Share

6: HIDUP ITU MISTERI

Ketika itu, hari pertama Isha sekolah di SMA Perwira Negara. Sebuah sekolah swasta yang memiliki aturan yang baik dan ketat dalam mendidik siswa-siswinya. Sebagian besar, siswa yang masuk ke SMA ini adalah siswa dan siswi yang memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata.

Sudah sejak semalam Isha mempersiapkan hari ini. Hari pertama masuk ke sekolah favorite meskipun swasta, tapi jelas ini sekolahan yang bergengsi. Baju putih abu-abu yang sejak semalam disiapkannya setelah disetrika dengan halus dipakainya pagi ini. Sepatu baru dengan merk yang lumayan berkelas semakin membuat senyum Isha lebar.

“Sudah bersiap saja sepagi ini, Sha?” tanya Rosminah dengan senyum lebar ketika menyiapkan sarapan pagi ini.

“Hari pertama harus dipersiapkan dengan baik, kan, Bu?” tanya Isha dengan gembira ketika dia duduk di ruang makan.

“Bapak sudah sarapan, Bu?” tanya Isha sambil mengambil nasi dan beberapa potong lauk.

“Bapakmu sudah pergi setelah fajar terbit tadi,” jawab Rosminah dengan lembut.

“Kemana? Sepagi ini?” tanya gadis itu sambil meneguk teh hangat yang dibuatkan Rosminah untuknya.

“Ada pengiriman barang ke Surabaya. Jadi bapakmu harus seleksi sendiri ke gudang. Cepatlah makan. Sepertinya Malik sudah datang,” ujar Rosminah.

“Memangnya Ibu dengar sepeda motornya?” tanya Isha.

“Iya. Di depan ada sepeda motor berhenti. Ibu akan ke depan, jadi selesaikan makanmu cepat,” ujar Rosminah.

Isha hanya mengangguk dan meneruskan makannya.

Rosminah berjalan ke depan untuk menemui Malik. Malik adalah teman Isha semenjak mereka duduk di sekolah dasar. Keduanya memang seperti kakak beradik. Malik selalu bisa berbuat baik dan melindungi jika bersama dengan Isha, sehingga baik Rosminah maupun Ridwan sudah sangat percaya dengan Malik.

Apalagi Malik memang bukan laki-laki tak baik. Malik malah terkenal terlalu baik. Agamanya bagus, suka mengajar mengaji anak-anak kecil di sekitarnya, membantu ayahnya yang memiliki sanggar mengaji jika sore hari. Meski begitu, Malik bukan laki-laki yang terlalu fanatik sehingga harus membatasi pergaulan dan pertemanan dengan perempuan. Tidak. Malik tidak sekaku itu dalam hidupnya.

Dia tetap berteman biasa dengan teman sekolahnya. Jika harus belajar kelompok dengan mereka, Malik juga tetap mengerjakan belajarnya dengan baik. Tidak terlalu membatasi diri meskipun dia juga seorang muslim yang tetap menjalankan kewajibannya.

“Hei, Mal? Sudah datang menjemput sepagi ini? Sarapan dulu sana. Isha sedang sarapan.” Rosminah menyapa Malik dengan ramah ketika dia sampai di teras depan dan dilihatnya Malik sedang berbincang dengan pak Tono, tukang kebun di rumah Ridwan ini.

“Terima kasih, Tante. Saya sudah sarapan. Tadi Ibu saya juga sudah memasak,” jawab Malik santun.

“Betul sudah sarapan?” tanya Rosminah memastikan.

Malik mengangguk dengan senyum santun.

“Baiklah. Sebentar lagi Isha selesai makan,” ujar Rosminah lebih lanjut.

Malik mengangguk.

“Oh, ya, Mal. Tante ada sedikit permintaan sama kamu,” kata Rosminah yang berjalan mendekati Malik. Perempuan itu harus mendongak untuk menatap Malik yang tinggi.

Malik mengerutkan keningnya.

“Permintaan? Permintaan apa, Tante?” tanya Malik.

“Ini hari pertama dia sekolah di SMA. Meskipun banyak temannya yang dari sekolah sebelumnya, tapi kamu tahu, kan, kalau Isha ini kurang begitu dekat dengan mereka? Tante minta kamu tetap menjaganya dengan baik jika nanti ada yang nakal sama dia,” pesan Rosminah dengan suara rendah agar tidak terdengar oleh pak Tono maupun yang lain jika kebetulan ada yang lewat.

Mendengar permintaan itu, Malik tersenyum.

“Tante nggak usah khawatir. Saya akan jagain Isha dengan baik. Lagi pula, teman-teman barunya nanti juga semakin banyak, kan, Tante? Mungkin Isha bisa memperoleh teman baru yang membuatnya menjadi lebih terbuka,” ujar Malik dengan bijak untuk meredakan kekhawatiran Rosminah.

Sebenarnya masuk akal jika Rosminah resah karena bagaimanapun Isha adalah anak satu-satunya di keluarga Ghazali. Tentu mereka menginginkan yang terbaik untuk putri mereka.

“Ya, kamu benar, Mal. Tapi tak ada salahnya Tante minta tolong sama kamu untuk menjaga Isha, kan, Mal? Itu juga kalau kamu tidak keberatan, Mal. Kalau kamu merasa keberatan, ya, Tante tidak memaksa,” ujar Rosminah dengan senyum.

“Boleh, Tant. Boleh. Saya tidak keberatan,” jawab Malik cepat.

“Baiklah. Tante jadi tenang kalau begitu. Masalahnya kamu mengerti, kan, Mal? Isha itu tidak pandai bergaul dan sedikit sensitif. Mungkin karena selama ini dia tidak pernah berbagi perhatian dengan orang lain,” ujar Rosminah dengan senyum canggung.

Malik mengangguk mengerti.

“Saya paham, Tante. Tapi sejauh ini Isha baik dan tidak pernah menyulitkan siapapun, termasuk saya,” ujar Malik.

Rosminah mengangguk.

“Selama ini hanya kamu orang yang berteman dengan Isha dalam waktu yang cukup lama. Bahkan semenjak kalian duduk di sekolah dasar,” ujar Rosminah mengingat masa kecil Malik dan Isha.

Malik tersenyum mengangguk paham. Rosminah benar. Isha yang cantik dan riang itu memang sedikit payah dalam berinteraksi dengan teman sekolahnya, terutama teman perempuan. Mungkin sebagian besar dari mereka menganggap bahwa Isha sedikit ketus dan kalau bicara sering menyakiti hati temannya karena Isha anak orang kaya.

Sebenarnya tidak demikian. Isha hanya terbiasa dengan lingkungan di rumahnya yang selalu diutamakan sehingga ketika bergaul dengan temannya juga dia ingin diutamakan. Dan dari sekian banyak teman, baik laki-laki maupun perempuan, hanya Malik yang tetap bertahan berada di sisi Isha. Meskipun memang kadang-kadang Isha bermulut pedas. Tapi Malik tahu bahwa pada dasarnya Isha adalah gadis yang baik.

“Kalian sedang membicarakan saya?” tanya Isha yang ternyata sudah berdiri di pintu.

Malik dan Rosminah menoleh menatap Isha. Keduanya tersenyum menatap Isha.

“Sudah selesai makannya, Is?” tanya Rosminah dengan senyum sayang.

Isha mengangguk dan berjalan riang mendekati keduanya.

“Masakan Ibu pagi ini sempurna nikmatnya. Saya kekenyangan,” jawab Isha sambil mengelus perutnya yang kenyang dan tersenyum lebar, membuat Malik ikut tersenyum melihatnya.

“Bekalnya sudah dibawa?” tanya Rosminah.

“Sudah. Di dalam tas,” jawab Isha.

Rosminah mengangguk.

“Berangkat sekarang?” tanya Malik sesaat setelah mereka selesai berbincang ringan.

Isha mendongak untuk menatap Malik yang menjulang tinggi sebelum kemudian mengangguk setuju. Malik kemudian berjalan menuju ke sepeda motornya, kemudian mengambil helm dan diberikannya pada Isha. Isha menerima dan mengenakannya.

“Kami permisi dulu, Tante,” pamit Malik mengangguk sambil mengenakan helm.

“Hati-hati di jalan, ya, Mal? Jangan ngebut-ngebut,” pesan Rosminah yang dijawab anggukan oleh Malik.

“Saya berangkat, Bu,” pamit Isha kemudian menyalami Rosminah sebagaimana biasanya.

“Hati-hati, Is,” pesan Rosminah sekali lagi.

Isha mengangguk sebelum kemudian naik ke atas boncengan sepeda motor Malik dan Malik melajukan sepeda motornya untuk berangkat sekolah yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari rumah mereka.

“Ibu bicara apa tadi sama Abang?” tanya Isha setelah mereka berada di jalan menuju ke sekolah.

“Bicara apa?” tanya Malik.

Isha berdecak karena Malik seolah tidak tahu apa yang dimaksud olehnya itu.

“Yang tadi sebelum saya keluar. Kayaknya Abang ngobrol serius sama Ibu?” tanya Isha terus mengejar jawaban Malik.

Malik tersenyum dan paham. Begitulah Isha, kalau dia ingin mengetahui sesuatu maka dia akan terus mengejarnya hingga mendapat jawaban yang diinginkannya.

“Nggak ada yang serius. Hanya berpesan untuk menjagamu jika ada yang jahil di sekolah,” jawab Malik dengan sabar.

Isha merengut dan Malik tertawa melihat wajah Isha dari kaca spionnya.

“Ibu selalu seperti itu, kan? Selalu menganggap saya masih anak sekolah dasar,” gerutu Isha.

“Sudahlah. Jangan mengeluh. Setiap Ibu selalu seperti itu. Mengkhawatirkan anaknya. Nanti juga kalau kamu dewasa dan punya anak akan seperti itu,” ujar Malik menenangkan.

“Punya anak? Mau punya anak sama siapa, pacaran aja nggak boleh sama Ibu,” gerutu Isha lagi.

“Sama aku nanti. Pasti ibumu nggak keberatan.” Malik menjawab sekenanya dan bahkan tanpa sengaja.

“Apa?! Sama Abang?” pekik Isha sambil memukul punggung Malik dengan kesal.

“Bercanda, Sha. Jangan dimasukkan ke hati,” pinta Malik dengan tergelak.

Mereka tak menyadari, bisa saja ucapan mereka akan menjadi kenyataan suatu saat kelak. Bukankah hidup itu misteri?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status