Share

Part 2: Rosa Putri Azra-Asa yang Tak Pernah Padam

Aku tidak tahu harus bagaimana, akhirnya masuk kamarku sendiri, mengambil baju kemudian ke kamar mandi.

Tak ada suara apa-apa saat aku keluar dari kamar mandi. Aku kembali masuk ke kamar, menyisir pelan rambut panjangku yang terasa gimbal—lengket satu sama lain—karena ulah angin tadi.

Kutatap wajahku di cermin kecil berbingkai Hello Kitty, hadiah dari teman-temanku. Ulang tahunku lagi, tapi yang kesebelas.

Suara azan magrib terdengar sayup-sayup. Dari cermin aku melihat bayangan Ebo’. Ia menghampiri, bertanya apakah aku mengganti pembalutku dengan yang baru dan membuang yang lama ke tempat sampah setelah aku mencuci bersih dan membungkusnya rapi dengan kertas bekas. Aku mengangguk dan Ebo’ tersenyum puas. Matanya terlihat merah, aneh bagiku, matanya menangis, tapi tersenyum padaku.

“Ayo makan, jangan sholat dulu, kamu sedang halangan.”

            “Halangan?”

            Ebo’ mengangguk. “Setiap perempuan muslim tak boleh sholat pada saat mendapatkan haid.”

            Kini aku mengangguk.

Aku mengekor keluar kamar menuju ruang makan. Ebo’ mengambil piring kosong, mengisinya dengan nasi putih dan sepotong besar ayam goreng. Aku tersenyum lebar padanya yang hanya duduk menemani.

Ebo’ pernah bilang bahwa keluarga kami beruntung bisa makan nasi putih, karena usaha Eppa’ sebagai bandul tembakau sukses. Kata Ebo’, aku harus bersyukur atas segala apa yang bisa kumakan hari ini. Aku juga bersyukur atas baju-baju bagus selalu dibelikan untukku, anak satu-satunya. Tanyakan padaku, mainan apa yang ada di pasar yang tidak pernah kumiliki. Eppa’ selalu membelikanku mainan, termasuk pistol-pistolan dan mainan truk besar. Tidak banyak penduduk daerah sini yang bisa menikmati nasi putih dan lauk daging ayam seperti aku. Nasi jagung  dan singkong rebus menjadi pilihan karena harganya yang jauh lebih murah kata Ebo’.

Sebagian besar penduduk di sini memilih menjadi nelayan sebagai mata pencaharian, hanya Eppa’ yang memiliki nyali besar untuk keluar dari kebiasaan itu. Eppa’ membeli berhektar-hektar tanah dan menanaminya dengan tembakau di kala musimnya dan tanaman palawija di luar masa itu, walaupun palawija tidak terlalu berhasil. Tanah Madura banyak mengandung kapur, itu yang pernah kudengar saat Bapak bercengkerama dengan teman-temannya di rumah.

Benar kata orang, kehidupan seperti roda yang berputar. Sesekali di atas, sesekali berada di titik bawah. Aku merasakan ada perubahan di rumah, dan semakin nyata terasa, saat beberapa bulan setelah aku memergoki Ebo’ menangis, kami pindah rumah. Rumah baru itu satu kilometer dari rumahku yang lama. Rumah baru yang jauh lebih kecil.

Aku sudah hampir enam belas tahun sekarang. Aku rasa aku semakin mengerti dan bisa menerima keadaan rumah yang tidak lagi seperti dulu. Nasi jagung ada di meja dan sepotong ikan tongkol dimasak kesseng Ebo’ letakkan di piringku. Menu yang sama dari kemarin.

“Bo… kapan makan nasi putih lagi? Nasi jagung ini seret di tenggorokan, susah nelennya. Oca harus minum air setiap satu suapan.” Aku berusaha berkata sedatar mungkin agar tidak terdengar seperti orang mengeluh. Tapi telat, roman wajah Ebo’ sudah berubah. Kesedihan tampak di wajahnya.

Aku menyesal dan makin menyesal saat aku tahu Ebo’ berusaha menghibur, tersenyum di bibirnya namun ada genangan air mata di sudut maniknya. Tidak ada cara lain, kubayangkan itu adalah nasi putih pulen, wangi dan masih mengepul asap karena baru matang. Aku tidak mau Ebo’ bersedih.

Kau tahu apa yang terjadi keesokan harinya saat makan siang?

Ada sepiring nasi putih di hadapanku dengan sepotong ayam goreng!

Aku tersenyum girang kemudian Ebo’ bercerita, dia membantu istri Haji Dullah memasak untuk acara syukuran anaknya sunatan. Ebo’ mendapat jatah dua piring nasi putih berikut ayam goreng itu. Sepiring untukku dan sepiring untuk Eppa’.

Untuk Ebo’, sudah kenyang, katanya. Tapi, aku tahu Ebo’ bohong karena sesaat sebelum aku keluar rumah untuk bermain bersama Soca, Ebo’ menyelinap ke dapur, mengisi piringnya dengan nasi jagung tanpa lauk dan secuil petis ikan dengan potongan rawit di atasnya.

Kesempatan kedua selalu ada bagi Eppa’. Namun  alam seolah menunda kesuksesannya. Setiap kali berusaha, berakhir dengan kekecewaan. Setiap kali kegagalan itu kudengar, suara emosi Eppa’ melengking seantero rumah, lalu aku akan mendengar suara isak tangis Ebo’.

Delapan bulan yang lalu, Eppa’ mengaku kehilangan seluruh tanahnya karena satu hal: judi. Ternyata itu yang membuat Ebo’ menangis. Judi yang membuat semua harta Eppa’ lenyap seketika. Eppa’ terbuai dalam rayuan bandar judi di kota. Terbuai dalam ayunan iming-iming sekoper uang hingga mau menjadikan semua harta bendanya sebagai bahan taruhan.

Nasi telah menjadi bubur. Eppa’ menyesal, aku tahu itu dari gurat-gurat di wajahnya, dari bibirnya yang bergetar oleh amarah pada dirinya sendiri.

“Nyebut, Pak. Istiqfar….” Itu salah satu kalimat yang sering terdengar di telingaku. Dan Bapak dengan takzim akan menyebut kebesaran Allah.

Apabila alam yang berkehendak, roda kehidupan itu akan terus berputar, kadang cepat kadang lambat, tetapi roda keluargaku seakan tak berputar. Hanya bergerak tipis seperti daun yang terkena semilir angin.

Nasi jagung dan singkong rebus, menjadi menu setiap hari. Tangis Ebo’, wajah renta Eppa’, menjadi pecut pengingat pada kesusahan ini.

Waktu bergulir, usiaku tujuh belas tahun ketika Desman mengajakku ke Sumenep. Naik motor barunya. Katanya ada tempat makan enak di kota.

“Kamu pasti suka,” tutupnya setelah menguraikan deretan kalimat ajakan padaku. Desman, bukan lagi bocah nakal berusia dua belas tahun yang senang berbuat iseng. Ia

mendadak seperti menelan tiang listrik utuh, tubuhnya jauh tinggi menjulang melebihi diriku.

Kumis tipis di atas bibirnya menandakan usia menuju dewasanya.

Aku tak kuasa melawan rasa ingin tahuku. Pergi ke kota adalah peristiwa langka. Aku menerima ajakan Desman karena izin dari Eppa’ dan Ebo’ sudah kukantongi.

Motor Desman melaju perlahan. Sangat pelan.

“Pelan amat jalannya…” kataku, tak perlu berteriak, tak perlu melawan suara bising angin yang terbelah dengan lemah. Motornya tak menderu kencang.

“Kenapa harus buru-buru?” jawabnya.

Sesekali dia mengerem motor tiba-tiba. Aku terpaksa meremas baju di bagian pinggangnya menahan diriku agar tidak terjungkal jatuh ke aspal keras.

“Ada enthog lewat,” katanya ketika aku mengomel. Dan omelanku semakin menjadi, semua orang tahu, siapa sih yang pelihara angsa di daerah sini? Mana ada!

“Ada kambing nyebrang,” elaknya lagi di rem kedua. Kambing di malam hari? Mereka pasti sudah tertidur pulas. Aku masih mengomel, karena dorongan rasa takut jatuh.

“Ada dhin-dadhin terbang,” katanya lagi sambil tertawa ketika rem mendadak ketiganya sukses membuat tubuhku sekilas menyentuh tubuhnya. Aku tidak tertawa. Siapa yang sanggup tertawa mendengar kata “hantu terbang” di malam gelap gulita seperti ini? Saat ini baru pukul tujuh malam, tapi tak ada lampu penerangan jalan, gelapnya sudah melebihi warna langit yang tak berbintang. Hanya mengandalkan lampu sorot motornya, nyaris tak mendongkrak rasa beraniku.

Tak lama kerlip lampu rumah penduduk menyapa mata. Kami sudah memasuki kota. Desman tak lagi banyak tingkah. Polisi bernama akhlak mengintai di tengah kegelapan. Sebuah kafe kecil di lantai  dasar toko tingkat menjadi tujuan kami.

“Ca … kamu mau jadi pacarku?”

Minuman yang ada di dalam mulutku, hampir saja tersembur ke luar. Mataku melotot menatapnya, mungkin telingaku salah mendengar.

“Kamu mau kan jadi pacarku?”

Aku tidak salah dengar.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status