Share

7: HARI PERTAMA SEKOLAH

Hari senin kali ini sekolah SMA Perwira Negara sudah ramai oleh siswa. Sebagian besar adalah siswa baru. Hal itu terlihat dari gaya pakaian dan warna seragam mereka yang masih baru. Juga wajah-wajah baru penuh semangat terlihat menghiasi para siswa itu.

Malik melajukan sepeda motornya menuju ke tempat parkir yang sudah mulai padat. Isha turun setelah Malik mematikan mesin sepeda motornya.

“Memangnya selalu rajin begini, ya, Bang?” Isha bertanya ketika menyerahkan helm yang dipakainya pada Malik.

“Mungkin karena ini hari pertama bagi siswa baru. Termasuk kamu.” Malik menerima helm itu dan menyimpannya di stang sepeda motor.

“Kamu sudah tahu kelasmu dimana, kan?” Malik terlihat begitu sabar mendampingi Isha.

Isha mengangguk. “Kemarin pas selesai ospek sudah dikasih tahu kelas masing-masing.”  Isha lantas membuka tas punggungnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Setelahnya dia menyerahkan kotak bekal pada Malik.

“Lho, apa ini?” Malik yang menerima kotak bekal itu dengan ragu-ragu.

“Bekal makan siang. Kemarin aku bilang sama Ibu kalau bahwa pulangnya agak sore. Jadi Ibu menyiapkan bekal 2 kotak. Satu untuk aku, satu lagi buat Abang.” Isha menatap Malik.

“Untukku?” Malik bertanya  bingung.

“Iya. Mungkin sebagai pengganti karena Abang udah janji mau jagain aku.” Isha dengan senyum lebar.

Malik tersenyum dan mengangguk.

“Baiklah, aku terima. Hanya saja, tak seharusnya tante Rosminah repot membuat ini untukku. Aku bisa makan di kantin kalau lapar,” ujar Malik.

“Mana aku tahu? Itu kemauan Ibu. Oh, ya. Nanti kalau makan siang di kantin boleh, kan?” Isha menatap Malik dengan sorot mata menggemaskan.

Malik tersenyum. Mengapa gadis ini begitu menggemaskan?

“Tentu saja boleh. Kenapa memangnya?” tanya Malik.

“Takutnya karena bawa bekal sendiri nggak boleh makan di sana.” Isha dengan logis.

“Nanti aku temani kamu kalau kamu belum terbiasa ke sana.” Malik menjanjikan untuk menemani Isha.

“Boleh. Nanti aku tunggu abang di lorong menuju ke kantin, ya?” pinta Isha dengan polosnya.

Sudah barang tentu Malik akan menyetujui apapun keinginan Isha. Apalagi ini hanya makan bersama. Malik tak mungkin menolaknya.

“Tunggu aku di lorong menuju kantin. Jangan kemana-mana kalau aku belum datang. Oke?” Malik memberi pesan sebelum Isha mengangguk dan meninggalkan area parkir menuju ke kelasnya.

Malik hanya tersenyum menatap kotak bekal yang dipegangnya itu. Lelaki tampan itu menggeleng heran.

“Sudah SMA kok masih bawa bekal.” Malik bergumam lirih saat meninggalkan area parkir dengan senyum geli.

***

Ketika akhirnya memasuki kelas setelah selesai upacara, seorang gadis teman sekelas Isha datang menghampiri. Isha kali ini duduk di deretan bangku paling depan karena hanya itu yang tersedia.

“Hei?” Risna, gadis manis berambut panjang itu menyapa Isha.

Isha menoleh dan tersenyum. “Hei” Isha membalas sapaan gadis itu.

“Boleh aku duduk di bangku ini?” tanya Risna.

Isha mengangguk. “Boleh. Memang kebetulan belum ada yang menempati,” jawab Isha.

Risna mengangguk kemudian duduk di bangku sebelah Isha.

“Ish, aku tadi melihat kamu saat tiba di sekolah tadi,” ujar Risna memulai percakapan dengan suara rendah agar tidak terdengar oleh yang lain.

“Oh, ya? Kok kamu nggak menyapa aku?” tanya Isha balik.

Tiba-tiba Risna tersenyum dengan wajah merona membuat Isha heran.

“Aku malu,” jawab Risna.

Isha mengerutkan keningnya kemudian bertanya, “Malu? Malu sama siapa?”

Risna melihat ke sekeliling untuk melihat apakah ada yang mendengar percakapan mereka. Namun setelah dirasa aman, Risna mendekat dan berkata dengan suara rendah.

“Malu sama yang boncengin kamu tadi,” jawab Risna dengan wajah merah merona membuat Isha tertawa.

“Yang boncengin aku? Maksudmu bang Malik?” tanya Isha masih dengan mulut tersenyum tanpa suara.

“Jadi yang boncengin kamu itu namanya kak Malik?” tanya Risna masih dengan suara lirih.

Isha mengangguk.

“Maaf, ya. Aku … aku nggak bermaksud ngomongin pacar kamu, Ish. Maaf,” ucap Risna dengan khawatir karena mengira bahwa Malik adalah pacar Isha.

“Pacar? Pacar apaan?” tanya Isha heran.

“Kak Malik bukannya pacarmu?” tanya Risna heran.

Spontan Isha tertawa mendengar pertanyaan Risna.

“Ngaco! Bang Malik itu bukan pacarku. Lagian aku nggak boleh pacaran dulu sama ibuku sebelum aku lulus kuliah dan bekerja,” jawab Isha jujur.

Dan memang seperti itulah dogma yang ditanamkan oleh Rosminah terhadap Isha. Kecukupan materi seharusnya tak membuai Isha bisa dengan mudah melewati hidupnya tanpa perjuangan. Tidak! Baik Ridwan maupun Rosminah tetap menanamkan nilai kemandirian dalam jiwa Isha. Mereka tak mau Isha tumbuh menjadi perempuan yang hanya mengandalkan harta orang tuanya, sehingga tidak heran jika Isha tetap harus belajar dengan baik jika ingin nilai yang bagus.

Tentu tuntutan ini tidak serta merta dilepas begitu saja. Karena untuk tuntutan ini, Ridwan dan Rosminah memberikan fasilitas maksimal kepada Isha untuk belajar.

“Begitu, ya? Jadi kak Malik itu ada hubungan apa sama kamu? Kakakmu? Atau saudaramu?” tanya Risna semakin penasaran dengan status mereka berdua yang terlihat sangat dekat bahkan semenjak pendaftaran. Karena memang tanpa sengaja Risna melihat Malik yang tampan —sehingga laki-laki itu jauh lebih menonjol dibandingkan dengan siswa yang lain— itu sedang mengantar Isha mendaftar dan mengurus administrasi.

“Bang Malik itu temanku semenjak kecil. Kami selalu bersama kalau sekolah. Kami tetanggaan meski agak jauh. Tapi masih satu kampung dan keluarga kami sudah kayak saudara. Kenapa kamu nanyain bang Malik? Kamu naksir, ya, sama dia?” tebak Isha sambil tersenyum penuh arti.

“Sssttt … jangan keras-keras. Nanti teman-teman pada dengar takutnya jadi masalah,” ujar Risna sambil meletakkan telunjuknya di bibir untuk membuat Isha agar tidak terlalu keras membahas masalah ini.

Isha hanya mengangguk namun tak bisa menghentikan tawanya.

“Baiklah. Kalau kamu naksir, aku pasti akan sampaikan salammu buat bang Malik,” ujar Isha penuh janji.

“Benarkah?” tanya Risna dengan mata berbinar.

Isha mengangguk ikut senang. Namun wajah Risna yang penuh dengan binar itu tiba-tiba meredup dan berubah menjadi murung, membuat Isha bertanya-tanya.

“Ada apa, Ris?” tanya Isha.

“Tapi … apakah itu tidak memalukan? Seorang perempuan yang naksir laki-laki lebih dulu?” tanya Risna dengan menatap wajah Isha dengan sorot mata sendu.

“Mengapa harus malu? Jangan khawatir, nanti aku ada janji untuk makan siang bersama di kantin. Apakah kamu mau bergabung?” tanya Isha.

Risna spontan menggeleng.

“Tidak! Tidak. Aku … aku belum cukup berani untuk melakukannya,” jawab Risna dengan gugup.

“Baiklah kalau kamu tidak mau. Tapi kalau kamu mau berkirim salam, pasti aku sampaikan sama bang Malik,” ujar Isha.

Risna tersenyum lebar.

“Terima kasih, ya, Sha? Kamu baik,” ujar Risna yang terlalu bahagia karena akhirnya menemukan jalan untuk mendekati Malik.

***

Jam istirahat telah tiba. Sebagaimana yang dijanjikan, Isha bergegas menuju ke kantin yang melewati sebuah lorong panjang nan asri. Kantin yang berada di belakang sekolahan itu cukup besar. Sepertinya memang dibangun untuk menampung banyaknya murid yang kemungkinan melewatkan jam istirahatnya secara bersamaan.

Isha duduk dengan gelisah di bangku panjang yang ada di sisi kiri dan kanan koridor menuju kantin itu. Lalu lalang siswa dan siswi yang melalui lorong itu nyaris sebagian besar melihat ke arah isha yang duduk dengan gelisah karena menunggu Malik. Beberapa kali Isha melihat ke arloji yang dipakainya itu untuk memastikan bahwa seharusnya Malik sudah sampai di tempat mereka janji mau bertemu.

Isha hampir saja putus asa ketika akhirnya dari arah deretan kelas, muncul sosok Malik yang berjalan bergegas menuju ke arahnya. Tangan laki-laki itu memegang kotak bekal dengan sedikit kikuk karena tak pernah membawa bekal selama sekolah. Kalaupun pernah, itu adalah dulu ketika masih duduk di tingkat taman kanak-kanak. Jadi tak heran jika Malik terlihat canggung.

“Hei, Sha. Maaf, Abang lama,” ujar Malik dengan napas sedikit ngos-ngosan karena berjalan dengan tergesa. Apalagi ketika dilihatnya wajah Isha sudah cemberut.

“Kok lama, sih?” tanya Isha dengan wajah kesal.

“Hei, ini bukan kemauan Abang. Abang maunya cepat, tapi guru kelamaan ngasih materinya,” jawab Malik.

Isha cemberut. Dan Malik selalu hapal dengan tabiat Isha yang seringkali terlihat manja, seperti apa yang dikatakan ibunya.

“Hei, adik Abang yang manis mana boleh cemberut? Nanti hilang cantiknya. Yuk, ke kantin. Abang sudah lapar,” ajak Malik sambil mengacak lembut rambut Isha.

Meskipun cemberut, namun Isha ikut juga dengan Malik. Mereka tak menyadari ada tiga orang siswa yang memperhatikan mereka bertiga dengan penuh tanya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status