah Marlon untuk memasuki mobilnya. Sejujurnya, Belle sangat ingin berteriak, tapi ancaman Marlon nyatanya lebih menyeramkan dari kutukan.
Setelah memasang seatbelt pada tubuh Belle dan memastikan bahwa wanita itu tidak kabur, Marlon segera melajukan mobilnya. Menembus jalanan menuju kediaman Exietera, di mana Marlon diasuh dan tumbuh menjadi lelaki kekar idaman semua wanita.
"Ka-u benar-benar ingin menikahiku?" Suara Belle bergetar, menahan diri untuk tidak menangis.
"Siapa lagi?" tanya Marlon balik.
"Kenapa harus aku?" Dengan memberanikan diri Belle menatap Marlon, meski kulit wajahnya sudah seputih kapas.
Marlon menoleh sekilas, tak ayal bibir penuhnya mengukir seringai nakal. "Karena ... kau membuat hatiku bergetar, Bell."
Kening gadis itu mengerut sesaat mendengar suara serak Marlon menyebut nama singkatnya. Belle masih menatap sisi wajah Marlon dalam diam, memerhatikannya dengan saksama. Apa Marlon menyukai dirinya?
"Kau menyukaiku"
Sontak, Marlon terdiam. Tangan yang semula giat mengetuk-ngetuk stir, kini membatu seperti patung. Tak berselang lama Marlon menoleh lagi, untuk menatap wajah bingung Belle. Di mata Marlon, wanita itu tampak seperti boneka barbie. Ah! Marlon jadi ingin cepat-cepat menikahi Chambell, dia begitu lucu saat memikirkan ucapannya barusan. Seperti tidak menyangka.
"Hmm, iya. Mungkin aku jatuh cinta." Marlon menjawab lambat. Ia tahu jawabannya tak menyakinkan sama sekali tapi cukup membuat wajah Belle menegang, semakin ketakukan.
Belle mengamati Marlon dari samping dengan perasaan takut. Sebelumnya ia tidak pernah jatuh cinta, tidak berpacaran, dan tidak berpikir akan menikah. Apa pamannya Rose sedang bercanda? Dengan pemikiran seperti itu jantung Belle berdetak dua kali, wajahnya memucat saat membayangkan pernikahan. Marlon sebenarnya ingin terus menatao wajah menggemaskan itu tapi ia terpaksa mengalihkan pandangannya dan fokus menyetir. Ia tidak mau membuat mereka berdua celaka.
"Kau takut padaku?"
"Bagaimana bisa kau menyukaiku?" tanyanya tidak mengerti dengan pengakuan pria itu. Mereka baru sekali bertemu, bahkan tidak saling mengebal, rasanya sangatlah janggal.
"Sejujurnya aku sendiri tidak tahu kenapa, aku juga bingung. Yang kutahu, hatiku bergetar saat pertama kali melihatmu bahkan sampai detik ini."
Marlon jadi ikut terbawa suasana, perasaannya membuncah. Ia menyapu rambut gondrongnya beberapa kali, sebelum menarik hidung mungil Belle dengan gemas.
Undangan pernikahan?Kening Marlon mengernyit saat menemukan selembar kertas undangan di meja depan rumahnya, dengan bingung pria itu pun membukanya dan membaca dalam hati. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat nama Gloe Exietera dan Robert Downey yang tertera.Apa-apaan ini, kenapa tidak ada pemberitahuan?Dengan wajah yang merah padam dikuasai amarah Marlon pun masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya yang hendak pergi kerja. Acara itu tidak boleh dilanjutkan, dia harus bersikeras melarang ibunya agar membatalkan pernikahan tersebut."Belle ...""Isabeau Chambell, kemarilah!""Sayaaang," panggilnya terus menerus.Dari arah dapur Belle datang tergopoh-gopoh, dia baru saja selesai dengan tugasnya, tetapi Marlon sudah berteriak-teriak seperti Tarzan liar. Dengan heran Belle menatap pria itu, karena dia pikir Paman Marlon sudah berangkat kerja sejak tadi."Loh, Paman, ada apa?" tanya Belle panik, apalagi saat melihat wajah Paman Marlon yang menegang, lalu dia pun bertanya lagi. "Buk
Dari samping gadis itu Belle menyikut lengan Rose, tetapi sepertinya gadis itu tampak tidak peduli, entah apa yang ada di pikirannya sampai menerima dua orang pria asing. Dengan senyuman yang manis Rose menampilkan wajah terbaiknya, dia begitu ramah sekali, sementara Belle seperti orang kebingungan."Ngomong-ngomong kalian sudah semester berapa?" tanya salah satu pria dari mereka, kalau tidak salah namanya adalah James."Oh ... Aku semester 4, kemungkinan sebentar lagi akan wisuda." Rose mengerjapkan matanya beberapa kali, Belle bisa melihat dengan jelas jika sahabatnya itu sedang tebar pesona. "Kalau kalian?""Kami berdua sudah kerja," jawab yang satu lagi, namanya kalau tidak salah juga Nial.Rose dan kedua teman barunya itu pun langsung akrab, mereka berbicara dengan panjang kali lebar, bahkan melupakan Belle yang masih duduk di situ. Dengan perasaan yang tidak enak semampunya Belle bersikap biasa saja, dia tahu Rose sakit hati oleh Liam, tetapi tidak seperti ini juga caranya.Masi
Seperti rutinitas pagi biasanya Belle menyiapkan keperluan Paman Marlon dan William sebelum berangkat, wanita berumur 23 tahun itu dengan gesit menjalankan tugas yang sudah menjadi santapannya sehari-hari. Semua itu Belle lakukan dengan hati yang riang dan bahagia.Tidak lupa sebagai istri dan ibu yang baik Belle juga memberikan bekal makanan bergizi, selain untuk kesehatan, tentunya bisa lebih sedikit menghemat. Bukan Belle pelit, hanya saja dia baru menyadari ternyata keuangannya menurun drastis sejak William lahir hingga saat ini."Paman, hari ini makan malam di rumah saja ya," pesan Belle sambil menaruh bekal di hadapan Paman Marlon yang sedang mengenakan sepatu."Kau memasak makanan kesukaanku?" tanyanya."Ah, tidak, aku hanya ingin kau sedikit berhemat saja.""Berhemat?" Kening Marlon mengernyit, tetapi belum sempat dia bertanya lagi Belle sudah berlalu di depan sambil menggandeng William.Sejenak Marlon terdiam, dia melirik bekal yang sudah Belle siapkan di depan matanya. Bekal
Hari ini Marlon sangat badmood, suasana hatinya yang tidak menentu membuat pikiran meracau ke mana-mana, entah apa yang sebenarnya terjadi pada Gloe. Sebagai seorang anak Marlon tahu persis pria seperti apa Edward, dia pasti hanya memanfaatkan ibunya, apalagi perbedaan umur mereka sangatlah jauh.Tetapi yang lebih menjengkelkan Belle malah membela Edward, bahkan mendukung ibunya yang sedang puber kedua itu."Paman, kenapa William belum pulang ya?" Belle bangkit dari duduknya, wajah wanita itu tampak cemas, wajar saja karena sudah hampir pukul 10 malam William juga tidak kunjung pulang."Mungkin saja menginap di rumahnya Rose," jawab Marlon sambil memijat pelipisnya yang mulai terasa berat, dia tidak bisa menutupi betapa bingungnya saat ini, apalagi mengingat sang ibu meminta restu."Tapi teleponku tidak jawab oleh Rose, dokter Liam juga ponselnya tidak aktif," keluhnya benar-benar begitu cemas, dengan gusar Belle pun berjalan ke arah jendela dan mengintipnya sedikit.Enggan menyahut l
Wajah Belle merah padam, Paman Marlon memang paling bisa membuat dirinya tersipu hingga memerah sampai di sekujur tubuhnya. Untuk pertama kali setelah sekian lama menikah pria itu mengajak Belle melakukan sesuatu yang baru, dan memberikan sensasi yang beda terhadap tubuh polosnya tersebut.Menepuk pipinya berulang kali dengan semaksimal mungkin Belle berusaha mengembalikan napas dan pikirannya yang kacau, semua itu berkat ulah Paman Marlon, dengan segala trik dan permainan yang aneh."Kau sudah siap, Sayang?" tanya Marlon sambil membawa segelas teh hangat untuk Belle, sebagai suami yang baik dia tentu tahu apa yang istrinya butuhkan setelah berendam bathtub selama 4 jam.Belle menoleh, tangannya masih menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah, lalu dia bertanya. "Aku ingin susu cokelat hangat, Paman.""Oh, iya?" Paman Marlon tampak menggaruk tengkuknya, lalu dia menyengir. "Tidak apa-apa, minum teh saja dulu, biar tubuhmu menjadi hangat."Tanpa persetujuan Belle, dengan cepat Marl
Dengan sempoyongan Marlon pulang sedikit larut, untuk menghilangkan stres yang menikam kepalanya dia berhasil menghabiskan dua botol alkohol, dan sedikit hiburan. Telepon sengaja dia matikan, Marlon seakan lupa akan janjinya yang baru kemarin dia tangguhkan. Perkataan Miller saudaranya itu cukup mempengaruhi, sehingga Marlon menjadi pusing."Kau habis dari mana saja, Paman?" tanya Belle yang berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu merah membara."Aku habis bertemu dengan Miller," jawab Marlon."Ayahnya Rose?" Wanita itu bertanya lagi, kali ini Marlon hanya mengangguk, lalu melewati Belle begitu saja. "Kenapa kau tidak membawaku ke rumah Ibu mertua, aku kan juga ingin berkunjung menemuinya.""Aku hanya bertemu dengan Miller." Dia menegaskan, seraya mengambil handuk yang menggantung di rak.Menghela napas lelah Belle hanya menatap kepergian Paman Marlon, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi. Entah apa yang merasukinya? Terus terang, Belle merasa bingung dengan sikapnya Paman Marl