Share

02 - Pertikaian Tak Serius

Adinda tersenyum malu-malu jika mengingat kejadian beberapa waktu lalu, kalau menurut teman-temannya, sih, itu kategori momen uwu ya.

Tapi, memang jika sudah bertemu sama yang bersangkutan... langsung merasa awkward, deg degan, malu, panik, semuanya jadi satu.

Gak ada uwu uwunya.

Ia masih kepikiran dengan ajakan Raditya untuk belanja keperluan divisi masing-masing bersama. Bukan masalah takut ada gosip, tetapi ia masih sangat malu untuk bertemu, apalagi berbicara, dan sekarang ia akan berbelanja bersama Raditya? Benar-benar tidak ada di pikirannya.

Walaupun memang wakil ketua divisi Adinda, Hanica, sudah menyuruh Adinda untuk pergi dengan Raditya, tetapi tetap saja masih malu.

“Tadi senyum senyum, terus sekarang panik kayak lagi dipaksa beli risoles mayo orang danusan. He, lo itu kenapa?” Tanya Hanica yang diam diam memperhatikan adik tingkatnya yang satu ini.

“Lagi jatuh cinta kaliiii,” celetuk Gibran tanpa menoleh dari layar ponselnya alias sedang bermain games.

Adinda mendelik. “Apasih ih, kak Gibran! Gue nggak jatuh cinta ya!”

“Terus kenapa?” Sahut Ayana yang sedang bermain games dengan Gibran.

“Jangan kepo please!” Sinis Adinda pada Ayana, “Udah sana ih main games aja, jangan ganggu gue!”

“Dasar cewek gajelas,” gumam Gibran.

“GUE DENGER YA KAK! TELINGA GUE MASIH BERFUNGSI, KEMARIN BARU DISEDOT ISINYA!” Seru Adinda dengan berapi-api.

Gibran hanya tertawa mendengar omelan adik tingkatnya tersebut, ia mau melanjutkan ucapannya, tetapi gamenya lebih membutuhkan Gibran saat ini.

"Ay anjir lu bisa main gak sih?! JANGAN SAMPE KALAH DONG AH!!!!!" Omel Gibran pada Ayana.

Ayana hanya mendelik kesal, "Lu mending diem deh ah rese!"

Adinda langsung meredam omelannya pada Gibran karena fokus kakak tingkatnya itu tak lagi kepadanya.

Hm daritadi kek sibuk sama game aja!!!! Batin Adinda.

Lelaki yang sedari tadi duduk di sebelah Adinda menaikkan satu alisnya, terbesit ide jahil untuk membuat Adinda semakin menggeram.

“Hmmm, semenjak lo ngechat kak Radit, lo jadi suka senyum senyum sendiri terus pas ditanya jadi ngegas gitu,” telaah pemuda yang bernama Haiqal Janafi, “Ngapa nih? Lo demen ya sama dia?”

Mendengar nama Raditya disebut, Hanica langsung mendekatkan tubuhnya ke arah Haiqal dan Adinda, “Wah beneran Din?” Tanya Hanica dengan wajah penasaran, “Eh kalo dia enak, ego, pacarannya! Pasti elo bakal dibeliin risoles mayo danus mulu! Gue jamin, hidup lo bahagia.”

“Yeeeee, emangnya Adinda kayak elo apa, Ca, tiap hari tiada hari tanpa porotin orang orang buat beliin lo risol danus!” sindir Alisa yang sedang menulis catatan untuk Adinda beli nanti, “Deketin dah Din, butuh support pacar dia tuh, kan mau skripsi.”

Hanica langsung bergidik ngeri, “IH DIA LAGI SKRIPSIAN YA? JANGAN DEH, DIN!" Seru Hanica, "Kalau dia lagi skripsian tuh ya, elo cuma jadi moodbooster dia pas dia capek skripsi, tapi kalau elo capek? Elo gak lebih dari seonggok pengganggu saat dia sibuk dengan naskah skripsinya.”

“Beuhhhh, pengalaman banget ya kak Hanica ini kalau didengar dengar,” ledek Gibran dengan senyuman meledek.

“Ye bangsat, tapi beneran ini mah. Pacaran sama mahasiswa semester akhir tuh ibaratkan disguise in blessing,” jelas Hanica dengan ekspresi dilebih-lebihkan, “Enak, tapi gak enak. Kayak risoles danus tanpa mayo.”

Adinda hanya terdiam mendengarkan teman-teman satu divisinya berbicara. Lalu ia tenggelam dalam pikirannya, teringat lagi ketika Haiqal mengirim screenshoot foto dari instastory i*******m Raditya tepat setelah ia mengechat Raditya untuk pertama kali.

“Selamanya. Hahahaha, lucu.

Makasih ya udah jadi moodbooster gue malam ini.”

Haiqal: he adinde ini buat elu ye

Haiqal: lu ngapain kak Radit

“Eh mana dah bocil? Dah datang belom si Misha?” Tanya Hanica tiba-tiba yang membuat Adinda tersadar.

“Belum, kayaknya masih di jalan deh kak Misha,” jawab Adinda singkat lalu terdiam.

Hanica mengangguk paham, “He, daripada bengong mending temenin gue ke depan yuk!” Ajak Hanica lalu menarik lengan Adinda dengan semangat.

Adinda mengangguk lalu berjalan mengikuti langkah Hanica di sampingnya.

“Kak Hanica pelan pelan dong anjir, kaki aku kan gak sepanjang kak Hanica!” omel Adinda pada Hanica karena berjalan terlalu cepat.

Langkah Hanica terhenti lalu menoleh pada Adinda, “Itung itung latihan kalau lo jadi pacaran sama dia,” ucap Hanica sembari mengarahkan dagunya ke kumpulan kating semester akhir dan ada Raditya disana.

“Aish apaansih!” Sinis Adinda lalu melanjutkan langkahnya bersama Hanica ke depan ruangan divisinya.

“Mane si bocil, kaga dateng dateng– nah pucuk dicinta ulam pun tiba!” Seru Hanica ketika melihat Misha sedang berjalan di tengah lapangan– dan ada Raditya di belakangnya.

“Jiaaaakhhh, Misha kok bisa jalan barengan gitu sama dia,” ledek Hanica, “Eits, tapi tenang aja Din, Misha kaga demen ama yang begituan.”

Adinda mendelik mendengar ucapan Hanica barusan, ia tak mau ambil pusing karena tabiat kakak tingkatnya memang seperti itu. Jadi ia sudah sangat terbiasa mendengar celotehan tidak bermutu dari mulut Hanica.

“WOOOOIIIIIII YAALLAH SAMPE JUGA GUE KESINI,” seru Misha saat menghampiri Hanica dan Adinda dengan nada berlebihan.

“LAMA AMAT DAH LOOOO, NGAMEN DULU DI JALANAN????” Teriak Hanica lalu mencubit pipi kanan Misha, “Jangan dibiasain telat ya lu, gue mah gapapa, tapi Alisa. Me nye ram kan!”

Lalu Misha, Hanica, dan Adinda, langsung duduk di depan ruangan rapat. Ada Misha yang dengan heboh menceritakan kejadian yang baru saja ia alami dan ada Hanica yang selalu excited mendengarkan ceritanya, serta ada Adinda yang tidak benar-benar mendengarkan cerita Misha.

"IYA ANJIIR biasalah macet di persimpangan depan," jawab Misha dengan heboh sembari menaruh tasnya di antaranya dan Hanica.

"Tapi tuh tadi gue rada takut, kan simpang depan emang langganan macet ya, nah tadi makin macet anjir, lo tau kak kenapa? Karena ada pohon tumbang di sana. Terus kan, banyak pohon ya di sekitaran sana, gue jadi worry gitu deh, untung gue bisa worry sambil makan cireng."

"IH DEMI APA?! Nanti gue gamau lewt situ, serem banget gila?! Ntar gue suruh Alisa buat lewat mall Pesona aja biar aman!" Sahut Hanica.

Misha hanya mengangguk-angguk paham, "Terus kak Alisa nanyain gue gak? Aduh serem deh kak Alisa kalau marah. Bisa bisa pohon simpang depan bisa tumbang lagi!"

Lalu Hanica dan Misha tertawa bersama dan melanjutkan pembicaraan mereka tentang Alisa. Tetapi, bukannya ikut tertawa, mata Adinda malah tertuju pada sosok pemuda yang tadi berjalan bersama kakak tingkatnya, Misha.

Ya, Raditya. Ia masih berjalan dengan wajah tegas dan terkesan tak ramah, walau begitu, senyum Adinda jadi mengembang dan jantung Adinda berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

Kalau dia gak natap gue, aduh…. Rasanya kayak mau ke surga, adem banget…

Entah sudah berapa lama Adinda memperhatikan pemuda itu secara terang-terangan. Hatinya sudah tak karuan ketika Raditya mengembangkan senyumnya sembari melambaikan tangannya pada teman-temannya.

Tanpa sadar, ia menarik tangan Hanica dan memainkannya dengan gemas, saking ambyarnya Adinda dengan kehadiran Raditya.

Dan tak lama setelah itu, mata Adinda dan mata Raditya bertabrakan. Mereka saling bertatapan.

Pemuda itu sedikit tersentak, karena awalnya ia hanya berniat untuk menoleh iseng saja, tetapi ia malah mendapati gadis manis yang sedang memandanginya dengan lekat.

Gadis itu terkejut karena Raditya menoleh dan refleks membuang muka. Merapat ke samping Hanica dengan gugup.

E aduh anjir, ada apa sih sama hari ini ya tuhan ck, demen banget bikin jantung mau berenti, batin Adinda.

Raditya tersenyum begitu saja ketika memperhatikan kegugupan gadis itu, ia mengulum bibirnya untuk menahan senyumnya untuk tidak melebar.

Lucu, langsung buang muka, batin Raditya.

Lalu Raditya langsung berjalan menuju kerumunan dekat panggung.

“Eh disini dulu dong, gue beli cireng, tapi gamau bagi bagi ke anak laki. Jadi lo berdua bantuin gue makan ya?” Pinta Misha kepada Hanica dan Adinda.

Fokus Adinda menjadi buyar karena mendengar permintaan Misha, “Aduh anjir, yaudah mana sini gue lapar kak.”

Misha tersenyum bahagia lalu mengeluarkan kantung plastik berwarna putih yang berisi cireng tersebut. Adinda mengambilnya tanpa kata.

“Ngapa lo gamau bagi ke anak laki?” Tanya Hanica sembari mengambil cirengnya.

“Gatau diri anjir, gue baru makan satu, eh tahu tahu dah abis aja,” jawab Misha mengambil cirengnya juga.

Tiba-tiba heboh suara sedang bermain bola dari arah panggung. Hanica dan Misha langsung menoleh dan mencari sumber suara, sedangkan Adinda hanya melirik lalu kembali sibuk dengan cirengnya.

Tak lama, muncullah segerombol laki-laki sedang bermain bola. Mungkin sempat diusir oleh sang ketua yang berada di dekat panggung. Makanya pindah tanah kosong yang nantinya akan digunakan untuk tempat stand bazaar.

“OYYY ADINDEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE,” suara panjang memanggil nama Adinda itu terdengar horror di telinga Adinda, begitu juga dengan Hanica dan Misha.

Misha merapatkan tubuhnya ke Hanica, “Masih aja sih dia deketin lo,” bisik Misha dan mendapat anggukan dari Hanica.

“Bener, ngeselin anjir,” sahut Hanica.

Adinda hanya menelan potongan cireng terakhir dan menghela nafas lalu ia mengambil cireng lagi.

Pemuda ini langsung duduk di samping Adinda, pemuda yang akan mengganggunya saat makan cireng.

“Apa kak?” Tanya Adinda datar sembari membagi cireng menjadi dua potongan.

“Ntar gua aja yang temenin lu beli barang, divisi gua juga kurang soalnya,” sahut pemuda dengan rambut gaya landak, alias kayak rambut Pangeran di sinetron Putri Untuk Pangeran.

“Aku dah sama kak Hanica,” jawab Adinda asal sebut seperti tadi bersama Raditya.

Pemuda itu mendecih, “Kok lu mau belanja ama cewek rempong? Ama gua aja, naek mobil, adem kek muka lu.”

Hanica mendelik, “Kak Yon kalo udah ditolak ya jangan ngegas terus dong, bego.”

Pemuda yang bernama Ezarion dan biasa dipanggil Yon ini melotot, “Hanica kurang ajar banget ya lo, gue sumpahin lu jadi ketuplak taun depan!”

Hanica menatap Ezarion dengan tatapan horror, “HE SORI SORI JEK! Gue gabakal dipilih jadi ketuplak, karena pasti pada males dirempongin ama gue. Wlee!”

“Ck, ayo Din, ama guaaaaaa!!!”

Lalu tiba-tiba bola datang menghampiri kaki Hanica, yang membuat gadis itu merasa terganggu.

“ADUH BISA GAK YA, ANAK ANAK LAKI JANGAN RUSUH MAIN BOLANYA?!” Seru Hanica dengan nada mengomel, "MENGGANGGU KETENANGAN PRINCESS HANICA TAU GAK!"

Binar yang merasa diomeli oleh Hanica langsung menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Ih maaf elaaahhh, gua tadi gak sengaja kekencengan nendangnyaaa!!!"

Raditya yang awalnya hanya ingin menunggu Binar untuk mengambil bolanya, malah tak sengaja menoleh ke arah Adinda dan melihatnya sedang berbicara dengan Ezarion membuatnya menjadi gusar.

Buset udah akrab banget kayak lem tikus, batin Raditya.

“Gabisa kak, udah ah sanaaaa!” Ucap Adinda sembari mendorong Ezarion menjauh dari sisinya.

“Ca, lempar bola dong!” Seru Binar pada Hanica.

Tentu saja Hanica menolak. “Gak mau! Ambil sendiri, siapa suruh nendang kenceng?”

Adinda yang tadinya masih mendorong Ezarion langsung menoleh ke lapangan dan menatap Raditya yang sedang menatapnya. Ia langsung menarik tangannya dari pundak Ezarion, “Sini, aku aja yang kasih.”

“Jangan dih, elu diam aja. Biar dia yang ambil,” sahut Ezarion menahan lengan Adinda.

“Apasih bawel deh kak,” jawab Adinda lalu menepis tangan Ezarion lalu segera bangun dari duduknya dan mengambil bolanya.

Baru ia mendongak melihat mereka yang menunggu bola, ia malah menangkap sosok Raditya yang terlihat tak bersemangat dan berjalan gontai pergi meninggalkan gerombolan yang menunggu bola.

“Eh…”

"Din cepetan anjir kita mau main lagi!" Seru Binar pada Adinda yang sedang terdiam karena melihat Raditya yang pergi menjauh, "JEIRA ADINDAAAAAAAA."

Ketika namanya diserukan, Adinda sepenuhnya sadar dari diamnya, lalu melemparkan bolanya ke sembarang arah. Dengan gontai, Adinda kembali duduk di sebelah Hanica dan Ezarion.

Ezarion yang menatap Adinda dengan keheranan hanya menatap Hanica -yang sedang menatapnya juga- dengan bahu yang bergidik bersamaan.

"He, napa lo?" Tanya Hanica pada Adinda.

Gadis yang ditanya tak membuka suara dan malah mengambil cireng milik Misha lalu segera memakannya dengan tenang.

"He, ditanya juga," sahut Ezarion pada Adinda.

Adinda menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Gapapa, kayaknya gue laper deh, mau makan seblak-"

"Masi jam 11 pagi anjir, elo mau makan seblak? Gak sayang usus lo?"  Tanya Hanica dengan nada galak.

"Sayang kok," sahut Adinda lalu menghela nafas dengan berat, "Tapi dia...."

"Dia?" Tanya Ezarion dan Hanica berbarengan.

Hanica mengerutkan dahinya, lalu sedetik kemudian, "WAH ELO BENERAN SUKA SAMA-" 

Adinda yang mengetahui Hanica akan berbicara apa langsung menutup mulut kakak tingkatnya tersebut. Karena ia takut jika Ezarion akan berpikir yang aneh-aneh.

Ezarion yang merasa janggal dengan ucapan Hanica langsung menatap tajam Adinda, "Hm? Lu suka sama siapa?"

Adinda langsung menggeleng dan memasukan potongan cirengnya yang terakhir ke dalam mulut, lalu ia mengunyahnya tanpa jeda.

Ezarion menahan lengan Adinda, tatapannya benar-benar tatapan tajam, sehingga Adinda cukup ketakutan untuk menatap matanya Ezarion.

"Guys, masuk yuk. Ayo, Ca, Sha, Din, kita rapat! Biar bisa cepet selesai ini semuanyaaaa!" seru Alisa dari dari ambang pintu ruangan.

Adinda langsung merasa lega karena diselamatkan oleh Alisa, "Nanti aja kalau mau wawancarain aku, sekarang aku mau rapat dulu, bye bye!"

Ezarion tidak menahan Adinda lagi dan hanya menatap gadis itu yang masuk ke ruangannya bersama Misha dan Hanica.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status