Share

You Are My Moon
You Are My Moon
Penulis: Rama Sipit

1|Janji Kelingking

Saat baru saja keluar dari sebuah toko buku aku disambut oleh tatapan ramah seorang gadis asing dari kejauhan, gadis yang terlihat seumuran denganku itu mendekat. Dia terlihat menawan dengan rambut hitamnya yang terurai itu, kulitnya terlihat begitu putih bersih, dan mata besarnya yang bersinar itu benar-benar membuatku terpesona. Aku hanya bisa terdiam melihatnya mendekat ke arahku. 

“Apa kamu mau berjalan-jalan bersama?”

Dia bertanya sambil mengulurkan lengannya ke arahku dengan malu-malu.

 “E-eh… baiklah…,” timpalku.

Dia mulai menggenggam tanganku setelah itu. Aku sedikit bingung, tapi aku menikmatinya. Saat sedang sibuk berjalan gadis itu mendadak berhenti berjalan, dan menatapku. 

 “Namamu siapa?” tanya gadis itu.

 Jujur saja aku terkejut ketika dia berbalik, dan tiba-tiba bertanya padaku dengan tersenyum seperti itu.

 “Panggil saja Alan, kalau kamu?”

Aku pikir dia akan memperkenalkan dirinya dengan normal, tapi ternyata tidak. Bahkan dia tidak memberi tahu namanya sama sekali, dia hanya tersenyum mendengarku bertanya balik mengenai namanya, dan kemudian dia kembali mengajakku berjalan. Aku sedikit ragu untuk kembali bertanya padanya, mungkin lain kali aku akan bertanya lagi.

Aku masih berjalan di sampingnya, dan dia juga masih memegangi tanganku. Rasanya sedikit memalukan, dan sepertinya telapak tanganku mulai berkeringat. Aku ingin menarik tanganku dari genggamannya ini, tapi aku juga tidak ingin melepaskannya!

Meskipun begitu tetap saja aku tidak ingin terganggu dengan telapak tanganku yang basah. Di ujung jalan aku melihat sebuah vending machine, aku langsung melepaskan genggamannya itu dan kemudian berlari ke ujung jalan. Aku membeli dua buah minuman kaleng dingin disana, dan membagi salah satu kaleng minumannya pada gadis itu.

Aku mengajak gadis itu untuk duduk di bangku taman di dekat sana. Tempat itu terlihat sejuk karena berada tepat di bawah pohon yang cukup besar. Dia hanya mengangguk, dan kemudian mengikutiku berjalan. Di bangku taman itu dia hanya menatap ke bawah, dia terlihat gugup sambil terus memegang erat kaleng minumannya itu. 

 “Terima kasih ya…,” ucapnya.

 Aku langsung terdiam selama beberapa saat ketika mendengar itu. Dia berterima kasih padaku, dan kemudian dia tersenyum. Senyumannya seolah-olah menghembuskan sebuah angin lembut yang membelai wajahku.

 “Ngomong-ngomong namamu Alan ya? itu tidak terdengar seperti nama orang Jepang.”

“Kamu benar, sebenarnya aku tidak sepenuhnya orang Jepang. Aku blasteran.”

 “E-eh benarkah…?”

“Ya…”

 Ayahku dari Jepang, dan ibuku dari Indonesia. Aku lahir di Jepang, tapi entah kenapa kedua orang tuaku menamaiku seperti itu, tapi aku tidak membencinya. Sudah 11 tahun aku tinggal di sini, dan aku menjalani keseharianku dengan biasa-biasa saja.

 “Alan. A-apa kamu keberatan jika kita terus bermain bersama?” tanyanya dengan terbata-bata.

 “Tentu saja tidak. Libur musim panas baru saja dimulai bukan?”

 “Benarkah? Janji?” dia bertanya kembali. 

 Dia mengeluarkan jari kelingking dari lengan kanannya, dan mengarahkannya padaku. Kurang lebih aku mengerti apa yang dia maksud…

 “Ya, janji… aku pasti akan selalu bermain denganmu…”

 Aku pun ikut mengeluarkan jari kelingking ku, dan memeluk jari miliknya. Wajahnya sedikit terkejut saat jarinya saling bersentuhan dengan jariku, tapi setelah itu dia mulai tersenyum, dan sedikit tertawa. 

 “Terima kasih, Alan itu baik ya…”

 Aku tidak mengetahui namanya, tapi sepertinya aku mulai berteman dengan dirinya. Aku juga masih belum mengetahui kenapa dia tiba-tiba mengajakku untuk pergi berjalan-jalan, apa dia kesepian? Sepertinya tidak. Dia terlihat cantik, dan menawan. Pasti dia populer, dan memiliki banyak teman di sekolahnya.

 Tanpa aku sadari anak-anak yang sedang berada di taman tadi sudah mulai pergi. Langit juga menjadi sedikit mendung, mungkin akan turun hujan. 

 “Sepertinya mau hujan, sebaiknya kita segera pulang. Besok kita bertemu lagi disini saja bagaimana?”

“Baiklah! Kalau begitu sampai jumpa besok Alan.”

Setelah sepakat gadis itu pergi meninggalkan taman mendahuluiku. Apa dia barusan pergi kearah yang sama dengan arah rumahku? Sepertinya tidak. Air hujan mulai berjatuhan, dan mengenai kepalaku. Aku langsung berlari pulang menuju rumah. Beberapa saat sebelum aku sampai rumah, hujan mulai semakin menjadi, dan akhirnya aku menjadi basah kuyup terkena hujan saat sampai rumah. Lagian kenapa saat libur musim panas seperti ini bisa turun hujan ya…?

 “Aku pulang.”

 “Ya ampun… Cepat ganti bajunya ya, nanti masuk angin,” ucap ibuku yang melihatku berdiri kebasahan di depan pintu.

“Iya bu.”

Aku menjadi sedikit mengantuk, ditambah cuaca yang masih turun hujan, itu menjadi semakin membuatku malas untuk melakukan sesuatu. 

 Esok harinya di siang yang cerah ini aku pergi menuju ke taman kemarin. Di taman itu ternyata dia sudah datang terlebih dahulu, dan sedang duduk di kursi taman. Hatiku langsung merasa senang, dan juga bersemangat ketika melihat dirinya.

  “Yo, selamat pagi. Hari ini kita mau bermain kemana?” 

  Aku mencoba menyapanya yang sedang terduduk, sambil memandangi langit. Dia terlihat menawan dengan sebuah gaun musim panasnya yang berwarna putih. 

 “Ah, maaf aku melamun,” ucapnya 

 “Apa ini sepedah milikmu? Kita berkeliling menggunakan sepeda saja!” Di dekatnya aku melihat sebuah sepeda keranjang berwarna pink yang bersandar di samping pohon.

  

 “Tidak-tidak, berboncengan itu kan bahaya!”

   Memang itu yang di ucapkannya tadi, tapi pada akhirnya aku berhasil membujuknya untuk pergi berkeliling dengan berboncengan menaiki sepeda miliknya. 

  

 “A-apa benar tidak apa-apa? Aaaa pelan-pelan Alan! Bahaya tau!”

  “Tenang saja!” ucapku berusaha untuk meyakinkan.

    Aku iseng mempercepat kecepatan sepedanya, tapi reaksinya diluar dugaanku. Aku pikir dia akan memukul-mukul punggungku dengan imut, tapi dia malah menutup matanya dengan ekspresi ketakutan. Karena merasa bersalah, aku akhirnya kembali mengendarai sepeda dengan pelan-pelan.

  

  Kami berdua hanya bersepeda di sekitaran rumah-rumah saja, dan menghindari jalan raya. Saat tengah menikmati perjalanan, tiba-tiba saja kami berdua melihat seorang wanita dengan gaun pengantin berwarna putih yang keluar dari sebuah mobil sedan berwarna hitam.

     

“Lihat ada pengantin! Waaahhh cantiknya…”

    

 Dia terlihat kagum, dan memuji pengantin wanita tersebut. Gadis yang sedang bersamaku ini juga tidak mengalihkan pandangannya dari pengantin itu sepanjang perjalanan. Karena penasaran akhirnya aku memberhentikan laju sepeda selama beberapa saat untuk melihatnya juga, dan saat aku lihat pengantin tersebut memang cantik. Gaunnya terlihat putih, dan bersinar.

     

“Wah kau benar,” timpalku.

    

 Setelah puas melihat, aku kembali mengayuh sepeda, dan melanjutkan perjalanan yang tidak tau akan berakhir dimana.

  

   “Aku juga ingin menjadi pengantin… pasti rasanya hebat. Kalau Alan bagaimana?” ucapnya memulai kembali pembicaraan.

    

 “Eh, entahlah. Kamu ini memangnya mau menikah sama siapa?”

     

“Aku juga tidak tahu… Kalau Alan ingin menikah dengan siapa?” dia terlihat merenung, dan kemudian tiba-tiba bertanya kembali.

   

  “Dengan siapa ya…? Dengan orang tercantik di dunia ini, mungkin… Hahaha bercanda. Aku juga tidak tahu,” karena merasa malu, aku pun menarik kembali kata-kataku, dan telinga ku terasa sedikit panas. Meskipun samar-samar, aku tadi berniat untuk mengarahkan kata-kataku itu padanya, ya Tuhan itu memalukan.

   

  “Apa itu, haha,” timpalnya dengan sedikit tertawa.

   

  Matahari semakin naik, dan cuaca mulai terasa panas. Tadinya aku memutuskan untuk berhenti, dan beristirahat. Tapi kami berdua malah secara tak sengaja melewati sebuah pos polisi. Polisi yang sedang berjaga tersebut mulai keluar, dan berusaha berlari mengejarku. Wajah gadis yang sedang bersamaku terlihat panik saat sang polisi berteriak meminta kami untuk berhenti.

     

“Heiii kalian berhenti! Itu berbahaya!” ucap polisi dibelakangku yang terlihat masih mengejar

    

 “Gawat, aku tidak tahu jika di sekitar sini ada sebuah pos polisi. Pegangan!”

  

   Aku memilih untuk kabur. Aku mulai mengayuh sambil berdiri dengan semua tenagaku, dan gadis itu tak berhenti berteriak ketakutan untuk menyuruhku berhenti.

  

   “Aaaaaaaaa, udah berhenti Alaannn…!” teriakannya semakin menjadi.

   

  “Fuuuh. Sepertinya pak polisi itu sudah berhenti mengejar. Hehe maaf-maaf.”

    

 “Bahaya tau! Gimana kalau,” terdengar suara dari perutnya, “mena… brak…”

  

   Sepertinya dia lapar, ya wajar saja ini sudah memasuki jam makan siang, sebenarnya aku juga sedikit lapar.

   

  “Aku juga lapar, mau pergi ke kedai ramen?”

     

 Dia tidak menjawab, dan hanya mengangguk sambil menatap kebawah. Wajahnya terlihat memerah menahan malu. Saat aku mengajaknya untuk kembali berboncengan dengan sepeda, dia menolak, dan mulai menggiring sepedanya sendiri. Sepertinya tadi itu adalah pertama, dan terakhir kalinya aku memboncengnya dengan sepeda.

     

 “A-ayo, kamu kenapa melamun,” ucapnya dari kejauhan sambil menggiring sepeda.

   

   “Tunggu! Kenapa kamu buru-buru…?” aku melihat gadis itu menaiki sepedanya, kemudian mengayuhnya, “Eh, tu- tunggu aku!”

  

    Setelah itu aku sepenuhnya berlari mengejarnya, dan tanpa disadari ternyata kami berdua sudah kejar-kejaran sampai ke kedai ramen. Setelah dipikir-pikir, siapa ya yang akan makan ramen di tengah hari begini? Mungkin aku akan memesan soba dingin saja…

     

 Selesai mengisi perut aku kembali berjalan-jalan bersamanya. Dia menggiring sepedanya, dan ikut berjalan kaki bersamaku. Aku hanya bisa memandangi wajahnya itu dari samping sambil memikirkan sebuah topik pembicaraan. 

     

 “Alan, jika seseorang yang berharga bagimu menghilang, apa yang kamu rasakan?” ucapnya, dia mencoba memecah keheningan ini dengan sebuah pertanyaan yang aneh.

    

  “Mungkin aku akan bersedih, tapi aku tidak akan menangis,” timpalku.

     

 “Kalau aku…,” dia berhenti berjalan dan kemudian menatapku sambil tersenyum, “mungkin akan menangis.”

   

   Aku tidak mengerti kenapa dia mempertanyakan itu padaku, terkadang dia selalu menanyakan sesuatu yang benar-benar tidak bisa aku pahami.

    

  Cuaca siang ini mulai semakin panas, kami berdua masih berjalan-jalan tanpa sebuah tujuan, dan mulai membicarakan hal-hal yang kami temui di sepanjang jalan. Seperti mobil itu keren, atau rumah itu besar sekali. Tak jauh dari sini ternyata ada sebuah perpustakaan. Perpustakaan ini berada di dekat stasiun, mungkin ini jaraknya agak jauh dari rumah. Aku baru sadar jika aku sudah pergi berjalan sejauh ini.

  

    “Panas, kita berteduh dulu di dalam sana yuk,” ucapku sambil menunjuk ke arah perpustakaan yang berada di seberang jalan.

   

   “Yuk…,” balasnya sambil mengangguk.

     

 Setelah itu kami berdua pergi kedalam perpustakaan itu. Begitu membuka pintu masuk aku bisa merasakan udara sejuk dari AC menyambutku. Kami berdua mulai berjalan-jalan mengitari rak-rak buku di dalam perpustakaan ini, sebenarnya aku tidak terlalu berniat untuk mencari buku untuk dibaca. Yang terus aku perhatikan hanyalah dirinya…

    

  “Alan buku ini,” gadis itu mendadak berbalik sambil menunjukkan buku itu padaku, karena aku berada tepat di belakangnya wajah kami jadi saling berdekatan. Tak lama dia langsung mundur dariku, “b-buku ini menarik loh… i-ingin membacanya bersama…?” 

     

 “B-begitu ya… kalau begitu kita sambil duduk disana saja, sepertinya disana kosong…”

    

  Setelah itu kami berdua pergi berjalan menuju sebuah meja kosong di dekat jendela. Aku merasa jika suasana menjadi semakin canggung saat kami berdua mulai duduk saling berdampingan. Dia tidak melihatku sama sekali, dan fokus melihat buku tentang bunga yang tadi dia tunjukkan. 

   

   Tapi aku malah terus memperhatikannya dibanding ikut membaca isi buku itu…

     

 “Bukunya bagus bukan?” tanya gadis itu.

   

   “Eh, ah iya. Bukunya bagus!”

     

 Dan hari ini pun berakhir…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status