Ucapan Desman terdengar begitu jelas. Tak salah lagi. Perutku memang kenyang, setelah menghabiskan sepiring nasi goreng merah dan segelas fanta hijau, tapi oksigen masih cukup memenuhi otakku untuk mencerna ucapannya. Aku menunduk. Aku benar-benar tidak siap menghadapi ini semua. Aku memang dekat padanya, tapi—
“Ca?”
“Aku … Desman….” Lidahku kelu. Pikiranku buntu, oksigennya sudah berebut memenuhi lambung. Aku hanya menganggap Desman sebagai teman. Pernyataan cintanya sungguh di luar dugaan dan harapan. Harapan? Iya, tak pernah aku berharap ada cinta di antara kami. Selama ini cukup sudah dengan status “teman”.
Ia berusaha menggenggam tanganku namun kutarik pelan. Tak ada yang namanya “kesetrum”, “meleleh” atau apa pun istilah yang digunakan oleh novel-novel remaja yang sering Soca pinjamkan kepadaku. Yang ada hanya perasaan asing, kosong, bahkan yang katanya cewek akan terbuai oleh pernyataan cinta, tak berlaku bagiku.
“Aku harus mikir dulu,” kataku, merasa tidak baik untuk menolaknya serta merta. Tidak “enak” tepatnya. Lalu atmosfer di sekitar kami berubah mendadak, ada rasa canggung terbentuk begitu saja. Tatapan matanya yang tajam, kini seolah mengeluarkan kata. Dulu senyumannya adalah senyuman jahil yang tertangkap mataku, tapi kini semuanya berubah. Senyumannya adalah senyuman … entah bagaimana aku menyebutnya. Begitu lembut, begitu berharap. Dan tiba-tiba aku merasa menjadi perempuan yang tidak tahu diuntung.
Desman mengangguk, lalu melanjutkan makannya dengan tenang. Sisa waktu kebersamaan kami berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan saat pergi tadi. Aku menjadi kikuk, dan semua perbuatan Desman menjadi memiliki arti yang semuanya mengarah pada ucapan cintanya.
Malam sudah bergerak mendekati angka sembilan. Motor Desman melaju lebih cepat daripada waktu berangkat tadi. Keluar dari perbatasan kota Sumenep, motor melaju semakin kencang. Mataku tertutup, tidak sanggup menahan tusukan perih angin di mataku. Sama sekali bukan jenis pacaran yang aku pernah bayangkan, tidak bisa membuat jantungku bertalu-talu.
z
Tahun 1999
Batu karang pun akan terkikis jika terkena hempasan air laut terus menerus. Begitu juga diriku, keinginan bersekolah tinggi sunggu sudah pupus sejak lama karena keinginan kuat membantu orangtua.
Aku sudah delapan belas tahun sekarang, kelas tiga sekolah menengah atas, sebulan lagi aku akan meninggalkan sekolah. Rasa sakit akibat pecutan kehidupan itu begitu berbekas dalam jiwaku. Aku bertekad menyelesaikan pendidikan akhir, lalu aku akan bekerja membantu Eppa’ dan Ebo’, mengangkat derajat mereka setinggi mungkin. Aku adalah anak satu-satunya mereka, kepada siapa lagi mereka akan berpaling?
“Kamu mau kuliah, Ca?” Eppa’ bertanya.
Aku ingin berkata iya, tapi otakku terlalu encer berlogika untuk melihat kondisi kami. Rasa iri melihat teman-teman lain merencanakan kuliah di Surabaya atau Malang sudah kugerus halus dan kuterbangkan bersama angin laut yang sepanjang waktu tak pernah berhenti bergerak.
“Ndak, Pa’. Oca, mau kerja,” jawabku. Ebo’ melirik.
“Tak pa-apa. Eppa’ bisa pinjam uang dulu ke Haji Dullah, nanti bisa nyicil tiap bulan.”
Eppa’ menatapku serius.
Meminjam uang? Oh, tidak. Sudah cukup penderitaan mereka. Bukan mau mengecilkan kebaikan hati Haji Dullah, beliau sudah lebih dari cukup membantu keluargaku. Kini akan kutunjukkan pada orangtuaku, akulah harapan mereka.
“Ndak perlu. Oca … kalau boleh, ingin kerja di luar Madura, Pa’,” jawabku setelah yakin pada pemikiranku sendiri. Aku pernah melihat di televisi milik Soca, banyak lulusan sekolah menengah atas yang sukses, sebanyak lulusan sarjana yang menganggur. Kata sang motivator saat itu: berhenti menjual ijazah, juallah pengalaman dan keahlianmu. Aku tak punya keahlian, maka aku harus mencari pengalaman. Selesai perkara.
Ebo’ langsung meletakkan baju dan jarum yang sedang dipegangnya.
Eppa’ masih menatapku. Dia mengeluarkan rokok hasil plintingannya sendiri, yang bau asapnya tiga kali lipat tajamnya dari rokok yang dijual di pasaran.
“Ke mana?” tanyanya di antara kepulan asap.
“Jakarta. Oca ingin ikut Enning[1] Marfu’a.”
“Ke Jakarta?” Ebo’ menatapku dengan kerutan di antara kedua alisnya. “Tang kana’ ontang antèng.[2] Tak perlu ke Jakarta. Mau apa di sana.”
Aku menunduk mendengarkan omelan Ebo’.
Enning Marfu’a adalah adik Eppa’ yang sudah lebih dari sepuluh tahun merantau di Jakarta. Setiap kali Enning pulang kampung pas tellasan Idul Fitri, aku terheran-heran melihat segala perhiasan di tubuhnya. Dan setiap kali dia datang, perhiasannya selalu berbeda. Tahun kemarin, kalung rantai berliontin huruf M digabung dengan kalung rantai bermata merah. Gelang emasnya bukan rangkap lagi, tapi di sepanjang setengah lengannya yang berkulit gelap seperti Eppa’. Hanya anting di telinga yang tidak rangkap. Aku pikir di rumahnya pasti sudah ada paling tidak se-gantang perhiasan emas.
Uang lembaran baru selalu ada di dalam tas Enning, tas berwarna ungu tua dengan hiasan berwarna emas terang, merek terkenal katanya waktu itu. Lembaran seribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan dan dua puluh ribuan. Semua masih rapi, ada segel banknya, itu, kertas pengikat gepokan uang itu. Baunya pun berbeda, wangi kertas. Uang dari Eppa’ selain perlu disetrika, bau amis ikan sering tercium.
“Oca ingin berhasil seperti Enning di Jakarta, Bo’,” kataku menatap langsung mata kedua orangtuaku bergantian. Menatap mereka, hanya menguatkan keinginanku. Wajah renta keduanya adalah irisan sembilu di hati. Kapan mereka akan menikmati masa tuanya dengan bahagia? Tanpa memikirkan lagi uang untuk mereka hidup. Aku yang memegang bola panasnya. “Oca akan kirim uang buat Eppa’ dan Ebo’,” sambungku sembari menatap Ebo’ penuh harap.
“Tadha’ aeng agili ka olo[3]...” kata Eppa’ pelan. Singkat namun tepat sasaran. Aku sangat mengerti maksud Eppa’. Tapi niatku baik. Kata Eppa’ niat baik pasti baik untuk dilakukan.
“Kamu bisa bantu Eppa’ jualan ikan di pasar. Marfu’a juga berjualan di pasar, apa bedanya?” tanya Ebo’ lagi. Aku tahu Ebo’ enggan melepasku. Mungkin kalau aku memiliki banyak kakak atau adik, akan rela melepas. Satu hilang, masih ada anak yang lain.
Kulihat mata tuanya mulai menggenang.
Maaf Bo’....
“Beda, Bo’. Di sini Oca seperti katak dalam tempurung, diam di tempat, tak ke mana-mana. Oca ingin mengenal dunia luar Madura.”
Eppa’ mengembuskan lagi asap tembakaunya ke atas, Ebo’ menarik napas panjang lagi yang malah menambah besar genangan di sudut matanya.
“Tak gampang hidup di Jakarta. Kelihatannya saja Enning kamu itu begitu, tapi Eppa’ tahu persis bagaimana dia berjuang di tahun-tahun awal di Jakarta. Tak gampang.”
“Iya, Pa’. Oca mengerti. Oca tahu harus bekerja keras. Oca ingin belikan Eppa’ Ebo’ rumah baru yang bagus.” Aku teringat lagi, tembok dapur yang mulai keropos—warna batu bata mulai terlihat, plafon di teras rumah yang sudah hancur oleh air hujan, dan kakiku masih menginjak lantai berwarna abu tua yang terlihat sedikit mengkilat. Lantai semen yang terlalu sering dipel oleh Ebo’. Aku ingin lantai rumah berkeramik seperti rumah-rumah kebanyakan di sini.
Ebo’ menatap Eppa’, yang menurutku artinya : jangan izinkan Rosa pergi, kalau tidak….
“Nanti Eppa’ telepon Marfu’a.”
… kalau tidak, Ebo’ akan marah!
Eppa’ mengacuhkan tatapan kesal Ebo’.
Biarlah “perang” kecil terjadi di antara mereka, tapi, kalau sudah Eppa’ yang menyetujui, Ebo’ hanya akan mengikuti, walaupun sepanjang hari omelan dari mulutnya akan selalu terdengar. Eppa’ dengan caranya sendiri pasti akan meyakinkan Ebo’ bahwa keputusannya sudah dipikirkan masak-masak. Toh, Eppa’ sudah memiliki pengalaman kelam tentang “membuat keputusan” di masa lalu.
Sebelum Eppa’ pulang dari pasar, Ebo’ mendekatiku seperti kucing merayu.
“Oca … tak usah pergi ya … Oca anak satu-satunya Ebo’, Ebo’ akan kesepian di sini.” Ebo’ mengelus tanganku.
Aku yang sedari tadi dalam posisi duduk, kini merebahkan kepala di atas pangkuannya, dan kuselonjorkan kaki, merasakan permukaan bale-bale bambu halus yang ada di teras rumah.
Angin laut tercium, bahkan samar-samar kudengar deburan ombaknya. Ini yang mungkin akan aku rindukan juga.
“Bo’, Oca kan tak pergi selamanya. Setelah Oca berhasil, Oca akan pulang. Oca akan tinggal bersama Ebo’ dan Eppa’ lagi. Jangan buat langkah Oca berat, Bo’….”
Ebo’ mengusap rambutku, hela napas panjangnya terdengar berat.
“Tapi pasti akan merasa kesepian—”
“Ada Eppa’.”
“Siang sepi.”
“Ada istri Haji Dullah yang selalu mengajak Ebo’ ngobrol.”
“Tak ada Oca.”
“Oca ada di hati Ebo’.”
Ebo’ diam. Helaan napasnya semakin berat dan tiba-tiba saja setetes air mata menimpa pipiku.
“Bo’….”
Aku bangkit duduk, lalu kupeluk tubuh rentanya. Kurus, tulang belikatnya mengiris hati dan goncangan di dadanya seakan memberi cambuk di punggungku. Bukan, bukan cambuk yang bisa menghentikan tekadku, tapi malah menghelaku untuk berlari lebih cepat, cepat, dan cepat.
Maafkan Oca, Bo’….
***
[1] Enning : panggilan Tante (saudara perempuan ayah) dalam bahasa Madura daerah Slopeng.
[2] Tang kana’ ontang anteng : bahasa Madura, artinya anak tunggalku.
[3] Tadga’ aeng agili ka olo : peribahasa Madura, artinya tidak ada orangtua yang meminta pada anaknya.
Sepulang dari pasar, Eppa’ memanggilku, tanpa berganti baju hanya meletakkan keranjang bambu di samping rumah. Eppa’ bau amis laut, bau hampir semua laki-laki di daerah ini.Begitu Eppa’ duduk di bale-bale dan mengipasi dirinya dengan caping, Ebo’ sudah datang mendekat dengan secangkir kopi hitam kental di tangan.“Pa’, sudah nelpon Enning?” tanyaku tak sabar.Eppa’ mengangguk.“Marfu’a tak keberatan kamu ikut ke Jakarta. Tapi katanya kamu harus siap mental. Tak gampang hidup di Jakarta. Marfu’a tak masalah kamu mau bantu dia di pasar atau kamu mau cari kerjaan sendiri di sana.”Aku tersenyum lebar. Aku tahu Enning Marfu’a memiliki pemikiran luas seperti Eppa’.Ebo’ melirik Eppa’, kali ini tanpa kerutan lagi di antara alisnya. Mafhum.Aku merasa tidak sabar menunggu hari keberangkatan, ijazah lulus dari SMA Ambunten kupandang
“Rosa!” Aku mencari asal suara, dari jarak beberapa meter aku melihat Enning setengah berlari menghampiri. Laki-laki tambun usil itu tiba-tiba saja menjauh lalu menghilang di antara kerumunan orang banyak. Aku bernapas lega. “Enning!” Aku tersenyum lebar padanya. Enning Marfu’a adalah tante favoritku sejak dulu. Orangnya baik, periang, suka ceplas-ceplos. Di belakang Enning, Enceng[1] Ibrahim, suaminya. Laki-laki yang berasal dari Surabaya, mereka bertemu di Perak dan menikahi Enning sebulan kemudian. “Rosa, sampai juga kamu, Nak!” seru Enning dengan senyum lebar. Aku meraih tangan mereka berdua, menempelkannya di keningku dengan hormat. Enceng Ibrahim mengambil tas besar dan kedua dus, lalu menentengnya dengan langkah tergesa. Aku dan Enning mengekor di belakangnya. Enning pun berjalan seperti ada yang mengejar. Kulihat sekelilingku, semuanya seperti terburu-buru. Aku menyamakan langkah dengan Enning. Apa semua orang Jakarta seperti ini?
Tertulis jelas disertai nomor telepon yang bisa dihubungi. Diam-diam aku menghafal deretan angka itu. Tak ada salahnya. Enning membayar minuman kami dan langsung melaju pulang ke rumah.Bulan berikutnya Enceng malah memberiku uang lebih banyak lagi, enam ratus ribu! Tak kepalang rasa bahagia di hati.Banyak hal yang sudah kupelajari dan kupetik selama ikut mereka berdua. Namun dalam hati masih mengganjal sesuatu. Ada merasa tidak puas. Aku merasa kepintaranku mungkin tak sepadan dengan uang-uang itu. Aku harus tetap mencari pekerjaan.Rasa galau ini melanda berhari-hari, ada desakan dalam diri agar aku mendapatkan yang lebih baik. Membantu Enning adalah baik, tetapi aku merasa ada yang lebih baik lagi di luar sana.Sudah dua bulan lebih aku bersama kedua orang yang luar biasa itu. Suatu sore, aku nekat mendekati Enning yang sedang santai di teras bersama anak bungsunya.“Ning…” panggilku lirih.Enning menoleh dan menyuruhk
Mardi keluar dengan sebuah kipas angin berukuran sedang di tangan kemudian ke pojok ruangan, meletakkan kipas itu di atas meja kecil. Sedetik kemudian angin segar menerpa wajah dan badanku. Aku tersenyum, sebagian rambut panjangku bergerak, melayang, seolah ikut menikmati apa yang kurasakan. “Makasih, Bang,” ujarku sembari mengembalikan koran ke tempatnya. Bang Mardi hanya tersenyum lalu kembali duduk di kursinya semula. Lembaran dengan sejuta abjad kembali menjadi pusat perhatiannya. Aku hanya menikmati rasa nyaman karena udara yang bergerak dari kipas, menggerakkan leherku ke kiri, lalu ke kanan, agar bagian belakang leherku terkena embusannya. “Kamar kamu panas ya?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangguk. “Besok tanggalan merah, aku pinjam kunci kamar kamu, mau suruh tukang untuk bikin jendela kecil di sana.” Aku menoleh dengan senyum lebar terkuak. “Benar, Bang?” Bang Mardi mengangguk. “Aku udah lama pingin ngomong, tapi tidak be
Bangun pagi dengan motivasi tertanam di otak membuatku lebih bersemangat. Aku punya misi hari ini, mengorek keterangan dari Ci Melan tentang apa pun yang mereka sebutkan kemarin, tentang uang dua ratus juta. Dua-ratus-juta! Aku sudah tahu akan kuapakan uang itu jika mendapatkannya. Kata orang rejeki tak ke mana. Rejeki akan datang menghampiri, tetapi jika rejeki tak kunjung datang, aku yang harus menghampirinya. Betul, bukan? Aku datang ke Jakarta, untuk menghasilkan uang. Demi Ebo’, Eppa’, dan hidupku sendiri. Bayangan tumpukan uang menyelinap indah ke dalam pikiran. Aku berdiri dengan penuh harapan. Semalam hawa terasa begitu panas, baju tidurku basah oleh keringat di bagian leher dan ketiak. Mungkin dengan uang itu aku bisa pindah kos. Pindah ke kosan baru yang punya pendingin ruangan? Angan-angan ini membuatku tersenyum se
Menjelang magrib, ketika penguasa cahaya merasa letih, buaian sang rembulan mulai menggoda. Udara Jakarta terasa bersahabat kali ini, berembus dengan sedikit hawa dingin. Masih di ruangan yang sama, formasi yang sama, posisi yang tak berubah di toko milik Melan. Ada Melan-Monica-dan Rosa. Yang satu menunjukkan wajah heran penuh takjub namun senyuman tersungging di wajahnya, Monica. Yang lain sebentar-sebentar menghela napas panjang, melirik ke arah dua lainnya bergantian, Melan. Dan yang menunjukkan wajah penuh semangat serta keyakinan tinggi adalah Rosa. Monica berkali-kali menatap Rosa, meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menelaah apakah Rosa pantas untuk menjadi kandidat. “Terus terang saya kaget menerima kabar dari dia ini,” Monica menunjuk Melan dengan dagunya, “kamu yakin akan menjalani ini? Umur berapa kamu sekarang?” tanyanya kembali menatap lekat Rosa. “Umur dua puluh satu tahun, Bu.” Bola mata Monica bergerak-gerak, seolah
Rosa membungkukkan badan di pinggiran wastafel di kamar mandi. Kandungannya telah memasuki bulan ketiga, namun dia masih merasa mual-mual. Dia dan Giselle merasa bersyukur, hanya rasa mual yang terasa, tidak ada sedikit pun makanan yang keluar dari mulutnya. Untuk hal ini berkali-kali Giselle merasa lega karena anaknya tidak kekurangan gizi. Rosa menatap cermin di depannya, lalu tersenyum pada dirinya sendiri. Dia mengangkat rambutnya yang terurai, menggelungnya, dan menusukkannya dengan tusuk konde bergambar kartun Jepang. Hadiah dari Giselle beberapa waktu lalu. Dia mengucurkan air wastafel, lalu membasuh muka kemudian membersihkan wastafel sekadarnya. Dia menepuk pipinya pelan, terasa lebih berisi, dan lebih terlihat rona kemerahan dibandingkan tiga bulan lalu.
Suasana ruang tamu mewah itu terasa lengang, hanya dua orang wanita duduk berhadapan di satu sofa panjang. Melipat kaki masing-masing, saling memperhatikan ucapan satu sama lain. Persahabatan mereka ibarat anggur yang di fermentasi, semakin lama semakin kuat, semakin menyatu dalam rasa.“Lo udah pastiin Monica ke sini?” tanya Emma.“Udah, dia lagi on the way.”“Gis, bukannya apa-apa. Pikirin lagi matang-matang. Gimana lo bisa tahu dia dari keluarga baik-baik? Apa entar lo malah memelihara ‘macan’ di rumah ini?”Giselle tertawa kecil. “Nggak lah, Em. Gua pasti tahu, gua punya insting untuk menilai seseorang.”Emma mendengus sembari menggelung rambutnya yang sebagian terjatuh di sisi kepalanya. “Kedengarannya emang mudah. Suntikin sperma laki lo ke rahim dia, bayi tumbuh dan bim salabim, bayi lahir, urusan beres.”“Udah seharusnya seperti itu, kan?&