Share

5: MALAM PERTAMA

Kalau saja kali ini Isha tidak berada di depan ayah dan ibunya, sudah pasti dia akan menarik tangannya dari genggaman Malik yang sepertinya mengambil kesempatan malam ini. Akan tetapi Isha tidak ingin menambah masalah sehingga kemarahan ayahnya yang siang tadi mencapai puncaknya akan tersulut kembali.

“Aku senang kamu bersedia melakukannya, Mal. Satu yang harus kamu ingat, bahwa Isha adalah anakku satu-satunya. Meskipun kamu sudah menolong kami agar terhindar dari rasa malu dan dipermalukan, akan tetapi itu bukan alasan untuk kamu bisa berbuat semena-mena kepada Isha.” Ridwan mengakhiri nasehatnya.

“Pasti, Yah. Saya pasti akan mencintai Isha dengan sepenuh hati. Dan akan menjaga sesuai amanah Ayah serta Ibu,” jawab Malik yang semakin mengeratkan genggamannya.

Kini, tangan yang satunya malah ikut mengeratkan genggamannya, membuat Isha semakin geram. Namun, sekali lagi Isha tak mungkin menepis tangan Malik, hingga akhirnya Isha memilih diam. Hanya sesekali dia mengangguk seolah menyetujui pembicaraan mereka.

“Tuh, Isha. Dengarkan kata Ayah. Selama ini Ayah sudah menuruti apapun permintaanmu, apapun keinginan kamu. Bahkan ketika kamu mengajukan Murad menjadi calon suami kamu, Ayah setuju tanpa syarat. Sejujurnya Ayah kurang pas dengan pilihanmu ketika itu. Akan tetapi karena kamu mencintainya, Ayah menerima dengan lapang dada.” Ridwan menghentikan sejenak kalimatnya untuk menghela napas.

Isha hanya diam, menunduk dan merasa bersalah. Malik sekilas menoleh ke arah Isha yang tangannya masih dia genggam itu. Malik mengeratkan genggamannya, seolah memberi Isha support bahwa semua akan baik-baik saja.

“Tapi nyatanya feeling Ayah benar, kan? Kalau tak ada Malik, mungkin saat ini keluarga kita akan menjadi bahan gunjingan tetangga dan saudara. Terlebih kamu, Isha. Untuk itu Ayah minta, sekali ini saja kamu menuruti omongan Ayah. Jadilah istri yang baik untuk Malik. Hanya itu permintaan Ayah,” pungkas Ridwan.

Isha diam dan masih menunduk tak berani mendongak untuk menatap ayahnya.

“Bagaimana, Isha?” tanya Ridwan pada anak perempuannya itu.

Isha akhirnya mendongak tapi tak bisa memberikan jawaban karena dia belum bisa memastikan apakah dia bisa bersama dengan Malik selamanya, sementara hatinya jelas masih terisi Murad yang nyata-nyata sudah meninggalkannya itu.

Melihat situasi canggung kali ini, Malik mengambil alih pembicaraan untuk menyelamatkan Isha dari kejaran pertanyaan Ridwan.

“Yah, situasi kami tidak sama dengan situasi pernikahan orang lain. Saya tahu bahwa di dalam hati Isha tidak mudah untuk melupakan Murad dan menerima saya. Namun, sesuai dengan janji saya, saya akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat semuanya lebih baik untuk kamu berdua. Saya harap Ayah bisa mengerti dengan posisi kami,” kata Malik.

Ridwan manggut-manggut mengerti. Laki-laki itu tersenyum. Sepertinya dia tidak salah menyetujui pertolongan yang Malik berikan pada keluarga ini, karena Ridwan merasa bahwa Malik adalah laki-laki yang tepat untuk Isha.

“Baiklah. Mungkin kalian berdua lelah karena acara seharian ini. Atau mungkin juga ada hal lain yang harus kalian bicarakan berdua. Sekarang beristirahatlah,” perintah Ridwan pada kedua pengantin baru itu.

Malik mengangguk.

“Kalau begitu, kami permisi, Yah, Bu,” pamit Malik sambil menarik tangan Isha dengan lembut, mengajaknya kembali ke kamar.

Ridwan dan Rosminah mengangguk.

Isha masih membiarkan tangannya digenggam Malik ketika mereka berdua kembali ke kamar. Namun, itu hanya beberapa saat saja, karena ketika sampai di kamar Isha segera menarik tangannya dari genggaman tangan Malik. Malik membiarkannya, sama sekali tak memaksa.

“Apakah malam ini aku boleh tidur di atas ranjang yang sama denganmu?” tanya Maik dengan sengaja karena dia tahu bahwa Isha tidak mau tidur seranjang dengannya.

Sebenarnya Malik bisa saja memaksa dan tidur di ranjang yang sama. Tapi Malik tidak akan melakukannya. Dia menghargai Isha, apapun keputusan perempuan itu.

Mendengar pertanyaan Malik, Isha menoleh, menatap Malik.

“Abang tahu, kan, bahwa pernikahan ini bukan bukan pernikahan yang aku inginkan?” Isha balik bertanya dengan sengit.

Malik mengangguk.

“Ya, aku tahu itu, Sha. Karena itulah aku bertanya sama kamu.” Malik menjawab dengan kesabaran luar biasa. Sama sekali tak ada emosi yang muncul.

“Berarti Abang tahu, kan, jawabannya apa?” Isha melempar pertanyaan pada Malik yang sangat dipahami oleh laki-laki itu.

Malik mengangguk. Dia kemudian mengambil karpet yang ada di ujung kamar kemudian menggelarnya di kaki ranjang bagian bawah. Dia akan menggunakannya untuk tidur malam ini.

“Boleh aku pakai bantalnya?” tanya Malik setelah karpet berhasil digelarnya.

“Ambillah,” jawab Isha datar, tanpa ekspresi.

“Terima kasih,” ujar Malik yang kemudian mengambil bantal dan guling kemudian meletakkannya di atas karpet kemudian membaringkan tubuhnya di sana. Sementara Isha sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang empuk itu.

Hening, keduanya sama-sama diam seolah hanyut dalam alam pikiran masing-masing. Malik menggunakan kedua tangannya untuk menyangga kepalanya yang terbaring, lalu dia kemudian bertanya pada Isha.

“Kamu sudah tidur, Sha?” tanya Malik dengan suara jelas.

“Belum.” Suara Isha yang ketus awalnya membuat Malik ragu untuk berbicara.

“Boleh aku bicara?” tanya Malik lebih lanjut.

Diam, hening. Tak ada jawaban.

“Sha?” panggil Malik untuk memastikan bahwa Isha masih mendengar kalimatnya.

“Hmm.” Akhirnya Isha menyahut juga.

“Lusa, aku harus kembali ke tempatku mengajar.” Malik memulai kalimatnya.

“Lalu?” tanya Isha cepat.

“Karena kita sudah suami istri, kurasa ada baiknya kamu ikut denganku, sebagai bentuk tanggung jawabku sama kamu,” ujar Malik datar.

Mendengar kalimat itu, Isha terhenyak dan bangkit dari tidurnya. Dia duduk di atas ranjang dan menatap Malik yang terbaring di atas karpet di lantai kamar ini. Untung saja kamar Isha ini luas.

“Aku harus ikut Abang ke tempat Abang mengajar?” tanya Isha dengan sinis.

“Itu kalau kamu berkenan. Kalau kamu tidak berkenan, belum siap, dan masih mau tinggal sama ayah dan ibu di sini, aku tidak memaksa.” Malik menjawab dengan datar.

“Aku masih ingin di sini!” kata Isha ketus.

“Ya, tidak masalah. Hanya saja mungkin aku tidak bisa sering-sering pulang karena jaraknya lumayan jauh. Mungkin satu atau dua minggu sekali aku baru bisa pulang untuk mengunjungi kamu,” lanjut Malik.

“Baguslah kalau begitu.” Isha lega karena semakin jarang dia bertemu dengan Malik rasanya akan semakin baik.

“Namun, agar kita tidak ketahuan, kuharap besok pagi kamu bangun cepat dan mandi keramas sebelum sholat subuh,” pinta Malik.

“Eh, mengapa harus begitu?” tanya Isha langsung bangkit dan duduk, menatap tajam ke arah Malik yang terbaring santai di atas karpet.

“Ya, biar ayah sama ibu nggak curiga, Sha,” jawab Malik dengan sabar.

“Memangnya kalau ayah sama ibu curiga kenapa? Harus, ya, menjaga image dari orang lain?” tanya Isha lagi dengan ketus. Matanya yang bulat lebar menatap Malik.

“Ibu bukan menjaga image, Sha. Ini tentang menghargai dan menjaga perasaan ayah sama ibu.” Malik menjelaskan dengan tenang. Ditatapnya Isha yang menatap kesal ke arahnya. Dan sungguh, mata bulat nan indah itu masih seindah dulu, ketika mereka masih berteman baik sejak kecil dan remaja.

Isha mendengus ketika menyadari bahwa Malik menatapnya dengan intens, membuatnya risih hingga kemudian Isha kembali membanting diri di atas kasur dengan kasar.

‘Kalau saja yang mengucap ijab qabul tadi siang adalah Murad, dan bukan Malik, pasti sekarang adalah saat paling mendebarkan untukku,’ hati Isha berbisik lembut penuh sesal.

Tanpa disadarinya air mata mulai mengalir pelan dari sudut matanya. Namun, sebisa mungkin dia tidak akan menunjukkannya di hadapan siapapun, betapa hatinya terluka dan sakit atas apa yang Murad lakukan padanya hari ini.

Sementara itu, Malik yang belum juga bisa memejamkan matanya, membiarkan angannya melayang. Sejujurnya dia juga tak pernah membayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dalam pernikahan dengan Isha. Bahkan mereka sedang dalam suasana malam pertama pernikahan mereka. Namun, siapa sangka bahwa malam pertamanya akan dilaluinya dengan tidur sendiri di atas karpet kamar ini, padahal di atas kasur istrinya sedang tidur.

Tak dipungkiri bahwa Malik memang menyukai Isha semenjak mereka masih remaja tanggung. Akan tetapi sebuah kesalahpahaman membuat mereka berubah menjadi musuh.

Ketika itu …

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status