Share

6. Erun Lexion Uli, Sang Pengganti

Clarence mengulum bibirnya ke dalam.

Meminta perceraian secara langsung gagal. Jelas saja, itu adalah rencana yang buruk. Tidak mungkin ada orang yang akan menyetujui perceraian di hari pernikahannya.

Jadi, Clarence harus beralih pada rencana lain.

Namun apa itu?

Dia tidak tahu. Dia masih akan memikirkannya.

Yang jelas, saat ini, ada hal paling penting yang harus dia lakukan.

Dan apa itu?

Clarence mengembangkan senyum secerah matahari sembari melangkah dengan anggun menuju kamar milik pangeran Leopold. Pesta pernikahan sebetulnya belum selesai, masih ada beberapa rangkaian acara lagi. Namun, karena tipu daya yang ia lakukan, ia akhirnya berhasil menyelinap keluar dari aula tanpa diketahui oleh siapapun, bahkan pangeran Leopold sendiri.

Yah, dia tidak bisa membayangkan apa yang ada di kepala orang-orang nanti saat menyadari, bahwa tokoh utama dalam acara ini malah menghilang. Pangeran Leopold mungkin akan marah, tapi Clarence berusaha untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak harus dia khawatirkan.

Di belakangnya, puluhan pelayan yang sudah siap sedia di pintu belakang mengikuti langkahnya. Mereka bahkan tidak bertanya apapun, seolah memang telah diperintah begitu sebelumnya.

Clarence memiringkan kepala, sembari mencoba mengingat-ingat. Atau memang benar Clarence asli telah memerintahkan hal itu sebelumnya? Tapi... untuk apa?

Larut dalam lamunannya, Clarence tidak sadar bahwa dia kini telah berada di taman. Tepatnya, sebuah taman kecil namun beraura suram, yang berada di aula. Langkah kakinya tadi melangkah begitu saja, seolah memang diatur seperti ini.

Ah, alur novel.

Saat berbelok ke kanan dan semakin memasuki taman, seorang pelayan yang paling tua takut-takut bersuara. "Kami telah menyiapkan kereta pesanan Putri, namun sepertinya itu telah tertangkap. Jadi——"

Langkahnya seketika terhenti. Clarence menoleh, dan mengerutkan kening. "Apa yang kau maksud?" Tanyanya dengan heran. Apa Clarence asli benar-benar meminta hal ini di hari pernikahannya? Tapi kenapa dia tidak bisa mengingat bagian itu?

Wajah pelayan itu memucat. Dengan gugup dia menjawab, "M-maafkan saya, Putri."

"Maafkan kami, Putri." Pelayan lain menyahut dengan suara bergetar. Lantas, semua dengan kompak berjongkok dan menundukkan kepala, sembari berujar, "Kami pantas mati!"

Kepala Clarence terasa berdenyut-denyut. Kenapa adegan ini tercipta lagi? Dia tahu bahwa Clarence Divn Rivas itu merupakan tokoh antagonis, tapi apakah harus separah ini juga?

Apa saja kejahatan yang sudah kau lakukan, Cla...

Dia membatin dengan lelah.

Sebagai pembaca setia, dia tahu benar bagaimana dahsyatnya kejahatan Clarence. Namun, menempati tubuh ini dan menerima ketakutan mereka, dia masih saja syok. Tidak tahu harus bagaimana menyikapi hal ini.

"Berdiri." Perintah Clarence, yang entah kenapa malah terdengar dingin.

Mereka berdiri dengan tergopoh-gopoh. Dua pelayan muda bahkan sampai menangis, dan tubuhnya tremor parah.

"Jika kereta itu tidak ada, apa yang harus aku pakai? Apakah kau menyuruhku untuk berjalan sampai ke istana Raja, pelayanku?"

"T-tidak, Putri." Dengan tergagap, pelayan tertua itu menjelaskan, "Sebelumnya kami hendak memesan kereta lain, namun Yang Mulia Uli menghentikan kami, dan mengatakan bahwa dia akan mengantarkan Putri. Kami... kami tidak berani menolak, Putri."

Nah. Kalau ini, dia mengingat adegannya. Berarti akan ada kejadian besar setelah ini, dan dia harus mempersiapkan diri.

Uli yang dia sebut tentu saja adalah Erun. Namun, yang menjadi kebingungan Clarence adalah, mengapa pelayan itu memanggilnya Yang Mulia? Bukankah gelar itu seharusnya hanya dipakai oleh anggota resmi kerajaan?

"Kenapa kau memanggilnya Yang Mulia?" Clarence memutuskan untuk bertanya daripada menyimpan kebingungannya itu sendirian. Lagipula, mereka hanyalah pelayan yang ketakutan pada tubuh ini, jadi tidak mungkin berani menyebarkan omong kosong——seperti rumor bahwa dia tiba-tiba menjadi aneh, contohnya.

"... karena anda memerintahkannya..."

"Dan kapan itu?"

"Setahun yang lalu, Putri."

Clarence mengangguk saja, tidak berniat bertanya lagi. Clarence memang menganggap Erun 'orangnya', jadi tidak heran lagi bila Erun memiliki kelebihan dengan menyandang gelar yang belum tentu menjadi miliknya itu.

Hm, hanya orangnya. Tangan kanannya. Clarence asli yang berhati busuk tidak mungkin menganggap Erun lebih dari itu, meski status mereka sebenarnya merupakan sepasang kekasih——dan akan menjadi selingkuhan, mulai hari ini.

"Lalu dimana dia sekarang?"

Seakan menjawab pertanyaan Clarence, sepasang tangan kekar tiba-tiba melingkupi perutnya dengan erat. Beberapa detik kemudian, dagu seseorang bersandar di bahu Claire, disusul helaan napasnya yang hangat.

"Aku disini, Cla..." Bisik orang itu.

Clarence seketika memalingkan wajah. Napas Erun sejujurnya wangi, tapi Clarence tidak suka.

"Merindukanku, hm?"

"Anggap saja begitu." Clarence menjawab acuh tak acuh, hingga membuat pelayan tersentak kaget. Sepertinya dia mulai menyelami karakter Clarence asli. "Sekarang lepaskan aku, Erun. Ini area kerajaan. Baju pengantin yang masih aku kenakan tentu saja akan menarik perhatian."

Erun tidak membantah. Dia menjauh, lantas memegang bahu Clarence dan membuat wanita itu menghadapnya. Dia tersenyum hangat, "Kau cantik memakai gaun pernikahan."

Ucapan Erun itu membuat wajah Clarence berubah masam. Itu adalah sesuatu yang ingin dia lakukan tadi. Bercermin, dan memastikan kalau wajah dan tubuh Clarence itu begitu sempurna, sesuai yang ada di deskripsi buku.

"Dan aku pastikan, suatu saat nanti setelah aku menjadi Raja, aku akan membuatmu lebih cantik dari ini, Cla."

Itu tidak akan terjadi, dude.

Ingin rasanya Clarence meneriakkan hal itu, namun dia tahan mati-matian. Tidak baik untuk mengungkapkan plot novel pada tokohnya. Dia tidak ingin adanya variabel pada waktu sedini ini.

Karena mata Erun menatapnya dengan sorot memuja, dia jadi tidak tega untuk membalas. "Benarkah?"

"Ya. Setelah kau bercerai dengan Leopold, aku akan menikahimu, Cla." Kata Erun dengan sungguh-sungguh.

Jika yang Erun maksud adalah menikahi Clarence setelah kematian mereka berdua, maka dia akan percaya ucapannya. Clarence dan Erun mati bersamaan karena Leopold, jadi tidak akan ada pernikahan.

Namun...

Mata Clarence berkilat penuh tekad. Dia akan mengubah alur ini. Dia tidak boleh mati.

Karena itu, Clarence harus putus dengan Erun, penyebab kematiannya. Namun, ia akan melakukannya nanti, setelah Erun mengantarkannya ke istana raja.

"Bisakah kita berangkat? Aku tidak ingin ketahuan." Clarence segera bicara setelah melihat Erun menunjukkan tanda-tanda akan bicara lagi.

Erun tersenyum, dan mengangguk. "Yah, baiklah." Katanya, sama sekali tidak menolak. Sembari mengulurkan tangan pada Clarence, dia berujar, "Walau kita menghabiskan hari disini, tidak akan ada yang menemukan kita, Cla."

Ya, itu benar. Tempat Clarence berada saat ini adalah di taman terpencil belakang aula, yang dikelilingi beberapa pohon mangga besar. Dengan kerimbunan daunnya, mustahil ada seseorang yang melihat, kecuali dia memang sengaja mendekat.

Dan sepertinya, mustahil ada yang mau berada di tempat ini. Sejak pertama melihat pun Clarence langsung tahu bahwa ini adalah taman yang mengarah pada makam anggota keluarga kerajaan yang terkutuk. Dan semua manusia yang ada di dunia novel ini masih mempercayai takhayul, jadi bisa dibilang, mereka aman.

Clarence menerima tangan Erun. Jari lembut pria itu mengisi kekosongan diantara jemarinya, dan menggenggam erat. Kemudian, Erun menuntunnya ke sebuah jalan, dan kereta berlapis emas langsung menyambut Clarence.

"Ini adalah kereta favoritmu, Cla. Aku sengaja membawanya agar bisa mengantarmu."

"Bagaimana kau bisa membawanya masuk?" Tanya Clarence heran. Di novel, ada peraturan istana yang menyatakan bahwa tidak ada kendaraan yang diizinkan memasuki istana melewati batas tertentu. Dan yang Erun lakukan, bahkan lebih jauh daripada itu.

"Hanya... sebuah trik sederhana?" Erun tertawa pelan, sembari membawanya masuk dengan hati-hati. "Aku akan memberitahumu suatu saat nanti, Cla."

"Terserah."

Erun tidak tersinggung dengan sahutan malas Clarence. "Kau ingin kemana sekarang?" Tanyanya setelah mereka duduk. Menyadari itu, kusir diluar segera menempati tempatnya, dan bersiap mendengarkan perintah.

"Istana raja." Kata Clarence dengan sengaja. Dia mengamati perubahan ekspresi Erun, lantas tersenyum begitu melihat raut sendu yang seketika tercipta. "Ini hari pernikahanku, Erun. Tentu saja aku harus menjalani tradisi kerajaan, bukan?"

"Y-ya." Erun menjawab dengan suara tercekat.

"Memang ya." Sahut Clarence datar. Meski memperlakukannya dengan lembut dan berbeda dengan kedinginan pangeran, dia masih belum menemukan poin plus dalam diri Erun.

Sebenarnya, apa yang Clarence asli lihat sampai berselingkuh dengan Erun dalam jangka waktu lama, hingga dia mengalami kematian menyakitkan?

Wanita itu memang begitu jahat. Dia sengaja tetap berselingkuh dengan Erun, meski tahu bahwa dia adalah saingan suaminya dalam menduduki tahta.

Hening beberapa saat, dan Erun akhirnya berujar pada kusir didepan dengan nada suara aneh. "Pergi ke istana raja sekarang."

Kereta bergerak.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Clarence menghembuskan napas kesal. "Apakah kau tidak marah?"

Dia tidak perlu mengendalikan diri dan menjaga etiket seorang putri, karena hanya ada Erun disini. Dia merupakan budak cinta Clarence asli, jadi mustahil bisa menyebarkan kekurangan ini pada orang lain.

Erun menoleh, dan menatapnya sendu. "Apa maksudmu, Sayang?"

"Aku akan melakukan malam pertama dengan pria lain, dan bukan kamu." Clarence memperjelas.

Erun tersenyum pahit. Dia mengambil tangan Clarence, dan mencium punggung tangannya. "Keinginanmu adalah perintah untukku, Cla. Jika itu yang benar-benar kau inginkan, maka... aku tidak bisa melakukan apapun. Kebahagiaanmu lebih utama."

Clarence menaikkan sebelah alis. "Jika aku memintamu untuk mempertaruhkan hidupmu tanpa alasan, apa kau tetap akan menurutinya?"

"Ya." Erun menjawab cepat, seolah tidak perlu memikirkannya ulang. "Hidupku adalah milikmu, Cla."

"Kau bisa mati."

"Aku tidak peduli. Asalkan kau bahagia."

Sudut bibir Clarence seketika tertarik keatas. Dia tersenyum puas, sangat bangga dengan jawaban Erun.

Ternyata inilah yang menjadi alasan Clarence asli tetap bertahan dengan Erun, meski dia tidak juga mencintainya hingga akhir hayat.

Sebuah kepuasan, karena memiliki anjing setia yang bersedia melakukan apapun untuknya, tanpa meminta imbalan.

Ini... terasa menyenangkan. Dadanya jadi berdebar dengan ringan, dan menyenangkan. Sehingga, tanpa sadar, Clarence mencetuskan ide gila, yang mungkin akan dia sesali suatu hari.

"Bisakah... kita tetap bersama selamanya, Erun?"

Erun tersenyum lebar. Kesenduan yang semula terlukis di mata birunya lenyap, berganti dengan kebahagiaan yang membuncah. "Itu memang yang aku inginkan, Cla. Bersama selamanya, kau dan aku."

"Bagus." Clarence tersenyum manis. Dia tiba-tiba memiliki ide lain, "Lantas, bisakah kau membawaku pergi, Erun? Aku... tidak ingin menghabiskan malam pertama dengan pria itu." Yang dia maksud adalah suaminya, pangeran Leopold.

Menghabiskan waktu dengan orang yang memuja terasa lebih menggiurkan, daripada membiarkan takdir kematian merenggut kehormatan.

Lagipula, sepertinya tidak apa-apa untuk mempertahankan Erun beberapa waktu lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status