Kenapa kini Mas Amar justru menyalahkan aku? Kenapa seolah aku menjadi pihak yang salah? Ya, memang benar, aku sangat penyabar. Sabar dengan segala kemarah ibu mertua, sabar dengan segala hinaan ibu mertua, dan sabar dengan segala kekurangan suami. Selama ini aku sudah menyembunyikan penyebab aku tidak bisa hamil. Tetapi kenapa, tak sedikitpun perjuanganku dihargai oleh Mas Amar?
Malam ini pikiranku telah terbuka. Yang aku lakukan selama ini ternyata salah. Rela dicaci demi menjaga nama baik suami. Tetapi, justru aku yang terhina. Mas Amar tak menghargai ketulusanku.
Aku tahu tentang tugas seorang istri. Aku tahu semua kewajiban yang harus dilakukan oleh istri. Selama ini aku sudah sangat berbakti pada Mas Amar. Tetapi, bukan bakti seperti ini yang harus aku jalani kedepannya. Perempuan mana yang bisa ridho diperlakukan begini oleh suami dan keluarganya?
"Mas, kamu tahu 'kan kenapa hingga kini aku belum hamil? Kamu tidak lupa 'kan?" tanyaku pelan namun tegas, sambil menatap lekat mata Mas Amar.
Mataku masih saja berkaca. Aku selalu menghapus bening yang terus berlomba untuk keluar, tetapi tetap saja tak membuat air bening itu berhenti.
Mas Amar tak menjawab pertanyaanku. Bibirnya seolah terkunci. Dia juga tak membalas tatapan mataku. Mungkin kah dia akan berubah pikiran setelah aku mengungkit kembali sesuatu yang sudah aku sembunyikan dari banyak orang?
Aku harus memberanikan diri untuk berkata. Selama ini sengaja tutup mulut demi menjaga perasaan Mas Amar. Tak pernah sekalipun aku membahas, sejak kami pulang dari rumah sakit.
"Yang menjadi penyebab itu kamu, Mas! Bukan aku! Dan sekarang kamu mau menikah lagi demi menyenangkan hati ibumu. Sadar, Mas! Kamu telah menyakiti hati istri yang selama ini ada di sampingmu, menerima segala kekuranganmu … Kamu yakin bisa punya keturunan setelah menikah lagi?"
"Jangan pernah membahas itu, Arumi. Kita sudah sepakat untuk tidak membahas hal itu … Besok kita bicarakan lagi. Sekarang aku mau istirahat."
Mas Amar lalu berbaring ditempat tidur. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan. Air mata semakin deras berlomba untuk keluar.
Aku tidak menyangka, rumah tangga yang selama ini berusaha aku pertahankan, kini berada di ujung tanduk. Aku rela dihina oleh keluarga Mas Amar. Yang semua orang tahu, aku lah yang menjadi penyebab kami belum memiliki keturunan. Nyatanya, aku melakukan itu demi Mas Amar.
Hampir setiap kali menghadiri perkumpulan keluarga, ada-ada saja orang yang menyinggung tentang perempuan mandul. Sadar diri jika yang mereka sindir adalah aku. Tetapi aku selalu masa bodoh. Lagi-lagi karena ingin menjaga perasaan Mas Amar.
Dulu setelah setahun pernikahan, aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke dokter karena tak kunjung hamil. Setelah menjalani pemeriksaan USG transvaginal, terlihat rahimku dalam kondisi baik. Sel telur besar dan tak ada kista atau masalah rahim lainnya. Di bulan selanjutnya karena belum juga hamil, dokter menyuruhku untuk melakukan pemeriksaan HSG. Aku pun mengikuti arahan dokter. Hasil yang keluar, rahimku dalam kondisi baik. Tidak terjadi penyumbatan dan siap untuk dibuahi.
Empat bulan pulang pergi ke rumah sakit sendiri, dokter akhirnya menyuruh untuk datang bersama suami. Mas Amar sangat sulit untuk diajak periksa.
“Kenapa aku juga harus ikut periksa? Aku ini laki-laki, tidak punya rahim. Lalu apa yang harus diperiksa? Aku juga selalu menjaga kesehatan. Kamu lihat keluargaku, mereka semua punya anak. Berarti bukan aku yang bermasalah.”
Masih terekam jelas ucapan Mas Amar ketika aku berusaha untuk mengajaknya ke Rumah Sakit. aku berusaha merayu agar dia mau melakukan pemeriksaan, tetapi sangat sulit. Akhirnya setelah satu tahun terus membujuk, Mas Amar pun luluh.
Setelah dilakukan tes laboratorium, ternyata suamiku mengalami azoospermia - kelainan pada sel sperma. Kemungkinan agar aku bisa hamil sangat kecil. Mas Amar nampak sedih mengetahui kenyataan itu, tetapi aku menguatkannya. Aku yakin suatu saat nanti kami bisa punya keturunan. Aku meyakinkan Mas Amar kalau kuasa Allah pasti ada untuk kami.
"Sayang, jangan beritahu siapa-siapa ya, kalau aku yang menjadi penyebab kita belum punya keturunan. Aku tidak ingin membuat ibu sedih. Aku juga tidak suka dijadikan bahan gosip di keluarga."
Aku masih mengingat jelas ucapan Mas Amar ketika kami baru saja pulang dari Rumah Sakit.
Aku mengangguk lalu memeluknya. Aku pun berkata, "iya, Mas. Tidak usah sedih. Semua ini hanya Allah dan aku yang tahu. Lagi pula hasil pemeriksaan dokter tidak akan tersebar kalau tidak ada yang menyebarkan. Mas tidak usah sedih. Aku akan selalu berada di samping Mas Amar."
Tetapi aku tak menduga, jika menjadi pihak yang selalu di salahkan. Bibirku tersenyum miris ketika mengingat perkataan Mbak Mira – kakak Mas Amar yang tertua, saat acara akikahan anaknya yang kedua. "Kamu harus banyak makan buah dan sayur. Perempuan tidak akan subur, kalau jarang makan buah."
Aku memang jarang makan buah. Bukan tidak suka, tetapi karena harus berhemat agar uang pemberian Mas Amar bisa cukup untuk sebulan. Zaman sekarang, memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan uang satu juta lumayan susah. Alhamdulillah uang dari Mas Amar bisa cukup karena aku tidak pernah memanjakan diri.
POV Amar Aku menggelengkan kepala. Bibir kembali menghisap benda yang ada di tangan, lalu mengepulkan asap. Aku tidak suka ketika ibu menjelek-jelekan Arumi dan Lilis. Mereka perempuan baik yang pernah aku sakiti. Sekarang mereka sudah hidup bahagia dengan pasangan masing-masing. Kabar yang aku pernah dengar dari Tante Lasmi, Lilis melahirkan anak kembar laki-laki. Dia menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Setelah menjatuhkan talak, aku belum pernah lagi bertemu dengannya. Pasti sekarang dia sudah hidup bahagia bersama suaminya."Berhenti menjelek-jelekan Arumi, Bu. Aku tidak suka mendengarnya." Aku berkata tanpa melihat wajah ibu. Kini hati sudah terasa panas. Namun masih berusaha sopan dan tidak berkata kasar pada ibu. "Kenapa kamu sekarang selalu membela perempuan itu? Apa kamu menyesal karena telah bercerai dengan dia? Sadar, Amar! Arumi itu sudah menghina ibu. Dia juga mengusir ibu saat datang ke rumahnya, padahal kami hanya datang untuk bersilaturahmi. Mentang-mentang se
POV Amar ***"Sekarang sudah lima tahun kamu hidup sendiri, Amar. Kenapa belum menikah juga? Ibu capek selalu menyuruh kamu menikah, tetapi kamu tetap keras kepala." Saat ini aku dan ibu sedang berada di teras rumah. Aku sudah tinggal menetap di rumah Mbak Maya sambil menjaga anak-anaknya. Rumahku sudah dijual sebagai modal usaha. Hanya saja usaha itu bangkrut, tak berkembang.Ibu sudah sering bertanya begini padaku. Tetapi aku selalu mengacuhkan. Selalu merasa jengkel jika ibu bertanya tentang menikah. "Amar, jawab ibu! Kamu tidak bisa begini terus. Ibu capek mendengarkan perkataan orang yang selalu menggosipkan kamu tidak punya istri. Sekarang hidup kita sudah kembali pulih. Kita sudah tidak punya utang lagi. Kenapa kamu belum juga mau menikah? Dulu kamu mengatakan pada ibu jika ingin melunasi semua utang lebih dulu, setelah itu baru mencari perempuan untuk dinikahi." Aku hanya menjadi pendengar atas keluhan ibu. Dulu aku memang pernah mengatakan pada ibu jika akan menikah setel
POV Yuda"Tidak apa-apa, sayang. Melahirkan normal dan tidak, kamu tetap sudah menjadi ibu. Tidak ada bedanya, sayang. Perempuan yang melahirkan normal dan operasi sama saja. Perjuangannya tetap bernilai pahala di mata Allah. Allah yang lebih tahu yang terbaik." Arumi tersenyum, matanya mengecil. Aku mencium bibirnya yang masih pucat. Lalu berkata, "makasih sudah melahirkan anak kita. Makasih sudah melewati masa kritis. Dan terimakasih sekarang sudah membuka mata." Ucapan lembutku membuat mata Arumi berkaca. Aku pun merasa haru dengan keadaan yang sudah dilewati. Dulu aku berjuang. Berkali-kali dipaksa untuk berhenti, tetapi aku tak mengindahkan. Sekarang aku telah mendapat Arumi dan Allah memberikan bonus anak dalam rumah tangga kami. Rencana Allah terlalu indah.Sekarang Arumi sedang di temani oleh ibu dan ayah. Aku meminta izin sebentar untuk keluar, ingin menelepon seseorang. Ada hal penting yang harus diselesaikan."Keluarkan mereka dari penjara. Tolong lunasi semua hutang mere
POV Yuda ***Aku yang sedang melamun tersadarkan dengan pergerakan tangan Arumi. Aku langsung berdiri dari kursi. Hati sangat senang melihat mata Arumi yang perlahan terbuka. Untaian dzikir dan doa terucap. Memohon untuk melindungi kekasih hati. Aku sungguh tidak siap kehilangan Arumi. Tak tahu akan hidup bagaimana jika Arumi tidak di sampingku."Sayang," ujarku dengan pelan, sambil menggenggam lembut tangan Arumi.Aku tersenyum. Menginginkan Arumi melihat senyumku saat pertama kali membuka mata. Aku sudah meminta tolong pada perawat untuk menjaga anakku dengan baik. Ibu dan ayah sedang di perjalanan menuju ke sini. Begitupun dengan orang tua Arumi, mereka juga sudah di perjalanan. "Aku di mana?" ujar Arumi dengan pelan, nyaris tak terdengar. "Kamu di rumah sakit, sayang. Anak kita sudah lahir setelah kamu dioperasi." Aku mengusap dan mencium kening Arumi. Arumi masih tampak bingung melihat sekeliling. "Terimakasih, sayang." Aku kembali berkata di jarak yang dekat.Arumi belum
POV AmarYa Allah, selamatkan Arumi. Sehatkan dia. Jika harus ada takdir buruk yang terjadi. Gantilah takdir kami. Aku rela merasakan sakit asalkan Arumi bisa sembuh. "Arumi tidak tahu jika aku melaporkan mereka ke kantor polisi karena telah mengancam akan melukai Arumi. Sebenarnya aku akan mencabut laporan jika Arumi telah melahirkan. Aku hanya ingin menjaga Arumi agar tetap baik-baik. Aku sengaja tidak memberitahu Arumi karena di hari itu dia mengatakan padaku kalau dia kasihan pada ibumu. Meskipun ibu dan kakakmu telah melukainya, Arumi tetap menyuruh agar aku tidak melakukan sesuatu pada mereka … Arumi sangat baik, bukan? Kamu tidak usah khawatir, mereka akan aman di penjara. Aku hanya ingin membuat mereka merasa jera. Semoga bisa, karena mengubah karakter setiap orang itu sangat sulit. Jika kamu marah padaku, silahkan! Tetapi jangan melampiaskan amarah pada istriku, karena kamu akan berurusan dengan aku dalam kondisi emosi yang sangat parah."Semua perkataan Yuda membuatku ingin
Pov Amar "Mana istriku?" Suara bas terdengar di telinga. Aku langsung berdiri dan menatap lelaki yang berada di hadapan dengan tatapan murka. Mungkin dia dari kantor. Pakaian kerjanya masih lengkap menutupi badan."Belum keluar. Masih di ruang operasi," ujarku pelan. "Jika terjadi sesuatu pada istri dan anakku. Kamu tidak akan selamat. Aku pastikan kamu akan celaka." Tak takut dengan ancaman lelaki yang aku ketahui bernama Yuda. Aku memang salah. Jika dia akan mencelakaiku, tak mengapa. Itu memang hukuman yang pantas untuk aku.Yuda duduk di kursi, aku pun menyusul untuk duduk. Aku kembali menatap pintu ruang operasi. Melirik Yuda, ternyata dia juga melakukan yang sama denganku. Arumi jatuh ke tangan yang tepat. Lelaki ini terlihat sangat mencintai Arumi. Jika Arumi tidak mendapatkan kebahagiaan saat bersamaku dulu, mungkin bersama lelaki ini, Arumi sudah bahagia.Seharusnya aku tidak lagi mengganggu hidup Arumi. Jika aku menyelesaikan sendiri masalah ibu dan Mbak Mira tanpa meli