Home / Romansa / Yes, I Do / Bab 22. Terus Terang

Share

Bab 22. Terus Terang

Author: Adelia17
last update Last Updated: 2022-06-14 09:04:42

“Lalu … kita harus bagaimana, Ryl?” tanyaku. Saat ini tubuhku sudah mulai sedikit gemetaran, dan aku tetap berusaha untuk fokus sebelum traumaku kambuh.

“Enggak bagaimana-bagaimana,” jawab Cheryl membuatku praktis menoleh ke arahnya.

“Tidak perlu takut! Ada aku dan ada orang kepercayaan om Danendra yang mengawasi kita. Kita pasti aman,” bisik Cheryl.

Aku mengangguk samar. Namun, aku tidak bisa menutupi rasa gugup.

“Li, tenang! Jangan terlihat gugup!” Cheryl kembali mengingatkanku.

“Iya,” jawabku.

Setelah menghembuskan napas pelan beberapa kali, aku pun membuka pintu cafe.

Melihat kami berdua datang, Keenan langsung tersenyum dan melambaikan tangannya.

“Hai! Maaf menunggu lama.” Itu suara Cheryl yang mendahuluiku menyapa.

Cheryl pasti tahu kalau aku masih sangat gugup.

Cheryl menarik kursi di hadapan Keenan. Sedangkan aku memilih untuk duduk di sebelah Cheryl.

“Mau minum?” Keenan menawari.

“Tentu saja,” jawab Cheryl sambil melambaikan tangannya, memanggil seorang pelayan cafe.

“Americano di sini sangat lezat.” Keenan merekomendasikan salah satu jenis kopi.

“Saya mau pesan es kopi, dan jus jeruk saja,” ujar Cheryl pada seorang pelayan cafe itu. Jelas dia mengabaikan perkataan Keenan, dan langsung memesankan minuman untukku.

“Kamu tidak suka kopi?” tanya Keenan padaku, tepat setelah seorang pelayan itu berlalu dari hadapan kami.

“Lilian sudah terlalu banyak minum kopi.” Cheryl berkata.

Aku tidak tahu tujuan Cheryl berbohong, tetapi yang pasti aku sebenarnya tidak bisa minum kopi.

Keenan hanya mengangguk.

“Beberapa hari ini kebetulan aku membuat pajangan dari kayu. Aku ingin memberikan sebagai hadiah untuk kalian.” Keenan memberikan kotak yang sedari tadi membuatku berdebar-debar tidak jelas.

Jelas kotak itu diberikan padaku, tetapi Cheryl buru-buru meraih dan membukanya.

“Whoaaa … bagus sekali!” pekik Cheryl kegirangan. Entah ini respons Cheryl yang normal atau hanya pura-pura, aku tidak bisa membedakannya. Kelihatannya Cheryl benar-benar menyukainya.

Aku ikut melihat isi kotak tersebut karena penasaran.

Ternyata isinya miniatur becak dan sepeda, yang terbuat dari bahan kayu. Benar kata Cheryl, hadiah ini bagus dan sangat lucu.

“Terima kasih, Keenan,” ucapku senang.

“Syukurlah kalau kalian menyukainya, karena ini produk limited edition. Kebetulan ada sisa kayu, dan pekerjaku iseng membuatnya.” Keenan menjelaskan.

“Ini dijual?” tanya Cheryl.

“Iya. Akan tetapi, aku memberikan gratis untuk kalian,” jawab Keenan.

“Terima kasih,” ucap Cheryl dengan senyum manisnya.

Pembicaraan kami terhenti sejenak ketika seorang pelayan datang untuk menyajikan minuman yang dipesan oleh Cheryl.

“Terima kasih,” ucapku dalam bahasa Inggris. Lalu, aku segera menyeruput jus jeruk untuk menenangkan diriku yang masih sedikit gemetaran.

“Maaf, aku haus,” ucapku sesaat setelah menghabiskan seperempat gelas jus jeruk.

“Tidak apa-apa. Santai saja!” Keenan tertawa geli.

Cheryl pun ikut meneguk es kopi miliknya.

“Aku lupa pernah menanyakan hal ini … apa tempat tinggal kalian sama?” tanya Keenan melihat ke arahku dan Cheryl bergantian.

Aku melirik ke arah Cheryl, berharap dia saja yang menjawab.

“Iya, kami tinggal di apartment yang sama. Jadi, aku bisa menjaga Lilian kalau ada orang yang hendak berbuat jahat dengannya.” Kali ini sudah pasti Cheryl sengaja mengatakan hal ini.

“Kalian tinggal di Harper Apartment ya?” tanya Keenan.

“Iya,” jawab Cheryl.

“Setahu aku, Harper Apartment aman. Di sana banyak CCTV juga,” ujar Keenan.

Dari mana dia tahu kalau Harper Apartment banyak terpasang CCTV? Ah, kenapa sih, isi kepalaku ini bawaannya curiga melulu?

“Bagaimana kamu tahu kalau di Harper Apartment itu aman dan ada banyak CCTV?” tanya Cheryl. Dari nada suaranya aku rasa Cheryl juga memiliki pemikiran yang sama denganku.

“Dulu aku punya sahabat yang tinggal di sana. Sebulan pertama di Singapura, aku sempat tidak betah karena tinggal sendirian. Lalu dia mengajakku menginap. Sayangnya, setelah lulus kuliah, dia sudah langsung kembali ke Indonesia.” Cerita Keenan mengalir begitu saja.

“Oh,” sahut Cheryl singkat.

“Nanti aku antar kalian. Kebetulan tadi aku bawa mobil,” ujar Keenan.

“Eee, tidak perlu! Cheryl juga bawa mobil kok,” tolakku buru-buru.

“Oh,” sahut Keenan.

“Kotak ini, kamu membelinya di mana?” tanya Cheryl sambil menyentuh kotak hadiah pemberian dari Keenan.

Rupanya rasa penasaran membuat Cheryl ingin segera menginterogasi Keenan.

“Di sebelah kantorku ada toko yang khusus menjual kotak hadiah begini. Tidak hanya kotak, ada juga kertas kado, pita, dan pernak pernik lainnya yang biasa digunakan untuk berbagi.“ Keenan terus menjawab rasa penasaran kami dengan cepat, seakan dia sedang menjawab dengan jujur.

Ralat! Lebih tepatnya aku masih belum tahu, dia sedang berkata jujur atau tidak.

“Beberapa waktu ini, ada seseorang yang sering mengirimi kami hadiah dan selalu menggunakan kotak hadiah yang serupa,” ujar Cheryl, membuatku kembali berdebar-debar.

Cheryl memang tidak suka basa basi. Akan tetapi, seharusnya dia lebih berhati-hati untuk bicara. Dia membuatku takut. Bagaimana kalau Keenan itu benar-benar pengirim hadiah misterius? Bagaimana kalau Keenan marah dan malah menyerangku?

“Penjual kotak seperti ini sebenarnya banyak. Tidak hanya di toko sebelah kantorku. Seandainya kalian suka, aku bisa membantu membelikan,” jawab Keenan yang terlihat biasa saja.

“Eee, tidak perlu! Bukan begitu maksud Cheryl,” sahutku cepat, sambil melirik ke arah Cheryl.

Keenan mungkin bingung dengan jawabanku, sehingga dia hanya melihatku dan Cheryl bergantian dengan tatapan bertanya-tanya.

“Pasalnya pengirim hadiah tidak menyertakan nama penerima dan nama pengirim,” sambung Cheryl, membuatku semakin berdebar-debar. Sahabatku satu ini memang terlalu jujur.

“Oh.” Seketika Keenan hanya bisa diam dan masih menatap kami.

“Jangan bilang … kalian curiga denganku?” tanya Keenan beberapa saat kemudian.

“Sejujurnya iya, karena aneh saja … kamu tiba-tiba muncul di Pulau Sentosa, saat Lilian berada di sana dan kotak ini—“

“Mirip dengan yang kalian terima,” potong Keenan.

Aku mendadak merasa tidak enak karena kami baru mengenal Keenan, tetapi sudah menuduhnya.

“Menurut kalian, bagaimana caraku membuktikan kalau pengirim yang kalian maksud itu bukan aku?” tanya Keenan. Dari nada suaranya, kelihatannya Keenan tidak marah.

“Entahlah,” jawab Cheryl. Mungkin Cheryl sadar kalau dia terlalu terburu-buru bertanya.

“Aku tahu kalau alasanku datang ke makam Finn, dan bertemu Lilian secara tidak sengaja di Pulau Sentosa itu tidak masuk akal. Jadi, aku terima tuduhan kalian. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana cara memberikan bukti kalau semuanya itu benar? Pasalnya, alamat kalian saja aku tidak tahu.” Keenan berkata.

“M-maaf kalau kami terkesan menuduh. Sejujurnya, kami pun tidak memiliki banyak teman. Jadi, kami bingung begitu ada yang memberi hadiah,” ujarku memberi alasan.

“Hadiahnya bagus atau tidak? Maksudku, seharusnya kalian tidak perlu khawatir kalau hadiahnya tidak menakuti kalian,” tanya Keenan.

“Hadiah yang terakhir kami terima, cukup membuat syok,” jawab Cheryl, tanpa memberi tahu jenis hadiah yang kami terima.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
senja_awan
mungkin ga itu temannya finn,yg suka Ama Lilian...atau temen kampus Lilian..ahhh mungkin aja kadonya buat Cheryl
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Yes, I Do   Bab 116. New Member

    Aku melihat ke sekeliling ruang kamar VVIP, tempat aku dirawat sekarang. Hingga pandanganku berakhir pada sosok bayi perempuan mungil di dalam pelukanku.Namanya Gina, yang berarti wanita kuat. Aku ingin anakku tumbuh menjadi wanita kuat, tidak seperti aku yang suka menangis dan selalu terlihat lemah.Masih teringat rasa sakit saat kontraksi dan tak kunjung melahirkan. Namun, semuanya itu terbayarkan dengan rasa bahagia yang membuatku seketika melupakan rasa sakitnya.Saat ini, Keenan, Papa Mario, Mama Louisa, Papa, Mama, Tante Iva, dan Om Danendra sedang berada di dalam kamar, tempat aku dirawat.Begitu tahu aku merintih kesakitan, Mama Louisa mengajakku ke rumah sakit dan di dalam perjalanan beliau menghubungi semua orang terdekat.Aku tahu kalau keinginanku untuk melahirkan di Singapura memang tidak mungkin menjadi kenyataan karena Keenan tidak mengizinkanku bepergian. Meskipun demikian, aku tetap menaruh harapan bisa pergi ke Singapura di detik-detik menjelang mau melahirkan.Aku h

  • Yes, I Do   Bab 115. Perubahan Sikap

    Untungnya, aku tidak sampai memuntahkan makan siangku. Namun, rasa mual membuatku sedikit lemas.Ketika aku keluar dari salah satu toilet yang ada di dalam mall ini, Keenan ternyata sudah menungguku di dekat pintu masuk toilet.“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Keenan terlihat khawatir.“Baik. Hanya saja, bagaimana dengan Om Danendra dan Tante Iva? Mereka di mana?” Aku bertanya dengan sedikit perasaan tidak enak.“Mereka masih makan. Kita kembali, yuk!” ajak Keenan.Aku hanya mengangguk mengikuti Keenan.“Jangan dimakan kalau tidak selera, Li!” tegur Tante Iva.Aku memandangi makanan di atas piring yang ada di hadapanku dengan perasaan bersalah. Tapi, aku sungguh-sungguh tidak mampu memakannya lagi.“Maaf, Om, Tante,” ucapku lirih.“Eh, tidak apa-apa. Sudah … jangan dilihat terus! Nanti mual lagi.” Tante Iva menarik piringku.Sesudah Keenan, Om Danendra, dan Tante Iva menghabiskan makanan, kami segera beranjak dari tempat itu.“Li, kamu belum makan lho,” ujar Keenan.“Tidak apa-apa. Ta

  • Yes, I Do   Bab 114. Sebuah Tanda

    Tiga bulan kemudian …Sejak menikah, selain menjadi istri dan ibu rumah tangga, status aku berubah menjadi pengangguran akut.Dalam sebulan, hanya sesekali saja aku merancang desain untuk produk mainan anak yang dibuat oleh Keenan. Sisa waktu yang lain, aku gunakan untuk membersihkan rumah, masak, pergi ke cafe terdekat, dan melakukan perjalanan ke Singapura.Biasanya, aku melakukan perjalanan ke Singapura kalau Keenan ada pekerjaan di Jakarta dan Singapura. Jadi, aku sengaja menghindari bertemu keluargaku dengan melakukan perjalanan ke Singapura terlebih dahulu. Nanti aku pulang ke Pulau Bali bersama Keenan.Di Singapura, aku membersihkan unit apartmentku dan mengunjungi Tante Iva. Bersama Tante Iva, aku jalan-jalan dan wisata kuliner.Seperti sekarang, aku dan Tante Iva sedang mencicipi hidangan laut yang ada di salah satu pujasera.“Huaaa … ini enak sekali, Li! Kamu tahu nggak, Tante sudah lama ingin makan di sini. Hm, sepertinya sejak sebelum kamu menikah, tapi Om tidak pernah mau,

  • Yes, I Do   Bab 113. I Love You

    “Eee ….”Aku bahkan belum mulai bicara, tiba-tiba Keenan kembali melumat bibirku dan beralih menghisap leher bagian bawah. Itu sangat geli hingga membuatku tertawa kecil.Jangan lupakan tangannya yang mulai meremas kedua benda kenyal milikku! Pun ciumannya semakin turun sampai tulang selangka miliku.“Kee …! Aaaaahh.” Akhirnya lolos juga desahanku ketika merasakan lumatan di ujung salah satu bukit kembarku.Tubuhku benar-benar terasa tegang dan sepertinya Keenan bisa merasakan itu.“Maaf,” ucap Keenan tepat di telingaku, “tapi, aku sudah boleh melakukannya, bukan?”“Boleh,” sahutku singkat.Suamiku ini lucu juga. Sudah melakukan sampai sejauh ini baru minta maaf. Lagipula, aku bukannya keberatan, melainkan lebih ke arah malu dan khawatir karena belum pernah melakukannya.Di dalam hati, aku terus mencoba mengingat-ingat perkataan Cheryl agar tetap santai walaupun kenyataannya praktik itu sangat susah.“Baik. Kamu yang santai, Sayang!” ujar Keenan sambil mengusap-usap kepalaku.“Pelan-p

  • Yes, I Do   Bab 112. Bulan Madu

    Keenan dan aku memang memilih untuk membuat acara pernikahan yang sederhana karena kami adalah pribadi yang tidak menyukai acara-acara besar.Jadi, kesederhanaan yang kami putuskan tidak ada sangkut pautnya dengan sikap Mama.Berhubung acara kami sangat sederhana, usai makan dan berbincang, kebanyakan tamu langsung pamit sehingga tidak sampai malam, keseluruhan acara sudah selesai.“Terima kasih untuk semua tim event organizer, tim dekorasi, salon, bridal, fotografer, video, pembawa acara, souvenir, dan semua tim yang terlibat. Kalian sudah bekerja keras hingga acara pernikahan saya dan istri dapat berjalan dengan lancar,” ucap Keenan sebelum mereka semua pulang.Mendengar Keenan menyebutku sebagai istri, membuatku sedikit tersipu. Status yang baru ini masih terdengar aneh di telingaku.“Sebelum pulang, jangan lupa makan dulu, ya!” sambungku.Keenan dan aku lantas pamit untuk masuk ke kamar hotel.Wah, iya … aku hampir saja lupa. Sekarang aku dan Keenan sudah akan tinggal di satu kama

  • Yes, I Do   Bab 111. Acara yang Sederhana

    Aku melihat Mama Louisa meletakkan tas di atas meja. Beliau lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah dari dalam tasnya dan duduk di sebelahku.“Lilian, Mama minta maaf karena sewaktu pertama kali kita bertemu, Mama terkesan tidak menyukaimu, pun Mama menolak membuat gaun pengantin untukmu. Itu semua bukan karena Mama membencimu,” jelas Mama Louisa.“Iya, Ma ….”“Mama juga tidak pernah membenci Keenan,” potong Mama dengan suara pelan, “mungkin Keenan sudah menceritakan semuanya padamu.”Aku hanya diam karena tidak tahu harus berkata jujur atau tidak.“Tidak apa-apa. Jangan khawatir! Mama tidak marah,” sambung Mama Louisa sambil tersenyum.Cantik!Astaga! Mama mertuaku cantik sekali kalau tersenyum begini. Hidungnya mancung. Kulitnya masih kencang. Beliau bahkan tidak memiliki kantong mata.“Ma, Keenan sangat sedih ….” Aku tidak melanjutkan perkataanku karena tidak ingin salah bicara. Aku tidak mau memanfaatkan suasana.“Mama tahu dan di sini Mama memang sudah melakukan k

  • Yes, I Do   Bab 110. Pertemuan Keluarga

    “Apa yang bisa Papa lakukan sekarang? Papa ingin bertanggung jawab dan ingin marah karena kalian menolak. Akan tetapi, Papa bisa memaklumi keputusan kalian,” ujar Papa Mario.Aku dan Keenan diam-diam saling berpandangan. Namun, kami tidak memberikan tanggapan. Kami tetap pada pendirian kami untuk menjalani semuanya sendiri sampai akhir.Ting!Papa Mario, aku, dan Keenan praktis menoleh ke arah ponsel milik Keenan yang dia letakkan di atas meja. Itu tanda ada pesan yang masuk.Keenan meraih ponsel dan membuka layarnya.“Dari Mama,” ujar Keenan, “katanya di hari pernikahan kita sudah ada yang memesan gaun pengantin.”“Baik, tidak apa-apa. Aku sudah punya alternatif. Nanti aku akan membuat janji,” jawabku sambil tersenyum.Sebenarnya, aku sudah bisa menduga jawaban ini. Mama Louisa pasti tidak ingin mencampuri urusan kami.Kecewa itu pasti. Aku masih manusia. Ada rasa nyeri di hati karena merasa diabaikan. Namun, melihat raut wajah Keenan yang jelas terlihat sedih, membuatku praktis memb

  • Yes, I Do   Bab 109. Menerima Diri Sendiri

    Keenan terlihat tidak enak hati saat melihat mamanya tidak menyapaku dengan benar. Namun, aku tetap mempertahankan senyum dan sikapku yang tenang sebagai bentuk dukungan.Seperti yang aku katakan bahwa ini adalah realita yang harus kami hadapi. Baik calon mama mertua maupun mamaku sendiri sama-sama memiliki luka yang tidak mungkin disembuhkan oleh aku dan Keenan.Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku dan Keenan tidak melakukan kesalahan apa pun. Tante Louisa dan Mama terluka karena diri mereka sendiri. Namun, satu-satunya cara agar kami tetap dapat melangkah adalah menerima keadaan diri sendiri.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini anak-anak yang menyebalkan.Keadaannya memang calon mama mertua maupun mamaku menganggap Keenan dan aku ini penyebab luka yang mereka alami.“Apa kalian sudah makan siang?” tanya Om Mario.Aku melirik ke arah jam dengan rantai emas yang melingkar di pergelangan tanganku. Saat ini sudah lewat jam makan siang.“Sudah,

  • Yes, I Do   Bab 108. Menghadapi Realita

    “Sebenarnya, kedatangan saya dan Lilian kemari mau sekalian pamit, Om,” jelas Keenan saat melihat raut wajah bingung Om Danendra.“Lho … nanti kalian pasti akan kembali juga, ‘kan?” tanya Om Danendra.“Iya, tapi kami akan lebih sering berada di Indonesia,” jawab Keenan.“Tidak apa-apa. Selagi kita masih berpijak di bawah langit yang sama maka artinya kita belum berpisah. Om dan Tante pasti akan mengunjungi kalian. Sebaliknya kalian tidak boleh lupa mengunjungi Om dan Tante.” Om Danendra berkata.“Kami tidak mungkin lupa sama Om dan Tante,” jawabku masih terisak.“Bukankah Om dan Tante sudah menganggap Lilian sebagai anak kandung sendiri? Pun Lilian sudah menganggap Om dan Tante sebagai orang tuanya. Mudah-mudah saya bisa sering-sering mengajak Lilian main ke Singapura,” ujar Keenan.“Saya juga masih punya unit apartment di sini. Jadi, kami pasti bisa sering datang berkunjung,” sambungku dengan sok yakin.Keenan hanya mengangguk setuju.“Tante merasa bahagia melihat kalian akan segera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status