Share

Bab 6. Ternyata Aku Salah

Kenapa kini Mas Amar justru menyalahkan aku? Kenapa seolah aku menjadi pihak yang salah? Ya, memang benar, aku sangat penyabar. Sabar dengan segala kemarah ibu mertua, sabar dengan segala hinaan ibu mertua, dan sabar dengan segala kekurangan suami. Selama ini aku sudah menyembunyikan penyebab aku tidak bisa hamil. Tetapi kenapa, tak sedikitpun perjuanganku dihargai oleh Mas Amar?

Malam ini pikiranku telah terbuka. Yang aku lakukan selama ini ternyata salah. Rela dicaci demi menjaga nama baik suami. Tetapi, justru aku yang terhina. Mas Amar tak menghargai ketulusanku.

Aku tahu tentang tugas seorang istri. Aku tahu semua kewajiban yang harus dilakukan oleh istri. Selama ini aku sudah sangat berbakti pada Mas Amar. Tetapi, bukan bakti seperti ini yang harus aku jalani kedepannya. Perempuan mana yang bisa ridho diperlakukan begini oleh suami dan keluarganya?

"Mas, kamu tahu 'kan kenapa hingga kini aku belum hamil? Kamu tidak lupa 'kan?" tanyaku pelan namun tegas, sambil menatap lekat mata Mas Amar. 

Mataku masih saja berkaca. Aku selalu menghapus bening yang terus berlomba untuk keluar, tetapi tetap saja tak membuat air bening itu berhenti.

Mas Amar tak menjawab pertanyaanku. Bibirnya seolah terkunci. Dia juga tak membalas tatapan mataku. Mungkin kah dia akan berubah pikiran setelah aku mengungkit kembali sesuatu yang sudah aku sembunyikan dari banyak orang?

Aku harus memberanikan diri untuk berkata. Selama ini sengaja tutup mulut demi menjaga perasaan Mas Amar. Tak pernah sekalipun aku membahas, sejak kami pulang dari rumah sakit.

"Yang menjadi penyebab itu kamu, Mas! Bukan aku! Dan sekarang kamu mau menikah lagi demi menyenangkan hati ibumu. Sadar, Mas! Kamu telah menyakiti hati istri yang selama ini ada di sampingmu, menerima segala kekuranganmu … Kamu yakin bisa punya keturunan setelah menikah lagi?"

"Jangan pernah membahas itu, Arumi. Kita sudah sepakat untuk tidak membahas hal itu … Besok kita bicarakan lagi. Sekarang aku mau istirahat."

Mas Amar lalu berbaring ditempat tidur. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan. Air mata semakin deras berlomba untuk keluar.

Aku tidak menyangka, rumah tangga yang selama ini berusaha aku pertahankan, kini berada di ujung tanduk. Aku rela dihina oleh keluarga Mas Amar. Yang semua orang tahu, aku lah yang menjadi penyebab kami belum memiliki keturunan. Nyatanya, aku melakukan itu demi Mas Amar. 

Hampir setiap kali menghadiri perkumpulan keluarga, ada-ada saja orang yang menyinggung tentang perempuan mandul. Sadar diri jika yang mereka sindir adalah aku. Tetapi aku selalu masa bodoh. Lagi-lagi karena ingin menjaga perasaan Mas Amar.

Dulu setelah setahun pernikahan, aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke dokter karena tak kunjung hamil. Setelah menjalani pemeriksaan USG transvaginal, terlihat rahimku dalam kondisi baik. Sel telur besar dan tak ada kista atau masalah rahim lainnya. Di bulan selanjutnya karena belum juga hamil, dokter menyuruhku untuk melakukan pemeriksaan HSG. Aku pun mengikuti arahan dokter. Hasil yang keluar, rahimku dalam kondisi baik. Tidak terjadi penyumbatan dan siap untuk dibuahi.

Empat bulan pulang pergi ke rumah sakit sendiri, dokter akhirnya menyuruh untuk datang bersama suami. Mas Amar sangat sulit untuk diajak periksa.

“Kenapa aku juga harus ikut periksa? Aku ini laki-laki, tidak punya rahim. Lalu apa yang harus diperiksa? Aku juga selalu menjaga kesehatan. Kamu lihat keluargaku, mereka semua punya anak. Berarti bukan aku yang bermasalah.”

Masih terekam jelas ucapan Mas Amar ketika aku berusaha untuk mengajaknya ke Rumah Sakit. aku berusaha merayu agar dia mau melakukan pemeriksaan, tetapi sangat sulit. Akhirnya setelah satu tahun terus membujuk, Mas Amar pun luluh.

Setelah dilakukan tes laboratorium, ternyata suamiku mengalami azoospermia - kelainan pada sel sperma. Kemungkinan agar aku bisa hamil sangat kecil. Mas Amar nampak sedih mengetahui kenyataan itu, tetapi aku menguatkannya. Aku yakin suatu saat nanti kami bisa punya keturunan. Aku meyakinkan Mas Amar kalau kuasa Allah pasti ada untuk kami.

"Sayang, jangan beritahu siapa-siapa ya, kalau aku yang menjadi penyebab kita belum punya keturunan. Aku tidak ingin membuat ibu sedih. Aku juga tidak suka dijadikan bahan gosip di keluarga."

Aku masih mengingat jelas ucapan Mas Amar ketika kami baru saja pulang dari Rumah Sakit.

Aku mengangguk lalu memeluknya. Aku pun berkata,  "iya, Mas. Tidak usah sedih. Semua ini hanya Allah dan aku yang tahu. Lagi pula hasil pemeriksaan dokter tidak akan tersebar kalau tidak ada yang menyebarkan. Mas tidak usah sedih. Aku akan selalu berada di samping Mas Amar."

Tetapi aku tak menduga, jika menjadi pihak yang selalu di salahkan. Bibirku tersenyum miris ketika mengingat perkataan Mbak Mira – kakak Mas Amar yang tertua, saat acara akikahan anaknya yang kedua. "Kamu harus banyak makan buah dan sayur. Perempuan tidak akan subur, kalau jarang makan buah."

Aku memang jarang makan buah. Bukan tidak suka, tetapi karena harus berhemat agar uang pemberian Mas Amar bisa cukup untuk sebulan. Zaman sekarang, memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan uang satu juta lumayan susah. Alhamdulillah uang dari Mas Amar bisa cukup karena aku tidak pernah memanjakan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status