Share

4: NASIHAT UNTUK MEMPELAI

Malam usai perhelatan itu, suasana di rumah keluarga Ridwan mulai lengang. Segala aktivitas hajat yang beberapa hari ini berlangsung riuh, mulai berkurang. Para pekerja pelaminan dan dekorasi juga sudah mulai melepas pelaminan dan segala temannya. Petugas catering dan petugas kebersihan juga bekerja dengan sigap.

Beberapa saudara yang datang dari luar desa luar kota satu per satu mulai meninggalkan rumah Ridwan setelah ikut memeriahkan pernikahan Isha tadi siang. Hanya tinggal Malik dan Isha yang kini sah menjadi istrinya, juga Ridwan dan Rosminah serta dua orang pembantu yang membereskan rumah ini.

Malam menjelang isya, Ridwan memanggil Malik yang hendak mengambil air wudhu.

“Bisa kita bicara sebentar, Mal?” tanya Ridwan.

Malik menatap Ridwan, berpikir sejenak kemudian mengangguk.

“Bisa, Om. Sekarang?” tanya Malik dengan santun.

Ridwan tersenyum mendengar Malik masih memanggilnya dengan sebutan om, sebagaimana dulu anak itu memanggilnya dengan sebutan yang sama.

“Mengapa harus memanggil dengan sebutan om, Mal? Bukankah kita sudah menjadi keluarga? Kamu sudah menjadi suami Isha. Itu artinya kamu sudah menjadi anakku, dan aku menjadi ayahmu. Mungkin mulai sekarang kamu harus membiasakan memanggil om dengan panggilan ayah,” kata Ridwan masih dengan senyum leganya.

Malik tersenyum kikuk.

“Maaf, Yah. Mungkin hanya belum terbiasa saja,” Malik mengangguk canggung.

“Ya … aku tahu.”

“Ayah mau bicara sekarang?” tanya Malik melanjutkan percakapan yang terputus tadi.

Ridwan tersenyum.

“Sebenarnya iya. Kamu mau apa sekarang?” tanya Ridwan ketika dilihatnya Malik sepertinya mau ke belakang.

“Saya mau sholat isya dulu tadi rencananya.” Malik menjawab jujur.

“Ya, sudah. Kamu sholat dulu. Nanti kalau selesai, temui Ayah di ruang tamu. Ada yang harus Ayah bicarakan sama kamu, sebagai sesama laki-laki,” ujar Ridwan dengan serius.

“Baik, Yah. Saya sholat dulu,” pamit Malik hendak berlalu.

“Jangan lupa ajak Isha sekalian, Mal,” perintah Ridwan.

Malik tersenyum dan mengangguk, “Baik, Yah.”

Setelah Malik meninggalkannya, Ridwan lantas berjalan ke arah ruang tamu yang sudah dirapikan kembali. Pandangan mata Ridwan mengarah ke halaman yang masih terang benderang. Ada kelegaan luar biasa yang tergambar di wajah Ridwan ketika semua sudah selesai dengan baik, meski tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Setidaknya Ridwan mensyukuri keberadaan Malik yang datang tepat waktu untuk menyelamatkan muka keluarga ini.

Sejujurnya Ridwan tak habis pikir, apa yang membuat Malik demikian nekat bersedia menikahi Isha, padahal jelas-jelas Isha tidak mencintainya. Bahkan yang Ridwan tahu, hubungan persahabatan mereka yang dulu baik itu memburuk dalam beberapa tahun terakhir ini.

Namun, apapun motif Malik menikahi Isha, Ridwan hanya ingin agar tidak ada niat buruk di hati Malik atas Isha.

“Mau kopi, Pak?” Rosminah yang tiba-tiba datang itu bertanya pada Ridwan.

Ridwan menoleh dan menatap Rosminah.

“Nanti saja menunggu Malik. Ada yang ingin aku bicarakan dengan dia,” jawab Ridwan.

“Memangnya Bapak mau bicara apa dengan Malik?” tanya Rosminah dengan sabar sambil duduk di sisi Ridwan.

Sejenak Ridwan terdiam, tetapi kemudian menatap istrinya.

“Bagaimanapun aku harus berterima kasih atas apa yang sudah Malik lakukan untuk kita, untuk Isha, dan untuk keluarga kita. Kalau Malik tak maju, mungkin malam ini kita tidak bisa tidur nyenyak memikirkan rasa malu yang harus ditanggung keluarga kita, Ros,” kata Ridwan.

Rosminah mengangguk mengerti.

***

Sementara di kamar pengantin ….

Isha sedang tiduran di atas kasur yang sudah disusun sedemikian manis, dengan baju panjang dan juga celana panjang. Tangannya terus memegang ponsel untuk berselancar kesana kemari, mencari informasi tentang keberadaan Murad karena Isha masih belum terima dengan semua ini. Jangan berpikir bahwa malam pernikahan mereka akan diwarnai hal-hal erotis atau yang berbau panas, karena Isha tidak mungkin melakukannya pada Malik. Jikapun dia melakukannya, itu bukan dengan Malik, melainkan dengan Murad.

“Sha? Sudah waktunya sholat isya. Mau jamaah?” tanya Malik dengan sabar.

“Abang duluan saja. Aku nanti,” jawab Isha dengan nada malas menanggapi.

“Melaksanakan shalat di awal waktu lebih baik, Sha,” lanjut Malik tak mau menyerah.

Kesal, Isha bangkit dan menatap Malik dengan sorot mata kesal penuh kebencian.

“Abang nggak dengar? Aku bilang shalatnya nanti. Kenapa maksa, sih?” tanya Isha tak kalah sengit dari sebelumnya.

Malik tersenyum.

“Abang nggak memaksa, Sha. Abang hanya menawarkan untuk berjamaah,” Malik berkata dengan sangat sabar.

Isha terdiam tak menjawab meski masih merasakan kesal.

Malik lantas mengambil air wudhu dan segera melaksanakan kewajibannya, sementara Isha masih saya berkutat dengan ponselnya. Sesungguhnya Isha sedang melakukan kompromi dengan hatinya, dengan kehidupannya yang tiba-tiba berubah tanpa bisa dikendalikan lagi.

Padahal kemarin dia masih berhubungan dan chatting dengan Murad, saling mengabarkan satu sama lain. Akan tetapi ketika dini hari Isha terbangun dan mencoba menghubungi lelaki itu, kontaknya sama sekali tak bisa dihubungi. Tak juga mengangkat panggilan yang berulang kali dia lakukan.

Dan sekarang?

Tiba-tiba saja dia menjadi istri Malik. Laki-laki teman bermainnya yang dulu baik akan tetapi kemudian mempermalukan dirinya di sekolahan ketika itu, sehingga Isha benar-benar membenci Malik. Hingga sekarang.

Dan sialnya, ketika Murad tidak hadir pada malam pernikahan mereka, Malik menyerahkan diri bagai penyakit yang membuat Isha semakin kesal. Mengapa harus Malik yang menjadi suaminya? Mengapa Murad tak datang padahal ini adalah hari yang mereka impikan bersama semenjak mereka menjalin hubungan.

Dalam diam air mata Isha menetes. Menangisi hidupnya yang tidak sesuai dengan ekspektasinya selama ini. Menangisi cintanya yang harus kandas di tengah jalan. Menangisi dirinya yang terpaksa menjadi istri Malik tanpa cinta, hanya demi menjaga nama baik keluarga ini agar tidak terlalu didera rasa malu.

Malik usai sholat isya ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.

“Mal? Isha? Ayah menunggu di ruang tengah.” Rosminah memanggil di depan pintu.

Malik dan Isha saling menatap, tak tahu siapa yang harus menjawab.

“Ya, Bu. Kami segera ke sana,” jawab Isha akhirnya.

“Jangan lama-lama,” pesan Rosminah.

Malik melepas sarung yang dikenakannya dan melipatnya. Sajadah yang tadi digelarnya juga digulung dengan rapi.

“Sebaiknya kita keluar bersama, agar tidak menimbulkan kecurigaan mereka.” Malik memberi saran.

“Memangnya mengapa kalau mereka curiga? Toh, ayah dan ibu tahu, kan, mengapa dan untuk apa pernikahan ini berlangsung?” Isha malah bersikap ketus, membuat Malik memilih untuk diam.

Dia tahu Isha sedang dalam kondisi tidak stabil. Jika Malik ikut terbawa arus emosinya, maka semua usahanya hari ini akan sia-sia belaka.

“Kita keluar sekarang? Ayah dan ibu sudah menunggu.” Malik mengulangi kalimat ajakannya.

Meski dengan ekspresi yang sangat tak sedap dilihat, tetapi Isha akhirnya keluar juga. Dia berjalan mendahului Malik, sementara Malik mengekor di belakangnya. Tak ada sedikitpun amarah yang muncul di hati Malik dengan sikap Isha kali ini. Sebisa mungkin dia akan memaklumi apapun yang Isha lakukan, karena Malik tahu, ini semua terlalu berat untuk Isha tanggung sendiri. Sekarang, Isha adalah istrinya dan dia berkewajiban memberikan kenyamanan pada perempuan itu. Apalagi situasi sedang tidak baik-baik saja di awal pernikahan tak terencana ini.

“Ayah memanggil kami?” tanya Isha ketika dia dan Malik tiba di ruang tengah.

Di sana Ridwan dan Rosminah sudah menunggu. Dua cangkir kopi juga sudah Rosinah buat untuk Malik dan Ridwan.

“Ya. Duduklah. Ayah ingin bicara dengan kalian berdua,” jawab Ridwan.

Isha mendahului duduk dengan wajah cemberut, sementara Malik menyusul duduk di sebelahnya. Akan tetapi Isha segera beringsut menjauh ketika dirasanya Malik duduk terlalu dekat. Ridwan menatap sikap Isha ini dengan perasaan tak nyaman, merasa tak enak hati dengan Malik.

“Malik, Isha … kali ini Ayah mau bicara baik-baik dengan kalian berdua.” Ridwan mengawali pembicaraan ini dengan kalimat bijak, sementara Rosinah hanya duduk mendengarkan.

Isha dan Malik menunduk, siap mendengarkan apa yang akan Ridwan katakan pada mereka berdua.

“Kita semua tahu, bahwa apa yang hari ini terjadi tidak mudah untuk kita terima dengan lapang dada. Ayah minta maaf padamu, Isha. Jika tadi pagi Ayah sampai marah sama kamu. Karena ini sungguh membuat kita semua shock. Dan kepadamu, Malik, Ayah ucapkan beribu terima kasih karena kamu sudah bersedia menyelamatkan kami dari ancaman rasa malu dan dipermalukan dengan terang-terangan seperti ini tadi.” Ridwan menatap Malik yang hanya mengangguk.

“Saya hanya melakukan apa yang sekiranya bisa saya lakukan, Yah.” Malik menjawab santun, tetapi ekspresi Isha jelas mencibir jawaban Malik.

Ridwan menghela napas panjang.

“Kalian sudah saling mengenal satu sama lain. Ayah rasa tidak sulit bagi kalian untuk saling beradaptasi satu sama lain untuk menjaga agar pernikahan ini tetap terjaga sampai maut memisahkan kalian. Karena bagi Ayah, pantang menikah dua kali. Jadi Ayah harap padamu, Isha, agar kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Malik. Dan kamu, Malik, bisa menjadi suami yang baik untuk Isha. Kamu tahu bagaimana kerasnya sifat anak kami ini. Kami hanya berharap, kamu membimbingnya dengan penuh kedewasaan. Ini amanah Ayah yang harus kamu laksanakan dengan baik, Mal.” Ridwan memberikan nasehat panjang lebar.

Malik mengangguk.

“Dan kamu, Isha. Mulailah bersikap dewasa. Kamu harus memperlakukan Malik dengan baik sebagaimana layaknya seorang istri memperlakukan suaminya. Berterima kasihlah karena nama baikmu tertolong dengan kesediaannya menikahi kamu.” Ridwan menatap Isha.

“Insya Allah saya akan menjaga dan membimbing Isha dengan baik, Yah,” jawab Malik sambil tangannya meraih paksa tangan Isha dan menggenggamnya dengan kuat, seolah meyakinkan Ridwan bahwa mereka akan baik-baik saja.

Dan Isha terkejut dengan sikap Malik yang sok mesra seperti ini. Tubuhnya bagai tersengat aliran listrik sehingga tanpa sadar dia terhenyak karena sentuhan tangan Malik.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status