Ketika itu, hari pertama Isha sekolah di SMA Perwira Negara. Sebuah sekolah swasta yang memiliki aturan yang baik dan ketat dalam mendidik siswa-siswinya. Sebagian besar, siswa yang masuk ke SMA ini adalah siswa dan siswi yang memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata.
Sudah sejak semalam Isha mempersiapkan hari ini. Hari pertama masuk ke sekolah favorite meskipun swasta, tapi jelas ini sekolahan yang bergengsi. Baju putih abu-abu yang sejak semalam disiapkannya setelah disetrika dengan halus dipakainya pagi ini. Sepatu baru dengan merk yang lumayan berkelas semakin membuat senyum Isha lebar.
“Sudah bersiap saja sepagi ini, Sha?” tanya Rosminah dengan senyum lebar ketika menyiapkan sarapan pagi ini.
“Hari pertama harus dipersiapkan dengan baik, kan, Bu?” tanya Isha dengan gembira ketika dia duduk di ruang makan.
“Bapak sudah sarapan, Bu?” tanya Isha sambil mengambil nasi dan beberapa potong lauk.
“Bapakmu sudah pergi setelah fajar terbit tadi,” jawab Rosminah dengan lembut.
“Kemana? Sepagi ini?” tanya gadis itu sambil meneguk teh hangat yang dibuatkan Rosminah untuknya.
“Ada pengiriman barang ke Surabaya. Jadi bapakmu harus seleksi sendiri ke gudang. Cepatlah makan. Sepertinya Malik sudah datang,” ujar Rosminah.
“Memangnya Ibu dengar sepeda motornya?” tanya Isha.
“Iya. Di depan ada sepeda motor berhenti. Ibu akan ke depan, jadi selesaikan makanmu cepat,” ujar Rosminah.
Isha hanya mengangguk dan meneruskan makannya.
Rosminah berjalan ke depan untuk menemui Malik. Malik adalah teman Isha semenjak mereka duduk di sekolah dasar. Keduanya memang seperti kakak beradik. Malik selalu bisa berbuat baik dan melindungi jika bersama dengan Isha, sehingga baik Rosminah maupun Ridwan sudah sangat percaya dengan Malik.
Apalagi Malik memang bukan laki-laki tak baik. Malik malah terkenal terlalu baik. Agamanya bagus, suka mengajar mengaji anak-anak kecil di sekitarnya, membantu ayahnya yang memiliki sanggar mengaji jika sore hari. Meski begitu, Malik bukan laki-laki yang terlalu fanatik sehingga harus membatasi pergaulan dan pertemanan dengan perempuan. Tidak. Malik tidak sekaku itu dalam hidupnya.
Dia tetap berteman biasa dengan teman sekolahnya. Jika harus belajar kelompok dengan mereka, Malik juga tetap mengerjakan belajarnya dengan baik. Tidak terlalu membatasi diri meskipun dia juga seorang muslim yang tetap menjalankan kewajibannya.
“Hei, Mal? Sudah datang menjemput sepagi ini? Sarapan dulu sana. Isha sedang sarapan.” Rosminah menyapa Malik dengan ramah ketika dia sampai di teras depan dan dilihatnya Malik sedang berbincang dengan pak Tono, tukang kebun di rumah Ridwan ini.
“Terima kasih, Tante. Saya sudah sarapan. Tadi Ibu saya juga sudah memasak,” jawab Malik santun.
“Betul sudah sarapan?” tanya Rosminah memastikan.
Malik mengangguk dengan senyum santun.
“Baiklah. Sebentar lagi Isha selesai makan,” ujar Rosminah lebih lanjut.
Malik mengangguk.
“Oh, ya, Mal. Tante ada sedikit permintaan sama kamu,” kata Rosminah yang berjalan mendekati Malik. Perempuan itu harus mendongak untuk menatap Malik yang tinggi.
Malik mengerutkan keningnya.
“Permintaan? Permintaan apa, Tante?” tanya Malik.
“Ini hari pertama dia sekolah di SMA. Meskipun banyak temannya yang dari sekolah sebelumnya, tapi kamu tahu, kan, kalau Isha ini kurang begitu dekat dengan mereka? Tante minta kamu tetap menjaganya dengan baik jika nanti ada yang nakal sama dia,” pesan Rosminah dengan suara rendah agar tidak terdengar oleh pak Tono maupun yang lain jika kebetulan ada yang lewat.
Mendengar permintaan itu, Malik tersenyum.
“Tante nggak usah khawatir. Saya akan jagain Isha dengan baik. Lagi pula, teman-teman barunya nanti juga semakin banyak, kan, Tante? Mungkin Isha bisa memperoleh teman baru yang membuatnya menjadi lebih terbuka,” ujar Malik dengan bijak untuk meredakan kekhawatiran Rosminah.
Sebenarnya masuk akal jika Rosminah resah karena bagaimanapun Isha adalah anak satu-satunya di keluarga Ghazali. Tentu mereka menginginkan yang terbaik untuk putri mereka.
“Ya, kamu benar, Mal. Tapi tak ada salahnya Tante minta tolong sama kamu untuk menjaga Isha, kan, Mal? Itu juga kalau kamu tidak keberatan, Mal. Kalau kamu merasa keberatan, ya, Tante tidak memaksa,” ujar Rosminah dengan senyum.
“Boleh, Tant. Boleh. Saya tidak keberatan,” jawab Malik cepat.
“Baiklah. Tante jadi tenang kalau begitu. Masalahnya kamu mengerti, kan, Mal? Isha itu tidak pandai bergaul dan sedikit sensitif. Mungkin karena selama ini dia tidak pernah berbagi perhatian dengan orang lain,” ujar Rosminah dengan senyum canggung.
Malik mengangguk mengerti.
“Saya paham, Tante. Tapi sejauh ini Isha baik dan tidak pernah menyulitkan siapapun, termasuk saya,” ujar Malik.
Rosminah mengangguk.
“Selama ini hanya kamu orang yang berteman dengan Isha dalam waktu yang cukup lama. Bahkan semenjak kalian duduk di sekolah dasar,” ujar Rosminah mengingat masa kecil Malik dan Isha.
Malik tersenyum mengangguk paham. Rosminah benar. Isha yang cantik dan riang itu memang sedikit payah dalam berinteraksi dengan teman sekolahnya, terutama teman perempuan. Mungkin sebagian besar dari mereka menganggap bahwa Isha sedikit ketus dan kalau bicara sering menyakiti hati temannya karena Isha anak orang kaya.
Sebenarnya tidak demikian. Isha hanya terbiasa dengan lingkungan di rumahnya yang selalu diutamakan sehingga ketika bergaul dengan temannya juga dia ingin diutamakan. Dan dari sekian banyak teman, baik laki-laki maupun perempuan, hanya Malik yang tetap bertahan berada di sisi Isha. Meskipun memang kadang-kadang Isha bermulut pedas. Tapi Malik tahu bahwa pada dasarnya Isha adalah gadis yang baik.
“Kalian sedang membicarakan saya?” tanya Isha yang ternyata sudah berdiri di pintu.
Malik dan Rosminah menoleh menatap Isha. Keduanya tersenyum menatap Isha.
“Sudah selesai makannya, Is?” tanya Rosminah dengan senyum sayang.
Isha mengangguk dan berjalan riang mendekati keduanya.
“Masakan Ibu pagi ini sempurna nikmatnya. Saya kekenyangan,” jawab Isha sambil mengelus perutnya yang kenyang dan tersenyum lebar, membuat Malik ikut tersenyum melihatnya.
“Bekalnya sudah dibawa?” tanya Rosminah.
“Sudah. Di dalam tas,” jawab Isha.
Rosminah mengangguk.
“Berangkat sekarang?” tanya Malik sesaat setelah mereka selesai berbincang ringan.
Isha mendongak untuk menatap Malik yang menjulang tinggi sebelum kemudian mengangguk setuju. Malik kemudian berjalan menuju ke sepeda motornya, kemudian mengambil helm dan diberikannya pada Isha. Isha menerima dan mengenakannya.
“Kami permisi dulu, Tante,” pamit Malik mengangguk sambil mengenakan helm.
“Hati-hati di jalan, ya, Mal? Jangan ngebut-ngebut,” pesan Rosminah yang dijawab anggukan oleh Malik.
“Saya berangkat, Bu,” pamit Isha kemudian menyalami Rosminah sebagaimana biasanya.
“Hati-hati, Is,” pesan Rosminah sekali lagi.
Isha mengangguk sebelum kemudian naik ke atas boncengan sepeda motor Malik dan Malik melajukan sepeda motornya untuk berangkat sekolah yang jaraknya sekitar lima belas kilometer dari rumah mereka.
“Ibu bicara apa tadi sama Abang?” tanya Isha setelah mereka berada di jalan menuju ke sekolah.
“Bicara apa?” tanya Malik.
Isha berdecak karena Malik seolah tidak tahu apa yang dimaksud olehnya itu.
“Yang tadi sebelum saya keluar. Kayaknya Abang ngobrol serius sama Ibu?” tanya Isha terus mengejar jawaban Malik.
Malik tersenyum dan paham. Begitulah Isha, kalau dia ingin mengetahui sesuatu maka dia akan terus mengejarnya hingga mendapat jawaban yang diinginkannya.
“Nggak ada yang serius. Hanya berpesan untuk menjagamu jika ada yang jahil di sekolah,” jawab Malik dengan sabar.
Isha merengut dan Malik tertawa melihat wajah Isha dari kaca spionnya.
“Ibu selalu seperti itu, kan? Selalu menganggap saya masih anak sekolah dasar,” gerutu Isha.
“Sudahlah. Jangan mengeluh. Setiap Ibu selalu seperti itu. Mengkhawatirkan anaknya. Nanti juga kalau kamu dewasa dan punya anak akan seperti itu,” ujar Malik menenangkan.
“Punya anak? Mau punya anak sama siapa, pacaran aja nggak boleh sama Ibu,” gerutu Isha lagi.
“Sama aku nanti. Pasti ibumu nggak keberatan.” Malik menjawab sekenanya dan bahkan tanpa sengaja.
“Apa?! Sama Abang?” pekik Isha sambil memukul punggung Malik dengan kesal.
“Bercanda, Sha. Jangan dimasukkan ke hati,” pinta Malik dengan tergelak.
Mereka tak menyadari, bisa saja ucapan mereka akan menjadi kenyataan suatu saat kelak. Bukankah hidup itu misteri?
***
Meskipun Malik menjauh, namun dia tidak membiarkan Isha dan Murad berinteraksi tanpa pengawasan. Malik tetap memantau mereka. Bahkan, ketika Malik melihat Isha terlihat menangis dan emosi, ingin rasanya Malik segera mendekat dan menenangkan Isha. Namun sepertinya pembicaraan mereka belum selesai, sehingga Malik memilih diam dan menunggu.Tiba-tiba ponsel Malik berdering. Laki-laki itu segera menerima panggilan yang ternyata dari Bu Rosminah.“Assalamu alaikum, Ibu?” sapa Malik santun.“Mal? Dimana kalian? Bapak sudah sadar. Beliau akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Bisakah kalian ke sini sekarang? Kita harus mengantar Bapak ke ruang rawat inap.” Bu Rosminah meminta Malik datang.“Oh, bisa, Bu. Sekarang kami kesana,” jawab Malik dengan cepat.Tanpa banyak pertimbangan, Malik segera bergegas menemui Isha yang sedang bicara dengan Murad.“Maaf, Murad. Aku harus mengajak Isha menemui Bapak. Mungkin nanti bisa diteruskan kembali jika memang kalian belum selesai bicara,” ujar Malik sambi
Dan disinilah mereka bertiga kini. Di tempat dimana tadi Malik menemui Murad dan bicara empat mata. Namun, kini menjadi enam mata karena Isha akhirnya bersedia menemui Murad, lelaki yang dulu dicintainya tetapi sekarang dibencinya setengah mati. Tetapi tak bijak rasanya jika dia membenci tanpa memberi kesempatan pada Murad untuk menceritakan semuanya.Meskipun mereka sadari bahwa penjelasan apapun yang nanti akan Murad katakan, sama sekali tak berpengaruh pada hubungan mereka yang terlanjur berantakan.“Silahkan bicara. Perselisihan kalian harus segera diakhiri,” ujar Malik pada Isha dan Murad, kemudian hendak pergi.Namun, tangan Isha memegang tangan Malik, mencegah suaminya itu menjauh.“Abang mau kemana?” tanya Isha canggung.Malik tersenyum, kemudian mengusap kepala Isha dengan senyumnya yang menyejukkan hati.“Aku harus memberi waktu pada kalian untuk menyelesaikan semuanya,” ujarnya.“Mengapa Abang nggak di sini saja?” pinta Isha.Malik tersenyum dan menggeleng.“Nanti kalian ti
Bertemu dengan Isha?Malik spontan menoleh ke arah Murad dengan ekspresi aneh, seperti tak suka dan tidak setuju dengan permintaan Murad kali ini. Memangnya siapa dia sampai minta bertemu? Melihat perubahan ekspresi Malik yang shock itu, Murad buru-buru membenahi kalimatnya.“Aku hanya ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Aku hanya ingin minta maaf, untuk yang terakhir kalinya. Jadi tolong jangan berpikir bahwa aku akan memintanya kembali padaku, karena aku tahu itu tak akan mungkin terkabul,” ujar Murad dengan cepat.Sungguh, dia nyeri ketika mengatakan bahwa dia tak akan meminta Isha kembali padanya, padahal jujur saja dia masih sangat mencintai Isha. Hanya saja mungkin cintanya sudah tidak berlaku lagi.“Dan aku tak akan membiarkanmu memintanya kembali jika kamu melakukannya,” ujar Malik dengan tegas penuh nada posesif.Murad tersenyum. Diam-diam dia salut dengan sikap yang diambil oleh Malik atas pernikahan dan cintanya. Laki-laki ini tegas menentukan sikap ketika ada bah
Malik sengaja mengajak Murad untuk sedikit menjauh dari posisi Isha dan Bu Rosminah yang menunggu Pak Ridwan keluar dari ruang ICU rumah sakit ini. Ketika tiba di koridor yang sedikit lengang, Malik menghentikan langkahnya.“Kita bicara di sini saja,” pinta Malik sambil mengajak Murad duduk di kursi panjang yang ada di koridor itu.Murad hanya mengangguk. Keduanya lantas duduk berjajar berdampingan dalam jarak yang tidak terlalu dekat.“Mungkin kamu sudah tahu siapa aku,” ujar Malik mengawali percakapannya dengan Murad.Terdengar Murad menghela napas panjang dan berat.“Ya. Aku mendengarnya dari Rendra, bahwa kamu adalah suami Isha.” Murad menjawab dengan nada murung yang tak bisa disembunyikan.Malik tersenyum masam mendengar jawaban Murad.“Ya. Suami pengganti kehadiranmu yang mangkir ketika itu,” tandas Malik seolah menegaskan kesalahan terbesar Murad pada Isha.Murad tersenyum getir.“Ya. Aku memang bodoh ketika itu. Memilih takut pada ancaman selingkuhanku daripada menikahi Isha.
Pak Ridwan dan Bu Rosminah benar-benar terkejut melihat kedatangan Murad, laki-laki yang sudah mempermalukan keluarganya karena tidak datang pada hari pernikahannya dengan Isha.“Murad? Masih punya nyali dia untuk datang ke sini,” gumam Pak Ridwan dengan geram dan wajah yang sangar.“Tenang, Pak. Jangan terbawa emosi. Kita lihat dulu apa maksudnya datang kali ini,” jawab Bu Rosminah masih dengan suara rendah.“Hm.” Hanya itu jawab Pak Ridwan, menunjukkan betapa geramnya dia pada sosok Murad yang kini datang tanpa rasa bersalah itu.Sementara itu, Murad yang turun dari mobilnya sejenak bimbang. Apalagi ketika melihat reaksi kedua orang yang kebetulan sedang ada di teras itu. Tapi Murad tidak mungkin kabur begitu saja. Kemarin dia sudah bersikap pengecut, dan sekarang dia tak ingin menjadi pengecut untuk kedua kalinya di mata keluarga ini.“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa Murad dengan kikuk namun tetap menjaga kesantunannya.Bu Rosminah tersenyum canggung, sementara Pak Ridwan yang sejak m
Pagi ini, sesuai dengan tekadnya kemarin, bahwa dia akan tetap menemui Isha, apapun penerimaan perempuan itu. Ketika sarapan, Rendra kembali mengingatkan mengenai keinginan Murad itu.“Kamu yakin untuk tetap datang ke rumah Isha?” tanya Rendra.Murad menatap Rendra tanpa keraguan. Tekadnya sudah sangat bulat. Dia tak mau hidup dalam bayang-bayang dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu. Dia ingin mendapatkan maaf dari Isha, menjelaskan semua mengapa dia tidak hadir di hari pernikahan mereka.“Ya. Aku yakin.” Murad menjawab mantap.Rendra tersenyum miris mendengar jawaban Murad.“Baiklah. Semoga kamu berhasil,” ujar Rendra mendoakan Murad.Namun, Rendra tak tahu doa ini sebuah ketulusan atau sebuah ejekan. Nyatanya dia berharap Murad akan dicaci maki oleh Isha, terlebih orang tuanya. Meskipun begitu, Rendra salut dengan tekad dan semangat Murad untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukannya, tidak seperti dirinya yang menjadi pengecut dengan menghindari Isha. Padahal hatinya be