Ini kedua ketiga kalinya aku menelpon Abi dengan panggilan lewat aplikasi chatting, statusnya berdering tapi belum juga diangkat, dan tak kunjung diangkat. Harusnya aku menelpon Abi lewat telepon seluler, tapi sayangnya pulsaku habis. Sebelum kembali menelpon Abi ke-empat kalinya, aku menghela napas.
Semoga, Abi merespon. Semoga, Abi sedang tidak sibuk. Semoga, rasa kasihan Abi masih tersisa malam ini.
Dan, aku bersyukur serta bernapas lega ketika Abi merespon panggilan. "Hallo. Kenapa, Gen?"
"Jemput gue, di Klinik Husada, yang deket sama SMP Negeri. Bisa nggak, Bi?"
"Loh!" Nada Abi terdengar terkejut, dan aku sudah menebak sebelumnya."Kamu ngapain di klinik? Bukannya datang di resepsi pernikahan papa kamu?"
"Nggak datang, karena kecelakaan. Jemput ya, Abi. Minta tolong banget."
"Kecelakaan kenapa?"
Hembusan napas kesal keluar dari hidung lagi, tapi sebentar karena tak sengaja tangan kanan ikut berg
Kalau ditanya bagaimana pagimu kali ini, maka aku akan menjawab menderita dan sangat-sangat menderita. Jawabannya, pergerakanku terbatas, ingin meregangkan badan usai bangun tidur harus mikir dua kali, padahal meregangkan badan adalah sesuatu yang mempunyai nikmat tersendiri. Tak hanya itu saja, masalah kamar mandi, ganti baju, duduk dan berdiri dengan baik dan benar bukan lagi kebiasaan, melainkan masih tahap belajar agar terbiasa. Mau bagaimana lagi, selain menerima dan sabar.Nggak kebayang, gimana rasanya jika kakiku ikut-ikutan patah tulang atau cedera, mungkin 99 persen kehidupanku berada di atas ranjang terus. Itu makanya, ada seribu satu alasan untuk aku harus selalu bersyukur, kata mama. Asalkan, kita nggak memandang sesuatu dari satu sudut pandang, karena banyak sudut pandang yang mesti kita tilik.Abimanyu : Aku on the wayAbimanyu : Ke rumah kamu.Kelar urusan kamar mandi, aku memilih keluar kamar dan duduk di sofa ruang tengah ser
"Ini kebetulan. Saya main di rumah, Genna mau pergi ke kamar mandi, Tante.""Main doang kan? Jangan lebih dari main lho!""Tante bisa percaya dengan saya!"Sayup-sayup, aku mendengar pembicaraan dengan suara yang familiar di telinga. Segera saja aku membuka mata perlahan-lahan yang rasanya masih sedikit berat, karena masih setengah tertidur. Dugaanku ternyata benar, Abi adalah pelakunya. Ia tengah berbincang dengan ponselku yang menempel di telinganya.Tunggu! .... Ponselku. Berarti, Abi menelpon siapa?Pelan-pelan, aku bangun lalu beralih menjadi duduk dan menyenderkan punggung pada senderan sofa. Ketika Abi menoleh, aku menaikkan alis sebelah sebagai kode tanda tanya 'siapa?'"Tante bisa percaya saya, teman baik Genna yang sampai sekarang masih berteman baik."Kutebak, Abi sedang berbicara dengan mama, kentara ia yang menyebut kata tante. Malas menyerobot ponsel untuk berbicara dengan mama s
Mungkin Abi salah pergaulan selama tidak dekat denganku bertahun-tahun, sehingga membuatnya bersikap tidak sopan seperti orang tanpa pendidikan. Begini ceritanya, sia-sia lah ia keluar banyak uang dan tenaga guna menempuh pendidikan magisternya.Ya, aku tahu dan boleh memahami bahwa ia tengah bercanda. Tapi yang namanya bercanda juga mikir situasi dan kondisi juga kan? Dan menurutku, candaan Abi barusan adalah sebuah kesalahan karena timing yang tidak pas.Seperti barusan, wajahnya yang dadakan muncul di layar vidio call, mengundang kemarahan tersendiri untuk Mas Irza. Setelah Abi pergi ke depan, Mas Irza hanya bilang 'itu pria kemarin kan?' mendoakan cepat sembuh, dan besuk sore baru bisa menjengukku karena malam ini ia harus menghadiri sebuah acara perkumpulan teman lama. Begitu saja, sudah. Tanpa bertanya-tanya kronologi kejadian, atau meminta maaf karena tidak bisa menjenguk sekarang.Jelas, Mas Irza marah, kentara dari ucapannya yang amat sangat
Love Is Sweet, menjadi pilihan drama yang kami tonton kali ini di ruang tengah. Sebelum mengetikkan keyword di kolom pencarian, aku ngotot milih serial drama yang tokoh utamanya adalah dokter. Tapi Abi, dengan segala kesadisannya menekan salah satu drama yang ada di beranda asal-asalan, dengan dalih, 'Yang penting ada manis-manisnya.'Aku melengos. Namanya juga drama genre romansa, mustahil amat kalau nggak ada adegan manis-manisnya."Tonton aja. Kalau udah end, kamu tinggal pilih sesuka hati," katanya seraya menenteng totebag khas supermarket dari dalam kamarku.Aku meliriknya malas. Nunggu serial drama ini end pasti keburu magrib. Ya, sama aja bohong. "Sini-sini, udah mulai," kataku malas seraya menepuk-nepuk karpet empuk di sampingku.Dari pagi, Abi sudah di sini hingga siang tadi pukul dua belas, pulang ke rumahnya setelah usai makan siang. Tapi pukul dua siang, ia mengganggu tidurku, datang membawa totebag dari supermarket yang aku
"Kenapa?""Karena nggak ada mama di rumah, Mas. Mas nggak boleh nginap. Entar dikira orang kita ngelakuin hal yang enggak-enggak."Kedatangan mas pacar ternyata menjadi bencana tersendiri bagiku, ya walaupun sebelumnya aku teramat sangat senang akan kehadirannya. Hal menjadi bencana adalah banyak.Pertama, mengapa Mas Irza harus datang ketika Abi sedang di rumah, parahnya lagi tengah mengikat rambutku. Tentu ini menjadi point buruk di mata Mas Irza, sekalipun ia nggak bilang bahwa ia marah, tapi perlakuannya yang benar-benar cuek adalah tanda kemarahannya.Kedua, kami bertiga harus berbicara sungkan-sungkan, formal banget. Kalau di antara mereka berdua tidak ada di sini, aku bisa berbicara dengan lancar. Sungkannya, lebih dari sekedar rapat para guru ketika membahas sesuatu. Seperti saat tadi sore, kami bertiga menyantap nugget dan sosis goreng di meja makan dengan obrolan kaku.Ketiga, Mas Irza jadi sosok yang menyeba
Bangun tidur, cuci muka dan gosok gigi, cek ponsel, nonton televisi, makan, tidur, melamun, berdoa, baca buku, tidur lagi, main ponsel, mendengarkan musik, tidur lagi, mandi lalu makan adalah kegiatan keseharian selama sakit. Semuanya diulang-ulang hingga 24 jam habis. Benar-benar membosankan sekaligus membuang umur secara sia-sia, semakin membosankan lagi ketika waktu berjalan lambat.Jika kemarin-kemarin mendapati hari yang sangat hectic tapi aku mengeluh, maka sekarang aku juga mengeluh karena tidak bisa melakukan apa-apa, mengeluh karena ingin bergerak bebas tapi tidak bisa lantaran ada batasan bergerak. Kasarannya, sekarang aku sedang berpuasa jumpalitan dan lari-lari.Jadi sesal sendiri, dikasih Tuhan kesehatan prima, tenaga oke, dan bisa melakukan apa yang ada di depan mata tapi malah mengeluh. Mungkin saat ini aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk istirahat sejenak dan memahami betapa pentingnya bersyukur karena diberi kesempatan untuk bergerak beb
Akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang untuk sembuh total, aku sudah bisa berdiri di tempat titik kesembuhan. Lutut sudah kering sehingga bisa bebas berjalan, sekalipun bekas luka masih ada. Tangan sudah tak memakai bidai lagi dan sudah terlepas dari tetek bengeknya untuk mempercepat penyembuhan, mau jumpalitan mungkin sudah bisa. Hal tersebut, tentunya membuatku tak bisa lepas dari kesibukan."Genna! Mama minta tolong, kamu anterin itu ke alamat yang ini, naiknya pakai taxi online aja ya. Mobilnya mau Mama pakai buat anterin pesanan juga. Kalau nunggu Mama yang anter, kayaknya lama deh."Mama menunjukkan dengan jarinya padaku beberapa kardus berlogo catering Mama, dan secarik kertas bertuliskan alamat rumah. Ketika di beri perintah seperti ini, aku tak bisa menolak dan hanya mengangguk siap, lantas memesan taxi online. Lagipula ini weekend, tidak ada aktifitas di sekolah, mau ngapain selain bantu-bantu Mama seperti ini."Oke. Kasih aku anu ya,
Aku dan seorang Atri sangatlah berbeda, dari latar belakang keluarga yang mempengaruhi cara berpikir, kepribadian, tentang menyikapi hidup, tentang semua itu yang berhubungan dengan tindakan, pemikiran, dan kehidupan. Tapi yang jelas, kami berdua sama-sama manusia biasa, manusia yang diciptakan oleh Tuhan dan melakoni peran masing-masing.Mama sudah tahu akan itu, tapi mama malah membanding-bandingkan hidupku dengan hidup Atri malam ini. Padahal hidup kami berdua tidak bisa disamakan apalagi dibanding-bandingkan. Gemash sekaligus tidak suka jika hidupku disamakan dengan orang lain."Atri lulus SMA nikah, aku lulus SMA cari kerja lamar kuliah. Garis start-nya aja beda, Mama," jelasku pelan dan mencoba bersabar.Entah, sebenarnya aku tidak tahu pasti apakah Atri lulus SMA langsung nikah atau bukan. Tapi jika dilihat dari umur, mungkin lulus SMA jeda setahun atau dua tahun, baru setelahnya nikah.Sementara diriku, lulus SMA nyoba cari-cari